Minggu, 15 September 2013

Syifafauziah KPI 1/B_Tugas2_Teori Emile Durkheim


FAKTA SOSIAL

"Fakta social adalah seluruh cara bertindak baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau bisa juga dikatakan bahwa fakta social adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual."

Kutipan ini menjelaskan bahwa Durkheim memberikan dua definisi untuk fakta social agar sosiologi bisa dibedakan dari psikologi. Pertama, fakta social adalah pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan bukannya dorongan internal; kedua, fakta social umum meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada individu particular apapun.

Fakta Sosial Material dan Nonmaterial
            Durkheim membedakan dua type ranah fakta social material dan nonmaterial. Fakta social material, seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, dan hukum dan perundang-undangan, relative mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Jelas, misalnya, aturan berada diluar individu dan memaksa mereka. Lebih penting lagi, fakta social material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta social nonmaterial.

Jenis-jenis Fakta Sosial Nonmaterial

a.      Moralitas
Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta social, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta social lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa difikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris.
Kedua, Durkheim dianggap sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya pada "kesehatan" moral masyarakat modern.
Masyarakat tidak mungkin tidak bermoral, namun pasti ia bisa kehilangan kekuatan moral jika kepentingan kolektif masyarakat hanya terdiri dari kepentingan-kepentingan individu belaka. Selama moralitas adalah fakta social, maka dia akan dapat memaksa individu dan mengalahkan kepentingan diri mereka. Konsekuensinya, Durkheim percaya bahwa masyarakat membutuhkan moralitas bersama yang kuat.
b.      Kesadaran Kolektif
"Seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu system yang tetap yang punya kehidupan sendiri; kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran particular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran particular."
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama.
c.       Representasi Kolektif
Karena kesadaran kolektif merupakan sesuatu yang luas dan gagasan yang tidak memiliki bentuk yang tetap, oleh karena itu tidak mungkin dipelajari secara langsung, akan tetapi mesti didekati melalui relasi fakta social material.
Representasi kolektif juga tidak bisa diredukasi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi social, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena representasi kolektif cenderung berhubungan dengan symbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
d.      Arus Sosial
Sebagian besar fakta social yang dirujuk Durkheim sering kali diasosiasikan dengan organisasi social. Akan tetapi, dia menjelaskan bahwa fakta social "tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas". Durkheim menyebutnya dengan arus social. Dia mencontohkan dengan "luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan" yang terbentuk dalam kumpulan public.
Kenyataannya, ada kesamaan yang begitu kuat antara teori fakta social dari Durkheim dengan teori-teori mutakhir tentang hubungan otak dengan pikiran seorang individu.
Meskipun teori filsafat modern menganggap pikiran tidak ada sama sekali, melainkan hanya fungsi otak, namun argumennya tetap berbunyi bahwa kompleksitas interkoneksi dalam otak menciptakan level realitas baru, yaitu pikiran, yang tidak bisa dijelaskan berdasarkan susunan saraf individual.
BUNUH DIRI

Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupaka fenomena konkret dan spesifik dimana tersedia data yang bagus secara komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukan kekuatan disiplin sosiologi. Bunuh diri secara umum merupakan salah satu tindakan pribadi dan personal.
Karena masalah ini adalah wilayah garapan psikologi. Durkheim hanya tertarik untuk menjelaskan perbedaan angka bunuh diri, yaitu, dia tertarik kenapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri lebih tinggi disbanding kelompok lain. Durkheim menawarkan dua cara yang saling berhubungan untuk mengevakuasi angka bunuh diri. Cara pertama adalah dengan membandingkan suatu tipe masyarakat atau kelompok dengan tipe yang lain. Cara kedua yaitu melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah kelompok dalam suatu rentang waktu
.
Empat Jenis Bunuh Diri

            Teori bunuh diri Durkheim bisa dilihat lebih jelas jika kita mencermati hubungan jenis-jenis bunuh diri dengan dua fakta social utamanya integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat. Regulasi merujuk pada tingkat paksaan eksternal dirasakan individu.
a.      Bunuh Diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit social yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat dan masyarakat bukan pula bagian dari individu.
Statistik yang dikemukakan Durkheim juga membuktikan bahwa angka bunuh diri pada kelompok masyarakat yang belum menikah lebih tinggi karena kurangnya integrasi dalam keluarga, sedangkan angka tersebuat menurun ketika terjadi krisis politik nasional semisal perang dan revolusi, ketika pergolakan, revolusi atau semangat kebangsaan dalam masyarakat mampu memberikan makna hidup bagi seseorang. Durkheim menyatakan bahwa satu-satunya kesamaan di antara seluruh peristiwa ini adalah meningkatnya integrasi.
Menariknya, Durkheim menekankan signifikansi paksaan social meski dalam kasus bunuh diri egoistis, dimana individu menganggap bunuh diri adalah jalan untuk bebas dari paksaan social. Kasus bunuh diri egoistis menunjukkan bahwa dalam tindakan yang paling individualistis dan pribadi sekalipun, fakta social tetap menjadi penentu utama.
b.      Bunuh Diri Altruistis
Bunuh diri altruistis terjadi ketika " integrasi social sangat kuat". Secara harfiah, dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri.
Salah satu contoh paling tepat untuk bunuh diri altruistis adalah bunuh diri massal dari pengikut Pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana, pada tahun 1978. Mereka memperoleh racun secara sembunyi-sembunyi lalu menenggaknya kemudian diikuti oleh anak-anak mereka. Mereka dengan terang-terangan melakukan bunuh diri karena memiliki integrasi yang sangat erat dalam sebuah kelompok sebagai pengikut fanatic dari Jones.
Menurut Durkheim, penjelasan yang sama juga dapat dipakai dalam kasus seseorang yang mencari mati syahid. Seperti yang dilakukan teroris pada peristiwa 11 september 2001. Secara umum, orang melakukan bunuh diri altruistis karena merak merasa itu adalah tugas mereka. Durkheim berpendapat bahwa secara khusus, bunuh diri altruistis ini mungkin terjadi dalam militer yang memilliki tingkat integrasi begitu kuat, bahwa seorang individu akan merasa telah membawa aib bagi kesatuannya meski hanya karena kesalahan sepele.
Kalau tingginya angka bunuh diri egoistis ditentukan oleh "kelelahan yang tidak dapat disembuhkan dan depresi yang menyedihkan," maka bunuh diri altruistis makin banyak terjadi jika "makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia ini". Ketika integrasi mengendur, seseorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupan. Sebaliknya, ketika integrasi menguat, mereka melakukan bunuh diri justru demi kebaikan yang lebih besar.
c.       Bunuh Diri Anomik
Bentuk bunuh diri ketiga adalah bunuh diri anomik, yang terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan itu mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya control terhadap nafsu meraka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Angka diri anomik bisa meningkat terlepas dari apakah gangguan itu positif (missal, peningkatan ekonomi) atau negative (penurunan ekonomi). Kedua macam gangguan ini membuat kolektivitas masyarakat tidak mampu melancarkan otoritasnya terhadap individu untuk sementara waktu. Perubahan-perubahan semacam ini menempatkan orang dalam situasi dimana norma lama tidak lagi berlaku sementar norma baru belum lagi dikembangkan. Periode gangguan ini melepaskan arus anomi rasa ketercerabutan dari akar dan rasa kehilangan norma-norma mengikat dan arus ini cenderung mempertinggi angka bunuh diri anomik. Kasus ini relative mudah ditemui dalam suasana depresi ekonomi.
Pengingkatan angka bunuh diri anomik selama periode deregulasi kehidupan social, sesuai dengan pandangan Durkheim tentang pengaruh merusak dari nafsu individu ketika bebas dari kekangan eksternal. Sesorang yang telah bebas akan menjadi budak nafsu mereka, akibatnya dalam pandangan Durkheim, memasuki wilayah tindakan deskruftif yang tiada batas, termasuk membunuh diri sendiri.
d.      Bunuh diri Fatalistis
Persoalan yang tidak terlalu banyak dibahas Durkheim adalah tipe bunuh diri keempat bunuh diri fatalistis. Kalau bunuh diri anomik terjadi dalam situasi dimana regulasi melemah, maka bunuh diri fatalistis justru terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalistis seperti "seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas." Contoh klasik dari bunuh diri ini adalah budak yang menghabisi hidupnya karena putus asa karena regulasi yang menekan setiap tindakannya. Regulasi tekanan yang terlalu banyak akan melepaskan arus kesedihan, yang pada gilirannya, menyebabkan peningkatan angka bunuh diri fatalistis.
Sumber :
         Teori Sosiologi Modern
        The Rules of Sociological Method

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini