Senin, 08 September 2014

zaenal arifin tugas 1 PMI 3, (1113054000029)

 

Teori Sosiologi Perkotaan Menurut

Max Weber, Karl Max dan Durkheim

 

·       Menurut Max Weber 

 

                  Max Weber berpendapar bahwa "suatu tempat adalah kota apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal. Barang-barang itu harus dihasilkan oleh penduduk dari pedalaman dan dijualbelikan di pasar itu. Jadi menurut Max Weber, ciri kota adalah adanya pasar, dan sebagai benteng, serta mempunyai sistem hukum dan lain-lain tersendiri, dan bersifat kosmopolitan.

      Cristaller dengan "central place theory"-nya menyatakan kota berfungsi menyelenggarakan penyediaan jasa-jasa bagi daerah lingkungannya. Jadi menurut teori ini, kota diartikan sebagai pusat pelayanan. Sebagai pusat tergantung kepada seberapa jauh daerah-daerah sekitar kota memanfaatkan penyediaan jasa-jasa kota itu. Dari pandangan ini kemudian kota-kota tersusun dalam suatu hirarki berbagai jenis.

 

                  Sjoberg berpendapat bahwa , sebagai titik awal gejala kota adalah timbulnya golongan literati (golongan intelegensia kuno seperti pujangga, sastrawan dan ahli-ahli keagamaan), atau berbagai kelompok spesialis yang berpendidikan dan nonagraris, sehingga muncul pembagian kerja tertentu. Pembagian kerja ini merupakan ciri kota.

      Wirth, mendifinisikan kota sebagai pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Akibatnya hubungan sosialnya menjadi longgar acuh dan tidak pribadi (impersonal relation)

                  Karl Marx dan F.Engels memandang kota sebagai "persekutuan yang dibentuk guna melindungi hak milik dan guna memperbanyak alat-alat produksi dan alat -alat yang diperlukan agar anggota masing-masing dapat mempertahankan diri". Perbedaan antara kota dan pedesaan menurut mereka adalah pemisahan yang besar antara kegiatan rohani dan materi.

 

                  Harris dan Ullman , berpendapat bahwa kota merupakan pusat pemukiman dan pemanfaatan bumi oleh manusia. Kota-kota sekaligus merupakan paradoks. Pertumbuhannya yang cepat dan luasnya kota-kota menunjukkan keunggulan dalam mengeksploitasi bumi, tetapi di pihak lain juga berakibta munculnya lingkungan yang miskin bagi manusia. Yang perlu diperhatikan, menurut Harris dan Ullman adalah bagaimana membangun kota di masa depan agar keuntungan dari konsentrasi pemikiman tidak mendatangkan kerugian atau paling tidak kerugian dapat diperkecil.

     

·        Menurut Karl Marx

Karl Marx muda meletakkan dan mengembangkan dan mengembangkan ide-ide kapitalisme dan revolusi kapitalis. Sebagai jiwa yang lahir dan tumbuh di Jerman Marx merasa teralienasi; suatu keterasingan atau menjadi pendatang di negaranya sendiri. Sebagai penulis radikal dan aktifis revolusioner ia bergerak dari Jerman keParis dan hidup dalam kemiskinan dengan keluarganya di London. Dia tidak punya rumah, merasa tidak diinginkan, terasing, di Rhineland dan merasa ketakutan memasuki eropa barat untuk aktifitas revolusinya. Gelar Red Doktor di sandangnya dari pemerintah Inggris. Marx meninggal tahun 1853 sendiri dalam kemiskinan.

Tidak ada penulis yang memiliki inspirasi perubahan radikal, menyerang mampu  mempengaruhi sejarah modern sebesar Karl marx.    Kunci karya Marx Das Kapiptal (1970) yang merupakan studi scientific dari kapitalisme sebagai sistem ekonomi dan mode produksi. Studi alienasinya sangat nyata pada studi sosial, psikologi dan  efek personal dari kapitalisme pada perasaan manusia dan image diri. Bagi Marx kapitalisme tidak hanya sistem ekonomi yang in efisien tetapi juga immoral dan eksploitatif. Menghilangkan manusia dengan kealamiahannya, memisahkan manusia dari produk yang dihasilkannya, membentuk manusia bermusuhan satu sama lain di sebuah "hutan" ekonomi.Bagi Marx esensi manusia yang membedakan dengan binatang adalah kesadarannya, imajinasi, kemampuan untuk mengontrol lingkungannya. Kekuatan ini terekspresi jelas dalam proses produksi yang dikerjakan bersama-sama dalam mengubah/mengelola alam. 

·        Menurut Emile Durkheim 

Emile Durkheim (1858 – 1917). Menurut Durkheim, transisi sosial sebagaimana yang diperlihatkan oleh Tonnies di atas akan mempengaruhi kohesi sosial atau yang oleh Durkheim sendiri disebutnya sebagai solidaritas sosial. Dalam pemikiran Durkheim, masyarakat sederhana (kurang lebih gemeinschaft, dalam pemikiran Tonnies)membangun kohesifitas mereka atas dasar kesamaan-kesamaan diantara anggota-anggotanya. Setiap orang di wilayah tersebut bersaudara atau setidaknya mengenal dengan baik satu dengan yang lain. Hampir semua orang mempraktekkan nilai-nilai religius dan pandangan (worldview) yang sama. Dalam masyarakat seperti itu pula, latar belakang etnik, nilai-nilai sosial-kultural, dan distribusi pekerjaan sangat tidak bervariasi. Durkheim menyebut masyarakat yang memiliki kohesivitas sosial semacam itu sebagai masyarakat yang memilikisolidaritas sosial mekanis. Dalam masyarakat yang lebih kompleks, modern, perkotaan, menurut Durkheim, orang-orang yang ada di dalamnya berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka meyakini agama, berafiliasi politik, etnik, dan latar belakang keluarga yang beragam. Solidaritas sosial di perkotaan modern, menurut Durkheim, tidak didasarkan atas kesamaan-kesamaan melainkan oleh ketergantungan pada posisi sosial dan okupasional masing-masing. Kohesivitas sosial semacam ini, oleh Durkheim, disebut sebagai solidaritas sosial organis, seperti halnya hubungan antar bagian dalam sebuah organisme.

Pemikiran Tonnies dan Durkheim melihat perkembangan dan perubahan kelembagaan dan kultur sosial masyarakat dalam scope makrososial. Berbeda dengan keduanya, Georg Simmel (1858 – 1918), melihat dalam scope yang lebih mikrososial. Simmel tidak berupaya memperbandingkan antara masyarakat perdesaan dengan perkotaan. Ia lebih memfokuskan perhatiannya kepada perkembangan yang terjadi dalam kehidupan manusia yang hidsup di perkotaan. Menurut pengamatan Simmel, orang yang hidup di perkotaan seringkali harus berhubungan dengan orang-orang lain yang tidak dikenalnya (stranger). Dalam interaksi semacam itu, setiap orang yang hidup di kota harus menarik diri secara mental sebagai strategi untuk mempertahankan jati dirinya (self-preservation).Oleh sebab itu, menurut Simmel, privasi orang-orang yang hidup di perkotaan lebih terjaga. Dalam pandangan Simmel, interaksi sosial di perkotaan cenderung lebih dingin, kalkulatif, serta didasarkan kepada rasionalitas dan obyektivikasi terhadap orang lain (setiap orang menjadikan orang lain sebagai obyek/instrumen untuk meraih kepentingan masing-masing).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini