Nama : Fitri Permata Sari
NIM : 1112051000151
Kelas : KPI 5/E
Tugas : Etika dan Filsafat Komunikasi
ETIKA TERAPAN
A. Bidang yang menjadi garapan etika terapan
1. Profesi Dokter
Etika kedokteran sekarang sering dimengerti dengan cara lebih luas daripada pembahasan pekerjaan dokter saja, sehingga mencakup semua masalah etis yang berkaitan dengan kehidupan. Cakupan lebih luas ini tercermin dalam nama-nama baru untuk cabang etika terapan tersebut, seperti "etika biomedis" dan "bioetika".
Dokter juga memilki kode etik, yaitu :
a. Kewajiban umum seorang dokter ialah senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi.
b. Kewajiban dokter terhadap pasien ialah senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insane.
c. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat ialah menjunjung tinggi asas Declaration of Geneva yang telah diterima oleh Ikatan Dokter Indonesia.
d. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri ialah memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan baik.
2. Profesi Hakim
Hakim sebagai salah satu aparat penegak hukum (Legal Aparatus) yang sudah memiliki kode etik sebagai standar moral atau kaedah seperangkat hukum formal. Namun realitanya para kalangan profesi hukum belum menghayati dan melaksanakan kode etik profesi dalam melaksanakan profesinya sehari-hari, terlihat dengan banyaknya yang mengabaikan kode etik profesi, sehingga profesi ini tidak lepas mendapat penilaian negatif dari masyarakat. Khusus berkenaan dengan pemutusan perkara di pengadilan yang dirasa tidak memenuhi rasa keadilan dan kebenaran maka hakimlah yang kena, dan apabila memenuhi harapan masyarakat maka hakimlah yang mendapat sanjungan. Dengan kata lain masyarakat memandang wajah peradilan sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh sikap atau perilaku hakim. Sebagai contoh atas adanya hakim yang melakukan Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang dibuktikan dengan data Transparansi Internasional (TI) dan Catatan Political Economi Risk Concultanty Ltd.(PERC) yang membuktikan bahwa korupsi di lembaga peradilan sebagai urutan ketiga setelah lembaga kepolisian dan Bea Cukai dan urutan lima besar di dunia.
3. Profesi Jurnalis
Di dalam etika terapan pada profesi tidak lepas dari komunikasi, baik komunikasi verbal ataupun non verbal. Baik komunikasi yang berupa gesture (bahasa isyarat), maupun bahasa yang sudah lazim digunakan di dalam keseharian, mulai dari bahasa daerah hingga bahasa nasional dan internasional. Jurnalis juga memiliki metode wawancara. Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara penanya atau pewawancara dengan narasumber atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide. Di dalam wawancara terdapat proses percakapan yang berbentuk tanya jawab dengan tatap muka, wawancara adalah susatu pengumpulan data untuk suatu penelitian. Beberapa hal dapat membedakan wawancara dengan percakapan sehari-hari, antara lain:
a. Pewawancara dan responden biasanya belum saling mengenal sebelumnya.
b. Responden selalu menjawab pertanyaan.
c. Pewawancara selalu bertanya.
d. Pewawancara tidak menjuruskan pertanyaan kepada suatu jawaban, tetapi harus selalu bersifat netral.
e. Pertanyaan yang ditanyakan mengikuti panduan yang telah dibuat sebelumnya. Pertanyaan panduan ini dinamakan interview guide.
4. Profesi Pengacara
Pengacara yang profesional selalu berarti orang yang punya komitmen pribadi yang tinggi, yang serius dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas pekerjaannya agar tidak sampai merugikan pihak orang lain. Pengacara yang profesional adalah orang yang menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan mutu yang sangat baik karena komitmen dan tanggung jawab moral pribadi yang dimilikinya. Jika pengacara yang salah dalam membela sebuah perkara, hanya demi mendapat uang dan nama, dapat mengakibatkan orang yang bersalah dibebaskan sebaliknya orang yang tidak bersalah dijebloskan ke dalam penjara dan menghancurkan seluruh hidupnya beserta hidup semua orang yang menjadi tanggung jawabnya.
B. Pendekatan etika terapan
1. Praktis
Etika profesi hendaknya dilihat sebagai ilmu yang bersifat praktis, untuk itu di dalam kajiannya, etika profesi tidak meninggalkan segi atau landasan teoritisnya. Sebagai ilmu praktis maka etika profesi memiliki sifat yang mementingkan tujuan perbuatan dan kegunaannya, baik kegunaan secara pragmatis maupun secara utilitaristis dan deontologis.
2. Pragmatis
Memandang etika profesi secara pragmatis berarti melihat bagaimana kegunaan itu memiliki makna bagi seorang profesional melalui tindakan yang positif yang berupa pelayanan terhadap klien, pasien atau pemakai jasa. Sejalan dengan kegunaan pragmatis, maka, kegunaan yang bersifat utilitaristis akan sangat bermanfaat apabila dapat menghasilkan perbuatan yang baik. Seorang arsitek akan mendapatkan kebahagiaan apabila rancang bangunnya dipakai oleh seseorang dan diterapkan dalam pembuatan rumahnya dan pada akhirnya orang itu merasa puas atas disain rumahnya.
3. Moralis
Di dalam penerapannya atau dalam dunia kerja, seorang profesional harus dibimbing oleh norma moral, yaitu norma yang mewajibkan tanpa syarat (begitu saja) tanpa disertai pertimbangan lain.
C. Metode etika terapan
Ada empat unsur metode etika terapan yang sejalan dengan terbentuknya pertimbangan moral pada umumnya.
1. Dari sikap awal menuju refleksi
Sikap awal bisa pro atau kontra atau juga netral, malah bisa tak acuh, tapi bagaimanapun mula-mula sikap ini dalam keadaan belum direfleksikan. Sikap awal trebentuk karena bermacam-macam faktor yang memainkan peranan dalam hidup seorang manusia: pendidikan, kebudayaan, agama, pengalaman pribadi, media massa, watak seseorang, dan banyak hal lain lagi. Sikap awal seperti itu dipertahankan tanpa berfikir lebih panjang sampai saat kita berhadapan dengan suaru peristiwa atau suatu keadaan yang menggugah refleksi kita. Atau bisa juga sikap awal itu menjadi problematic, jika kita bertemu dengan orang yang mempunyai sikap lain tentang masalah yang sama. Contohnya penggunaan energy nuklir mempunyai implikasi etis yang penting oleh banyak orang baru disadari setelah kecelakaan dengan reactor nuklir di Chernobyl, Ukraina, pada 26 April 1986 dan kemudian lagi setelah di Fukushima, Jepang, dua reactor nuklir meledak akibat gempa bumi dan tsunami dahsyat pada 11 Maret 2011. Peristiwa atau keadaan semacam itu dapat membuka mata kita. Pada saat itu sikap awal menjadi problematic dan pemikiran moral kita tergugah. Dengan itu refleksi etis mulai perjalanannya. Hal itu bisa berlangsung dalam hidup pribadi seseorang yang berfikir tentang salah satu masalah etis. Tapi hal yang sama bisa terjadi juga pada skala lebih besar dalam etika terapan yang dijalankan dengan cara sistematis.
2. Informasi
Sikap awal yang pro atau kontra itu sebenarnya masih sangat emosiaonal atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh faktor subjektif yang tidak sesuai dengan kenyataan objektif. Melalui informasi kita dapat mengetahui bagaimana keadaan objektif ini, misalnya diskusi tentang penggunaan energy nuklir untuk membangkitkan listrik sangat dipengaruhi oleh segi-segi ekonomis. Dilihat dari sudut pandangan ekonomi, energy nuklir afalah energy yang relative murah dan karena itu menguntungkan. Itulah sebabnya mengapa segi lain seperti keamanan dan penyimpanan sampah nuklir diremehkan saja, supaya pertimbangan ekonomis bisa menang. Jika kita membatasi diri pada masalah penyimpanan sampah nuklir, sampah itu mengandung radioaktivits selama periode yang panjang sekali. Selama radioaktivitas itu bertahan, bahan itu menjadi ancaman terhadap kehidupan manusia dan kehidupan pada umumnya di planet bumi ini. Data-data ilmiah perlu dikuasai terlebih dahulu sebelum kita bisa membentuk suatu pertimbangan etis tentang dapat dipertanggungjawabkan atau tidak menggunakan energy nuklir dan membangun pusat-pusat tenaga nuklir untuk membangkitkan listrik. Kiranya sudah jelas bahwa informasi yang dibutuhkan dalam masalah seperti ini hanya bisa diberikan oleh ahli-ahli dibidang itu dan sebenarnya bukan oleh sembarang ahli tapi hanya mereka yang berwawasan luas.
3. Norma-norma moral
Tidak bisa disangkal, penerapan norma-norma moral merupakan unsur terpenting dalam metode etika terapan. Penerapan norma-norma tidak berlangsung seperti penerapan prinsip-prinsip teori mekanika dalam teknik. Karena itu nama "etika terapan" sebetulnya bisa menyesatkan dan ada etikawan yang tidak begitu senang dengan nama itu karena alasan tersebut. Tidak boleh diberi kesan seolah-olah norma sendiri sudah siap sedia dan tinggal diterapkan saja. Dalam penelitian etika terapan sering kali norma itu harus tampak dulu atau harus membuktikan diri sebagai norma. Norma bersangkutan harus diterima oleh semua orang sebagai berlaku untuk kasus atau bidang tertentu. Pembetukan moral sering dimulai oleh suatu kelompok kecil, misalnya parta politik atau lembaga swadaya masyarakat yang memperjuangkan suatu pandangan etis yang tertentu. Melalui perjuangan yang sering kali panjang, pandangan mereka akhirnya diterima sebagai suatu pandangan etis yang berlaku bagi umum. Dalam sejarah etika terlihat banyak contoh. Salah satu contoh yang jelas adalah penghapusan perbudakan.
4. Logika
Logika juga memperlihatkan bagaimana dalam suatu argumentasi tentang masalah moral perkaitan kesimpulan etis dengan premis-premisnya dan juga apakah penyimpulan itu tahan uji, jika diperiksa secara kritis menurut aturan-aturan logika. Logika menunjukkan kesalahan penalaran atau inkonsitensi yang barangkali terjadi dalam argumentasi. Logika juga memungkinkan kita untuk melihat definisi dan klasifikasi yang dipakai dalam argumentasi. Definisi yang jelas dan menurut aturan-aturan logika dapat membantu banyak untuk mencapai hasil dalam suatu perdebatan moral. Sebab, definisi ini menjadi titik tolak yang mengarahkan seluruh diskusi.
D. Relasi etika dan filsafat
Etika berhubungan dengan akhlak dan pribadi setiap manusia / individu, etika juga bersifat sebagai sesuatu hal yang dapat dikatakan lazim dan memang sudah seharusnya melekat dalam diri manusia. Manusia yang tidak memiliki etika tidak akan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut terjadi karena didalam kehidupan sehari – hari etika diperlukan sebagai salah satu pedoman atau batasan dalam pergaulan. Jadi dapat dibayangkan jika manusia tanpa etika, manusia tersebut tidak akan bisa hidup berdampingan dengan manusia lain yang ada di sekitarnya. Etika juga erat kaitannya dengan sikap sopan santun. Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Hubungan antara Etika dan Filsafat menurut saya adalah bahwa etika merupakan salah satu hal yang dihasilkan dari adanya filsafat. Seperti definisi diatas, filsafat berkaitan dengan pandangan hidup manusia akan suatu kebenaran. Dan dalam definisi etika dikatakan bahwa etika berhubungan dengan moral manusia dan tingkah laku yang sopan dan santun. Jadi filsafat menghasilkan etika dan dibenarkan bahwa etika itu ada dalam diri manusia dan seharusnya dimiliki oleh setiap manusia dalam kehidupannya sebagai pedoman dalam pergaulan dilingkungannya. Jadi hubungan antara etika dengan filsafat sangat erat. Jika tidak ada filsafat maka etika pun juga tidak akan terbentuk.
Sumber:
Bertens, K. Etika. Gramedia Pustaka Utama. Ciputat: 1993.
Said, Muhammad. Etik Masyarakat Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta Pusat: 1980.