Senin, 16 Maret 2015

NAMA           : FIRDHA AULIYA RAHMAH

NIM                : 1112052000021

PRODI           : BPI 6

 

Paradigma dalam peneletian kualitatif

Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur atau bagaimana bagian-bagian berfungsi. Menurut Thomas Kuhn (1962) dalam Meolong paradigm adalah contoh yang diterima tentang praktek ilmiah sebenarnya, contoh-contoh termasuk hokum, teori aplikasi, dan instrumentasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmia. Penelitian yang pelaksanaannya menggunakan aturan dan standar praktik ilmiah yang sama. Berdasarkan definisi Kuhn (1962), Harmon (1970) mendefinisikan bahwa paradigm merupakan cara mendasar untuk mempersepsi, berfikir, menilai, dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu sesuatu secara khusus tentang visi realitas.

Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu adalah scientific paragigems (paradigma keilmuan atau lebih sering paradigma ilmiah) dan naturalistic paradigm (paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivism, sedangkan paradigma alamiah bersumber dari pandangan fenomenologis. Penelitian kualitatif dibangun dari para digma alamiah. Paradigma alamiah awalnya bersumber dari pandangan Max Weber dan Irwin Deutcher yang lebih dikenal dengan pandangan fenomenologis. Fenomenologis berusaha memahami perilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak dari perspektif orang itu sendiri atau yang dipikirkan oleh orang itu sendiri.

Dalam penelitian kualitatif, paradigma penelitian sering dibuat dalam bentuk skematik. Paradigma yang digambarkan dalam bentuk skematik akan menceritakan alur penelitian yang dilakukan. Apabila peneliti menggunakan paradigma tertentu yang telah dibuat atau rumuskan oleh orang lain sebagai landasan penelitiannya, maka peneliti harus mengemukakan paradigma tersebut dalam kutipan.

A.    Pandangan Dunia Post Positivisme

Kaum post positivism mempertahankan filsafat deterministic bahwa sebab-sebab (factor-faktor kausatif) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil ahir. Terdapat asumsi menurut Philips dan Burbules (2000), yang menjelaskan asumsi dasar yang menjadi inti dalam paradigma penelitian post-positivis, antara lain:

·         Pengetahuan bersifat konjektural/ terkaan (dan antifondasional/tidak berlandaskan apa pun), bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran absolut. Untuk itulah, bukti yang dibangun dalam sering kali lemah dan tidak sempurna.

·         Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi tersebut menjadi ''klaim klaim lain'' yang kebenarannya jauh lebih kuat.

·         Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis.

·         Peneletian harus mampu mengembangkan statmen-statmen yang relevan dan benar, statmen-statmen yang dapat menjeleskan situasi yang sebenarnya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan.

·         Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif, para peneliti harus menguji kembali m,etode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias.

B.     Pandangan Dunia Kontruktivisme Sosial

Kontruktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerrja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu. Makna-makna ini pun cukup banyak dan beragam sehingga peneliti dituntut untuk lebih mencari kmopleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sejumlah kategori dan gagasan. Makna-makna subjektif sering kali dinegosiasi secara sosial dan historis. Makna-makna itu juga harus ditekankan pada konteks tertentu dimana individu-individu ini tinggal dan bekerja agar peneliti dapat memahami latar belakang historis dan cultural mereka.

 Terkait dengan konstruktivisme ini, Crooty (1998) memperkenalkan sejumlah asumsi:

·         Makna-makna dikonstruksi oleh manusia oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang telah mereka tafsirkan.

·         Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha memahaminya berdasarkan perspektif historis dan sosial mereka sendiri, kita semua dilahirkan ke dunia makna (world of meaning) yang dianugerahkan oleh kebudayaan di sekeliling kitra.

·         Yang menciptakan makna pada dasrnya adalah lingkungan sosial, yang muncul didalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia.

 

C.    Pandangan Dunia Advokasi dan Partisipatoris

Pandangan dunia advokasi/partisipatoris focus pada kebutuhan-kebutuhan suatu kelompok atau individu tertentu yang mungkin termaginalkan secara sosial. Untuk itulah tidak menutup kemungkinan diintegrasikanya pandangan dunia ini dengan perspektif-perspektif lain yang mengkonstruksi suatu gambaran tentang isu-isu atau masalah-masalah yang hendak diteliti, orang-orang yang diselidiki, dan perubahan-peruhan yang diinginkan.

Menurut Kemmis dan Wilkinson (1998) tentang karakteristik-karakteristik inti dari penelitian advokasi atau partisipatoris yaitu:

·         Tindakan partisipatoris bersikap dialektis dan difokuskan untik membawa perubahan.

·         Peneliti ini ditekankan untuk membantu individu-individu agar bebas dari kendala-kendala yang muncul dari media, bahasa, aturan-aturan kerja, dan relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan.

·         Peneliti ini bersifat emansipatoris yang berarti bahwa penelitian ini ini membantu membebaskan manusia dari ketidakadilan-ketidakadilan yang dapat membatasi membatasi perkembanagan dan determinasi diri.

·         Penelitian ini juga bersifat praktis dan kolaboratif karena ia hanya dapat sempurna jika dikolaborasikan dengan penelitian-penelitian dan bukan menyempurnakan penelitian-penelitian lain.

 

 

 

D.    Pandangan Dunia Pragmatis

Pragmatisme sebagai pandangan dunia lahir dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuensi yang sudah ada, dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya (seperti dalam post-positivisme). Pandangan dunia ini berpijhak pada aplikasi-aplikasi dan solusi-solusi atas problem-problem yang ada (Patton, 1990).

Berdasarkan kajian Cherryholmes, Morgan dan pandangan saya pribadi, pragmatism pada hakikatnya merupakan dasar filosofis untuk setiap bentuk penelitian, khususnya penelitian metode campuran:

1.      Pragmatism tidak hanya diterapkan untuk satu sistem filsafat atau realistis saja.

2.      Setiap peneliti memiliki kebebasan memilih.

3.      Kaum pragmatis tidak melihat dunia sebagai kesatuan yang mutlak.

4.      Kebenaran adalah apa yang terjadi pada saat itu.

5.      Para peneliti pragmatis selalu melihat apa dan bagaimana meneliti, seraya mengetahui apa saja akibat-akibat yang akan mereka terima kapan dan dimana mereka harus menjalankan penelitian tersebut.

6.      Kaum pragmatis setuju bahwa penelitian selalu muncul dalam konteks sosial, historis, politis, dan lain sebagainya.

7.      Kaum pragmatis percaya akan dunia eksternal yang berada di luar pikiran sebagaimana yang berada di dalam pikiran manusia.

8.      untuk itulah, bagi para peneliti metode campuran, pragmatism dapat membuka pintu untuk menerapkan metode-metode yang beragam, pandangan dunia yang berbeda-beda, dan asumsi-asumsi yang bervariasi, serta bentuk-bentuk yang berbeda dalam pengumpulan dan analisa data.

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ø  Tohirin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Pendidikan Dan Bimbingan Konseling. Jakarta: RajaGrafindo.

Ø  W. Creswell, John. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini