NAMA : WIDYANTI AGUSTINA
NIM : 1112052000028
JURUSAN : BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM/6
MATKUL : METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF
Pandangan-Dunia Post-positivisme
Asumsi-asumsi post-positivis mempresentasikan bentuk tradisional penelitian, yang kebenarannya lebih sering disematkan untuk penelitian kuantitatif ketimbang penelitian kualitatif. Pandangan-dunia ini terkadang disebut sebagai metode saintifik atau penelitian sains. Ada juga yang menyebutnya sebagai penelitian positivis/post-positivis, sains empiris, dan post-positivisme. Istilah terakhir disebut post-positivisme karena ia mempresentasikan pemikiran post-positivisme, yang menentang gagasan tradisional tentang kebenaran absolut ilmu pengetahuan (Phillips & Burbules, 2000), dan mengakui bahwa kita tidak bisa terus menjadi "orang yang yakin/positif" pada klaim-klaim kita tentang pengetahuan ketika kita mengkaji perilaku dan tindakan manusia. Dalam perkembangan historisnya, tradisi post-positivis ini lahir dari penulis-penulis abad XIX, seperti Comte, Mill, Durkheim, Newton, dan Locke (Smith, 1983), dan belakangan dikembangkan lebih lanjut oleh penulispenulis seperti Phillips dan Burbules (2000).
Kaum Post-positivis mempertahankan filsafat deterministik bahwa sebab-sebab (faktor-faktor kausatif) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir. Untuk itulah, problem-problem yang dikaji oleh kaum post-positivis mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengidentifikasi faktor-faktor peyebab yang memengaruhi hasil akhir, sebagaimana yang banyak kita jumpai dalam penelitian eksperimen kuantitatif. Filasafat kaum post-positivis juga cenderung reduksionistis yang orientasinya adalah mereduksi gagasan-gagasan besar menjadi gagasan-gagasan terpisah yang lebih kecil untuk diuji lebih lanjut, seperti halnya variabel-variabel yang umumnya terdiri dari sejumlah rumusan masalah dan hipotesis penelitian.
Pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivis selalu didasarkan pada observasi dan pengujian yangs angat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia "luar sana." Untuk itulah, melakuakn observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebgai aktifitas yang sangat penting bagi kaum post-positivis. Akibatnya, muncul hukum-hukum atau teori-teori yang mengaur dunia, yang menuntut adanya pengujian dan verifikasi atas kebenaran-kebenaran teori tersebut agar dunia ini dapat dipahami oleh manusia.. untuk itulah, dalam metode saintifik, salah satu pendekatan penelitian "yang telah disepakati" oleh kaum post-positivis, seorang peneliti harus mengawali penelitiannya dengan menguji teori tertentu, lalu mengumpulkan data baik yang mendukung maupun yang membantah teori tersebut, baru kemudian membuat perbaikan-perbaikan lanjutan sebelum dilakukan pengujian ulang.
Membaca buku Phillips dan Burbules (2000), kita akan menemukan sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti dalam paradigma penelitian post-positivis, antara lain:
1. Pengetahuan bersifat konjektural/terkaan (dan antifondasional/tidak berlandasan apapun) –bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran absolut. Untuk itulah, nukti yang dibangun dalam penelitian seringkali lemah dan tidak sempurna.
2. Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian laim tersebut menjadi "klaim-klaim lain" yang kebenarannya jauh lebih kuat. Sebagian besar penelitian kuantitatif, misalnya, selalu diawali dengan pengujian atas suatu teori.
3. Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instrumen-instrumen pegukuran tertentu yang diisi oleh para partisipan atau dengan melakukan observasi mendalam di lokasi penelitian.
4. Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan.
5. Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif; para peneliti harus menguji kembali metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias. Untuk itulah, dalam penelitian kuantitatif, standar validitas dan reliabilitas menjadi dua aspek penting yang wajib dipertimbangkan oleh peneliti.
Pandangan-Dunia Konstruktivisme Sosial
Gagasan konstruktivisme social berasal dari Mannheim dan buku-buku seperti The social Construction of Reality-nya Berger dan Luekmann (1997) dan Naturalistic inquiry-nya Lincoln dan Guba (1985). Dewasa ini, penulis-penulis yang getol mengkaji paradigm konstruktivisme social antara lain Lincoln dan Guba (2000). Schwandt (2007), Neuman (2000), dan Croty (1998).
Konstruktivisme social meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia dimana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka –makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu. Makna-makna inipun cukup banyak dan beragam segingga peneliti dituntut untuk mencari kompleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sejumlah kategori dann gagaasan.
Kaum konstruktivis setuju dengan pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika "realitas hanya dapat dilihat melalui jendela teori, maka itu hanya dilihat sama melalui jendela. Banyak pengonstruksian dimunkinkan. Hal ini berarti penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti lewat pandangan (jendela atau kaca mata) yang berdasarkan nilai.
Guba menjelaskan tentang konstruktivisme (1990: 26) ialah pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggung jawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah. Artinya, bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupaakan kebenaran yang tetap, tetapi selalu berkembang terus. Berdasarkan beberapa penjelasan Guba yang dikutip diatas, dapat disimpulan bahwa realitas merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tiidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Crotty memperkenalkan asumsi asumsi tentang kontruktivisme (1998), diantaranya:
1. Makna-makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang tengan mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cenderung menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-pandangannya.
2. Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha menemaninya berdasarkan perspektif histiris dan social mereka sendiri. Kita semua dilahirkan kedunia mkana (world of meaning) yang dianugrahkan oleh kebudayaan disekeliling kita. Untuk itulah, para peneliti kualitatif harus memahami konteks atau latar belakang partisipan mereka dengan cara mengunjungi konteks tersebut dan menumpulkan sendiri informasi yang dibutuhkan. Mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah penafsiran yang dibentuk oleh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri.
3. Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif di mana di dalamnya peneliti menciptakan makna dari data-data lapangan yang dikumpulkan.
Pandangan-Dunia Advokasi dan Partisipatoris
Terdapat kelompok lain yang memiliki asumsi-asumsi filosofis berdasarkan pada pendekatan advokasi/partisipatoris. Pendekatan ini muncul sejak 1980-an hingga 1990-an dari sejumlah kalangan yangmeasa bahwa asumsi-asumsi post-positivitis telah membebankan hukum-hukum dan teori-teori struktural yang sering kali tidak sesuai dengan/tidak menyertakan individu-individu yang terpinggirkan dalam masyarakat kita atau isu-isu keadilan sosial yang memang memang perlu dimunculkan. Pandangan-dunia ini tampaknya memang cocok dengan penelitian kualitatif, namun ia juga bisa menjadi dasar untuk penelitian kauntitatif.
Dalam sejarahnya, pembahasan tentang advokasi/partisipatoris (atau emansipatoris) dapat kita jumpai dalam kajian-kajian yang dilakukan oleh penulis-penulis seperti Marx, Adorno, Marcuse, Habermas, dan Freire (Neuman, 2000). Adapun Fay (1987), Heron dan Reason (1997), serta Kemmis dan Wilkinson (1998) merupakan sederet penulis masa kini yang aktif mengkaji perspektif advokasi dan partisipatoris ini. Yang jelas, mereka semua merasa bahwa sikap konstruktivis tidak memadai dalam menganjurkan (mengadvokasi) program aksi untuk membantu orang-orang yang termarjinalkan.
Pandangan-dunia advokasi/partisipatoris berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik dan agenda politis. Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institusi-institusi dimana mereka hidup dan bekerja, dan kehidupan para peneliti sendiri. Di samping itu, pandangan-dunia ini menyatakan bahwa ada isu-isu tertentu yang perlu mendapat perhatian lebih, utamanya isu-isu menyangkut kehidupan sosial dewasa ini, seperti pemberdayaan, ketidakadilan, penindasan, penguasaan, ketertindasan, dan pengasingan. Peneliti dapat mengawali penelitian mereka dengan salah satu dari isu-isu ini sebagai fokus penelitiannya.
Dalam penelitian ini, para peneliti harus bertindak secara kolaboratif agar nantinya tidak ada partisipan yang terpinggirkan dalam hasil penelitian mereka. Bahkan, para partisipan dapat membantu merancang pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, menganalisis informasi, atau mencari hibah-hibah penelitian. Penelitian advokasi menyediakan sarana bagi partisipan untuk menyuarakan pendapat dan hak-hak mereka yang selama ini tergadaikan. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran mereka akan realitas sosial yang sebenarnya atau dapat mengusulkan suatu agenda perubahan demi memperbaiki kehidupan mereka sendiri. Tentu saja, kondisi ini akan mendorong lahirnya satu suara yang bersatu demi reformasi dan perubahan.
Pandangan-dunia filosofis advokasi/partisipatoris fokus pada kebutuhan-kebutuhan suatu kelompok atau individu tertentu yang mungkin termarginalkan secara sosial. Untuk itulah, tidak menutup kemungkinan diintegrasikannya pandangan-dunia ini dengan perspektif-perspektif teoritis lain yang mengkonstruksi suatu gambaran tentang isu-isu /masalah-masalah yang hendak diteliti, orangorang yang diselidiki, dan perubahan-perubahan yang diinginkan, seperti perspektif feminis, diskursus rasialisme, teori kritis, teori queer, dan teori disability.
Ringkasan Kemmis dan Wilkinson (1998 tentang karakteristik-karakteristik inti dari penelitian advokasi atau partisipatoris:
1. Tindakan partisipatoris bersikap dialektis dan difokuskan untuk membawa perubahan. Untuk itulah, pada akhir penelitian advokasi /partisipatoris, para peneliti harus memunculkan agenda aksi demi reformasi dan perubahan.
2. Penelitian ini ditekankan untuk membantu individu-individu agar bebas dari kendala-kendala yang muncul dari media, bahasa, aturan-aturan kerja, dan relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan. Penelitian advoaksi/partisipatoris sering kali dimulai dengan satu isu penting atau sikap tertentu terhadap masalah-masalah sosial, seperti pemberdayaan.
3. Penelitian ini bersifat emansipatoris yang berarti bahwa penelitian ini membantu membebaskan manusia dari ketidakadilan-ketidakadilan yang dapat membatasi perkembangan dan determinasi diri. Penelitian advokasi/partisipatoris bertujuan untuk menciptakan perdebatan dan diskusi politis untuk menciptakan perubahan.
4. Penelitian ini juga bersifat praktis dan kolaboratif karena ia hanya dapat sempurna jika dikolaborasikan dengan penelitian-penelitian lain, bukan menyempurnakan penelitian-penelitian yang lain. Dengan spirit inilah para peneliti advokasi/partisipatoris melibatkan para partisipan sebagai kolaborator aktif dalam penelitian mereka.
Pandangan-Dunia Pragmatik
Prinsip lain berasal dari kelompok pragmatis. Pragmatisme ini berawal dari kajian Peirce, James, Mead, dan Dewey (Cherryholmes, 1992). Penulis-penulis kontemporer yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Rorty (1990), Murphy (1990), dan Cherryholmes (1992). Paradigm filosofis yang satu ini memiliki banyak bentuk, tetapi pada umumnya pragmatisme sebagai pandangan dunia lahir dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuensi yang sudah ada, dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya (seperti dalam post-positivisme). Pandangan dunia ini berpijak pada aplikasi-aplikasi dan solusi-solusi atas problem-problem yang ada (patton, 1990). Ketimbang focus pada metode-metode, para peneliti pragmatic lebih menekankan pada metode-metode, para peneliti pragmatic lebih menekankan pada pemecahan masalah dan menggunakan semua pendekatan yang ada untuk memahami masalah tersebut (lihat Rosman&Wilson, 1985).
Sebagai salah satu paradigm filosofis untuk penelitian metode campuran, Tashakkori dan Teddlie (1998), Morgan (2007), dan Patton (1990) menekankan pentingnya paradigma pragmatic ini bagi para peneliti metode campuran, yang pada umumnya harus berfokus pada masalah-masalah penelitian dalam ilmu sosial humaniora, kemudian menggunakan pendekatan yang beragam untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang problem-problem tersebut. Berdasarkan kajian Cherryholmes (1992), Morgan (2007), dan pandangan saya pribadi, pragmatisme pada hakikatnya merupakan dasar filosofis untuk setiap bentuk penelitian, khususnya penelitian metode campuran:
1. Pragmatisme tidak hanya diterapkan untuk satu sistem filsafat atau realitas saja. Pragmatisme dapat digunakan untuk penelitian metode campuran yang didalamnya para peneliti bisa dengan bebas melibatkan asumsi-asumsi kuantitatif dan kualitatif ketika terlibat dalam sebuah penelitian.
2. Setiap peneliti memiliki kebebasan memilih. Dalam hal ini, mereka bebas untuk memilih metode-metode, teknik-teknik, dan prosedur-prosedur penelitian yang dianggap terbaik untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan mereka.
3. Kaum pragmatis tidak melihat dunia sebagai kesatuan yang mutlak. Artinya, para peneliti metode campuran dapat menerapkan berbagai pendekatan dalam mengumpulkan dan menganalisis data ketimbang hanya menggunakan satu pendekatan saja (jika tidak kuantitatif, selalu kualitatif).
4. Kebenaran adalah apa yang terjadi pada saat itu. Kebenaran tidak didasarkan pada dualis antara kenyataan yang berada di luar pikiran dan kenyataan yang ada dalam pikiran. Untuk itulah, dalam penelitian metode campuran, para peneliti menggunakan data kuantitatif dan kualitatif karena mereka meneliti untuk memiliki pemahaman yang baik terhadap masalah penelitian.
5. Para peneliti pragmatis selalu melihat apa dan bagaimana meneliti, seraya mengetahui apa saja akibat-akibat yang akan mereka terima kapan dan di mana mereka harus menjalankan penelitian tersebut. Untuk itulah, para peneliti metode campuran pada umumnya selalu memiliki tujuan atas pencampuran (mixing) ini, sejenis alasan mengapa data kuantitatif harus dicampur menjadi satu.
6. Kaum pragmatis setuju bahwa penelitian selalu muncul dalam konteks sosial, historis, politis, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, penelitian metode campuran bisa saja beralih pada paradigm post-modern, suatu pandangan teoritis yang reflektif terhadap keadilan sosial dan tujuan-tujuan politis.
7. Kaum pragmatis percaya akan dunia eksternal yang berada di luar pikiran sebagaimana yang berada di dalam pikiran manusia. Mereka juga percaya bahwa kita harus berhenti bertanya tentang realitas dan hokum alam (Cherryholmes, 1992). Bahkan,"Mereka sepertinya ingin mengubah subjek" (Rorty, 1983: xiv).
8. Untuk itulah, bagi para peneliti metode campuran, pragmatisme dapat membuka pintu untuk menerapkan metode-metode yang beragam, pandangan dunia yang berbeda-beda, dan asumsi-asumsi yang bervariasi, serta bentuk-bentuk yang berbeda dalam pengumpulan dan analisis data.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar