NAMA : HILYATI FIJRIYAH
NIM : 1112052000035
JURUSAN : BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM/6
MATKUL : METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF
PARADIGMA DALAM METODE KUALITATIF
A.Post-Positivisme
· Determinasi
Adalah mempersentasikan pemikiran post-positivisme yang menentang gagasan tradisional tentang kebenaran absolut ilmu pengetahuan (Phillips &Burbules, 2000), dan mengakui bahwa kita tidak bisa terus menjadi "orang yang yakin/positif" pada klaim-klaim kita tentang pengetahuan ketika kita mengkaji perilaku dan tindakan manusia. Dalam perkembangan historisnya, terjadi post-positivis ini lahir dari penulis-penulis abad XIX, seperti Comte, Mill, Durkheim, Newton, dan Locke, (Smith, 1983), dan belakangan dikembangkan lebih lanjut oleh penulis-penulis seperti Phillips dan Burbules (2000).
Kaum Post-Positivis mempertahankan filsafat deterministic bahwa sebab-sebab (faktor-faktor kausatif) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir. Untuk itulah, problem-problem yang dikaji oleh kaum post-positivis mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengidentifikasikan faktor-faktor penyebab yang memengaruhi hasil akhir, sebagaimana yang banyak kita jumpai dalam penelitian eksperimen kuantitatif. Filsafat kaum post-positivis juga cenderung reduksionistis yang orientasinya adalah mereduksi gagasan-gagasan besar menjadi gagasan-gagasan terpisah yang lebih kecil untuk diuji lebih lanjut, seperti halnya variable-variabel yang umumnya terdiri dari sejumlah rumusan masalah dan hipotesis penelitian.
· Observasi dan Pengujian Empiris
Pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivis selalu didasarkan pada observasi dan pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia "luar sana". Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang amat penting bagi kaum post positivis. Akibatnya, muncul hukum-hukum atau teori-teori yang menuntut adanya pengujian dan verifikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dunia ini agar dapat dipahami oleh manusia. Untuk itulah, metode saintifik adalah salah satu pendekatan penelitian "yang telah disepakati" oleh kaum post-positivis, seorang peneliti harus mengawali penelitiannya dengan menguji teori tertentu, lalu mengumpulkan data baik yang mendukung maupun yang membantah teori tersebut, baru kemudian membuat perbaikan-perbaikan lanjutan sebelum dilakukan pengujian ulang.
Buku Phillips dan Burbules (2000) ditemukan sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti dalam paradigm penelitian post-posistivis, antara lain:
1. Pengetahuan bersifat konjektural/terkaan (dan antifindasional/ tidak berlandasan apapun) bahwa kita tidak pernah mendapatkan kebenaran absolut. Untuk itulah, bukti yang dibangun dalam penelitian sering kali lemah dan tidak sempurna. Karena alasan ini pula, banyak peneliti yang berujar bahwa mereka tidak dapat membuktikan hipotesisnya, bahkan tak jarang mereka juga gagal untuk menyangkal hipotesisnya.
2. Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi "klaim-klaim lain" yang kebenarannya jauh lebih kuat. Sebagian besar penelitian kuantitatif, misalnya selalu diawali dengan pengujian atas suatu teori.
3. Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instrument-instrumen dengan ukuran tertentu yang diisi oleh para partisipan atau dengan melakukan observasi mendalam di lokasi penelitian.
4. Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang relevan dan benar, statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti membuat relasi antarvariabel dan mengemukakannya dalam bentuk pertanyaan dan hipotesis.
5. Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif: para peneliti harus menguji kembali metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengundang bias. Untuk itulah, dalam penelitian kuantitatif , standar validitas dan reabilitas menjadi dua aspek penting yang wajib dipertimbangkan oleh peneliti.
B. Konstruktivisme Sosial
Kelompok lain memiliki pandang dunia yang berbeda. Salah satunya adalah pandangan dunia konstruktivisme sosial (yang sering kali dikombinasikan dengan interpretivisme) (lihat Mertens), 1998). Pandangan-dunia ini biasanya dipandang sebagai suatu pendekatan dalam penelitian kualitatif. Gagasan konstruktivisme sosial berasal dari Mannheim dan buku-buku seperti The social Constuction of Reality-nya Berger dan Luekmann (1967) dan Naturalistic Inquiry-nya Lincoln dan Guba (1985). Dewasa ini, penulis-penulis yang getol mengkaji paradigm konstruksivisme sosial antara lain Lincoln dan Guba (2000), Schwandt (2007), Neuman (2000), dan Crotty (1998).
Konstruksivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia dimana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka. Makna-makna ini pun cukup banyak dan beragam sehingga peneliti dituntut untuk lebih mencari kompleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sejumlah kategori dan gagasan. Peneliti berusaha mengandalkan sebanyak mungkin pandangan partisipan tentang situasi yang telah diteliti . untuk mengeksplorasi pandangan-pandangan ini, pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi sangat luas dan umum sehingga partisipan dapat mengkonstruksi makna atas situasi tersebut, yang biasanya tidak asli atau tidak dipakai dalam interaksi dengan orang lain. Semakin terbuka pertanyaan tersebut tentu akan semakin baik, agar peneliti bisa mendengarkan dengan cermat apa yang dibicarakan dan dilakukan partisipan dalam kehidupan mereka.
Makna-makna subjektif ini sering kali dinegoisasi secara sosial dan historis. Makna-makna ini tidak sekedar dicetak untuk kemudian dibagikan kepada individu-individu, tetapi harus dibuat melalui interaksi dengan mereka (karena itulah dinamakan konstruktivisme sosial) dan melalui norma-norma historis dan sosial yang berlaku dalam kehidupan mereka sehari-hari. Makna-makna itu juga harus ditekankan pada konteks tertentu di mana individu-individu ini tinggal dan bekerja agar peneliti dapat memahami latar belakang historis dan kultural mereka.
Para peneliti juga perlu menyadari bahwa latar belakang mereka dapat memengaruhi penafsiran mereka terhadap hasil penelitian. Untuk itulah, ketika melakukan penelitian, mereka harus memosisikan diri mereka sedemikian rupa seraya mengakui dengan rendah hati bahwa interpretasi mereka tidak pernah lepas dari pengalaman pribadi, kultural, dan historis mereka sendiri. Dalam konteks konstruktivisme, peneliti memiliki tujuan utama, yakni berusaha memaknai (atau menafsirkan) makna-makna yang dimiliki orang lain tentang dunia ini. ketimbang mengawali penelitiannya dengan suatu teori (seperti dalam post-positivisme), peneliti sebaiknya membuat atau mengembangkan suatu teori atau pola makna tertentu secara induktif.
Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty (1998) memperkenalkan sejumlah asumsi:
1. Makna-makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang tengan mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cenderung menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-pandangannya.
2. Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha menemaninya berdasarkan perspektif histiris dan social mereka sendiri. Kita semua dilahirkan kedunia mkana (world of meaning) yang dianugrahkan oleh kebudayaan disekeliling kita. Untuk itulah, para peneliti kualitatif harus memahami konteks atau latar belakang partisipan mereka dengan cara mengunjungi konteks tersebut dan menumpulkan sendiri informasi yang dibutuhkan. Mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah penafsiran yang dibentuk oleh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri.
3. Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif di mana di dalamnya peneliti menciptakan makna dari data-data lapangan yang dikumpulkan.
C. Advokasi Partisipatoris
Pandangan-dunia advokasi/partisipatoris berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik dan agenda politis. Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institusi-institusi dimana mereka hidup dan bekerja, dan kehidupan para peneliti sendiri. Di samping itu, pandangan-dunia ini menyatakan bahwa ada isu-isu tertentu yang perlu mendapat perhatian lebih, utamanya isu-isu menyangkut kehidupan sosial dewasa ini, seperti pemberdayaan, ketidakadilan, penindasan, penguasaan, ketertindasan, dan pengasingan. Peneliti dapat mengawali penelitian mereka dengan salah satu dari isu-isu ini sebagai fokus penelitiannya.
Dalam penelitian ini, para peneliti harus bertindak secara kolaboratif agar nantinya tidak ada partisipan yang terpinggirkan dalam hasil penelitian mereka. Bahkan, para partisipan dapat membantu merancang pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, menganalisis informasi, atau mencari hibah-hibah penelitian. Penelitian advokasi menyediakan sarana bagi partisipan untuk menyuarakan pendapat dan hak-hak mereka yang selama ini tergadaikan. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran mereka akan realitas sosial yang sebenarnya atau dapat mengusulkan suatu agenda perubahan demi memperbaiki kehidupan mereka sendiri. Tentu saja, kondisi ini akan mendorong lahirnya satu suara yang bersatu demi reformasi dan perubahan.
Pandangan-dunia filosofis advokasi/partisipatoris fokus pada kebutuhan-kebutuhan suatu kelompok atau individu tertentu yang mungkin termarginalkan secara sosial. Untuk itulah, tidak menutup kemungkinan diintegrasikannya pandangan-dunia ini dengan perspektif-perspektif teoritis lain yang mengkonstruksi suatu gambaran tentang isu-isu /masalah-masalah yang hendak diteliti, orangorang yang diselidiki, dan perubahan-perubahan yang diinginkan, seperti perspektif feminis, diskursus rasialisme, teori kritis, teori queer, dan teori disability.
Ringkasan Kemmis dan Wilkinson (1998 tentang karakteristik-karakteristik inti dari penelitian advokasi atau partisipatoris:
1. Tindakan partisipatoris bersikap dialektis dan difokuskan untuk membawa perubahan. Untuk itulah, pada akhir penelitian advokasi /partisipatoris, para peneliti harus memunculkan agenda aksi demi reformasi dan perubahan.
2. Penelitian ini ditekankan untuk membantu individu-individu agar bebas dari kendala-kendala yang muncul dari media, bahasa, aturan-aturan kerja, dan relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan. Penelitian advoaksi/partisipatoris sering kali dimulai dengan satu isu penting atau sikap tertentu terhadap masalah-masalah sosial, seperti pemberdayaan.
3. Penelitian ini bersifat emansipatoris yang berarti bahwa penelitian ini membantu membebaskan manusia dari ketidakadilan-ketidakadilan yang dapat membatasi perkembangan dan determinasi diri. Penelitian advokasi/partisipatoris bertujuan untuk menciptakan perdebatan dan diskusi politis untuk menciptakan perubahan.
4. Penelitian ini juga bersifat praktis dan kolaboratif karena ia hanya dapat sempurna jika dikolaborasikan dengan penelitian-penelitian lain, bukan menyempurnakan penelitian-penelitian yang lain. Dengan spirit inilah para peneliti advokasi/partisipatoris melibatkan para partisipan sebagai kolaborator aktif dalam penelitian mereka.
D. Pragmatis
Prinsip lain berasal dari kelompok pragmatis. Pragmatisme ini berawal dari kajian Peirce, James, Mead, dan Dewey (Cherryholmes, 1992). Penulis-penulis kontemporer yang termasuk dalam kelompok ini antara lain Rorty (1990), Murphy (1990), dan Cherryholmes (1992). Paradigm filosofis yang satu ini memiliki banyak bentuk, tetapi pada umumnya pragmatisme sebagai pandangan dunia lahir dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuensi yang sudah ada, dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya (seperti dalam post-positivisme). Pandangan dunia ini berpijak pada aplikasi-aplikasi dan solusi-solusi atas problem-problem yang ada (patton, 1990). Ketimbang focus pada metode-metode, para peneliti pragmatic lebih menekankan pada metode-metode, para peneliti pragmatic lebih menekankan pada pemecahan masalah dan menggunakan semua pendekatan yang ada untuk memahami masalah tersebut (lihat Rosman&Wilson, 1985).
Sebagai salah satu paradigm filosofis untuk penelitian metode campuran, Tashakkori dan Teddlie (1998), Morgan (2007), dan Patton (1990) menekankan pentingnya paradigma pragmatic ini bagi para peneliti metode campuran, yang pada umumnya harus berfokus pada masalah-masalah penelitian dalam ilmu sosial humaniora, kemudian menggunakan pendekatan yang beragam untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang problem-problem tersebut. Berdasarkan kajian Cherryholmes (1992), Morgan (2007), dan pandangan saya pribadi, pragmatisme pada hakikatnya merupakan dasar filosofis untuk setiap bentuk penelitian, khususnya penelitian metode campuran:
1. Pragmatisme tidak hanya diterapkan untuk satu sistem filsafat atau realitas saja. Pragmatisme dapat digunakan untuk penelitian metode campuran yang didalamnya para peneliti bisa dengan bebas melibatkan asumsi-asumsi kuantitatif dan kualitatif ketika terlibat dalam sebuah penelitian.
2. Setiap peneliti memiliki kebebasan memilih. Dalam hal ini, mereka bebas untuk memilih metode-metode, teknik-teknik, dan prosedur-prosedur penelitian yang dianggap terbaik untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan mereka.
3. Kaum pragmatis tidak melihat dunia sebagai kesatuan yang mutlak. Artinya, para peneliti metode campuran dapat menerapkan berbagai pendekatan dalam mengumpulkan dan menganalisis data ketimbang hanya menggunakan satu pendekatan saja (jika tidak kuantitatif, selalu kualitatif).
4. Kebenaran adalah apa yang terjadi pada saat itu. Kebenaran tidak didasarkan pada dualis antara kenyataan yang berada di luar pikiran dan kenyataan yang ada dalam pikiran. Untuk itulah, dalam penelitian metode campuran, para peneliti menggunakan data kuantitatif dan kualitatif karena mereka meneliti untuk memiliki pemahaman yang baik terhadap masalah penelitian.
5. Para peneliti pragmatis selalu melihat apa dan bagaimana meneliti, seraya mengetahui apa saja akibat-akibat yang akan mereka terima kapan dan di mana mereka harus menjalankan penelitian tersebut. Untuk itulah, para peneliti metode campuran pada umumnya selalu memiliki tujuan atas pencampuran (mixing) ini, sejenis alasan mengapa data kuantitatif harus dicampur menjadi satu.
6. Kaum pragmatis setuju bahwa penelitian selalu muncul dalam konteks sosial, historis, politis, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, penelitian metode campuran bisa saja beralih pada paradigm post-modern, suatu pandangan teoritis yang reflektif terhadap keadilan sosial dan tujuan-tujuan politis.
7. Kaum pragmatis percaya akan dunia eksternal yang berada di luar pikiran sebagaimana yang berada di dalam pikiran manusia. Mereka juga percaya bahwa kita harus berhenti bertanya tentang realitas dan hukum-hukum alam (Cherryholmes, 1992). Bahkan,"Mereka sepertinya ingin mengubah subjek" (Rorty, 1983: xiv).
8. Untuk itulah, bagi para peneliti metode campuran, pragmatisme dapat membuka pintu untuk menerapkan metode-metode yang beragam, pandangan dunia yang berbeda-beda, dan asumsi-asumsi yang bervariasi, serta bentuk-bentuk yang berbeda dalam pengumpulan dan analisis data.
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar