Senin, 16 Maret 2015

Tugas 1 Sosped Isu-isu Penting Desa

Nama             : Ilmam Fachri Zen

Jurusan        : Pengembangan Masyarakat Islam

Semester      : Dua

 

Pendahuluan

 

Isu-isu penting dalam warga Lampung dan kedudukan kaum pendatang memiliki dasar yang genealogis yang tegas. Sosiologi terutama menelaah gejala-gejala dalam masyarakat, lembaga sosial, proses sosial, perubahan sosial dan perwujudannya. Ekologis suatu marga terdiri atas "pekon-pekon", tempat perkampungan yang tersebar letak nya dll. Dasarnya adat Lampung adalah bahwa kedudukan kepala kelompok diwariskan dengan pemilihan.


Pembahasan

 

Menurut cerita yang dicatat oleh Van Royen, golongan adat Lampung mempunyai daerah asal di Pegunungan Bukit Barisan disekitar gunung Ranau (Belanau Segalaberak). Dengan menyusur lembah, sungai-sungai mereka sambil berladang, berpindah ke dataran dataran renda, ada yang kea rah Muradua (Palembang) dimana gerakan itu dihalau kembali dan ada yang sampai ke daerah yang sekarang bernama Lampung. Kelompok-kelompok yang tersebar di daerah Belalau, sesudah berkembang atas berbagai cabang keturunan. Konon pernah mengenal 4 atau 6 "ratu" di Lampung. Percabangan-percabanagan daripadanya menjadikan orang kemudian membeda-bedakan "suku asal", yang bercabang-cabang lagi atas "buai" dan atas "suku".

 

Kesatuan territorial disebut "marga" yang bertepatan dengan wilayah kekuasaan "suku asal". Kelompok-kelompok "buai" bertempat tinggal terbagi-bagi atas berbagai "pekon"  (tujuh, "anak-anak kampong). Bagaimanakah terjadinya pekon didalam susunan adat Lampung? Dasar genealogis disitu menjadi syarat. Misalnya suatu "pekon" dapat terjadi dari sebuah "umbulan". "Nuwa" yang mula-mula mendiami "umbulan" itu karena berkembang biak menjadi "cangkai" dan makin permanen, menetap disitu meminta pengakuan sebagai "suku" baru. Hal ini pemisahan diri  dari suku yang lama. Sesudah izin untuk itu didapat wakil-wakil suku yang ada. Barulah didalam suatu upacara adat wakil tertua dari calon calon suku itu diangkat menjadi "penyimbang" dari suku baru itu dengan "naik pepadon". "pepadon" itu berupa bangku, tempat duduk memperlambangkan kedudukan adat yang penting darin penyimbang. Kemudian dengan upacara adat pula, "umbulan" itu diresmikan menjadi "pekon". Tiap langkah mencapai pengakuan yang penuh disertai dengan syarat pembayaran uang adat (dau) yang dibagi antara "penyimbang-penyimbang" dan ada persembahan persembahan lain seperti pemotongan kerbau serta jamuan makan kepada para tamu yang diundang.

Pemisahan diri suatu bagian suku dapat pula dihubungkan dengan dorongan ekonomis. Jumlah orang bertambah, sehingga untuk mendapat nafkah, "ranting-ranting" yang lebih muda terpaksa pergi ke lading yang jauh. 

 

Pengaruh apakah yang datang dari luar dari kekuasaan-kekuasaan sentral yang kuat? Sebab susunan genealogis itu kemudian hanya mengenal "lingkungan kekuasaan ratu" sebagai cerita cerita legendaries . yang paling nyata sering tinggallah pertama-tama masyarakat adat di pekon kemudian barulah "marga". Didalam perpecahan pekon itu sering kekuasaan dari luar yang lebih kuat memasukkan pengaruhnya yang untuk 4 masa abad terakhir, tak lain adalah kekuasaan Sultan Banten dan kemudian Belanda (VOC). Sampai kurang lebih tiga seperempat abad campur tangan langsung dari pemerintah Hindia Belanda di Lampung dilakukan dengan sama sekali tak mengindahkan susuanan adat penduduk setempat. . akhirnya pada 1928 pemerintah Hindia Belanda mengakui "marga" di Lampung sebagai Inlandse gemeente , daerah otonomi tingkat terbawah. Ini bukan hanya semata-mata karena hendak mengindahkan susunan adat penduduk, melainkan juga karena pertimbangan-pertimbangan kekuasaan suatu pemerintahan sentral yang mau bersambung ke bawah.

 

Bagaimanakah orang-orang luar bukan anggota masyarakat adat dapat masuk dan ikut berusaha diatas tanah wilayah marga? Yang dimaksud disini khususnya memungkinkan pembentukan kampong baru yang terdiri dari orang orang pendatang yang menetap.  Untuk kampong-kampung baru orang-orang Jawa dibawah marga, ada perbedaan antara "ikatan marga" (hubungan pemerintahan) dan ikatan adat. Yang belakangan ini tidak dengan sendirinya terbuka bagi orang-orang pendatang Jawa yang membawa susunan adat sendiri. Untuk memasuki susunan adat Lampung yang dasar-dasarnya genealogis masih kuat, perlu syarat pengakuan masyarakat "desa Jawa" sebagai "suku baru".

 

Bagaimanakah perkembangan terakhir dalam hal ini ? beberapa perubahan dalam susunan pemerintahan di Lampung sudah terjadi sejak 1942 dengan perginya pejabat pejabat Belanda diganti dengan penguasa-penguasa Jepang. Hilangnya dualism baru terjadi sesudah dicapai kemerdekaan 1945. Yang mengenal satu macam susunan pemerintahan seperti yang terdapat di Jawa. Dari residen kebawah : bupati, wedana dan camat. Ditingkat bawah, susunan marga tetap ada, sampai datang peraturan residen Lampung membentuk "negeri". Dalam susunanya ia mirip dengan marga. Ada kepala negeri dan dewan negeri . bedanya anggota-anggota dewan dipilih dengan pemilihan umum  dan kepala kepala kampong juga dengan pemilihan umum. Kepala kampung menjadi pejabat eksekutif di kampung masing masing


Penutup

 

Golongan adat Lampung mempunyai daerah asal di Pegunungan Bukit Barisan disekitar gunung Ranau. Kelompok-kelompok yang tersebar di daerah Belalau, sesudah berkembang atas berbagai cabang keturunan. Konon pernah mengenal 4 atau 6 "ratu" di Lampung. Percabangan-percabanagan daripadanya menjadikan orang kemudian membeda-bedakan "suku asal", yang bercabang-cabang lagi atas "buai" dan atas "suku". Pengaruh dari luar menyebabkan terjadinya perpecahan dalam pekon. Cara untuk menjadi masyarakat di daerah marga adalah dengan izin menetap kepada kepala kampung untuk menetap.perkembangan terakhir dalam hal ini ialah hilangnya dualism dan hanya mengenal satu macam susunan pemerintahan.


Daftar Pustaka

 

J.W. Van Royen; "Note over de Lampungse Marga's." Med. Afd. Bestuurzaken der Buintengew, van het Dept. VVB. Serie B No.7, 1930, hal 2,3

 

Pudjiwati, Sajogyo. 1995. Sosiologi Pedesaan Kumpulan Bacaan.  Yogyakarta:Gadjah Mada University Press

 

Kampto Utomo :"Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Way Sekampung (Lampung)" Th ke-VII, No. 7,8 dan 9. 1958, hal 337-346

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini