Nama : Idha Chusaini
NIM : 1112054000007
Jurusan : PMI3
Matkul : Sosiologi Perkotaan
1. Struktur sosial dalam pandangan sosiologi
-Emile Durkheim
Emile Durkheim berpandangan bahwa struktur sosial itu terdiri dari norma-norma dan nilai-nilai dan melalui sosialisasi kita mempelajari defenisi-defenisi normatif ini, hanya melalui proses ini yang membuat anggota-anggota masyarakat menjalankan kehidupan sosial mereka.
Bagi Durkheim walaupun kita mungkin menganggap dapat memilih perilaku tertentu untuk berinteraksi dengan orang lain, dalam realitasnya pilihan sebenarnya sudah disediakan oleh sistem nilai dan sistem norma untuk kita.
Durkheim mengungkapkan bahwa pencapaian kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial dalam masyarakat yang disebut Solidaritas Sosial, dimantapkan oleh sosialisasi, yang melalui proses tersebut manusia secara kolektif belajar standar-standar atau aturan-aturan perilaku. Hal ini kemudian disebut oleh Durkheim dengan Fakta Sosial.
Fakta Sosial menurut Durkheim berada eksternal (diluar) dan mengendalikan individu-individu. Meski tidak dapat dilihat, struktur aturan-aturan itu nyata bagi individu yang perilakunya ditentukan oleh fakta sosial tersebut. Ini kemudian membuat Durkheim berpendapat bahwa masyarakat memiliki eksistensinya sendiri.
Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
a. Dalam bentuk material, yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, diobservasi. Fakta sosial yang berbentuk material ini adalah bagian dari dunia nyata (external world), contohnya arsitektur dan norma hukum.
b. Dalam bentuk non material, yaitu merupakan fenomena yang bersifat inter subjektif yang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia, contohnya egoisme, altruisme dan opini.
Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe yakni struktur sosial dan pranata sosial. Sifat dan hubungan dari fakta sosial inilah yang menjadi sasaran penelitian sosiologi menurut paradigma fakta sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai keluarga, pemerintah, dsb
- Talcot tparson
Talcott Parson Berpendapat bahwa struktur sosial adalah keterkaitan antarmanusia.
Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Seperti para pendahulunya, Parsons juga menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup. Komponen utama pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berasumsi bahwa setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat dikatakan Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses perubahan.
Bahasan tentang struktural fungsional Parsons akan diawali dengan empat fungsi yang penting untuk semua sistem tindakan. Suatu fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan pada pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Parsons menyampaikan empat fungsi yang harus dimiliki oleh sebuah sistem agar mampu bertahan, yaitu :
1. Adaptasi, sebuah sistem hatus mampu menanggulangu situasi eksternal yang gawat. Sistem harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Pencapaian, sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3. Integrasi, sebuah sistem harus mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4. Pemeliharaan pola, sebuah sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Keempat fungsi tersebut dikenal dengan sebutan AGIL yaitu Adaptasi (A[adaptation]), pencapaian tujuan (G[goal attainment]), integrasi (I[integration]), dan latensi atau pemeliharaan pola (L[latency]).
Teori sistem sosial Talcott Parsons adalah suatu teori yang menyatakan bahwa tatanan sosial bukanlah sebuah tatanan yang koersif dan juga bukan produk transaksi para aktor strategis yang egosentris tapi merupakan hasil konsensus nilai-nilai yang melibatkan tiga komponen sekaligus yakni masyarakat, kebudayaan dan kepribadian (Hardiman, 2008).
Menurut Parsons kebudayaan adalah norma dominan yang menjadi struktur utama tindakan-tindakan sosial. Struktur memungkinkan bertahannya bangunan sosial dengan fungsi-fungsi yang terdiferensiasi di dalamnya (Hardiman, 2008). Sistem sosial Parsons mengandaikan sistem sosial akan ambruk apabila fungsi-fungsi yang terdiferensiasi dalam struktur sosial terganggu. Artinya apabila sistem sosial ingin terus bertahan, maka fungsi-fungsi tersebut harus tetap.
Teori Sistem Parsons tidak bisa menjawab masalah konflik dan perubahan sosial. Apabila mengikuti alur pemikiran Parsons, sistem sosial akan hancur apabila terjadi konflik atau perubahan di dalam masyarakat. Kehancuran ini diakibatkan terganggunya fungsi-fungsi yang ada di dalam struktur sosial. Padahal pada kenyataannya meskipun terjadi konflik sistem sosial tetap hadir.
- Niklas luhmann
Teori Sistem merupakan sebuah teori yang mencoba menjelaskan tentang keteraturan. Kata sistem sendiri berasal dari Bahasa Yunanito systeme yang berarti susunan. Sistem dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan dalam arti kesatuan yang lebih daripada sekedar jumlah bagian-bagiannya, suatu jumlah unsur-unsur dan juga hubungan-hubungan di antara mereka satu sama lain (Kneer dalam Hardiman, 2008).
Teori sistem yang digagas Luhmann merupakan suatu teori yang mencoba menjelaskan tentang susunan atau keteraturan sosial. Teori Sistem Luhmann merupakan sutu teori yang didasarkan dan atau sebagai revisi/tambahan dari teori sistem Talcott Parsons. Teori Sistem Luhmann mencoba menjelaskan bahwa sistem sosial akan tetap hadir meskipun terjadi perubahan di dalamnya. Luhmann menyatakan bahwa sistem sosial bersifat autopoiesis yang berarti bahwa sistem tersebut dapat mencukupi dirinya sendiri. Artinya, ketika terjadi konflik dan atau perubahan dalam sistem sosial yang menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi, sistem sosial akan menciptakan dan atau menggantikan fungsi-fungsi tersebut dengan sendirinya. Oleh sebab itulah maka sistem sosial tidak akan menjadi ambruk. Karena apabila ada suatu fungsi yang terganggu maka akan segera digantikan dengan fungsi yang baru dengan sendirinya dari dalam sistem itu sendiri.
Luhmann membangun suatu teori sistem yang berbeda dari Parsons meskipun teorinya didasarkan pada pemikiran Talcott Parsons.
- Anthony giddens
Salah satu teori yang mengintegrasikan agen-struktur adalah teori strukturasi yang berusaha mencari "jalan tengah"mengenai dualisme yang menggejala dalam ilmu-ilmu sosial. Ada dua pendekatan yang kontras bertentangan, dalam memandang realitas sosial. Pertama, pendekatan yang terlalu menekankan pada dominasi struktur dan kekuatan sosial (seperti, fungsionalisme struktural, yang cenderung ke obyektivisme). Kedua, pendekatan yang terlalu menekankan pada individu (seperti, interaksionisme simbolik, yang cenderung ke subyektivisme).
Giddens berpandangan dualisme yang terjadi antara agen-struktur terjadi karna struktural-fungsional, yang menurutnya terjebak pada pandangan naturalistik. Pandangan naturalistik mereduksi aktor dalam stuktur, kemudian sejarah dipandang secara mekanis, dan bukan suatu produk kontingensi dari aktivitas agen. sedangkan konstruksionisme-fenomenologis, yang baginya disebut sebagai berakhir pada imperialisme subjek. Oleh karenanya ia ingin mengakiri klaim-klaim keduanya dengan cara mempertemukan kedua aliran tersebut.
Teori strukturasi mengawinkan dua pendekatan yang berseberangan itu dengan melihat hubungan dualitas antara agen dan struktur dan sentralitas ruang dan waktu. Dimulai dualitas (hubungan timbal-balik) yang terjadi antara agen dan struktur di dalam "praktik sosial (social practicesI) yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu"2, praktik social social yang berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen individu yang mereproduksi struktur tersebut. Misalnya kebiasaan menyebut pengajar di perguruan tinggi dengan sebutan dosen. Pelaku (agen) dalam strukturasi adalah "orang-orang yang konkret dalam arus kontinu tindakan dan peristiwa di dunia"3sedangkan struktur didefinisikan "aturan (rules) dan sumber daya (source) yang terbentuk dari dan membentuk perulanan praktik sosial."4 Sehingga alur dualitas agen-struktur tersebut terletak pada "struktur sosial merupakan hasil (Outcome) dan sekaligus5. Dualitas itu terdapat dalam fakta struktur bagai panduan dalam menjalankan praktik-praktik sosial di berbagai tempat dan waktu sebagai hasil tindakan kita. Sifat struktur adalah mengatasi waktu dan ruang (timeless and spaceless) serta maya (virtual)6, sehingga bisa diterapkan pada berbagai situasi dan kondisi. Kedua, giddens melihat sentralitas waktu dan ruang, sebagai poros yang menggerakkan teori strukturasi dimana sentralitas waktu dan ruang menjadi kritik atas statik melawan dinamik maupun stabilitas melawan perubahan, waktu dan ruang merupakan unsur konstitutif tindakan dan pengorganisasian masyarakat. Hubungan waktu dan ruang bersifat kodrati dan menyangkut makna serta hakikat tindakan itu sendiri.
2. Struktural masyarakat perkotaan
a. Segi Demografi
Ekspresi demografi dapat ditemui di kota-kota besar. Kota-kota sebagai pusat perdagangan, pusat pemerintahan dan pusat jasa lainnya menjadi daya tarik bagi penduduk di luar kota. Jenis kelamin dalam hal ini mempunyai arti penting, karena semua kehidupan sosial dipengaruhi oleh proporsi atau perbandingan jenis kelamin. Suatu kenyataan ialah bahwa pada umumnya kota lebih banyak dihuni oleh wanita daripada pria.
Struktur penduduk kota dari segi umur menunjukkan bahwa mereka lebih banyak tergolong dalam umur produktif. Kemungkinan besar adalah bahwa mereka yang berumur lebih dari 65 tahun atau mereka yang sudah pensiun lebih menyukai kehidupan dan suasana yang lebih tenang. Suasana ini terdapat di daerah-daerah pedesaan atau sub urban
b. Segi Ekonomi
Struktur kota dari segi ini dapat dilihat dari jenis-jenis mata pencaharian penduduk atau warga kota. Sudah jelas bahwa jenis mata pencaharian penduduk kota adalah di bidang non agraris seperti pekerjaan-pekerjaan di bidang perdagangan, kepegawaian, pengangkutan dan di bidang jasa serta lain-lainnya. Dengan demikian struktur dari segi jenis-jenis mata pencaharian akan mengikuti fungsi dari suatu kota.
c. Segi Segregasi
Segregasi dapat dianalogkan dengan pemisahan yang dapat menimbulkan berbagai kelompok (clusters), sehingga kita sering mendengar adanya: kompleks perumahan pegawai bank, kompleks perumahan tentara, kompleks pertokoan, kompleks pecinan dan seterusnya. Segregasi ini ditimbulkan karena perbedaan suku, perbedaan pekerjaan, perbedaan strata sosial, perbedaan tingkat pendidikan dan masih beberapa sebab-sebab lainnya, Segregasi menurut mata pencaharian dapat dilihat pada adanya kompleks perumahan pegawai, buruh, industriawan, pedagang dan seterusnya, sedangkan menurut perbedaan strata sosial dapat dilihat adanya kompleks golongan berada. Segregasi ini tidak akan menimbulkan masalah apabila ada saling pengertian, toleransi antara fihak-fihak yang bersangkutan.
Segregasi ini dapat disengaja dan dapat pula tidak di sengaja. Disengaja dalam hubungannya dengan perencanaan kota misalnya kompleks bank, pasar dan sebagainya. Segregasi yang tidak disengaja terjadi tanpa perencanaan, tetapi akibat dari masuknya arus penduduk dari luar yang memanfaatkan ruang kota, baik dengan ijin maupun yang tidak dengan ijin dari pemerintahan kota. Dalam hal seperti ini dapat terjadi slums. Biasanya slums ini merupakan daerah yang tidak teratur dan bangunan-bangunan yang ada tidak memenuhi persyaratan bangunan dan kesehatan.
Adanya segregasi juga dapat disebabkan sewa atau harga tanah yang tidak sama. Daerah-daerah dengan harga tanah yang tinggi akan didiami oleh warga kota yang mampu sedangkan daerah dengan tanah yang murah akan didiami oleh swarga kota yang berpenghasilan sedang atau kecil. Apabila ada kompleks yang terdiri dari orang-orang yang sesuku bangsa yang mempunyai kesamaan kultur dan status ekonomi, maka kompleks ini atau clusters semacam ini disebut dengan istilah "natural areas".
3. Masalah perkotaan dalam perspektif analisis struktural
Kemiskinan Struktural Karena Tertutupnya Kesempatan
Membahas masalah kemiskinan tidak lengkap rasanya jika tidak mendefinisikan dan menganalisa sebenarnya apa yang menjadi standar seseorang dikatakan miskin itu? Untuk membahas pertanyaan dasar tersebut ada baiknya, jika kita meminjam berbagai pendapat beberapa tokoh dalam menganalisa masalah kemiskinan secara struktural ini. Kata-kata kemiskinan memang sudah tidak asing lagi didengar, namun jawaban tentang apa itu makna kemiskinan masih bermacam-macam dan simpang siur.
Meminjam istilah Ghose dan Keffin dalam Andre Bayo (1996), mengatakan bahwa kemiskinan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara berarti kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan lain-lain. Memang sepakat dengan analisa Ghose dan Keffin bahwa dalam mengidentifikasikan kemiskinan itu tidak hanya ditekankan pada aspek ekonomi saja, terbukti dalam memberikan standar orang dikatakan miskin mereka menggunakan aspek-apek lain seperti kesehatan, pemenuhan gizi, dan pendidikan. Aspek-aspek non-material tersebut bukan dari si miskin yang kurang respek untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) namun karena kurangnya kesempatan seperti yang dikatakan oleh Ghose dan Keffin.
Lebih lanjut untuk lebih memperjelas dan memberikan kemantapan dalam menganalisa kemiskinan struktural Friedmann dalam Andre Bayo (1996), kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakadilan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (tidak terbatas pada): modal yang produktif atau asset misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama; network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, dan lain-lain. Kesempatan-kesempatan tersebut seolah tertutupi dengan adanya gap antara si miskin dan si kaya, dari orang kaya dapat dengan mudah mendapatkan semuanya itu. Kemiskinan structural ini dimana sumber daya ekonomi, politik, teknologi dan informasi hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang saja. Namun bagaiman dengan si miskin mereka semakin terpinggirkan akibat pola sistem ekonomi yang berlaku dalam negara Indonesia.
Kapitalisme dengan Program-Program yang Menjerat
Persatuan Bangsa-Bangsa membuat suatu program yang pada awalnya sangat menarik untuk diterapkan oleh sistem ekonomi negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Program tersebut adalah Tujuan-tujuan pembangunan millennium (Millenium Development Goals) sejak tahun 2000. Kesepakatan bersama ini merupakan perwujudan tekad bersama bangsa-bangsa di dunia untuk memahami kemiskinan dan menemukan solusi yang terbaik untuk diterapkan, Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasinya. Namun dalam perjalanan MDGs problem kemiskinan di Indonesia jauh dari kata terentaskan (Azra, 2007). Dalam beberapa aspek justru dengan adanya proyek MDGs yang akan selesai pada tahun 2015 ini malahan timbul masalah-masalah baru. Termasuk didalamnya banyak program-program yang telah dilaksanakan namun banyak yang tidak tepat sasaran dan justru dengan adanya program ini si miskin malah semakin miskin dan yang kaya semakin kaya.
Dalam pengamatan penulis program-program dari PBB atau lembaga lain yang berada diluar Indonesia (dalam artian dari Barat) tentu mempunyai maksud dan tujuan terhadap negara-negara yang mendapatkan bantuan. Seperti kata pepetah yang sering digunakan dalam ilmu politik, tidak ada makan siang yang gratis. MDGs adalah buatan PBB, sedangkan lembaga tersebut sangat kental nuansanya dengan Amerika. Walaupun mengaku sebagai lembaga yang netral namun pengusaannya saja sudah terlihat berada di Amerika Serikat yang menganut sistem Kapitalisme yang sangat kuat.
Apalagi dalam hal pendanaan sistem Kapitalisme disuport oleh lembaga keuangan internasional seperti World Bank dan IMF mempunyai implikasi pada negara Dunia Ketiga dan negara berkembang yang telah diberikan bantuan berupa pinjaman, termasuk Indonesia. Sesuai dengan pendapat John Galtung (1971) kalau kita membaca langkah perusahaan transnasional dan lembaga keuangan internasional di negara-negara dunia ketiga, maka penjajahan bentuk baru ini begitu advanced andsophisticated. Hampir tidak ada peluru yang ditembakkan. Bentuk pinjaman yang diberikan ini akan brpengaruh juga terhadap si miskin, sudah hidupnya miskin, tidak tahu apa-apa tentang kebijakan-kebijakkan ekonomi negara, dan mereka harus ikut aktif menanggung beban hutang negara juga. Lebih lanjut menurut Maarif dalam bukuIslam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan mengatakan bahwa dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia penduduknya sekitar 200 juta dan Malaysia mungkin hanya 75 juta. Dari pengalamannya membaca, alasan kenapa Malaysia dan Timur Tengah lepas dari krisis karena mereka tidak mau menyembah kepada IMF.
Sistem Kapitalisme melalui program-program pembangunannya sangat tidak cocok untuk menanggulangi masalah pengentasan kemiskinan, justru segala program yang diterapkan akan membuat ketimpangan semakin besar antara si kaya dan si miskin. Pola yang dihasilkan oleh sistem Kapitalisme ini justru akan membuat negara dengan rakyatnya semakin mengalami ketergantungan dengan hutang, hutang, dan hutang. Di dalam mekanisme hutang ada juga bunga yang tidak sedikit juga jumlahnya dan akan terakumulasi setiap tahunnya.
Dalam menjelaskan kemiskinan struktural, penulis meminjam teori dependensia dari analisa Paul Baran, ia membagi Kapitalisme menjadi dua yaitu pusat dan pinggiran. Kapitalisme yang berkembang seperti di Indonesia bukan seperti yang berkembang di dunia Barat, tetapi Kapitalisme model pinggiran. Jenis kapitalisme ini salah satu varian dari sistem ekonomi yang kapitalistis, di mana modal, keahlian, pengetahuan, dan buruh sangat memegang penting peranan dalam mengeksplorasi sumber-sumber daya alam untuk menghasilkan barang-barang yang diperlukan oleh pasaran dengan tujuan pokok untuk mengeruk keuntungan dan mendapatkan modal (Bulkin, 1984).
Istilah pinggiran disini menurut Bulkin menunjukkan suatu keadaan dimana keuntungan dan modal ditarik dari sistem ini tidak dikumpulkan dan dipusatkan di dalam sistem ini, melainkan di luar. Secara structural sistem Kapitalisme Pinggiran ini selalu akan menciptakan ekonomi yang berat sebelah dan terpusat keluar, dimana kegiatan utamanya adalah pada bidang ekstraktif dan ekspor. Sehingga tidak akan mendorong terciptanya industrialisasi, tertutup juga kemungkinan si miskin untuk memperoleh pekerjaan. Sesuai dengan teori dependensia Paul Baran bahwa yang terjadi di negara-negara kapitalis pinggiran adalah muncul kekuatan ekonomi asing, sehingga surplus diambil oleh kekuatan tersebut.
Konteks di Indonesia dalam pengamatan penulis sangat cocok dengan kriteria diatas, negara kita cepat berbangga diri dengan kegiatan ekspor kebanyakan bahan mentah untuk diolah di luar negeri, dan sebenarnya kegiatan ini sangat merugikan si miskin terutama dalam memperoleh kesempatan untuk bekerja. Indonesia saat ini masih dikuasai oleh sistem ini, dan sampai sekarang sistem ini masih terpelihara sangat baik salah satu hal warisan kolonialisme Barat.
Hal yang tidak kalah menarik dari usaha pemiskinan oleh sistem Kapitalisme ini ada pada aspek mekanisme pasar yang dijalankan oleh Kapitalisme. Dalam mekanisme ini terdapat istilah "supply" dan "demands" dengan kedua pijakan dasar tersebut, pasar dipercaya sebagai sebuah tempat untuk mengalokasikan barang-barang dan menjamu konsumen dengan service yang baik. Hal yang menjadi pemaksaan dari pasar sebagai sebuah mekanisme yang dipakai membuat relasi sosial dan kebutuhan dasar publik dijadikan sebagai komoditas untuk diperjualbelikan. Termasuk didalmnya pendidikan dan kesehatan tidak dipahami sebagai hak dasar masyarakat, tetapi dijadikan komoditas. Pasar percaya bahwa dalam menyediakan barang-barang publik sebagai sebuah kebijakan sosial, baik oleh pemerintah maupun pasar sendiri, dinilai tidak menimbulkan efisiensi (Sulhin, 2009:31).
Ironisnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah sama seperti yang dipaparkan di atas. Semua barang-barang publik adalah komoditas, bagi si kaya hal ini tidak akan menjadi suatu masalah yang serius, mereka punya uang, dapat membeli pelayanan dasar tersebut dan mendapatkan pelayanan yang baik. Namun bagi si miskin, kondisi monopoli semacam ini justru akan semakin mencekik kehidupan mereka. Bayangkan saja sudah miskin, hidup di negara yang ekonominya serba campuran ini, dan mereka harus membeli dulu hak-hak dasar mereka yang seharusnya diberikan cuma-cuma oleh negara. Apalagi dua sektor utama pendidikan dan kesehatan yang menjadi komoditas. Mau pandai darimana, mau sehat dan gizi tercukupi seperti yang digembar-gemborkan pemerintah, kalau hak-hak dasar mereka saja dijual belikan. Oscar Lewis dalam Suparlan (1995) menambahkan kondisi seperti ini akan menimbulkan kebudayaan kemiskinan, dan justru membuat kemiskinan itu semakin bertambah juga seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.
Strategi Dalam Memerangi Kemiskinan Struktural
Pembangunan tidak akan berhasil untuk mengatasi kemiskinan tanpa disertai peningkatan kesempatan kerja, pemenuhan kebutuhan pokok, peningkatan produktivitas rakyat miskin. Banyak juga yang berpendapat bahwa pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) akan menyelesaikan masalah yang kita hadapi. Memang kalau Indonesia dapat melakukan sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam sistem itu, maka kemiskinan dapat dikurangi secara massal. Dibutuhkan tindakan pemerintah untuk mengubah pola-pola pemilikan tanah, mengurangi investasi padat modal, mengarahkan kekuatan-kakuatan pasa, mempengaruhi perubahan nilai-nilai, dan mengatur perdagangan luar negeri (Bayo, 1996:37). Tidak mudah memang dalam merubah suatu sistem yang bergulir dalam suatu negara, namun tidak ada salahnya untuk diuji cobakan. Karena sistem yang berada di Indonesia ini belum sepenuhnya jelas, mumpung belum jelas maka ada kesempatan untuk merubah sedikit demi sedikit.
Strategi dalam pengentasan kemiskinan memang sangat dibutuhkan peran dari negara tidak lain dalam rangka advokasi sosial untuk menciptakan tatanan yang berkeadilan dan berkemakmuran. Peran negara yang dituntut dalam proses pengentasan kemiskinan adalah meredistribusi kekayaan dan pendapatan, memastikan agar dalam proses distribusi tidak satu pun dari faktor-faktor produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor lainnya (Baidhowy, 2007:7).
Penulis sepakat dengan pendapat tersebut karena memang dari pekerja, pemilik modal, dan pemilik tanah harus berbagi bersama dalam hasil-hasil produksinya. Negara sebagai kekuasaan tertinggi harus bisa memberikan kontribusi dalam mendistribusikan hasil produksi kepada mereka yang miskin secara sosial dan ekonomi. Penulis merekomendasikan untuk memakai mekanisme koperasi dalam mengentaskan kemiskinan. Tentu dalam menerapkan koperasi sebagai soko guru ekonomi harus diimbangi dengan peran negara sebagai pihak yang seharusnya berani memaksa untuk kebaikan, karena sistem yang sekarang berjalan justru semakin memperlemah sector koperasi, menjadikan koperasi tidak menarik lagi. Padahal jika ditelusuri lebih dalam dan diamalkan sesuai dengan kaidah yang ada dalam prinsip-prinsip dan nilai-nilai koperasi sangat pas jika permasalahan negara adalah pada mekanisme distribusi hasil produksi. Dengan koperasi semua masyarakat sama, tidak ada paksaan dalam memberikan modal bersama dan cita-cita koperasi di Indonesia menurut Mohammad Hatta yakni menciptakan masyarakat yang kolektif, berakar pada adat istiadat, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan zaman modern. Disini negara lebih ditekankan untuk memperbaiki sistem yang saat ini berlaku di Indonesia.
Daftar Pustaka
K. Dwi Susilo, Rachmad, 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern, Biologi Para Peletak Sosiologi Modern, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Herry. B-Priyono. 2003. ANTHONY GIDDENS SUATU PENGANTAR. Yogyakarta.
Ala, Andre Bayo, Drs. (editor). 1996. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty Offset.
Budiman, Arif. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia.
Lubis, T. Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.
Muwahidah, Siti Sarah dan Zakiyudin Baidhowy (editor). 2007. Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan: Kebijakan Pemerintah, Kiprah Kelompok Islam, dan Potret Gerakan Inisiatif di Tingkat Lokal. Jakarta: MAARIF Institute for Culture and Humanity.
Sulhin, Iqrak. 2009. Capitalism and The Future of Indonesia's Anti-Poverty Policy. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Suparlan, Parsudi. 1995. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Swasono, Sri Edi (editor). 1985. Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi. Jakarta: UI-Press