Blog tempat mengirimkan berbagai tugas mahasiswa, berbagi informasi dosen, dan saling memberi manfaat. Salam Tantan Hermansah
Sabtu, 25 Oktober 2014
Nurul Latifah_Tugas 5_KPI 5D
Tugas 5: Etika dalam Komunikasi dan Kebudayaan
Nama : Syifa Maulidina
NIM : 1112051000150
Semester/ Prodi/ Kelas : 5/ KPI/ E
Memahami Dimensi Etik dalam Ruang Kebudayaan
Etika komunikasi tampak jelas dalam peranan atau fungsi komunikasi. Komunikasi berfungsi menyampaikan informasi mengenai suatu kebenaran. Tetapi dari suatu kepentingan dengan cara apa pun juga kebenaran yang dimaksud sesungguhnya hanya dimanfaatkan untuk mengejar kepentingan itu. Kebenaran disederhanakan menjadi semacam kepercayaan yang dianggap masuk akal dalam batas-batas pengetahuan atau cara berpikir tertentu.
Anggapan bahwa media komunikasi adalah sarana pendidikan dan pembentuk kebudayaan masyarakat memang masih bisa dibenarkan. Berdasarkan keterkaitan media komunikasi, maka dapat dilihat tiga fungsi komunikasi, yaitu:
1. Mengikat dan menyeragamkan
2. Memproduksi dan memperbaharui
3. Mendistribusikan dan mengontrol
Untuk mengikat kelompok penerima komunikasi dan menyeragamkan informasi yang hendak disampaikan diperlukan pemahaman yang cukup luas tentang apa yang dimaksud dengan kebudayaan, pemahaman akan aneka warna kebudayaan dan relavitas kebudayaan milik sendiri dan pemahaman akan segi-segi positif dari kebudayaan milik masyarakat yang lain.
Untuk dapat berkomunikasi secara efektif setiap orang dalam sebuah masyarakat bersistem diandaikan mempunyai kebebasan untuk menafsir dan mempunyai orientasi nilai kebudayaan yang kurang lebih sama. Karena itu, salah satu fungsi penting dari media komunikasi bisa dipandang sebagai bahan perekat yang mampu mengikat warga sebuah kelompok atau masyarakat tertentu. Media komunikasi menyediakan perangkat asumsi atau pemikiran yang sejenis untuk menghasilkan sebuah identitas bersama.
Lebih lanjut penyebaran pengetahuan dan informasi itu sedapat mungkin diusahakan secara terikat dan seragam. Tujuan pokoknya adalah untuk menjangkau populasi manusia pada umumnya secara maksimal. Diumpamakan seperti pemilik modal dan produsen barang bekerja sama dengan para distributor dan pihak-pihak lain yang berkaitan agar para konsumen mereka di setiap negara atau lokasi geografis mempunyai kebudayaan atau adat yang seragam.
Melalui media komunikasi sebuah realitas nyata, atau menolaknya karena menganggapnya sebagai sebuah takhayul atau khayalan ideologis belaka. Mengarahkan masyarakat kepada masa depan dengan menghadirkan dalam masa kini melalui pertukaran kata-kata dan pesan. Media komunikasi juga dapat menghasilkan (memproduksi) perubahan dan memperbaharuinya dengan cara menyediakan beragam informasi, menyebarluaskan dan mendesakkan pendapat tertentu.
Media komunikasi menyaring, memilih mana yang perlu atau yang tidak perlu, memolesnya dan mengatur informasi. Dengan cara menentukan berita, peristiwa atau nilai-nilai mana yang layak disampaikan dan direncanakan untuk disampaikan selanjutnya ini merupakan fungsi mengontrol. Sebuah kontrol yan mampu mempengaruhi bentuk dan isi adat atau kebudayaan seseorang seperti ini dapat juga berbuah lebih jauh. Sebuah media berperan mendistribusikan informasi yang masuk dan yang keluar kepada konsumen, serta menentukan siapa-siapa saja yang boleh menerima informasi.
Bentuk dan isi komunikasi mau pun media komunikasi akan menunjukkan siapakah dan macam apakah masyarakat yang bersangkutan itu. Komunikasi dan media yang dipergunakan dapat juga dijadikan pegangan bagi orang lain untuk mengetahui bagaimana caranya masuk dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Komunikasi mempunyai kekuatan untuk mengubah, selain dapat berfungsi sebagai penyampai berita tetapi juga mampu sebagai pengarah bagaimana sebuah berita seharusnya diterima. Masalahnya sekarang ini media komunikasi cenderung tidak lagi menyajikan makna dan pesan yang komunikatif. Tidak lagi bertujuan untuk mencari dan menemukan sebuah kualitas kemanusiaan yang lebih tinggi, melainkan hanya untuk menghasilkan sebuah dunia atau gambar rekaan untuk sebuah gaya hidup tertentu. Apalagi hal itu pun dihasilkan oleh salah satu hasil (jerat) rekayasa kebudayaan. Maka dari itu tidak heran jika kebudayaan tradisional atau tradisi-tradisi mulai memudar dan tergeserkan. Terjadi kemerosotan di tengah-tengah kehidupan manusia. Kenyataannya sekarang ini, Indonesia menjadi negara yang diarah-tentukan oleh pola pandang keilmuan dan pola pandang kehidupan orang asing (kafir). Indonesia terjebak masuk dalam dalam pola penjajahan karena kebodohannya sendiri.
Fitri Permata Sari / KPI 5 E / Tugas Etika 5
Falahul Mualim Yusuf 1112051000087 KPI 5C
ETIKA DALAM KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN: Memahami Dimensi Etik dalam Ruang Kebudayaan
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem yang mengatur tentang tata cara manusia bergaul. Tata cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler, dan lain-lain. Tata cara pergaulan bertujuan untuk menjaga kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang, tentram, terlindungi tanpa ada pihak yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan yang dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia secara umum. Tata cara pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam bermasyarakat dan menentukan nilai baik dan nilai tidak baik, dinamakan etika.
Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas. Etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup. Oleh karena itu etika merupakan bagian dari wujud pokok budaya yang pertama yaitu gagasan atau ide. Budaya dimaksud adalah budaya seperti yang dikemukan oleh Koentjaraningrat yaitu komplek gagasan, perilaku dan hasil karya manusia yang dijadikan milik dari dan dipergunakan untuk memenuhi hidup yang didapat dengan belajar secara terus-menerus.
Dalam hal ini, antropolog Edward T. Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Dengan kata lain, "tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa memikirkan konteks dan makna kulturnya"
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan yang terletak pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial. Pelintasan komunikasi itu menggunakan kode-kode pesan, baik secara verbal dan non-verbal, yang secara alamiah selalu digunakan dalam semua konteks interaksi.
Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan. Salah satu komponen kebudayaan adalah nilai. Nilai merupakan suatu referensi atau rujukan yang dipegang sebagai pedoman tingkah laku setiap anggota masyarakat atau kelompok budaya tertentu.
Beberapa pakar menganjurkan pengembangan metaetika yang serba mencakup, transenden, untuk memandu komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya. Dean Barnlund menegaskan, " Sampai suatu etika dapat diartikulasikan dalam cara-cara yang memperoleh dukungan luas, atau hingga suatu metaetika yang sama muncul dari ribuan konfrontasi harian, kita akan terus menjalankan hubungan antarbudaya dalam kekosongan moral." Metaetika seperti itu ia percaya harus diciptakan, atau disentetis dari kode etik dalam budaya-budaya yang ada, untuk memperoleh konsesus minimum yang diperlukan untuk menghindari bentuk-bentuk interaksi destruktif paling besar sewaktu meningkatkan keanekaragaman perilaku dalam budaya-budaya itu.
Manusia dalam memahami etika tentu saja melalui proses yang disebut enkulturasi. Enkulturasi adalah proses individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kehidupannya. Seringkali individu belajar dan meniru berbagai macam tindakan, perasaan dan nilai budaya yang member motivasi akan tindakan itu telah di internalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya "dibudayakan".
Dalam hal ini terdapat dimensi-dimensi Komunikasi Budaya, yaitu :
Pertama, tingkat masyarakat kelompok budaya dari para partisipan, kedua, konteks sosial tempat terjadinya Komunikasi budaya, dan ketiga, saluran yang dilalui oleh pesan-pesan yang disampaikan ( baik yang bersifat verbal maupun nonverbal)
Dimensi pertama menunjukkan bahwa istilah kebudayaan telah digunakan untuk merujuk pada macam-macam tingkat lingkupan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Contoh dimensi pertama misalnya, komunikasi antarndividu dengan kebudayaan nasional yang berbeda (wirausaha Jepang dengan wirausaha Amerika atau Indonesia) atau antar individu dengan kebudayaan ras-etnik yang berbeda (seperti antar pelajar penduduk asli dengan guru pendatang.Bahkan ada yang mempersempit lagi pengertian pada "kebudayaan individual" karena setiap orang mewujudkan latar belakang yang unik.
Dimensi kedua menyangkut Konteks Sosial. Misal, konteks sosial Komunikasi Budaya pada: organisasi, bisnis, penddikan, akulturasi imigran, politik, penyesuaian pelancong/pendatang sementara, perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi, konsultasi terapis. Dalam dimensi ini bisa saja muncul variasi kontekstual, misalnya, komunikasi antarorang Indonesia dengan Jepang dalam suatu transaksi dagang akan berbeda dengan komunikasi antarkeduanya dalam berperan sebagai dua orang mahasiswa dari suatu universitas. Dengan demikian konteks sosial khusus tempat terjadinya komunikasi budaya memberikan pada para partisipan hubungan-hubungan antarperan, ekspektasi-ekspektasi, norma-norma, dan aturan-aturan tingkah laku yang khusus.
Dimensi ketiga, yaitu berkaitan dengan saluran komunikasi. Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas yaitu:
Antarpribadi/orang dan Media massa
Bersama-sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran komunikasi juga memengaruhi proses dan hasil keseluruhan dari Komunikasi Budaya. Misalnya, orang Indonesia menonton melalui TV keadaan kehidupan di Afrika akan memiliki pengalaman yang berbeda dengan keadaan apabila ia sendiri berada di sana dan melihat dengan mata kepala sendiri. Umumnya, pengalaman komunikasi antarpribadi dianggap memberikan dampak yang lebih mendalam.Komunikasi melalui media kurang dalam feedback langsung antarpartisan dan oleh karena itu, pada pokoknya bersifat satu arah.Sebaliknya, saluran antarpribadi tidak dapat menyaingi kekuatan saluran media dalam mencapai jumlah besar manusia sekaligus bersifat antarbudaya bila partisipan-partisipannya berbeda latar belakang budayanya.
Tugas 5/ Etika dalam komunikasi dan kebudayaan/ Apik Sopankatanya/ 1112051000162/ KPI 5E
Tugas 5/ Etika dalam komunikasi dan kebudayaan/ Apik Sopankatanya/ 1112051000162/ KPI 5E
ETIKA DALAM KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN :
Memahami Dimensi Etik dalam Ruang Kebudayaan
Burhanudin Salam (1987:1) menyebutkan bahwa etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat nilai dan norma moral tersebut serta permasalahan-permasalahan yang timbul dalam kaitannya dengan nilai dan norma moral tersebut.
Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas. Etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup. Oleh karena itu etika merupakan bagian dari wujud pokok budaya yang pertama yaitu gagasan atau ide. Budaya dimaksud adalah budaya seperti yang dikemukan oleh Koentjaraningrat yaitu komplek gagasan, perilaku dan hasil karya manusia yang dijadikan milik dari dan dipergunakan untuk memenuhi hidup yang didapat dengan belajar secara terus-menerus.
Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan. Salah satu komponen kebudayaan adalah nilai. Nilai merupakan suatu referensi atau rujukan yang dipegang sebagai pedoman tingkah laku setiap anggota masyarakat atau kelompok budaya tertentu.
Beberapa pakar menganjurkan pengembangan metaetika yang serba mencakup, transenden, untuk memandu komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya. Dean Barnlund menegaskan, " Sampai suatu metaetika… dapat diartikulasikan dalam cara-cara yang memperoleh dukungan luas, atau hingga suatu metaetika yang sama muncul dari ribuan konfrontasi harian, kita akan terus menjalankan hubungan antarbudaya dalam kekosongan moral." Metaetika seperti itu ia percaya harus diciptakan, atau disentetis dari kode etik dalam budaya-budaya yang ada, untuk memperoleh konsesus minimum yang diperlukan untuk menghindari bentuk-bentuk interaksi destruktif paling besar sewaktu meningkatkan keanekaragaman perilaku dalam budaya-budaya itu.[1]
Filsuf S. Jack Odell menyatakan sebuah masyarakat tanpa etika sebenarnya adalah masyarakat yang menjelang kehancuran. Dia mengatakan bahwa konsep dan teori dasar etika memberikan kerangka yang dibutuhkan setiap orang untuk melaksanakan kode etik dan moral. Dan prinsip-prinsip etika adalah prasyarat wajib bagi keberadaan sebuah komunitas sosial. Tanpa prinsip etika mustahil manusia bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan ( Richard L. Johannesen, 1996, hlm.6)[2]
Manusia dalam memahami etika tentu saja melalui proses yang disebut enkulturasi. Enkulturasi adalah proses individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kehidupannya. Seringkali individu belajar dan meniru berbagai macam tindakan, setalag perasaan dan nilai budaya yang member motivasi akan tindakan itu telah di internalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap dan normma yang mengatur tindakannya "dibudayakan".
Mempelajari komunikasi antarbudaya berarti kita mempelajari (termasuk membandingkan) kebudayaan oranglain, mempelajari satu atau lebih nilai kebudayaan lain, sekurang-kurangnya yang ditunjukkan oleh tampilan perilaku mereka. Jika perilaku antarbudaya merupakan wujud nilai yang di dalamnya mengandung etika suatu masyarakat maupun komunitas, maka perkenalan terhadap nilai budaya orang lain juga sangat perlu. Kita berusaha membentuk suatu masyarakat bersama yang beretika, yakni masyarakat yang bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan.