Kabir Al Fadly Habibullahh
KPI 1 A (11150510000011)
Tugas 5
Keluarga Besarku
A. Asal Usul
Secara umum keluarga dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah, atau adopsi, merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan sosial bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putrinya, saudara laki-laki dan perempuan serta merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama. Jadi keluarga merupakan kesatuan sosial yang terikat oleh hubungan darah dan masing-masimg anggotanya mempunyai peranan yang berlainan sesuai dengan fungsinya. Lebih luas lagi diatas dari definisi tadi yang merupakan definisi keluarga inti, yang terdiri atas anak dan orang tua, ada keluarga yang lebih luas lagi lingkupnya. Keluarga besar, yang merupakan gabungan dari beberapa keluarga inti keatas. Baik dari ibu keatasnya maupun ayah keatasnya.
Keluarga besar di keluarga saya adalah sebuah ikatan kelompok sosial yang berlatar belakan berbeda secara budaya dan suku. Namun memiliki keterikatan dan keterkaitan yang saling melengkapi. Dengan saling melengkapi inilah mealahirkan hubungan yang sangat hangat, humanis dan dinamis baik secara biologis lebih–lebih lagi sosiologis.
Dimulai dari keluarga ibu yang merupakan keturunan asli Suku Sunda, tepatnya dareah Singaparna, Tasikmalaya. Dilihat dari karakter sosiologis masyarakat sunda yang penuh dengan kesahajaannya dan kearifan lokalnya, serta karakter-karakter lain yang membentuknya seperti tingkat spiritualitas yang tinggi, karena memegang teguh apa yang telah diwaariskan orang tua terdahulu. Maupun karakter yang dibentuk akibat letak fisik dan geografis masyarakat Tasikmalaya yang tinggal di lereng Gunung Galunggung, dipenuhi lahan dan kebun, empang dan kolam serta suasana alam yang sangat menenangkan membuat karakteristik tersendiri yang mempengaruhi kepribadian masyarakat Suku Sunda itu sendiri. Kondisi-kondisi yang asri dan tenang serta sejuk seperti demikian membuat pola interaksi masyarakat suku Sunda cenderung sangat damai, adem-ayem saja. Interaksi terbangun dengan sangat dinamis namun humanis,gotong-royong sesama masyarakat maupun interaksi-interaksi yang lain yang seolah mengalir begitu saja.
Ibu saya Yohanah Hs, dikutip dari beliau langsung. Adalah seorang yang dilahirkan dengan keluarga yang memiliki background Pengajar atau Guru. Kakek saya H. Juaeni Syamsudin bin Abdurrohman adalah seorang guru yang memiliki dedikasi tingkat tinggi. Sebagai guru dikampungnya, yang bertugas mendidik masyarakat membuat irama yang demikian itu dibawa beliau (kakek saya) kerumah sebagai bahan ajar dan bahan pendidikan bagi seluruh anak anaknya. Ketegasan sorang guru berlaku tidak hanya dikelas ketika beliau mengajar namun juga dirumah saat mendidik anak-anaknya terutama soal penddidikan yang menyangkut moralitas dan agama. Begitupu dengan istri beliau Nyai Turkiyah binti Ijo (nenek saya) yang menguatkan jalan yang telah diambil suaminya, yakni pola pendidikan`ketegasan, dan penanaman nilai-nilai moral dan agama yang terbukti sekarang mampu melahirkan generasi-generasi yang baik.
Lalu keluarga besar ayah saya yang merupakan anggota struktur masyarakat "Betawi Pinggiran" istilahnya. Yakni masyarakat Suku Betawi yang tinggal di daerah pinggiran ibu kota Jakarta tepatnya Tangerang. Kondisi keterpinggiran masyarakat Betawi pada dasarnya disebabkan oleh karakter dan pola tingkah laku masyarakat betawi itu sendiri. Mengapa demikian? Masyarak Suku Betawi dikenal sebagai orang yang memiliki tanah yang amat luas berhektar-hektar, memiliki rumah-rumah yang disewakan (kontrakan) dan lahan-lahan yang disewakan. Tapi itu masa lalu, mindset orang betawi yang "tidaktahan" jika harus dihadapkan dengan tawaran uang yang sangat banyak membuat Orang-orang betawi melepaskan hampir seluruh aset-asetnya yang berupa tanah, lahan maupun bangunan tadi. Yang tanpa disadari, sebenarnya menggeser secara perlahan keberadaan dan keutuhan masyarakat Betawi itu sendiri. Hingga banyak masyarakat betawiyang kini menepi ke daerah-daerah sekitar seperti Bekasi, Bogor, Depok maupun Tangsel dan Tangerang.
Kakek buyut saya yang berasal dari ayah kalau disebutkan seperti ini silsilahnya. Kabir Al-Fadly bin H.Hasanudin bin H.Saban bin Sangkan bin Jeran dan seterusnya yang kesemuanya merupakan asli keturunan suku betawi yang hingga kini sedikit banyak mewariskan akar budaya turun temurun yang ditinggalan kakek moyang sejak dahulu. Walaupun tinggaldi daerah hitungannya ibukota yang menuntut sejak dulu kakek saya sudah harus kerja keras tiap hari bolak-balik Jakarta Kota-Tangerang dengan Onthel tuanya. Paman-paman saya, saya teringat jika mereka dahulu berkisah tentang perjuangan kakek saya yang berjualan cendol di ibukota kemudian mengumpulkan jerih payah hasil kerjanya hingga mampu membeli berpetak-petak sawah di kampungnya yang kini kami tempati. Dahulu termasuk saat saya masih kecil areal persawahan masih kerap saya dapati di kampung saya ini (Tangerang). Beda halnya dengan sekarang yang berubah menjadi deretan apartement, ruko bahkan mall. Ini seperti yang saya bilang sebelumnya sebagai titik lemah karakter orang betawi.
Dari dua keluarga besar tersebut ada irisan-irisan kesamaan antara kultur masyarakat Betawi maupun Sunda yang saaling bersimbiosis membentuk sebuah keluarga besar yang syarat akan nilai-nilai baik agama, sosial, budaya dan lainnya. Yang kesemuanya mendarah daging masuk kesela- sela kehidupan kami semua sebagai sebuah keluarga yang mau tidak mau mengakui dan bangga terhadap "leluhur" atau orang tua dari keluarga besar kami.
B. Jaringan Sosial
Jaringan Sosial, ini yang menurut saya unik. Mengapa unik, karena jaringan inilah yang diibaratkan setrum dan kabel yang mengaliri seluruh komponen-komponen yang memiliki sebuah ikatan. Untuk masalah jaringan saya melihat pertama ada sebuah kekuatan suprastruktur yang dibangun oleh orang-orang tua terdahulu di keluarga besar saya yang masih terjaga hingga kini. Walau memiliki sifat seperti yang telah saya ungkapkan diatas, namunsejak dahulu para leluhur telah berfikir tentang sebuah jaringan yang terstruktur.
Hampir semua kepala keluarga di kampung saya kini, adalah sebuah kelompok keluarga besar yang jika dilihat lebih jauh memiliki hubungan sedarah baik yang dekat maupun jauh. Kecuali para pendatang yang tinggal di kontrakan atau telah memiliki rumah sendiri. Malah dahulu menurut orangtua saya, satu kampung ini,yang kita huni ini adalah benar-benar sebuah ikatan masal, kelompok sosial yang bukan hanya secara biologis namun sebuah ikatan psikis dan sosiologis. Yang telah dibangun sejak waktu yang teramat lampau. Yang meilikir rasa sepenanggungan dan sependeritaan sebagai sebuah keluarga besar.
Dan kini, struktur yang demikian tetap terpeliahara bahkan menjadi heteregon dengan kedatangan para pendatang dari Jawa utamanya yang mengadu nasib ke kota membentuk sebuah jaringan maaupun hubungan yang terjalin dengan sangat baik antara mmasyarakat peribumi maupun pendatang. Jaringan tersebut kini berkembang dan sangat dinamis dalam keluarga besar saya jaringan tersebut tidak hanya soal urusan fisik, psikis dan sosial bahkan merambah hingga membentuk sebuah jaringan ekonomi yang memiliki aarus timbal balik bagi keluarga saya maupun seluruh komponen masyarakat.
Jaringan yang telah terbangun ini makin meluas hingga menyentuh komponen sosial lain yang memiliki karakteristik dan kesukuan yang berbeda. Lewat perkawinan dengan kelompok sosial yang lain terbukti membuat jaringan dan pola hubungan di keluarga saya yang semakin kesini semakin meluas.
C. Nilai-nilai dan Sistem Sosial Budaya yang Diperwujudkan dalam Keluarga
Bicara nilai di keluarrga besar saya berarti berbicara soal pola tingkah laku utamanya yang berkaitan dengan moralitas dan keagamaan. Karena mengapa seperi yang saya kutip pada penjelasan awal bahwasanya pendidikan agama dan moral adalah barometer dan titik acu dasar sebagai social control yang nantinya berbuah menjadi Nilai-nilaidan Sistem Sosial yang berlaku.
Sebetunya tidak ada aturan khusus yang mengikat semua anggota keluarga besar saya, selama itu tidak mlewati batas batas etika, moral, akhlaq dan agama sah-sah saja walau tetap ada beberapa hal yang disoroti dan patut digaris bawahi yang seolah menjadi kesepakatan tidak tertulis yang memang betul diikuti dengan penuh kesadaran oleh seluruh anggota keluarga besar. Seperti soal dilarangnya seorang anak gadis "dilangkahi" oleh adik-adiknya. Namun tidak berlaku untuk anak laki laki.
Atau kecenderungan untuk menyambung tali perkawinan dengan orang yang"dekat-dekat saja". Akan menjadi sesuatuyang tidak lazim dalam keluarga besar kami jika berbesan dengan orang yang jauh apalagi hingga ke luar pulau. Tapi ini hanya soal pembiasaan yang jika dilanggar sekalipun tidak akan membuat jatuhnya sanksi sosial yang akan memberatkan suatu anggota keluarga besar. Semua berjalan mengalir saja, mengikuti posisi dan menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing yang harus tetap saling menguatkan, membela, memperthankan dan saling mengingatkan dan menasehati karena kami semua adalah sebuah kelompok sosial yang diikat baik seacara lahir maupun batin.
Epilog:
· Itulah seklumit tentang dinamika keluarga besar yang terjadi dan benar-benar saya alami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sebuah komponen sosial yang terbentuk dari ikatan darah, ikatan nasib dan ikatan rasa yang saling melengkapi satu sama lain. Dibawah tatanan nilai-nilai yang telah disepakati bersama.
· Tulisan ini ditulis berdasarkan observasi yang telah dijalani oleh penulis selama hidup dan menjadi bagian dari sebuah keluarga besar.
· Selain itu proses pengambilan data diambil pula lewat beberapa konfirmasi yang dilakukan oleh penulis kepada orang tua maupun saudara.
Tangerang, 9 Oktober 2015, 23.02