Blog tempat mengirimkan berbagai tugas mahasiswa, berbagi informasi dosen, dan saling memberi manfaat. Salam Tantan Hermansah
Sabtu, 08 Maret 2014
Ridwan Efendi_Tugas1_Emile Durkheim
Suryo Widodo - Tugas1 - Dinamika Desa
Eko Radityo_Tugas1_Teori Durkheim
Rizky Arif Santoso ( PMI 2 - 111 3054 000 001 )
NAMA : RIZKY ARIF SANTOSO
KELAS : PMI 2
NIM : 111 3054 000 001
Dinamika Desa Dalam Tinjauan Sejarah Dan Kebijakan Pembangunan Di Indonesia
Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan bagi setiap masyarakat. Tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang luput dari perubahan. Auguste Comte menggambarkan masyarakat dalam dua dimensi, yakni statik dan dinamik. Dimensi statik menunjukkan struktur sosial yang ada dalam masyarakat dan aspek dinamik menunjukkan adanya perubahan yang terus terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial dapat dipandang bersifat alamiah karena pasti terjadi pada setiap masyarakat. Namun dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial dapat bersifat problematik maupun menguntungkan bagi masyarakat.
Dampak sosial perubahan dapat terjadi secara berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Dalam masyarakat yang modern, perubahan sosial yang terjadi acapkali disadari dan direncanakan (by design), sehingga dampak yang terjadi adalah keberuntungan. Misalnya penerapan berbagai perangkat teknologi tinggi, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun yang menunjang kehidupan sehari-hari seperti internet, komputer, pendingin/pemanas ruangan maupun pembangkit listrik tenaga nuklir. Semua teknologi tersebut telah mengubah kebiasaan hidup manusia menjadi hidup yang serba cepat dan nyaman. Kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berjarak puluhan bahkan ratusan mil jauhnya hanya dalam hitungan detik melalui telpon genggam dan internet.
Demikian pula dengan kebutuhan energi listrik yang makin tinggi tidak mungkin dipenuhi oleh mesin-mesin yang digerakkan oleh tenaga diesel ataupun batu bara, melainkan sudah mengarah ke penggunaan nuklir. Sekalipun membawa keuntungan yang besar bagi kehidupan sehari-hari, perubahan tersebut menuntut banyak hal dari manusia pelaku dan penikmat perubahan tersebut. Beberapa di antaranya adalah disiplin (sesuai aturan) dan cermat. Di samping itu juga harus disadari bahwa makin tinggi teknologi yang digunakan, maka makin tergantung pula manusia pada teknologi tersebut. Kerusakan yang terjadi pada teknologi sekalipun sesaat akan membawa akibat yang besar keteraturan hidup manusia. Kita ambil contoh ketika pusat pembangkit listrik di kota New York rusak beberapa tahun lalu, kekacauan timbul baik di jalan, rumah, kantor maupun pusat perdagangan karena kesemuanya sangat tergantung pada pasokan listrik (mulai lampu lalu lintas, pemanas ruangan, lift, lampu penerangan, dan sebagainya.
Sedangkan dalam masyarakat yang masih bertaraf tradisional, perubahan sosial yang terjadi bisa jadi menimbulkan problema yang berkepanjangan hingga masyarakat tersebut dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Misalnya ketika diterapkannya revolusi hijau di pedesaan Jawa pada tahun 70-an, yang meliputi pemilihan bibit unggul untuk menggantikan bibit lokal, penggunaan pupuk dan pestisida, serta berbagai peralatan modern dalam bidang pertanian lainnya (traktor, huler dan sabit) banyak sekali kekacauan sosial dalam masyarakat. Jika sebelumnya masyarakat desa dapat “dipersatukan” dengan sistem bawon (setiap petani boleh ikut serta dalam pemanenan dan mendapat upah sesuai dengan ikatan padi yang diperolehnya), namun kini mereka tidak bisa lagi karena pemiliknya telah menebaskan sawahnya pada orang lain.
Demikian pula dengan penggilingan padi, jika dahulu dikerjakan beramai-ramai oleh ibu-ibu dengan cara menumbuk dalam lumpang kayu yang panjang, kini telah digantikan oleh mesin-mesin cerdas yang cukup dikerjakan oleh satu orang pria saja. Perubahan dalam kelembagaan juga harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan perubahan teknologi yang digunakan. Perubahan sosial semacam ini tentunya sangat problematik bagi warga desa karena secara kelembagaan mereka belum siap, dan perubahan yang terjadi acapkali dipaksakan dari luar.
Begitu juga kita bisa melihat contoh nyata dalam masyarakat Papua ketika masa orde baru, Ibu Tien Soeharto melalui yayasannya merubah kebiasaan masyarakat Papua yang menggunakan koteka dan rumbai-rumbai dengan pakaian kain tanpa mengajarkan filosofi berpakaian kain. Masyarakat Papua hanya diajarkan cara menggunakan pakaian kain tanpa mengajarkan berapa lama pakaian tersebut sehat untuk dipakai, bagaimana cara membersihkan dan bagaimana caranya untuk memperoleh yang baru jika yang lama rusak. Ketidakmengertian masyarakat Papua akan pakaian kain menyebabkan pada masa berikutnya banyak di antara mereka yang mengalami sakit kulit parah.
Perubahan-perubahan yang dipaksakan dari luar acapkali terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat lebih “rendah” dibandingkan masyarakat lainnya. Perubahan tersebut barangkali tidak dikehendaki namun harus terjadi. Masyarakat desa di Jawa barangkali tidak menghendaki penerapan teknologi maju di bidang pertanian, namun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang membutuhkan ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup, mau tidak mau, suka tidak suka perubahan itu harus dijalani.
Sekalipun mengalami dampak sosial yang problematik, masyarakat diharapkan pada suatu waktu akan dapat menemukan keseimbangan, yang dalam bahasa Parson disebut dengan homeostatic equilibrium, maksudnya jika satu bagian berubah maka bagian lain akan menyesuaikan sehingga tercipta keseimbangan baru. Teori fungsionalisme Parsons ini dianggap konservatif karena beranggapan masyarakat selalu berada pada situasi yang harmonis, stabil, seimbang dan bersifat mapan.
Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan, dan baru disadari ketika mulai membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi di masa lampau. Perubahan sosial yang terjadi dapat disadari maupun tak disadari, dapat bersifat progress maupun regress (maju maupun mundur). Davis (1960) menyebut perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Secara sosiologis, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, baik eksternal maupun internal ada 6, yaitu :
1. Adanya kontak dengAn budaya lain
2. Meningkatkan pendidikan warga ,masyarakat
3. Adanya stratifikasi sosial yang bersifat terbuka
4. Meningkatnya penghargaan terhadap karya pihak lain
· Jumlah penduduk yang heterogen shg memungkinkan terjadinya interaksi sosial dan budaya satu dengan lainnya
· Adanya ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kondisi atau bidang-bidang tertentu dalam masyarakat yang dinilai menghambat perkembangan dan kemajuan masyarakat
5. Meningkatnya intervensi teknologi informasi melalui media TV dan film
· Makin lancarnya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain karena perdagangan makin lancar (Warsito
Adapun faktor yang menghambat perubahan social yaitu :
1.Adanya isolasi dari masyarakat lainnya
2.Pendidikan yang rendah
3.Sifat yang tradisional
4.Adanya vested interest
Demikian pula dengan yang dikemukakan oleh Maran (2000) bahwa ada lima faktor yang menyebabkan perubahan sosial budaya, yakni :
1. Lingkungan alam seperti iklim, kekurangan bahan makanan atau jumlah penduduk
2. Kontak budaya dengan masyarakat luar yang mempunyai nilai-nilai budaya, norma-norma yang berbeda
3. Adanya discovery dan invention pada masyarakat tersebut
4. Adopsi melalui proses difusi
5. Adopsi pengetahuan dan kepercayaan baru
Dalam perspektif fungsional, khususnya person setiap masyarakat dan lembaga yang ada didalamnya akan senantiasa mengalami perubahan, dan perubahan tersebut akan mencapai bentuknya yang stabil dan seimbang, sehingga tidak terjadi kekacauan.
Referensi :
2. http://www.slideshare.net/veronicasilalahiii/perubahan-sosial-dalam-masyarakat-pedesaan
Fitri Qomariah_Tugas 1_Teori Emile Durkheim
Lisda Nur Asiah_Tugas1_Teori Sosiologi Emile Durkheim
Deshinta Ria Liany_Tugas1_Teori Durkheim
Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir di Epinal, provinsi Lorraine, Perancis Timur pada 15 April 1858. Durkheim disebut sebagai sosiologi Perancis pertama yang sepanjang hidupnya menempuh jenjang ilmu sosiologi yang paling akademis. Dialah yang juga memperbaiki metode berpikir sosiologis yang tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi sosiologi akan menjadi ilmu pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat diobservasi.
· Teori-teori Emile Durkheim
1. Teori Solidaritas (The Division of Labour in Society)
Dalam buku ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaanmoral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
a. Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis dibentuk oleh hokum represif karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggaranya terhadap system moral kolektif. Meskipun pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.
b. Solidaritas organik.
Masyarakat solidaritas organik dibentuk oleh hukum restitutif. Dimana seseorang yang melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya hilang. Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian pekerjaan sosial.
2. Fakta Sosial (The Rule Of Sociological Method)
Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial:
a) Fakta sosial Material
Fakta sosial material lebih mudah dipahami karena bisa diamati. Fakta sosial material tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuta yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
b) Fakta sosial Nonmaterial
Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia ada dalam fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Individu masih perlu sebagai satu jenis lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun bentuk dan isi partikularnya akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh individu. Oleh karena itu dalam karya yang sama Durkheim menulis: bahwa hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia.
Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial:
1) Moralitas
Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern.
2) Kesadaran Kolektif
Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular”.
Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.
Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama, lebih dari masyarakat modern.
3) Representasi Kolektif
Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.
4) Arus Sosial
Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.
5) Pikiran Kelompok
Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.
3. Teori Bunuh Diri (Suicide)
Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi. Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.
Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat:
· Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama. Dari data yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya.
· Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga. Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut.
· Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik. Dari data yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya dengan masyarakat sipil.
Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik. Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:
v Bunuh Diri Egoistis. Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
v Bunuh Diri Altruistis. Terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di Jepang (Harakiri). Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.
v Bunuh Diri Anomic. Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.
v Bunuh Diri Fatalistis. Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan.
4. Teori tentang Agama (The Elemtary Forms of Religious Life).
Dalam teori ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi agama dari sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan ”a unified system of belief and practices relative to sacret things”, dan selanjutnya “ that is to say, things set apart and forbidden – belief and practices which unite into one single moral community called church all those who adhere to them.” Agama menurut Durkheim berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat).
Kesimpulannya, agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciouness tersebut semakin lemah kembali.