Sabtu, 08 Maret 2014

Ridwan Efendi_Tugas1_Emile Durkheim

Nama    : Ridwan Efendi
NIM        : 1113054100020
Kelas     : Kesejahteraan Sosial 2A


Teori Sosiologi Emile Durkheim
1. Teori Solidaritas.
            Dalam teori menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan orang-orang yang melakukan pekerjaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat mereka untuk saling tergantung satu sama lain. Solidaritas menunjukkan pada suatu hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.

Suryo Widodo - Tugas1 - Dinamika Desa

Nama: Suryo Widodo
Kelas: PMI 2
NIM :  1113054000004
Dinamika Desa dalam Tinjauan Sejarah dan kebijakan Pembangunan di Indonesia
A.           Transformasi dan perubahan sosial masyarakat pedesaan

Pembangunan dan pengembangan pedesaan sangat di perlukan di indonesia karena sebagian besar atau 60 % rakyat indonesia tinggal di pedesaan dan bekerja sebagai petani. Pembangunan dan pengembangan pedesaan menurut mosher(mosher,1969,hlm 91)bertujuan yaitu : 1.Pertumbuhan sektor pertanian, 2. Integritas nasional maksudnya yaitu membawa seluruh penduduk kedalam suatu pola utama kehidupan yang sesuai, 3. Keadilan ekonomi maksudnya bagaimana pendapatan dapat di bagi bagi kepada seluruh penduduk

Eko Radityo_Tugas1_Teori Durkheim

Nama: Eko Radityo Adi N
NIM  : 1113054100005
Kelas : Kesejahteraan Sosial 2A

Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim memiliki nama lengkap David Emile Durkheim lahir 15 April 1858 meninggal 15 November 1917 pada umur 59 tahun. Durkheim dilahirkan di Espinal, Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh - ayah dan kakeknya adalah Rabi. Dia dikenal sebagai salah satu pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya - banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.

Rizky Arif Santoso ( PMI 2 - 111 3054 000 001 )

NAMA       :         RIZKY ARIF SANTOSO

KELAS       :         PMI 2

NIM            :         111 3054 000 001

 

Dinamika Desa Dalam Tinjauan Sejarah Dan Kebijakan Pembangunan Di Indonesia

 

Perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan bagi setiap masyarakat. Tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang luput dari perubahan. Auguste Comte menggambarkan masyarakat dalam dua dimensi, yakni statik dan dinamik. Dimensi statik menunjukkan struktur sosial yang ada dalam masyarakat dan aspek dinamik menunjukkan adanya perubahan yang terus terjadi dalam masyarakat. Perubahan sosial dapat dipandang bersifat alamiah karena pasti terjadi pada setiap masyarakat. Namun dampak yang ditimbulkan dari perubahan sosial dapat bersifat problematik maupun menguntungkan bagi masyarakat.

 Dampak sosial perubahan dapat terjadi secara berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakatnya. Dalam masyarakat yang modern, perubahan sosial yang terjadi acapkali disadari dan direncanakan (by design), sehingga dampak yang terjadi adalah keberuntungan. Misalnya penerapan berbagai perangkat teknologi tinggi, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun yang menunjang kehidupan sehari-hari seperti internet, komputer, pendingin/pemanas ruangan maupun pembangkit listrik tenaga nuklir. Semua teknologi tersebut telah mengubah kebiasaan hidup manusia menjadi hidup yang serba cepat dan nyaman. Kita tidak pernah membayangkan sebelumnya bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berjarak puluhan bahkan ratusan mil jauhnya hanya dalam hitungan detik melalui telpon genggam dan internet.

Demikian pula dengan kebutuhan energi listrik yang makin tinggi tidak mungkin dipenuhi oleh mesin-mesin yang digerakkan oleh tenaga diesel ataupun batu bara, melainkan sudah mengarah ke penggunaan nuklir. Sekalipun membawa keuntungan yang besar bagi kehidupan sehari-hari, perubahan tersebut menuntut banyak hal dari manusia pelaku dan penikmat perubahan tersebut. Beberapa di antaranya adalah disiplin (sesuai aturan) dan cermat. Di samping itu juga harus disadari bahwa makin tinggi teknologi yang digunakan, maka makin tergantung pula manusia pada teknologi tersebut. Kerusakan yang terjadi pada teknologi sekalipun sesaat akan membawa akibat yang besar keteraturan hidup manusia. Kita ambil contoh ketika pusat pembangkit listrik di kota New York rusak beberapa tahun lalu, kekacauan timbul baik di jalan, rumah, kantor maupun pusat perdagangan karena kesemuanya sangat tergantung pada pasokan listrik (mulai lampu lalu lintas, pemanas ruangan, lift, lampu penerangan, dan sebagainya.

Sedangkan dalam masyarakat yang masih bertaraf tradisional, perubahan sosial yang terjadi bisa jadi menimbulkan problema yang berkepanjangan hingga masyarakat tersebut dapat menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Misalnya ketika diterapkannya revolusi hijau di pedesaan Jawa pada tahun 70-an, yang meliputi pemilihan bibit unggul untuk menggantikan bibit lokal, penggunaan pupuk dan pestisida, serta berbagai peralatan modern dalam bidang pertanian lainnya (traktor, huler dan sabit) banyak sekali kekacauan sosial dalam masyarakat.  Jika sebelumnya masyarakat desa dapat “dipersatukan” dengan sistem bawon (setiap petani boleh ikut serta dalam pemanenan dan mendapat upah sesuai dengan ikatan padi yang diperolehnya), namun kini mereka tidak bisa lagi karena pemiliknya telah menebaskan sawahnya pada orang lain.

Demikian pula dengan penggilingan padi, jika dahulu dikerjakan beramai-ramai oleh ibu-ibu dengan cara menumbuk dalam lumpang kayu yang panjang, kini telah digantikan oleh mesin-mesin cerdas yang cukup dikerjakan oleh satu orang pria saja. Perubahan dalam kelembagaan juga harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan perubahan teknologi yang digunakan. Perubahan sosial semacam ini tentunya sangat problematik bagi warga desa karena secara kelembagaan mereka belum siap, dan perubahan yang terjadi acapkali dipaksakan dari luar.

Begitu juga kita bisa melihat contoh nyata dalam masyarakat Papua ketika masa orde baru, Ibu Tien Soeharto melalui yayasannya merubah kebiasaan masyarakat Papua yang menggunakan koteka dan rumbai-rumbai dengan pakaian kain tanpa mengajarkan filosofi berpakaian kain. Masyarakat Papua hanya diajarkan cara menggunakan pakaian kain tanpa mengajarkan berapa lama pakaian tersebut sehat untuk dipakai, bagaimana cara membersihkan dan bagaimana caranya untuk memperoleh yang baru jika yang lama rusak. Ketidakmengertian masyarakat Papua akan pakaian kain menyebabkan pada masa berikutnya banyak di antara mereka yang mengalami sakit kulit parah.

Perubahan-perubahan yang dipaksakan dari luar acapkali terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat lebih “rendah” dibandingkan masyarakat lainnya. Perubahan tersebut barangkali tidak dikehendaki namun harus terjadi. Masyarakat desa di Jawa barangkali tidak menghendaki penerapan teknologi maju di bidang pertanian, namun sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang membutuhkan ketersediaan beras dalam jumlah yang cukup, mau tidak mau, suka tidak suka perubahan itu harus dijalani.

Sekalipun mengalami dampak sosial yang problematik, masyarakat diharapkan pada suatu waktu akan dapat menemukan keseimbangan, yang dalam bahasa Parson disebut dengan homeostatic equilibrium, maksudnya jika satu bagian berubah maka bagian lain akan menyesuaikan sehingga tercipta keseimbangan baru. Teori fungsionalisme Parsons ini dianggap konservatif karena beranggapan masyarakat selalu berada pada situasi yang harmonis, stabil, seimbang dan bersifat mapan.

             Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan, dan baru disadari ketika mulai membandingkan kondisi saat ini dengan kondisi di masa lampau. Perubahan sosial yang terjadi dapat disadari maupun tak disadari, dapat bersifat  progress maupun regress (maju maupun mundur). Davis (1960) menyebut perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Secara sosiologis, faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan sosial, baik eksternal maupun internal ada 6, yaitu :

1.     Adanya kontak dengAn budaya lain

 

2.     Meningkatkan pendidikan warga ,masyarakat

 

3.     Adanya stratifikasi sosial yang bersifat terbuka

 

 

 

 

 

4.     Meningkatnya penghargaan terhadap karya pihak lain

·        Jumlah penduduk yang heterogen shg memungkinkan terjadinya interaksi sosial dan budaya satu dengan lainnya

·        Adanya ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kondisi atau bidang-bidang tertentu dalam masyarakat yang dinilai menghambat perkembangan dan kemajuan masyarakat

 

5.     Meningkatnya intervensi teknologi informasi melalui media TV dan film

·        Makin lancarnya perjalanan dari satu tempat ke tempat lain karena perdagangan makin lancar (Warsito

 

Adapun faktor yang menghambat perubahan social yaitu :

1.Adanya isolasi dari masyarakat lainnya

2.Pendidikan yang rendah

3.Sifat yang tradisional

4.Adanya vested interest

 

             Demikian pula dengan yang dikemukakan oleh Maran (2000) bahwa ada lima faktor yang menyebabkan  perubahan sosial budaya, yakni :

1.     Lingkungan alam seperti iklim, kekurangan bahan makanan atau jumlah penduduk

2.     Kontak budaya dengan masyarakat luar yang mempunyai nilai-nilai budaya, norma-norma yang berbeda

3.     Adanya discovery dan invention pada masyarakat tersebut

4.     Adopsi melalui proses difusi

5.     Adopsi pengetahuan dan kepercayaan baru

 

Dalam perspektif fungsional, khususnya person setiap masyarakat dan lembaga yang ada didalamnya akan senantiasa mengalami perubahan, dan perubahan tersebut akan mencapai bentuknya yang stabil dan seimbang, sehingga tidak terjadi kekacauan.

 

Referensi :

1.     http://psantoso-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-63786-Perubahan%20Masyarakat%20dan%20Kebudayaan-Transformasi%20dan%20Perubahan%20Sosial.html

2.     http://www.slideshare.net/veronicasilalahiii/perubahan-sosial-dalam-masyarakat-pedesaan

 

 

Fitri Qomariah_Tugas 1_Teori Emile Durkheim

Nama  : Fitri Qomariah
Nim     : 1113054100034
KesejahteraanSosial 2A
[PictureofEmileDurkheim[1].gif] Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis, 15 April 1858. Ia keturunan seorang pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Ia memilih menjadi Katholik, namun kemudian memilih untuk tidak tahu menahu (agnostic) tentang Katholikisme. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan umumnya dan banyak memberi perhatian pada masalah kesusasteraan dan estetika. Ia lebih menaruh perhatian pada masalah moralitas, terutama moralitas kolektif. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial.
Teori-teori Emile Durkheim
Teori Solidaritas
Teori Solidaritas Menurut Emile Durkheim, solidaritas sosial adalah "kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas sosial dibagi menjadi dua, yaitu:
·       Solidaritas mekanik yaitu solidaritas yang muncul pada masyarakat yang masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif, serta belum mengenal adanya pembagian kerja diantara para anggota kelompok.
·       Solidaritas organik yaitu solidaritas yang muncul dari ketergantungan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya akibat spesialisasi jabatan (pembagian kerja).
Ciri-ciri Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik.
Solidaritas Mekanik:
ü  Merujuk kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama.
ü  Didasarkanpada suatu tingkatan homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan  Dibentuk oleh hukum represif.
Solidaritas Organik
ü  Menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat.
ü  Merupakan ciri dari masyarakat modern, khususnya kota.
ü  Bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda
ü  Dibentuk oleh hukum restitutif.
Dalam masyarakat modern, masalah begitu kompleks meliputi: •Ada banyak peran dan cara untuk hidup, sehingga membuat munculnya individualistik •Perubahan yang cepat dalam pembagian kerja membuat masyarakat bingung untuk menyesuaikan dirinya Bahkan hal ini mengakibatkan norma-norma yang mengatur mereka banyak yang dilanggar •Masyarakat cenderung anti sosial atau sering disebut oleh Durkheim anomi.
Teori Fakta Sosial
Durkheim mengembangkan konsep masalah pokok sosiologi penting dan kemudian diujinya melalui studi empiris. Dalam Thu Rule of Sociological Methode (1895/1982) Durkheim menekankan bahwa tugas sosiolog adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial. Ia membayangkan fakta sosial sebagai kekuatan (forces) dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu. Sudi tentang kekuatan dan struktur bersekala luas ini misalnya, hukum yang melembaga dan keyakinan moral bersama dan pengrusnya terhadap individu menjadi sasaran studi banyak teoritisi sosiologi dikemudian hari.
Dalam bukunya yang berjudul Suicide (1897/1951) Durkheim berpendapat bahwa bila ia dapat menghubungkan perilaku individu seperti bunuh diri itu dengan sebab-sebab sosial (fakta sosial) maka ia akan dapat menciptakan alas an meyakinkan tentang pentingnya disiplin sosiologi.
Teori Bunuh Diri
Teori Bunuh Diri Alasan utama Durkheim melakukan studi bunuh diri adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat yaitu:
1. Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama
2. Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga
3. Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik
Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:
ü  Bunuh Diri Egoistis, disebabkan rendahnya integrasi.
ü  Bunuh Diri Altruistis, disebabkan tingginya integrasi.
ü  Bunuh Diri Anomi, disebabkan rendahnya regulasi.
ü  Bunuh Diri Fatalistis, disebabkan tingginya regulasi.
Teori tentang Agama
            Dalam karyanya yang terakhir, The Elementary Fornis of Religious Life (1912/1965), ia memutuskan perhatian pada bentuk terakhir fakta sosial nonmaterial, yakni agama.Dalam karya ini Durkheim membahas masyarakat primif untuk menemukan akar agama. Durkheim yakin bahwa ia akan dapat secara lebih baik menemukan akar agamaitu dengan jalan membandingkan masyarakat primitive yang sederhana ketimbang di dalam masyarakat modern yang kompleks. Temuannya adalah bahwa sumber sesuatu itu bersifat sakral dan yang lainnya bersifat profane, khususnya dalam kasus yang disebut totemisme.
Berangkat dari kajiannya tentang paham totemisme masyarakat primitive di Australia, Durkheim berkesimpulan bahwa bentuk-bentuk dasar agama meliputi:
1. Pemisahan antara `yang suci' dan `yang profane'
2. Permulaan cerita-cerita tentang dewa-dewa                                                              
3. Macam-macam bentuk ritual.
Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama adalah satu dan sama. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. 

Lisda Nur Asiah_Tugas1_Teori Sosiologi Emile Durkheim

Nama       : Lisda Nur Asiah
NIM           : 1113054100030
Jurusan    : Kesejahteraan Sosial 2A
Teori Sosiologi Emile Durkheim
Biografi Emile Durkheim
            Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis, 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 19888). Ia bukan hanya kecewaterhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan umumnya dan banyak memberi perhatian pada masalah kesusastraan dan estetika.  Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Meski ia tertarik pada  sosiologi ilmiah  tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris.
            Hasyaratnya terhadap ilmu makin besar dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan bukunya itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi.
            Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Teteap, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1937) karya Talcott Parsons.
            Secara politik, Durkheim adalah seorang liberal, tetapi secara intelektual ia tergolong lebih konservatif. Karyanya banyak mendapat inspirasi dari kekacauan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial besar seperti Revolusi Perancis dan oleh perubahan sosial lain seperti pemogokan buruh industri, kekacauan kelas penguasa, perpecahan negara-gereja, dan angkatan politik antisemitisme yang menonjol di Perancis di masa hidup Durkheim (Karady, 1983).
            Adapun beberapa pemikiran secara teoritis yang telah dikemukakan oleh Emile Durkheim,  yakni beserta pemaparannya ialah sebagai berikut :
1.     Fakta-fakta Sosial (The Rule of Sociological Method)
 Durkheim mengembangkan konsep masalah pokok sosiologi penting dan kemudian diujinya melalui studi empiris. Dalam The Rule of Sociological Method (1895/1982) Durkheim menekankan bahwa tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial. Ia membayangkan fakta sosial sebagai kekuatan (forces)(Takla dan Pope, 1985) dan struktur yang bersifat eksternal dan memaksa individu.
Dalam The Rule of Sociological Method ia membedakan antara dua fakta sosial : material dan nonmaterial. Meski ia membahas keduanya dalam karyanya, perhatian utamanya lebih tertuju pada fakta sosial nonmaterial (misalnya kultur, institusi sosial) ketimbang pada fakta sosial material (birokrasi, hukum).
2.     Teori Bunuh Diri (Suicide)
Dalam bukunya yang berjudul Suicide (1897/1982) Durkheim berpendapat bahwa ia dapat menghubungkan prilaku individu seperti bunuh diri itu dengan sebab-sebab sosial (fakta sosial) maka ia akan dapat menciptakan alasan meyakinkan tentang pentingnya disiplin sosiologi. Argumen dasarnya adalah bahwa sifat dan perubahan fakta sosiallah yang menyebabkan perbedaan rata-rata bunuh diri. Mislnya, perang atau depresi ekonomi dapat menciptakan perasaan depresi kolektif yang selanjutnya dapat meningkatkan angka bunuh diri.
Berdasarkan pengamatan Durkheim, bahwa angka bunuh diri dari tahun ketahunnya memiliki angka peningkatan yang cukup signifikan hal ini disebabkan oleh kekuatan yang berada diluar individu. Dalam suatu jenis bunuh diri yang dinamakannya, altruistic suicide, bahwa angka bunuh diri disebabkan angka integrasi sosial yang terlalu kuat, misalnya pada masyarakat militer. Sedangkan pada jenis bunuh diri  egoistic suicide, disebabkan oleh integrasi masyarakat yang terlalu lemah, seperti halnya faktor rendahnya keimanan religious dalam beragama maupun kemiskinan.
3.     Teori solidaritas (The Division of Labor in Society)
 Perhatiannya terhadap fakta sosial nonmaterial ini telah jelas dalam karyanya paling awal, The Division of Labor in Society (1893/1964). Dalam buku ini perhatiannya tertuju pada upaya membuat analisis komparatif mengenai apa yang membuat masyarakat bisa dikatakan berada dalam keadaan primitif atau modern. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama oleh fakta sosial nonmaterial, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas bersama, atau oleh apa yang ia sebut sebagai kesadaran kolektif yang kuat. Tetapi, karena kompleksitas masyarakat modern, kekuatan kesadaran kolektif itu telah menurun. Ikatan utama dalam masyarakat modern adalah pembagian kerja yang ruwet, yang mengikat orang yang satu dengan oranglainnya dalam hubungan saling tergantung.  Tetapi, menurut Durkheim, pembagian kerja dalam masyarakat modern menimbulkan beberapa patoligi (pathologies) .  Dengan kata lain, divisi kerja bukan metode yang memadai yang dapat membantu menyatukan masyarakat. Kecenderungan sosiologi konservatif Durkheim terlihat ketika ia menganggap revolusi tak diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Menurutnya, berbagai reformasi dapat memperbaiki dan menjaga sistem sosial modern agar tetap berfungsi. Meski ia mengakui bahwa tak mungkin kembali ke masa lalu dimana kesadarn kolektif masi menonjol, namun ia menganggap bahwa dalam masyarakat modern moralitas bersama dapat diperkuat dan karena itu manusia akan dapat menanggulangi penyakit sosial yang mereka alami dengan cara yang lebih baik.
4.     Teori tentang Agama(The Elementary Forms of Religious Life)
Dalam karyanya yang kemudian, fakta sosial nonmaterial menempati posisi yang jauh lebih sentral. Dalam karyanya yang terakhir, The Elementary Forms of Religious Life ( 1912/1965 ), ia memusatkan perhatian pada bentuk terakhir fakta sosial nonmaterial – yakni agama. Durkheim yakin bahwa ia akan dapat secara lebih baik menemukan akar agama itu dengan jalan membandingkan masyarakat primitif yang sederhana ketimbang di dalam masyarakat modern yang kompleks. Temuannya adalah bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri. Masyarakatlah yang menentukan bahwa sesuatu itu bersifat sakral dan yang lainnya  bersifat profan, khususnya dalam kasus yang disebut tetomisme. Dalam agama primitif (tetomisme) ini benda-benda seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang didewakan. Selanjutnya tetomisme dilihat sebagai tipe khusus fakta sosial nonmaterial, sebagai bentuk kesadaran kolektif. Akhirnya Durkheim menyimpulkan bahwa masyarakat dan agama (atau lebih umum lagi, kesatuan kolektif) adalah satu dan sama. Agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dirinya sendiri dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Sedikit banyaknya Durkheim tampak mendewakan masyarakat dan produk-produk utamanya. Jelasnya, dalam mendewakan masyarakat menampakan pendirian yang sangan konservatif : orang tak mau menjatuhkan sumber ketuhanannya sendiri atau sumber kehidupan masyarakatnya. Karena ia meyamakan masyarakat dengan dewa (Tuhan), maka Durkheim  berkecenderungan untuk mendorong revolusi. Durkheim adalah seorang reformasi yang mencari untuk meningkatkan fungsi masyarakat. Dalam hal ini, dan dalam hal lainnya, Durkheim sejalan dengan sosiolog konservatif Perancis.
            Buku-buku tersebut di atas dan karya penting lainnya membantu memantapkan posisi sosiologi di dunia akademi di Perancis pada pergantian abad dan menempatkan Durkheim pada posisi puncak dalam bidang kajian yang sedang tumbuh itu. Pada 1898 Durkheim menerbitkanjurnal ilmu L'annee Sociologique (Besnard, 1983). Jurnal ini sangat berpengaruh dalam perkembangan dan penyebaran pemikiran sosiologi.
 
Daftar Pustaka
 
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta : UI Press
Beiharz, Peter. 2002. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Deshinta Ria Liany_Tugas1_Teori Durkheim

Emile Durkheim

Emile Durkheim lahir di Epinal, provinsi Lorraine, Perancis Timur pada 15 April 1858. Durkheim disebut sebagai sosiologi Perancis pertama yang sepanjang hidupnya menempuh jenjang ilmu sosiologi yang paling akademis. Dialah yang juga memperbaiki metode berpikir sosiologis yang tidak hanya berdasarkan pemikiran-pemikiran logika filosofis tetapi sosiologi akan menjadi ilmu pengetahuan yang benar apabila mengangkat gejala sosial sebagai fakta-fakta yang dapat diobservasi.

·         Teori-teori Emile Durkheim

1.      Teori Solidaritas (The Division of Labour in Society)

Dalam buku ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan kelompok yang didasarkan pada perasaanmoral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.

a.       Solidaritas mekanis

Solidaritas mekanis dibentuk oleh hokum represif karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggaranya terhadap system moral kolektif.  Meskipun pelanggaran terhadap system moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat.

b.      Solidaritas organik.

Masyarakat solidaritas organik dibentuk oleh hukum restitutif. Dimana seseorang yang melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat masyarakat modern bentuk solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya hilang. Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian pekerjaan sosial.

 

2.      Fakta Sosial (The Rule Of Sociological Method)

Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal; atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individual.

Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial:

a)      Fakta sosial Material

Fakta sosial material lebih mudah dipahami karena bisa diamati. Fakta sosial material  tersebut sering kali mengekspresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuta yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.

b)      Fakta sosial Nonmaterial

Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia ada dalam fikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan mematuhi hukumnya sendiri. Individu masih perlu sebagai satu jenis lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun bentuk dan isi partikularnya akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh individu. Oleh karena itu dalam karya yang sama Durkheim menulis: bahwa hal-hal yang bersifat sosial hanya bisa teraktualisasi melalui manusia; mereka adalah produk aktivitas manusia.

 

Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial:

1)      Moralitas

Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada di luar individu, ia memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukanlah sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris. Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya kepada “kesehatan” moral masyarakat modern.

2)      Kesadaran Kolektif

Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut; “seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular”.

Ada beberapa hal yang patut dicatat dari definisi ini. Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut “keseluruhan” kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material sebagaimana yang dikemukakan Marx. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa “terwujud” melalui kesadaran-kesadaran individual.

Kesadaran kolektif merujuk pada struktur umum pengertian, norma, dan kepercayaan bersama. Oleh karena itu dia adalah konsep yang sangat terbuka dan tidak tetap. Durkheim menggunakan konsep ini untuk menyatakan bahwa masyarakat “primitif” memiliki kesadaran kolektif yang kuat, yaitu pengertian, norma, dan kepercayaan bersama, lebih dari masyarakat modern.

3)      Representasi Kolektif

Contoh representasi kolektif adalah simbol agama, mitos, dan legenda populer. Semuanya mempresentasikan kepercayaan, norma, dan nilai kolektif, dan mendorong kita untuk menyesuaikan diri dengan klaim kolektif. Representasi kolektif juga tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial, dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena cenderung berhubungan dengan simbol material seperti isyarat, ikon, dan gambar atau berhubungan dengan praktik seperti ritual.

4)      Arus Sosial

Menurut Durkheim, arus sosial merupakan fakta sosial yang tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Durkheim mencontohkan dengan “dengan luapan semangat, amarah, dan rasa kasihan” yang terbentuk dalam kumpulan publik.

5)      Pikiran Kelompok

Durkheim menyatakan bahwa pikiran kolektif sebenarnya adalah kumpulan pikiran individu. Akan tetapi pikiran individual tidak secara mekanis saling bersinggungan dan tertutup satu sama lain. Pikiran-pikiran individual terus-menerus berinteraksi melalui pertukaran simbol: mereka megelompokkan diri berdasarkan hubungan alami mereka, mereka menyusun dan mengatur diri mereka sendiri. Dalam hal ini terbentuklah suatu hal baru yang murni bersifat psikologis, hal yang tak ada bandingannya di dunia biasa.

 

3.      Teori Bunuh Diri (Suicide)

Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi. Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.

Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat:

·         Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama. Dari data yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya.

·         Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga. Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut.

·         Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik. Dari data yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya dengan masyarakat sipil.

            Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik. Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:

 

v  Bunuh Diri Egoistis. Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.

v  Bunuh Diri Altruistis. Terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. Contoh lain bunuh diri di Jepang (Harakiri). Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.

v  Bunuh Diri Anomic. Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan.

v  Bunuh Diri Fatalistis. Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan.

 

4.      Teori tentang Agama (The Elemtary Forms of Religious Life).

Dalam teori ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi agama dari sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan ”a unified system of belief and practices relative to sacret things”, dan selanjutnya “ that is to say, things set apart and forbidden – belief and practices which unite into one single moral community called church all those who adhere to them.” Agama menurut Durkheim berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sacral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.

Dasar dari pendapat Durkheim adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma ke dalam collective representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna (Tuhan adalah personifikasi masyarakat).

Kesimpulannya, agama merupakan lambang collective representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciouness tersebut semakin lemah kembali.

Cari Blog Ini