Rabu, 11 Mei 2016

Mughni Labib (1113054000003) dan Irsyadi Farhan (1113054000028)_Ekologi Manusia_PMI 6_Tugas 5_Mempelajari Nilai-nilai Ekologi pada Masyarakat Adat

MERUWAT BUMI

Warisan Luhur Wali Lingkungan

untuk Masyarakat Muria dan Dunia

A.    Sejarah Masyarakat Pegunungan Muria

Peradaban primitif Muria sebenarnya masih menjadi tanda tanya besar. Menurut Mastur, masyarakat Muria (khususnya yang berdomisili di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus) pra-Islam memiliki kepercayaan animism. Dia mengungkapkan, bekas-bekas kepercayaan itu masih terasa pada akhir tahun 1950-an ketika sebagian masyarakat mengadakan ritual bakar menyan setiap malam Jum'at, memberikan sesajen, dan sebagainya sebagai sarana untuk meminta rezeki dan pertolongan.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Widjanarko ketika dalam perjalanan Jelajah Muria di Desa Tempur (yang diyakini banyak pihak sebagai kawah purba Muria), Jepara. Pada lokasi Candi Angin Kidul dan Candi Angin Lor, Dukuh Duplak, Tempur, Jepara terdapat bukti bebatuan yang tertata rapih tetapi bukan berasal dari Hindu atau Buddha. "Namun, saya belum berani menarik kesimpulan mengenai persoalan apakah sebelum Hindu, Budha masuk ke Jawa sudah ada masyarakat Jawa penganut keimanan asli Jawa (Kapitayan), khususnya di kawasan Muria. Hal ini masih saya cek dengan kawan-kawan sejarawan dan arkeolog." Ungkap Widjanarko.

Berbicara tentang sejarah masyarakat pegunungan Muria tidak bisa lepas dengan keterlibatan sosok anggota Wali Songo, Sunan Muria. Dialah tokoh yang dikenal sebagai wali yang menyebarkan agama Islam dan membentuk peradaban baru bernafaskan Islam di kawasan Muria. Sunan Muria yang bernama asli Raden Umar Said ini memiliki ikatan erat dengan perjuangan Wali Songo, khususnya kepada Sunan Kudus yang merupakan kakak iparnya. Mengenai asal-muasal Sunan Muria masih kontroversi di antara banyak kalangan. Dalam literatur sejarah sering disebutkan bahwa Sunan Muria merupakan putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah, putrid Maulana Ishaq. (Seperti dalam bukunya Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, terbitan Menara Kudus, Kudus, 1974).

Widjanarko menyepakati pendapat tersebut. Dia mengutip pendapat Slamet Muljana, dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (1968), disebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan seorang Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut "tak pandai berbahasa Tionghoa karena berbaur dengan penduduk suku Jawa". Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong, Semarang pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan Slamet ini mengundang 'kehebohan'. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. "Sayang sekali, belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu". Ungkap lelaki yang juga Dosen Psikologi di Universitas Muria Kudus itu.

Widjanarko juga merujuk pada karya Umar Hasyim, Sunan Muria; Antara Fakta dan Legenda (1983), yang menurutnya lebih ilmiah dalam menulusuri silsilah Sunan Muria. Buku tersebut berusaha membedakan cerita rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan Tionghoa.

Dalam bukunya itu, Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.

Setelah ditelisik dari trah yang masih ada, terdapat keganjilan mengenai asal-usul Sunan Muria. Menurut Mastur Muhdi, selaku pengurus Yayasan Pengelola Makam Sunan Muria, Sunan Muria bernama asli Raden Umar Said bin Sayyid Karomat dengan Nyi Ageng Maloko. Berbeda dengan cerita yang berkembang di literatur sejarah, Sunan Muria bukan warga pribumi tetapi pendatang dari Timur Tengah Selatan.

Mastur menuturkan, asal-usul Sunan Muria versi ini menurut silsilah lama yang disalin pada tahun 1968 sesuai aslinya. Bahkan fakta ini disebutnya berdasarkan wawancara kepada K. Ismail Honggo Wiyono (alm), sesepuh kawasan Muria yang merupakan keturunan Sunan Muria. Sayangnya silsilah yang didapatkan hanya sampai pada kedua orang tuanya, kemudian turun sampai trah generasi kesepuluh. Mengenai kontroversi silsilah Sunan Muria, menurut Widjanarko tidak perlu diperdebatkan. "Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan Muria dalam berdakwah".

Sunan Muria memilih berdakwah di daerah pegunungan dengan beberapa pertimbangan. Sosok Sunan yang rendah hati dan bergaya hidup sederhana ini mendirikan masjid di puncak gunung supaya menarik perhatian para penduduk sekitar. Kesederhanaan dan kezuhudan beliau diuji, ketika kemegahan bangunan masjid Muria mendapat sanjungan dari berbagai kalangan, termasuk para wali. Untuk menghilangkan stigma kemegahan tersebut, Sunan Muria memutuskan untuk membakar habis bangunan masjid, yang kemudian didirikanlah masjid yang lebih sederhana. Masjid tersebut  memiliki sengkalan (Kalender Jawa―Candra Sengkala) 4.4.1668 yang menunjukkan tanggal masjid itu dibangun.

Menurut Mastur, keabsahan cerita pembakaran masjid pernah dibuktikan ketika adanya renovasi masjid pada tahun 1974. Pada waktu itu ditemukan sisa-sisa pembakaran berupa arang kayu ketika menggali fondasi masjid. "Cerita tersebut memberikan perlajaran bagi kita untuk senantiasa rendah hati dan hidup sederhana." Tutur Mastur.

Sikap wara' (hati-hati, proporsional) dan tidak suka bermegah-megahan ini juga ditunjukkan ketika Sunan Muria bersilaturahim ke rumah iparnya, yakni Sunan Kudus. Raden Ja'far Shodiq (Sunan Kudus) terbilang kategori wali yang cukup kaya. Untuk menghormati kedudukan Sunan Kudus, Sunan Muria menyematkan "Lung Wi" kepada putrinya dan seketika menjadi emas. Selesai silaturahim, beliau membuang emas tersebut dan berubah menjadi Lung Wi kembali. Karena beliau tidak suka dengan perhiasan seperti emas, muncul mitos di kalangan peziarah bahwa tidak boleh memakai perhiasan yang berlebihan ketika berkunjung ke makam. Jika hal itu dilanggar maka mereka akan kehilangan perhiasan tersebut.

Widjanarko juga memuji metode dakwah Sunan Muria. "Gayanya yang 'moderat', mengikuti Sunan Kalijaga, menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya." Tuturnya.

Jenis tradisi yang berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan sesaji diganti dengan doa atau shalawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai sekarang masih lestari.

Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana, sampai pesisir utara. "Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dkenal sebagai Sunan yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan 'menghanyutkan diri' dalam masyarakat." Ungkap Widjanarko mengakhiri wawancara.[1]                      

B.     Lokasi Muria dan Gambaran Umum Masyarakat Muria

Pegunungan Muria atau Gunung Muria terletak di wilayah utara Jawa Tengah bagian timur, yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kudus di sisi selatan, di sisi barat laut berbatasan dengan Kabupaten Jepara, dan di sisi timur berbatasan dengan Kabupaten Pati.[2] Untuk bagian pembahasan berikut ini lebih tertuju pada masyarakat Muria yang ittiba' (mengikuti serta memelihara tradisi) ajaran Sunan Muria dan lebih banyak berdomisili di Colo.

Desa Colo terletak di kecamatan Dawe, Kudus, Jawa Tengah. Persisnya terletak di sekitar 18 Km ke arah utara dari pusat kota Kudus, tepatnya lagi di kawasan Pegunungan Muria.[3] Sebagaimana akhir tahun 2015 kemarin, saya (Mughni Labib) serta rombongan santriwan-santriwati Pondok Pesantren Daar El-Hikam bersama Kiai Bahruddin (pengasuh PP Darhik―Daar El-Hikam, sekaligus guru Irsyadi Farhan sewaktu di MA Al-Falah Jakarta Barat) rihlah ruhaniyah atau singkatnya wisata ziarah ke makam Wali Songo dan Madura. Kami dapati hampir semua masyarakat sekitar makam, termasuk masyarakat sekitar makam Sunan Muria, aktifitas yang digelutinya adalah berprofesi sebagai pedagang.

Apalagi saat masuk areal gapura masuk makam (sekitar 150 kaki tangga masuk areal makam dan masjid Sunan Muria). Kita, para pengunjung/peziarah yang hendak ke makam Sunan Muria untuk berziarah disuguhi terlebih dahulu pemandangan jajakan dagang di kanan-kiri kami selama pendakian 150 kaki lamanya. Cerdas sekali masyarakat sekitar Muria memanfaatkan situasi-kondisi bilamana pengunjung/peziarah mengalami kelelahan dan tiada jalan lain selain rehat sejenak di pinggir warung, misalnya, dan menyimpang dulu ke toilet yang disediakan oleh masyarakat Muria.

Dengan demikian masyarakat Muria telah melakukan apa yang dinamakan tepo seliro. Tepo seliro atau tepa selira merupakan adat masyarakat Jawa yang bermakna merasakan apa yang dirasakan orang banyak, merasakan letihnya perjalanan, lelahnya pendakian, yang diderita para pengunjung/peziarah. Seperti Rasulullah saw yang teramat merasakan pedihnya kehidupan rakyat. 'Azîzun 'alaihi mâ anittum harîshun 'alaikum bil-mu`minîna raûfun rahîm.       

C.    Nilai-nilai Ekologi Masyarakat Muria: Meruwat Bumi

Telah disinggung sebelumnya di atas, bahwa sebelummasyrakat Muria mengenal Islam yang didakwahkan oleh Sunan Muria, masyarakat Muria menganut paham animisme-dinamisme, memuja arwah roh leluhur/nenek moyang dan benda-benda. Namun, disini kami kurang setuju dengan pendapat tersebut. Kami lebih menitik-beratkan pada pendapat K.Ng Agus Sunyoto dalam bukunya Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. Selain di buku tersebut pun, K.Ng Agus Sunyoto sering mengungkap dalam pengajian rutinnya di Pesantren Global  Tarbiyatul Arifin-Malang, pada seminar, bedah buku dan diskusi bersamanya, apa yang disebut-sebut sejarawan Belanda dengan animisme-dinamisme, kepercayaan yang mayoritas dianut oleh masyarakat purba pribumi Nusantara sebelum masuknya Hindu-Buddha-Islam itu adalah keliru besar.  

Agama kuno yang tersebar luas sejak dari India, Indocina, Indonesia, Tiongkok Selatan, hingga pulau-pulau Pasifik yang disebut P. Mus sebagai animisme, pada dasarnya adalah agama kuno penuduk Nusantara, yang di Pulau Jawa dikenal dengan sebutan Kapitayan, yaitu agama kuno yang tumbuh dan berkembang di Nusantara semenjak berkembangnya kebudayaan Kala Paleolithikum, Messolithikum, Neolithikum, Megalithikum, yang berlanjut pada kala perunggu dan besi.[4]

Secara sederhana, Kapitayan dapat digambarkan sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa, Kosong, Suwung, atau Awang-uwung. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindera. Orang Jawa kuno [yang masyarakat Muria termasuk di dalamnya] mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat "tan kena kinaya ngapa" alias 'tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya'. Kata Awang-uwung bermakna Ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi Ada.[5]

Kepercayaan Kapitayan menjadi temuan menarik dalam studi sejarah. Simhoréng téh, ternyata eh ternyata, kepercayaan kuno itulah yang memberikan kemudahan masyarakat Nusantara pada umumnya dan masyarakat Muria khususnya menerima ajaran tauhid yang didakwahkan oleh Wali Songo, tidak lain dan tidak bukan adalah Islam. Nilai-nilai ekologi yang diaplikasikan sebagian besar masyarakat Muria pastinya tidak lepas dari ajaran dan tuntunan dari Sunan Muria sendiri yang terdeskripsi pada ajaran terkenalnya 'Meruwat Bumi'.

Meruwat Bumi berarti merawat, menjaga, memelihara dan melestarikan lingkungan baik flora dan fauna yang ada di alam semesta. Pari Joto, buah yang hingga kini ditanam dan dilestarikan masyarakat Muria, Pakis Haji untuk 'mengusir' hama-hama tanpa membnuhnya dan sebagainya merupakan suatu nilai-nilai ekologi masyarakat Pegunungan Muria. Selanjutnya, kami paparkan pemikiran/pengamalan Sunan Muria yang menurut kami lengkap adanya pada buku Napaḱ Jejak Pemikiran Sunan Muria: Dari Ekoreligi Hingga Akidah Muttahidah karya Widi Muryono, khususnya pada pembahasan 'Fikih Lingkungan: Konsep Fikih Lingkungan Sunan Muria' agar lebih memperdalam sebenarnya mengapa masyarakat Muria meruwat warisan Sunan Muria dari Pari Joto sampai Kali Buntung. Konsepsi Fikih Lingkungan Sunan Muria yang merupakan cabang dari pemikiran-pemikiran Sunan Muria terdiri dari empat macam konsep seperti berikut.

Ø Pari Joto dan Pesan Ibadah

Pari Joto[6], buah ini sejatinya kaya nutrisi semangat kemanusiaan. Kita perlu mengupasnya dengan kerangka ushul fikih untuk mengeluarkan nutrisi yang dikandungnya. Pari Joto dipercaya memiliki khasiat dapat memberi manfaat kebaikan alam untuk perkembangan dan pembentukan sel otak janin dalam kandungan. Pari Joto secara faktual melampaui sisi mitologisnya sebagai 'buah keramat'. Selain bertuah dapat mendukung kualitas fisik keturunan, Pari Joto juga mengandung berbagai nutrisi dan vitamin yang dapat membantu pembentukan jaringan otak pada janin. Artinya, Pari Joto secara alamiah memliki fungsinya menciptakan kualitas keturunan, baik secara fisik maupun psikis. Sedikitnya Pari Joto memuat dua maslahat, yakni hifzh al-nasl (menjaga dan memperbaiki kualitas keturunan) dan hifzh al-'aql (menjaga dan meningkatkan kualitas otak pada janin). Jika demikian, maka Pari Joto adalah mitologi berwawasan ekoreligi bernuansa fikih.[7]

Keyakinan Pari Joto sebagai sebuah buah bernutrisi spiritual diperkukuh oleh kisah Rasulullah saw yang menganjurkan mengonsumsi jinten hitam (habbatu as-saudâ) sebagai ikhtiar untuk menyembuhkan segala jenis penyakit kecuali mati. Selain mempunyai kemiripan muatan pesan dengan jinten hitam, pari joto pun semakna (punya kemiripan manfaat) seperti madu dalam imajinasi spiritual dan medis masyarakat muslim, sebagaimana tertuang dalam firman Allah, Surat An-Nahl ayat 68-69.

 

 

     

Ø Pakis Haji, Tikus dan Konservasi Keanekaragaman Hayati

Simbol yang paling mencolok dalam mitologi Pakis Haji[8] adalah tikus, padi dan kayu Pakis Haji itu sendiri. Relasi ketiganya adalah jejaring komunitas alam yang berada pada titik keseimbangan alam. Sebagaimana diketahui, tikus adalah hewan perusak tanaman pertanian (hama), di antaranya adalah padi. Tikus adalah hewan yang mengancam sumber pangan manusia, di mana pangan merupakan kebutuhan pokok untuk menunjang maqashid al-syari'ah (tujuan penerapan hukum syariat/ibadah). Pangan menjadi salah satu sumber utama yang menjamin eksistensi jiwa, akal, harta, keturunan dan agama. Faktanya, kemiskinan (yang di antara gejalanya adalah krisis pangan) mengundang nestapa penyakit kekurangan gizi, yang akan berujung pada kematian. Krisis pangan juga mengancam dimensi vital lainnya; kekurangan gizi dapat menghambat perkembangan fisik dan psikis manusia, ia juga dapat mengantarkan manusia pada kekufuran, sebagaimana diwanti-wanti Rasulullah dalam haditsnya, bahwa kefakiran itu dekat dengan kekufuran.[9] Kalau pun tidak kufur iman, maka yang terjadi adalah kufur nikmat alias tidak bersyukur.     

Pada kasus Pakis Haji, tikus adalah salah satu hama yang berpotensi menimbulkan bencana kemanusiaan tersebut, karena ia dapat merusak tanaman pertanian dan berujung pada gagal panen. Dampak ikutannya adalah krisis pangan. Jika demikian, seharusnya tikus adalah hewan yang 'sah' untuk dibunuh. Namun tidak demikian dengan ajaran mitologi Pakis Haji. Sunan Muria, melalui Pakis Hajinya, memahami bahwa tikus adalah bagian dari mata-rantai interdependensi ekologis. Ia masuk dalam daftar peserta rantai makanan, sehingga jika ia dimusnahkan, maka akan berakibat pada putusnya mata-rantai makanan, itu berarti awal dari punahnya fauna yang terlibat pada mata-rantai makanan itu. Tentu saja kepunahan tikus menjadi derita krisis pangan bagi hewan-hewan predator pemangsanya. Dampak lanjutannya, ketidakseimbangan alam, yang, pada titik tertentu, ketakseimbangan alam ini dapat mengguncang kebutuhan manusia. Ujungnya, guncanya maqashid asy-syari'ah.[10]

Berangkat dari pemikiran ini, Sunan Muria mengambil langkah cerdas sekaligus tanpa efek samping. Perlu ditegaskan di sini, sebenarnya sah-sah saja seandainya Sunan Muria menggunakan pendekatan kaidah "idzâ ta'aradla al-dharuraini, fa-akhdzu bi-akhaffihimâ", ketika terjadi dua ancaman bahaya sekaligus, maka diambil resiko yang paling kecil. Jika menggunakan pendekatan kaidah ini, maka Sunan Muria bisa saja memerinyahkan para santrinya (termasuk masyarakat sekitar) membasmi tikus-tikus rakus itu, karena madlarat gagal panen lebih besar daripada ancaan madlarat kepunahan tikus. Namun, pendekatan kaidah ini tidak digunakan oleh Sunan Muria. Sunan Muria, dalam proses ijtihadnya, seolah lebih memilih kaidah yang lebih umum, "al-dlararu yuzâlu", segala macam bentuk ancaman bahaya harus dihindari. Membiarkan tikus merusak padi atau memberantas tikus demi menyelamatkan padi adalah dua dlarar yang ingin dihindari yakni dengan menggunakan Pakis Haji sebagai pengusir tikus. Dengan metode Pakis Haji, tikus tidak punah. Pun, panen tetap dapat dirayakan.[11]

Pemikiran yang ramah lingkungan ini adalah tujuan konservasi keanekaragaman hayati sebagai bentuk ikhtiar menjaga kualitas keseimbangan alam, di mana ia juga telah merupakan upaya menjaga kualitas kehidupan manusia. Muatan ikhtiar itu adalah penerjemahan pesan penting Rasulullah yang menegaskan bahwa membunuh hewan harus berdasarkan asas manfaat. Membunuh hewan tanpa alasan atau tanpa kepentingan tertentu tidak diperkenankan, sebagaimana diterangkan dalam hadits:

"Barangsiapa membunuh seekor burung dengan sengaja dan sia-sia, kelak burung itu akan mengadu kepada Allah di hari kiamat, seraya berkata:"Wahai Tuhan, si fulan (orang itu) telah membunuhku dengan sia-sia dan aku dibunuh tidak dengan tujuan yang bermanfaat."

(HR. An-Nasa`i, Sunan An-Nasa`i, Juz 13, hal. 455)

 Larangan mengganggu bahkan merusak habitat binatang pernah disampaikan oleh Rasulullah, sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Mas'ud, suatu ketika Rasulullah bepergian bersama para sahabatnya, dan ikut di antaranya Ibnu Mas'ud. Di tengah perjalanan, ketika Rasulullah tengah berhajat, para sahabat melihat seekor burung yang mempunyai dua ekor anak, lalu sahabat mengambil kedua anak burung tersebut. Induk burung itu datang dan terbang diatas kepala mereka. Saat menyaksikan hal itu Rasulullah bersabda:"Siapakah yang menyusahkan burung ini dengan mengambil anaknya? Kembalikanlah anaknya." Selain itu, Rasulullah juga melarang menyiksa atau membakar binatang dengan api. Hal ini terlihat pada kelanjutan riwayat perjalanan Rasulullah bersama para sahabat, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Mas'ud sebelumnya:"Kemuidan Nabi melihat sarang semut terbakar, lalu beliau bertanya: 'Siapa yang membakar ini?' Jawab kami:'kamilah yang membakarnya ya Rasulullah'. Rasulullah bersabda:"Tidak harus menyiksa dengan api, kecuali Allah yang menjadikan api itu." (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Riyâdl ash-Shâlihîn [terj.], Jilid II, hal. 470)[12]                      

Ø Jati Masin, Kayu Adem Ati, dan Amar (Perintah) Konservasi

Mitologi pohon jati keramat di situs makam Raden Ayu Dewi Nawangsih dan kayu Adem Ati menebar inspirasi konservasi dan seruan menanam pohon sebagai upaya menciptakan lingkungan yang asri dan berkelanjutan. Pohon adalah sumber kehidupan. Sehingga mengeksploitasi pohon secara liar atau serakah berarti merusak lingkungan. Kerusakan pohon ini akan berdampak pada bencana lingkungan: banjir, longsor dan pemanasan global. Apa yang dikemas Sunan Muria dalam mitologi pohon jati keramat adalah upaya untuk mewujudkan situs keramat sebagaimana hima dalam konsep fikih. Lahan hima ini terlarang. Mengeksploitasi lahan larangan berarti melanggar ketentuan fikih. Pesan kayu Adem Ati menyeru manusia untuk menanam pohon. Makna mitologi kayu Adem Ati semakna dengan seruan hadits Rasulullah, suatu ketika beliau berpesan kepada para sahabat untuk menanam pohon meskipun seandainya mereka tahu bahwa besok adalah hari kiamat.[13]

"Seandainya kelak telah datang hari kiamat, sedang ditangan kalian terdapat biji kurma, sekiranya memungkinkan menanamnya sebelum kiamat itu benar-benar terjadi, maka lakukanlah."

(HR. Abu Daud, Musnad Abd Ibn Hamid, Juz I, hal. 366, hadits no. 1216)

 Hadits di atas adalah representasi dari cara pandang Islam terhadap pohon sebagai bagian dari ajaran agama. Urgensi pohon bagi Islam sedemikian sentral. Islam sangat menghargai pohon. Sehingga, sekalipun kiamat tinggal hitungan jam, umat Islam masih dianjurkan menanam pohon. Hadits lain menyebutkan bahwa pohon adalah sumber kehidupan bagi semua komunitas makhluk hidup, sehingga siapa saja yang menanam pohon, maka pohon itu akan menjadi lumbung pahala baginya.[14]

"Tidaklah seorang muslim menanam pohon kecuali setiap apa yang dimakan dari pohon itu menjad pahala, dan setiap yang dicuri menjadi pahala, begitu pula setiap yang dimakan binatang menjadi sedekah. Dan tidaklah seseorang menanam pohon itu kecuali menjadi sedekah untuknya,"

(HR. Muslim, Shahîh Muslîm, Beirut, Daar Al-Fikr, Juz 8, hal. 176)      

Ø Air Gentong, Ngebul Bulusan dan Kali Buntung; Sepercik tentang Keadilan Air (Water Justice)

Mitologi air keramat Sunan Muria (air gentong, air Ngebul Bulusan dan Kali Buntung) merupakan hasil cipta kreatif Sunan Muria menerjemahkan konsepsi maslahat air untuk membumikan dimensi-dimensi kemanuisaan. Air keramat Sunan Muria, sebagaiamana air Zam-zam, adalah modal penting dalam menciptakan dan menjaga kualitas kemanusiaan. Air diturunkan oleh Allah sebagai percikan rahmat kehidupan. Air menjadi salah satu dari sekian rekam simbol pemikiran arif seorang Sunan Muria tentang kesalehan lingkungan. Sunan Muria mewariskan situs keramat air untuk generasinya sebagai metode mengalirkan nikmat Allah atas air, sekaligus simbol edukatif untuk memahami dan memperlakukan air ke dalam dimensi kemanusiaannya, yakni distribusi Allah secara adil. Sebuah pesan tersirat, Sunan Muria mengajarkan air adalah sumber kehidupan sekaligus salah satu sumber keadilan sosial selayak pesan Rasulullah;[15]

"Manusia bersekutu dalam tiga hal: padang rumput, air dan api." (HR. Ahmad)

Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa air mengusung misinya sebagai nikmat Allah yang menyeluruh. Islam, melalui hadits ini mengatur air sebagai muara yang mengalirkan keadilan tidak hanya bagi kaum muslimin, tapi juga bagi masyarakat lintas iman, bahkan bagi seluruh alam. Terminologi hadits bahwa manusia "bersekutu" dalam tiga hal: air, padang rumput dan api, adalah sebuah konsepsi keadilan yang salah satunya diusung air, water- justice.[16]                 

D.    Analisis: Perspektif Durkhemian

Durkhemian menjelaskan pada fakta-fakta kemasyarakatan hanya dengan fakta-fakta kemasyarakatan. Daripada itu, mereka termasuk fakta fisikal dan biologi sebagai kedapat-rubahan berdikari mempengaruhi struktur kemasyarakatan dan fenomena kemasyarakatan lain. Perubahan paradigma ini dapat dijelaskan sebagai perubahan dari pandangan sosiologi klasik eksemptionalisme manusia ke suatu pandangan baru (bergelar paradigma ekologi baru oleh Catton dan Dunlap). Manusia tidak lagi dilihatkan sebagai spesies pengecualian yang menggunakan budaya untuk menyesuaikan diri pada alam baru dan perubahan alam, dipengaruhi oleh kemasyarakatan daripada oleh kedapat-rubahan biologi, tetapi daripada itu salah spesies dari banyak lain yang berinteraksi dengan alam semula jadi yang terpaksa.

Bertentangan dengan Chicago School of Human Ecology dibangunkan oleh Park, Burgess, dan Mckenzie sewaktu zaman 1920-an, penyelidikan sezaman dalam ekologi kemasyarakatan pergi di luar jangkaan asas biologi dan ekonomi ekologi manusia untuk memberikan suatu tanggapan rentas disiplin yang lebih lebar di mana hubungan manusia-alam adalah secara sama dipengaruhi oleh tenaga alam fisikal, politik, legal, psikologi, budaya, dan masyarakat.

Sebaris percanggahan di antara paradigma baru ini dan pencapaian sosiologi klasik adalah menurunkan nilai masyarakat dan budaya. Ekologi Manusia memandang masyarakat manusia sebagai sebahagian dari ekosistem bumi. Dalam pandangan ini, sosiologi akan menjadi hanya suatu sub-disiplinekologi khas spesies Homo sapiens sapiens. Sudah tentu, ini dilihat sebagai suatu penghinaan oleh banyak ahli sosiologi.

Ekologi manusia adalah secara pelbagai suatu sub-disiplin geografi, antropologi, psikologi, atau ekologi. Kemasukan atau pengecualian ekologi manusia dalam sisiologi yang betul berlainan di antara negara dan sekolah pemikiran sosiologi. Sosiologi alam adalah bidang sosiologi yang encompasses interaksi di antara manusia dan alam semulajadi, tetapi diakarkan dalam qanun methodologikal dan theoretikal sosiologi. Kadang-kadang ekologi manusia dilihat sebagai sebahagian dari sosiologi alam, kadang-kadang ia dilihat sebagai sesuatu yang keseluruhannya berasingan.

 

 



[4] Agus Sunyoto, "Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan", (Jakarta: Transpustaka, Cet. I, Dzul Hijjah 1432/ November 2011) hal. 10.

[5] Ibid., hal. 11

[6] Buah yang bernama latin Medinella Speciosa, berukuran sebesar biji kacang tanah, berwarna merah muda pada saat masih muda, dan berubah menjadi merah kehitaman jika sudah masak. Rasanya getir kemasaman. Mengandung unsur kimia berupa saponin, kardenolin, flavonoid, tanin dan vitamin B9.

[7] Widi Muryono, "Napa Jejak Pemikiran Sunan Muria: Dari Ekoreligi Hingga Akidah Muttahidah" (Kudus: Lembaga Pers Santri FIKRO dan Ponpes Darul Falah Jekulo-Kudus, Cet. II, Oktober 2014) hal. 115.

[8] Pakis Haji atau sikas adalah sekelompok tumbuhan berbiji terbuka yang menyerupai palem bernama latin Cycas/Cycadaceae. Umumnya jika kulitnya dikupas itu biasanya bermotif batik berwarna cokelat berbentuk jajar genjanng tak beraturan, dengan motif titik di bagian dalamnya, sementara bagian dasarnya berwarna putih tulang kecokelatan. Jika dilihat dari kejauhan, batang Pakis Haji nampak seperti ular Phyton, karena motif batiknya menyerupai motif kulit ular Phyton.  

[9] Ibid., hal. 118.

[10] Ibid.,  

[11] Ibid., hal. 118-119.

[12] Ibid., hal. 119-120.

[13] Ibid., hal. 121.

[14] Ibid., hal. 122.

[15] Ibid., hal. 123.

[16] Ibid., hal. 123-124.

jamillah_Ajeng Dwi Rahma_Pmi 6_Tugas 6_Suku Kajang

SUKU KAJANG
A.    Sejarah Suku Kajang.
Suku kajang berasaskan pada kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek Akrakna. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa. Hal tersebut merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung yang di anut oleh Suku Kajang. 
Dalam ajaran agama Patuntung, suku Kajang juga diwajibkan untuk menghormati nenek moyang atau roh para leluhur.  Begitu hormatnya, setiap tahun mereka selalu mengadakan ritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur.  Mereka menyebutnya, ritual bersih kubur.
Di kalangan masyarakat Suku Kajang, ritual Bersih Kubur memiliki arti penting. Mereka menganggap, ritual ini sebagai wujud komunikasi masyarakat Kajang dengan roh leluhur.  Begitu pentingnya, setiap keturunan Suku Kajang harus hadir ketika ritual ini dilaksanakan.  Bahkan meskipun telah tinggal di luar Tana Toa, ia harus tetap datang untuk menjalin kembali komunikasi dengan nenek moyang.
Setiap tahun, ritual Bersih Kubur selalu dilaksanakan pada tanggal 24 bulan Ramadhan dalam Hijriah.  Ketika hari ritual telah tiba, semua masyarakat Kajang berkumpul di makam Bohetomi. Di Tana Toa, makam ini merupakan makam Ammatoa pertama suku Kajang.  Ritual membakar kemenyan dan berdoa di makam selalu menjadi bagian terpenting.
Turiek Akrakna menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti "pesan". Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuah pasang yang berbunyi "Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki Yang artinya: Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi kita lumpuh.
Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh Turiek Akrakna ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi  adalah kawasan yang sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat ini sebagai Tanatoa, "tanah tertua", tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintah Turek Akrakna atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor "Burung Kajang" atau Burung Gagak yang menjadi cikal bakal manusia.
 Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam kehidupan  sehari-hari, dan nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka.
 
B.     Letak Geografis dan Gambaran Umum Suku Kajang.
Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe.
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa.
Rumah-rumah panggung di Suku Kajang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Ammatoa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Rumah Ammatoa berada beberapa rumah dari utara.
C.    Nilai Ekologi Suku Kajang.
,Hal unik yang dimiliki masyarakat Kajang yang membedakan dengan masyarakat lainnya adalah sebuah keluarga masyarakat adat Kajang, jika memiliki dua bidang tanah, hanya sebidang yang digarap dan ditanami pada satu musim tanam. Sementara sebidang lagi dijadikan tempat penggembalaan ternak. Hal ini dilakukan bergantian pada dua bidang tanah itu. Cara tersebut sebenarnya dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah.
Terkait dengan penghormatan atas tanah, hutan yang juga merupakan bagian kawasan adat ammatoa, mempunyai arti yang sakral. Bagi masyarakat adat, kawasan adat ammatoa terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu :
1)      Hutan rakyat : yang luasnya sekitar 98 hektare. Kawasan ini digarap bersama dan hasilnya dinikmati bersama pula.
2)      Hutan kemasyarakatan : luas 144 hektare. Hutan di lokasi ini boleh digarap, dengan syarat terlebih dahulu menanam bibit pohon pengganti, sebelum sebuah pohon ditebang.
3)      Hutan Adat atau Hutan Pusaka : luas 317 hektare yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan ritual pemilihan ammatoa pada saat pergantian kepemimpinan. Bagi masyarakat adat, mematahkan ranting saja haram hukumnya. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi berat, misalnya dikeluarkan dari komunitas adat atau diyakini bakal mendapat malapetaka, karena melanggar pesan leluhur.
Adapula Larangan membuat rumah dengan bahan bakunya adalah batu bata. Menurut pasang hal ini adalah pantang karena hanya orang mati yang berada didalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya dari batu bata meskipun pemiliknya masih hidup namun secara prisip mereka dianggap sudah tiada atau dalam bahasa kasarnya telah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah.
Secara tidak langsung, hal tersebut di atas juga merupakan keramahan akan lingkungan yang mana batu bata saja tidak di pergunakan untuk membuat bangunan rumah. Walaupun mereka tidak menganggapnya seperti itu, tapi jika di lihat hal tersebut sangat ramah lingkungan.
Tokoh Adat Suku Kajang, Mansyur Embas juga menuturkan bahwa , masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.
Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur. Mereka tidak mudah untuk menerima budaya dari luar daerah. Mansyur Embas, tokoh adat Suku Kajang menceritakan dulu, di Tana Toa tidak ada satupun tempat pendidikan formal. Tidak ada satupun warga Suku Kajang yang mau untuk menuntut ilmu secara formal. Namun seiring dengan pemikiran warga Suku Kajang yang semakin maju, semuanya telah berubah sedikit demi sedikit. berikut penuturan dari Mansyur Embas.
Bagi masyarakat Kajang, ajaran para leluhur memiliki arti penting. Begitu pentingnya, mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan berdasarkan tradisi leluhur. Aturan adat dari Sang Leluhur juga selalu mengikat setiap kegiatan mereka.
 
D.    Analisis Perspektif Ekologi Struktural.
Mengapa kami mengaitkan pembahasan kami dengan Perspektif Ekologi Struktural karena disini Suku Kajang mengaggap bahwa Hubungan nya dengan Alam bukan hannya sekedar Berhubungan dengan benda mati, namun mereka menganggap bahwa alam merupakan mahluk hidup yang mana di dalamnya akan ada hubungan timbal balik yang di terjadi.
Mereka menganggap apa yang diperbuat kepada alam akan berbalik kepada kehidupan mereka. Semisal apabila mereka menjaga lingkungan maka mereka juga percaya bahwa alam pun akan berbalik menjaga dan melindunginya. Masyarakat merupakan subyek utama yang melakukan hubungan tersebut, karena alam hannya merupakan cerminan dari apa yang mereka perbuat.

Cari Blog Ini