Selasa, 16 Juni 2015

TUGAS UAS_Sarah Fauziah Audina dan Mir'atun Nisa_PMI 4_Budaya pesantren

Pendahuluan

a.       Latar belakang

Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.[1]

Santri adalah orang-orang yang menjalankan agama islam dengan menitik beratkan pada kepatuhan terhadap nilai-nilai ajaran dan tata cara keagamaan islam secara murni. Disisi lain kaum abangan merupakan orang-orang jawa yang kebanyakan juga muslim namun lebih tertarik untuk menghayati agamanya dengan cara-cara yang mereka anggap lebih tepat.

Geertz menyebutnya sebagai integrasi yang berimbang antara unsur-unsur animisme, hinduisme, dan islam atau yang ia sebut sebagai sinkrestisme jawa. Tradisi keagamaan kaum abangan terlihat dalam apa yang dinamakan sebagai selametan. Sementara itu, yang dinamakan priyai adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan elit jawa yang lebih menitik beratkan keagamaan pada elmen hinduisme.[2]

Pada tugas kali ini kelompok kami memilih Pondok Pesantren al-Nahdlah, yang berada di pelosok kota Depok, tepatnya di kelurahan Pondok Petir, Bojongsari. Kami memilih desa ini dikarenakan letak desa ini tidak terlalu jauh dari tempat kami yaitu Ciputat. Waktu yang di butuhkan untuk sampai ke desa ini pun tidak terlalu lama yaitu hanya 1 (satu) jam.

Kami juga bisa menjangkau Pondok Pesantren al-Nahdlah ini dengan menggunakan sepeda motor. Karena letak desa ini masih bisa di jangkau oleh sepeda motor  mempermudah kami untuk mengumpulkan data dan datang Pondok Pesantren al-Nahdlah itu langsung. Selama disana kami diantar oleh bapak Nurul Zibat yang juga merupakan salah satu pengurus pondok pesantren.

Fokus pembahasan masalah dalam laporan ini ialah kepada masalah kebudayaan yang ada di pesantren.

Gambaran Umum

Pondok Pesantren al-Nahdlah, masyarakat biasa juga menyebutnya dengan Al Nahdlah Islamic Boarding School adalah Lembaga Pendidikan Islam dengan sistem pembelajaran yang terintegrasi antara pendidikan umum dan agama. Berdiri pada 1997 oleh aktivis muda pendidikan: Dr. Hilmi Muhammadiyah, Dr. Asrorun Niam Sholeh, Sulthan Fatoni, M.Si., Abdullah Masud, S.Pdi, Ridwan Taiyeb, S.Pd, dan Khoirul Hadi Nasution, S.Ag.

Pondok Pesantren Al-Nahdlah menggabungkan kekuatan tradisi Islam dengan kemajuan keilmuan kontemporer. Sehingga santri diharapkan mempunyai kemampuan yang berbasis karakter. Nilai-nilai kepesantrenan ditanamkan secara kuat dengan pola keteladanan.

Di atas tanah bertumbuhkan ilalang, 2005 silam sebuah gedung mulai dibangun, gedung yang merupakan buah hasil pemikir-pemikir muda NU dalam wadah yayasan yang mereka beri nama eLSAS (Lembaga Studi Agama dan Sosial) yang eksis mengkaji masalah-masalah agama dan sosial sesuai dengan namanya. Nama Al-Nahdlah pun dipilih sebagai langkah kebangkitan sebuah pendidikan yang mampu bersaing di zaman global ini, selain itu nama Al-Nahdlah juga dinisbatkan kepada NU. Model pembelajaran yang terintegrasi (Integrated Learning System) antara pendidikan umum dan agama menjadi wacana utama madrasah dan pondok pesantren ini, dengan moto "Center of Excellence" (Pusat Keunggulan). 

 

Hasil Penelitian

1.      Budaya Pondok Pesantren

Pada pondok pesantren ini ada suatu kebiasaan yang selalu dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan santri. Biasanya mereka melakukan pengakjian kitab kuning oleh kiyai mereka setelah melakukan shalat subuh dan itu tidak boleh di tinggalkan. Jika ada santri yang meninggalkan pengkajian kitab kuning maka santri tersebut akan dikenakan sanksi hukuman.

Selain pengkajian kitab kuning ada juga kebiasaan mereka untuk belajar bersama dengan santri lain. Mereka biasanya belajar bersama di musholah atau aula dan biasanya dilakukan mulai dari pukul 21.00 sampai dengan 22.00.

Shalat tasbih dan tahajjud juga sudah menjadi kebiasaan para santri di ponpes ini. Mereka tidak akan boleh melewatkan shalat tasbih yang dilakukan seminggu sekali dan shalat tahajjud setiap malam hari.

Di pondok pesantren ini mereka diajarkan atau dibiasakan untuk makan bersama di dapur dengan satu nampan untuk dimakan oleh beberapa santri. Saat keluarga mereka berkunjung mereka juga membagikan bekal dari keluarga mereka untuk teman-temannya. Mereka juga dibiasakan untuk mencuci baju sendiri dan bersih-bersih pondok pesantren seminggu sekali.

Ini sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun dan sudah membudaya di pondok pesantren ini.

2.      Sejarah Kehadiran Pesantren

Berawal dari obrolan ringan para aktivis muda Nahdlatul Ulama yang berbasis di Ibukota, yang berhasrat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berasrama yang mampu menggabungkan metode modern dan salaf dalam sebuah lingkungan pembelajar (Learning Environment) yang kondusif, akhirnya sepakatlah 6 pemikir muda NU yaitu Dr. Hilmi Muhammadiyah, Dr. Asrorun Niam Sholeh, Sulthan Fatoni, M.Si., Abdullah Masud, S.Pd.I, Ridwan Taiyeb, S.Pd, dan Khoirul Hadi Nasution, S.Ag. untuk benar-benar merealisasikan tujuan mulia itu, dan saling berkorban demi memperjuangkan kesepakatan bersama. Maka didirikanlah pesantern pada tahun 1997.

Nama Al-Nahdlah pun dipilih sebagai langkah kebangkitan sebuah pendidikan yang mampu bersaing di zaman global ini, selain itu nama Al-Nahdlah juga dinisbatkan kepada NU. Model pembelajaran yang terintegrasi (Integrated Learning System) antara pendidikan umum dan agama menjadi wacana utama madrasah dan pondok pesantren ini, dengan moto "Center of Excellence" (Pusat Keunggulan).    

Di atas tanah bertumbuhkan ilalang, pada tahun 2005 silam di bangun pula sebuah gedung, gedung yang merupakan buah hasil pemikir-pemikir muda NU dalam wadah yayasan yang mereka beri nama eLSAS (Lembaga Studi Agama dan Sosial) yang eksis mengkaji masalah-masalah agama dan sosial sesuai dengan namanya.

Modal awal berdirinya pesantren ini ialah dengan dana yang diperoleh dari 6 pemikir muda NU. Mereka mulai membangun pesantren kecil-kecilan dan dibatasi hanya untuk sekitar 25 orang saja, ditunjang dengan pemberian beasiswa penuh selama tiga tahun masa pembelajaran di MTs Al-Nahdlah.

Melihat respon masyarakat yang positif menerima pembangunan pondok pesantren ini, maka pondok pesantren ini pun kian berkembang, penerimaan siswa pun dari berbagai daerah yang mayoritas nya ialah orang Jawa.

 

3.      Kelembagaan

VISI DAN MISI Ponpes Al-Nadhlah:

VISI :

Al-Nahdlah Islamic Boarding School sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, pembangunan jaringan, pelestarian tradisi, pengabdian masyarakat, serta penyiapan sejak dini atas generasi masa depan yang bertaqwa, cerdas, dan inovatif.

MISI :

1.      Menghasilkan lulusan yang mempunyai kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan kajian kitab kuning.

2.      Menghasilkan lulusan yang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.

3.      Menghasilkan lulusan yang dapat berkomunikasi dalam bahasa internasional (Arab dan Inggris).

4.      Menghasilkan lulusan yang mempunyai kualitas kepemimpinan (leadership), kemandirian, dan kecakapan dalam berorganisasi dan bersosialisasi.

5.      Mengembangkan komunikasi dan jaringan dengan institusi pendidikan lainnya sebagai pusat pendidikan unggulan dalam menyiapkan generasi masa depan yang berdaya saing global.

Pondok pesantren Al-Nahdlah melakukan pembelajaraan kepada santrinya dengan  menggabungkan kekuatan tradisi Islam dengan kemajuan keilmuan kontemporer. Sehingga santri diharapkan mempunyai kemampuan yang berbasis karakter. Nilai-nilai kepesantrenan ditanamkan secara kuat dengan pola keteladanan. Di sisi lain santri diakrabkan dengan keilmuan kontemporer dengan cara pengayaan literatur dan praktik. Memasuki satu windu, al-Nahdlah membatasi sejumlah 200 santri putra-putri untuk memberikan pelayanan pendidikan yang maksimal.

MTs. Al-Nahdlah Islamic Boarding School sebagai satuan pendidikan dasar, menerapkan sistem pembelajaran terintegrasi (Integrated Learning System) yang memadukan antara sistem pembelajaran modern dan salaf (pesantren), memadukan jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dalam satu kesatuan. MTs. Al-Nahdlah Islamic Boarding School juga menekankan sistem pembelajaran holistik dan berkelanjutan yang didasarkan pada bakat dan minat masing-masing peserta didik.

Sementara Madrasah Aliyah memiliki dua model pembelajaran, Boarding School (berasrama) dan Full Day School (tidak berasrama yang sifatnya pilihan. Proses pembelajaran menerapkan sistem pembelajaran terintegrasi (Integrated Learning System).

Madrasah Aliyah Al-Nahdlah Full Day School menerapkan sistem terintegrasi antara pendidikan formal, non-formal, dan informal. Pembelajaran dimulai pukul 07.00 – 17.00 wib dengan penguatan pada muatan agama, bahasa, dan teknologi informasi dan komunikasi.

Pondok pesantren Al-Nahdhlah ini tidak hanya berkutat dengan lingkungan dalam saja, tetapi ia juga bekerja sama dengan berbagai pihak dari luar. Pondok ini juga sering sekali mengikuti perlombaan dan mendapatkan berebagai pernghargaan dan prestasi yang semakin hari semakin meningkat prestasinya.

 

 

 

4.      Impek

Setelah menghasilkan lulusan perdananya, dan ternyata alumninya memiliki kelebihan tersendiri serta menjadi siswa yang unggul di lingkungannya, akhirnya Madrasah Aliyah Al-Nahdlah pun didirikan. Bermodal alumni MTs yang memilih untuk meneruskan masa studinya di Al-Nahdlah, lambat laun MA Al-Nahdlah pun mulai berkembang, dan tahun 2013 mendatang, merupakan tahun kelulusan awal siswa MA Al-Nahdlah.

Selain pendidikan umum para santri juga di ajarkan kitab kuning, bahasa arab, dan pelajara-pelajaran agama lainnya. Mereka juga dibiasakan mengikuti sholat-sholat sunah yang diadakan oleh pondok pesantern ini seperti sholat tahajud dan kegiatan keagamaan lainnya.

sementara pegurus pondok atau yang biasa di sebut OSIS (untuk sekolah umum) mereka melakukan berbagai macam kegiatan sosial yang mengatas namakan pesantren. Seperti, kerja bakti dan bakti sosial disekitar lingkungan ponpes yang sangat membantu masyarakat.  

Dengan adanya pondok pesantren ini para warga merasa senang karena dilingkungan mereka masih tertanam nilai-nilai keagamaan. Selain nilai-nilai keagamaan mereka juga mendapatkan penghasilan dari adanya ponpes. Warga sekitar bisa berjualan keperluan sekolah, warung makan, dan lain sebagainya di sekitar ponpes. Saat menjelang waktu kunjungan atau pendaftaran murid baru mereka juga mendapatkan penghasilan yang cukup besar dari parkir para keluarga atau pendaftar baru yang datang. Dan ini sangat menguntungkan bagi kegiatan ekonomi masyarakat sekitar.

5.      Profil Tokoh

Pondok pesantern ini didirikan oleh 6 anak muda yang berasal dari NU yaitu:

1)      Dr. Hilmi Muhammadiyah,

2)      Dr. Asrorun Niam Sholeh,

3)      Sulthan Fatoni, M.Si.,

4)      Abdullah Masud, S.Pd.I,

5)      Ridwan Taiyeb, S.Pd, dan

6)      Khoirul Hadi Nasution, S.Ag.

Yang bertujuan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berasrama yang mampu menggabungkan metode modern dan salaf dalam sebuah lingkungan pembelajar. Maka didirikanlah pondok pesantern ini.

Menurut keterangan beberapa alumni pondok pesantren ini tidak ada salah satu kiyai yang biasanya di setiap ponpes pasti selalu memiliki kiayi. Di pondok ini hanya ada pembinan pondok pesantren yang di pegang oleh Drs. KH. Hilmi Muhammdiyah, M.Si. dan direktur pondok yaitu Dr. H. M. Asrorun Ni`am Sholeh, MA dengan kepala pengasuh Ustadz Miftahul Huda, Lc dan kepala madrasah H. Abdullah Mas`ud, S.Ag, MH.

Kesimpulan

Pondok pesantren merupakan salah satu dunia pendidikan yang sangat diperhitungkan. Di dalam pondok pesantren ini selalu melekat dengan kebudayan dan tradisi yang mendarah daging dan turun temurun dilakukan dari generasi kegenerasi.

Dipondok pesantren yang kami telitih ini juga mengandung banyak sekali kebudayaan yang membawa dampak positif bagi para santrinya baik di lingkungan santri maupun dilingkungan masyarakat.

Pembangunan pondok pesantren juga banyak membawa keuntungan bagi masyarakat yang ada di sekitar pondok baik dari segi keagamaan maupun dari segi ekonomi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). 2012

T.O. Ihromi. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2013

 

 

 

 

 

 



[1] T.O Ihromi. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2013). Hal 18 

[2] Paulus Wirutomo, Dkk. Sistem Sosial Indonesia. (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2012). Hal 138-139

tugas UAS_M. Ibrahim dan Irsyadi Farhan_PMI 4_Budaya pesantren

Muhamad ibrohim (111305400041)

Irsyadi farhan (113054000028)

LATAR BELAKANG

Pada awal berdirinya, pesantren merupakan media pembelajaran yang sangat simple. Tidak ada klasifikasi kelas, tidak ada kurikulum, juga tidak ada aturan yang baku di dalamnya. Sebagai media pembelajaran keagamaan, tidak pernah ada kontrak atau permintaan santri kepada kiai untuk mengkajikan sebuah kitab, apalagi mengatur secara terperinci materi-materi yang hendak diajarkan. Semuanya bergantung pada kiai sebagai poros sistem pembelajaran pesantren. Mulai dari jadwal, metode, bahkan kitab yang hendak diajarkan, semua merupakan wewenang seorang kiai secara penuh. Tidak seperti lembaga pendidikan lain yang melakukan perekrutan siswa pada waktu-waktu tertentu, pesantren selalu membuka pintu lebar-lebar untuk paa calon santri kapan pun juga. Tak hanya itu, pondok pesantren juga tidak pernah menentukan batas usia untuk siswanya. Siapapun dan dalam waktu kapanpun yang berkeinginan unuk memasuki pesantren, maka kiai akan selalu welcome saja.

Dua model pembelajaran yang terkenal pada awal mula berdirinya pesantren adalah model sistem pembelajaran wetonan non klasikal dan sistem sorogan. Sistem wetonan/bandongan adalah pengajian yang dilakukan oleh seorang kiai yang diikuti oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya merupakan metode yang diambil dari pola pembelajaran ulama Arab. Sebuah kebiasaan pengajian yang dilakukan di lingkungan Masjid al-Haram. Dalam sistem ini, seorang kiai membacakan kitab, sementara para santri masing-masing memegang kitab sendiri dengan mendengarkan keterangan guru untuk mengesahi atau memaknai Kitab Kuning.

Lain dengan pengajian wetonan, pengajian sorogan dilakukan satu persatu, dimana seorang santri maju satu persatu membaca kitab dihadapan kiai untuk dikoreksi kebenaannya. Pada pembelajaran sorogan ini, seorang santri memungkinkan untuk berdialo dengan kiai mengenai masalah-masalah yang diajarkan. Sayangnya banyak menguras waktu dan tidak efesien sehingga diajarkan pada santri-santri senior saja.

Pada dasarnya , dalam pesantren tradisional, tinggi rendahnya ilmu yang diajarkan lbih banyak tergantung pada keilmuan kiai, daya terima santri dan jenis kitab yang digunakan. Kelemahan dari sistem ini adalah tidak adanya perjenjangan yang jelas dan tahapan yang harus diikui oleh santri. Juga tidak ada pemisahan antara santri pemula dan santri lama. Bahkan seorang kiai hanya mengulang satu kitab saja untuk diajarkan pada santrinya.

Pesantren juga suatu lembaga pendidikan Islam yang telah tua sekali usianya, telah tumbuh sejak ratusan tahun yang lalu, yang setidaknya memilikii lima unsur pokok, yaitu kiyai, santri, pondok, mesjid dan pengajaran ilmu-ilmu agama. Berdirinya Pesantren pada mulanya juga diprakarsai oleh Wali Songo yang diprakarsai oleh Sheikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesulitan untuk mendirikan Pesantren karena sudah ada sebelumnya Instiusi Pendidikan Hindu-Budha dengan sistem biara dan Asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia. Pada masa Islam perkembangan Islam, biara dan asrama tersebut tidak berubah bentuk akan tetapi isinya berubah dari ajaran Hindu dan Budha diganti dengan ajaran Islam, yang kemudian dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren.

Selanjutnya pesantren oleh beberapa anggota dari Wali Songo yang menggunakan pesantren sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih dikenal dengan sebutan Giri Kedaton.

Keberadaan Wali Songo yang juga pelopor berdirinya pesantren dalam perkembangan Islam di Jawa sangatlah penting sehubungan dengan perannya yang sangat dominan. Wali Songo melakukan satu proses yang tak berujung, gradual dan berhasil menciptakan satu tatanan masyarakat santri yang saling damai dan berdampingan. Satu pendekatan yang sangat berkesesuaian dengan filsafat hidup masyarakat Jawa yang menekankan stabilitas, keamanan dan harmoni.

Pendekaan Wali Songo, yang kemudian melahirkan pesantren dengan segala tradisinya, perilaku dan pola hidup saleh dengan mencontoh dan mengikuti para pendahulu yang terbaik, mengarifi budaya dan tradisi lokal  merupakan ciri utama masyarakat pesantren. Watak inilah yang dinyatakan sebagai factor dominan bagi penyebaran Islam di Indonesia. Selain itu ciri yang paling menonjol pada pesantren tahap awal adalah pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama kepada para santri lewat-lewat kitab-kitab klasik.

 

SEJARAH PONDOK PESANTREN DARUL AHSAN

Awal berdirinya pesantren darul ahsan ini pada tahun 97 itu dimulai dari TK di balai desa dengan pak kepala desa Muabari pada waktu itu. Kemudian telah berkembang pada tanggal 15 Juli 1999 kemudian masyarakat membutuhkan untuk adanya sekolah tsanawiyah (MTS) kemudian karna belum ada tempat, maka kami ajukan kepada bapak KH.madtosi selaku ketua yayasan untuk membangun gedung ini.

Pada tahun 1999 diawali pembangunan untuk tingkat tsanawiyah sementara pada tahun 2000 ini peresmian pertama gedung oleh bapak H.Rhoma irama sekaligus sebagai penceramah dalam acara maulidan Nabi Muhammad Saw. Tak hanya itu dalam peresmiannya pun dihadiri sekitar 40 orang kyai termasuk didalamnya adalah abuya daman dan abuya bustomi.

Tuntutan masyarakat akan lembaga pendidikan tingkat lanjutan tsanawiyah ini kemudian terealisasi pada saat itu, dan Alhamdulillah sampai sekarang sudah berjalan 6 tahun. Terus untuk nama kenapa darul ahsan awalnya memang banyak pilihan nama – nama itu karena melihat bahwa awal itu adalah ingin yang terbaik, maka kami mengambil inisiatif untuk Al-Ahsan itu supaya kita menjadi yang terbaiklah kita dari awal ini kemudian sebagai pasokan kita kepada pondok – pondok kita terdahulu yaitu darurrahman, daarul falah kemudian dikasihlah darul ahsan jadinya.

Cikal bakal yayasan ini pun awalnya pada tahun 1997 saat itu baru ada tk kemudian resmiinya lembaga pendidikan ini pada tanggal 15 JUli 1999. Untuk aturan pondok ini sendiri sangat di siplin karena bagaimanapun pelajaran, pendidikan tanpa disiplin tanpa peraturan yang ketat sia sia tidak akan menghasilkan apa – apa karena cara belajar dan sistem belajar tidak akan terarah. Maka darul ahsan dari awal menanamkan bagaimana cara belajar yang baik, bagaimana cara berdisiplin, tingkah laku, dan yang lainnya. Bukan hanya menghasilkan ilmu tetapi begitu juga menghasilkan akhlak yang baik. Kita padukan antara aturan pondok – pondok modern yang telah ada dan aturan yang memang kita harus buat sendiri.

Visi dari pondok darul ahsan ini sendiri menjadikan darul ahsan adalah yang terbaik sesuai dengan namanya al-ahsan yang menjadi terbaik. Kedua membuat darul ahsan dicintai oleh masyarakat juga menjadikan anak – anak didiknya menjadi orang yang sukses dalam hidup didunia dan sukses hidup diakhirat. Jadi meng-gapai kehidupan didunia dengan ilmu pengetahuannya dan menggapai ibadah amal soleh untuk menggapai kesenangan diakhirat.

Lalu dari Misi pondok darul ahsan ini yaitu misi kedepan bahwa pertama unggul dalam iptek dan imtak, kemudian menjadi idola masyarakat dan yang terakhir adalah memberikan kesenangan belajar terhadap santri.

Selanjutnya jenis pelajaran di darul ahsan ini sendiri berbagai macam seperti halnya berbagai macampula motivasi mereka belajar kesini. Tentu darul ahsan ini menawarkan bagaimana mereka yang senang matematika disitu mereka mampu menggali matematika, ada yang senang bahasa arab disitulah mereka tuangkan bahasa arab, ada yang senang bahasa inggris mereka tuangkan pula bahasa inggris. Jadi semua komponen materi – materi yang ada disini tentunya mencakup keseluruhan aspek pendidikan untuk didunia dan diakhirat. Karena kita sistemnya adalah bagaimana menguasai ilmu pengetahuan untuk bekal kita diakhirat dan bagaimana aqidah adalah pedoman kita dalam hidup untuk menuju akhirat.

Memelihara tradisi ulama – ulama salaf dulu yang baik dan mengambil teknologi – teknologi atau sistem metode pendidikan yang modern tapi itu lebih maslahat. Maka pendidikan – pendidikan umum yang materi – materi umum seperti matematika, fisika, computer, b.inggris kenapa kita ambil ?, karena memang itu penting. Karena yang dihasilkan dari darul ahsan tidak semuanya barang kali yang menjadi kyai tidak semuanya menjadi ustad barang kali ada yang menjadi pns ada yang menjadi teknokat, tapi teknokat yang muslim, mereka menjadi pns yang ahli ibadah, menjadi pejabat – pejabat yang beriman kepada Allah. Itukan lebih baik kemudian menjadi kyai – kyai yang berwawasan intelektual yang tinggi, ketika menjaadi ustad – ustad yang berwawasan bagaimana menghadapi tantangan zaman didunia. Jadi intinya adalah bagaimana menciptakan orang yang yang pandai berbahasa rab, menggali kitab kuning, tetapi pandai menterjemahkan dalam kehidupan sehari – hari, pandai berbahasa inggris. Itukan komportable artinya komportable itu orang yang mampu berkomentitip didunia dan mampu mengamalkan apa – apa yang ia ketahui untuk kesenangan hidup diakhirat.

 

BUDAYA PONDOK PESANTREN DAARU AHSAN

Dangdeur Jayanti tangerang Banten

Pesantren adalah sebuah yang unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriyahnya. Pesantren adalah sbuah kompleks dengan umumnya lokasi yang terpisah dari kehidupan disekitarnya, dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan  rumah berkediaman kediaman pengasuh (di daerah berbahasa jawa di sebut kiai, di daerah bahasa sunda ajengan, didaerah bahasa Madura Nun, dan sebagainya); sebuah surau ataun masjid, tempat pengajaran diberikan  (bahasa arab madrasah, yang juga terlebih sering mengandung konotasi sekolah) dan asrama tempat timggal santri yang sering di sebut pondok atau kobong. Berikut kebiasaan atau budaya adat didalam pondok pesantren Daarul Ahsan:

A.    Sikap hormat dan ta'dzim

Sikap hormat dan ta'dzim kepatuhan mutlak kepada kiaisatu nilai pertama yang dinamakan pada setiap santri kepatuhan itu di perluas lagi, sehingga mencakup penghormatan kepada ulama sebelumnya dan ulama-ulama yang mengarang kitab yang dipelajari kepatuhan ini bagi pengamat luar, tempat lebih penting dari pada usaha menguasai ilmu teteapi bagi kiai hal itu merupakan intergral dari ilmu yang akan dikuasai

Nilai-nilai yang di tekankan di pesantren meliputi persaudaraan islam, keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian. Disamping itu pesantren juga menanamkan kepada santrinya kesolehan dan komitmen atas lima rukun islam: syahadat (keimanan) sholat (ibadah lima waktu), dzakat (pemberian), puasa (selama nulan ramadhan), dan hajji (ziarah ke mekkah bagi yang mampu) ustadz di pesantren menekankan kepada santrinya agama dan moralitas. Pendidikan etika/moral dalam pengertian sikap yang baik perlu pengalaman sehingga pesantren berusaha untuk menciptakan lingkungan tempat moral keagamaan dan dapat pula dipelajari dan diperaktekkan.

Biasanya para santri dipelajari moralitas saat mengaji dan kemudian diberi kesempatan utuk memperaktikan di selala aktivitasnya di pesantren.

B.     Persaudaraan

Sebagai contoh sholat lima kali sehari adalah keawajiban dalam islam, tetapi kadang belum menekankan pada pentingnya berjamaah. Bagaimanapun berjamaah di anggap sebagai cara yang lebih baik dalam sholat dan pada umumnya diwajibkan oleh para pengasuh pesantren. Sebuah pesantren yang tidak mewajibkan santrinya berjamaah bukan lagi di sebut pesantren, para kiai biasanya menyebutkan bahwa praktik jamaah ini mengajarkan persodaraan dan kebersamaan. Yaitu nialai-nilai yang harus di tumbuhkan dalam masyarakat islam. Jika jamaah sekali dalam sholat jum'at akan membentuk masyarakat yang solid, maka berjamaah tiap hari akan memperkuat tali persodaraan. Di samping itu juga sholat mengajarkan kepemimpinan, jika mereka yang dibelakang sebagai ma'mum, melihat pemimpinnya itu imam meuat kesalahan, mereka akan mengingatkan "subhanallah" bukan proses melainkan sebuah peringatan, dalam konteks politisi, hal ini mendorong sinergi hubungan antara pemimpin dengan yang di pimpin inilah sedikit budaya pesantren yang dikentalkan adalah ukwah islamiyah persodaraan sesama.

C.     Keiklasan dan kesederhanaan

Nilai seperti kesederhanaan diajarkan spontan dan hidup dalam kebersamaan. Di kebanyakan pesantren, santri tidur di atas lantai dalam satu rungan mampu menanpung 80 santri. Sebuah kamar yang dirasa cocok untuk1-2 orng, ternyata dihuni 6-8 orang. Semakin popular pesantren, semakin banyak ruangan dihuni orang. Menu yang dimakanpun hanya sekedar nasi, tempe, dan sayuran seadanya . lebih jauh, meskipun ada pengakuan hak milik pribadi, dalam praktiknya, hak milik itu umu. Yang sepele, seperti sandal yang di pakai bebas tidak dipakai akan dipinjemkan apabla diminta, santri yang menolak meminjamkan barang-barang tersebut akan mendapatkan sanksi sosial dari kawan-kawannya. Sebab, santri yng tidak bisa ikut kebiasaan seperti ini akan mendapatkan ejekan ataupun peringatan keras akan pentingnya persodaraan dan keikhlasan. Dalam banyak hal, gaya hidup pesantren tidak  banyak berubah dari waktu kewaktulebih mengedepankan aspek kesederhanaan, meskipun kehidupan diluar memberikan perubahan gaya hidup dan standar ysng berbeda, gaya hidup pesantren cdenderung asketis (pertapaan), gaya hidup asketis di pesantren mempersiapkan para santri untuk siap menjadi kaya atau miskin.

D.    Kemandirian

Budaya kemandirian diajarkan dengan cara santri mengurusi sendiri kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Ide esensial dari kmandirian sering dipelesetkan, akar kata dari kemandirian adalah kepanjangan 'mandi sendiri'. Prinsip yang termuat dalam kemandirian adalah bahwa menjaga dan mengurus diri sendiri tanpa tanpa harus dilayani dan tidsk menggantungkan pada yang lain adalah merupakan nilai penting dipesantren tradisional, mandiri termanifestasikan dalam memasak, para santri memasak untuk mereka sendiri atau setidaknya dalam kelompok kecil. Saat ini, selain kehilangan banyak waktu mengaji, banyak pesantren yang memahami sistem capfeteroziz. Meskipun meskipun begitu, santri masih banyak memiliki kesempatan belajar kemandirian dengan cara lain mencuci sendiri, menyetrika, dan menjaga kebersihan kamar masing-masing.

Inilah budaya yang ditanamkan dalam pondok pesantren Daarul Ahsan yang dulu saya pernah tempuh pendidikannya budaya ini membawa dampak baik ketika saya rasakan setelah lulus dan melanjutkan keperguruan tinggi, nilai yang dulu saya anggep sepele sekarang saya mersakan manisnya bagaimana hidup mandiri tanpa di damping orang tua, manhemant waktu, maupun  uang itu saya lakuakan semenjak dulu di pesantren. Sikap mental dan ta,dzimpun masih di tanamkan dalam kehidupan masyarakat setempat.

Semoga tulisan dan pengalaman yang saya dapatkan dulu dipesantren bisa diambil hikmah dan pelajarannya. Terutama untuk peneliti sendiri.

 

 

 

Tugas UAS_sarah fauziah audina dan mir'atun nisa_pmi 4_Budaya Pesantren

Budaya Pesantren Al-Nahdlah

1.      Budaya Pondok Pesantren

Pada pondok pesantren ini ada suatu kebiasaan yang selalu dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan santri. Biasanya mereka melakukan pengakjian kitab kuning oleh kiyai mereka setelah melakukan shalat subuh dan itu tidak boleh di tinggalkan. Jika ada santri yang meninggalkan pengkajian kitab kuning maka santri tersebut akan dikenakan sanksi hukuman.

Selain pengkajian kitab kuning ada juga kebiasaan mereka untuk belajar bersama dengan santri lain. Mereka biasanya belajar bersama di musholah atau aula dan biasanya dilakukan mulai dari pukul 21.00 sampai dengan 22.00.

Shalat tasbih dan tahajjud juga sudah menjadi kebiasaan para santri di ponpes ini. Mereka tidak akan boleh melewatkan shalat tasbih yang dilakukan seminggu sekali dan shalat tahajjud setiap malam hari.

Di pondok pesantren ini mereka diajarkan atau dibiasakan untuk makan bersama di dapur dengan satu nampan untuk dimakan oleh beberapa santri. Saat keluarga mereka berkunjung mereka juga membagikan bekal dari keluarga mereka untuk teman-temannya. Mereka juga dibiasakan untuk mencuci baju sendiri dan bersih-bersih pondok pesantren seminggu sekali.

Ini sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun dan sudah membudaya di pondok pesantren ini.

2.      Sejarah Kehadiran Pesantren

Berawal dari obrolan ringan para aktivis muda Nahdlatul Ulama yang berbasis di Ibukota, yang berhasrat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berasrama yang mampu menggabungkan metode modern dan salaf dalam sebuah lingkungan pembelajar (Learning Environment) yang kondusif, akhirnya sepakatlah 6 pemikir muda NU yaitu Dr. Hilmi Muhammadiyah, Dr. Asrorun Niam Sholeh, Sulthan Fatoni, M.Si., Abdullah Masud, S.Pd.I, Ridwan Taiyeb, S.Pd, dan Khoirul Hadi Nasution, S.Ag. untuk benar-benar merealisasikan tujuan mulia itu, dan saling berkorban demi memperjuangkan kesepakatan bersama. Maka didirikanlah pesantern pada tahun 1997.

Nama Al-Nahdlah pun dipilih sebagai langkah kebangkitan sebuah pendidikan yang mampu bersaing di zaman global ini, selain itu nama Al-Nahdlah juga dinisbatkan kepada NU. Model pembelajaran yang terintegrasi (Integrated Learning System) antara pendidikan umum dan agama menjadi wacana utama madrasah dan pondok pesantren ini, dengan moto "Center of Excellence" (Pusat Keunggulan).    

Di atas tanah bertumbuhkan ilalang, pada tahun 2005 silam di bangun pula sebuah gedung, gedung yang merupakan buah hasil pemikir-pemikir muda NU dalam wadah yayasan yang mereka beri nama eLSAS (Lembaga Studi Agama dan Sosial) yang eksis mengkaji masalah-masalah agama dan sosial sesuai dengan namanya.

Modal awal berdirinya pesantren ini ialah dengan dana yang diperoleh dari 6 pemikir muda NU. Mereka mulai membangun pesantren kecil-kecilan dan dibatasi hanya untuk sekitar 25 orang saja, ditunjang dengan pemberian beasiswa penuh selama tiga tahun masa pembelajaran di MTs Al-Nahdlah.

Melihat respon masyarakat yang positif menerima pembangunan pondok pesantren ini, maka pondok pesantren ini pun kian berkembang, penerimaan siswa pun dari berbagai daerah yang mayoritas nya ialah orang Jawa.

3.      Kelembagaan

VISI DAN MISI Ponpes Al-Nadhlah:

VISI :

Al-Nahdlah Islamic Boarding School sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, pembangunan jaringan, pelestarian tradisi, pengabdian masyarakat, serta penyiapan sejak dini atas generasi masa depan yang bertaqwa, cerdas, dan inovatif.

MISI :

1.      Menghasilkan lulusan yang mempunyai kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan kajian kitab kuning.

2.      Menghasilkan lulusan yang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.

3.      Menghasilkan lulusan yang dapat berkomunikasi dalam bahasa internasional (Arab dan Inggris).

4.      Menghasilkan lulusan yang mempunyai kualitas kepemimpinan (leadership), kemandirian, dan kecakapan dalam berorganisasi dan bersosialisasi.

5.      Mengembangkan komunikasi dan jaringan dengan institusi pendidikan lainnya sebagai pusat pendidikan unggulan dalam menyiapkan generasi masa depan yang berdaya saing global.

Pondok pesantren Al-Nahdlah melakukan pembelajaraan kepada santrinya dengan  menggabungkan kekuatan tradisi Islam dengan kemajuan keilmuan kontemporer. Sehingga santri diharapkan mempunyai kemampuan yang berbasis karakter. Nilai-nilai kepesantrenan ditanamkan secara kuat dengan pola keteladanan. Di sisi lain santri diakrabkan dengan keilmuan kontemporer dengan cara pengayaan literatur dan praktik. Memasuki satu windu, al-Nahdlah membatasi sejumlah 200 santri putra-putri untuk memberikan pelayanan pendidikan yang maksimal.

MTs. Al-Nahdlah Islamic Boarding School sebagai satuan pendidikan dasar, menerapkan sistem pembelajaran terintegrasi (Integrated Learning System) yang memadukan antara sistem pembelajaran modern dan salaf (pesantren), memadukan jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dalam satu kesatuan. MTs. Al-Nahdlah Islamic Boarding School juga menekankan sistem pembelajaran holistik dan berkelanjutan yang didasarkan pada bakat dan minat masing-masing peserta didik.

Sementara Madrasah Aliyah memiliki dua model pembelajaran, Boarding School (berasrama) dan Full Day School (tidak berasrama yang sifatnya pilihan. Proses pembelajaran menerapkan sistem pembelajaran terintegrasi (Integrated Learning System).

Madrasah Aliyah Al-Nahdlah Full Day School menerapkan sistem terintegrasi antara pendidikan formal, non-formal, dan informal. Pembelajaran dimulai pukul 07.00 – 17.00 wib dengan penguatan pada muatan agama, bahasa, dan teknologi informasi dan komunikasi.

Pondok pesantren Al-Nahdhlah ini tidak hanya berkutat dengan lingkungan dalam saja, tetapi ia juga bekerja sama dengan berbagai pihak dari luar. Pondok ini juga sering sekali mengikuti perlombaan dan mendapatkan berebagai pernghargaan dan prestasi yang semakin hari semakin meningkat prestasinya.

4.      Impek

Setelah menghasilkan lulusan perdananya, dan ternyata alumninya memiliki kelebihan tersendiri serta menjadi siswa yang unggul di lingkungannya, akhirnya Madrasah Aliyah Al-Nahdlah pun didirikan. Bermodal alumni MTs yang memilih untuk meneruskan masa studinya di Al-Nahdlah, lambat laun MA Al-Nahdlah pun mulai berkembang, dan tahun 2013 mendatang, merupakan tahun kelulusan awal siswa MA Al-Nahdlah.

Selain pendidikan umum para santri juga di ajarkan kitab kuning, bahasa arab, dan pelajara-pelajaran agama lainnya. Mereka juga dibiasakan mengikuti sholat-sholat sunah yang diadakan oleh pondok pesantern ini seperti sholat tahajud dan kegiatan keagamaan lainnya.

sementara pegurus pondok atau yang biasa di sebut OSIS (untuk sekolah umum) mereka melakukan berbagai macam kegiatan sosial yang mengatas namakan pesantren. Seperti, kerja bakti dan bakti sosial disekitar lingkungan ponpes yang sangat membantu masyarakat.  

Dengan adanya pondok pesantren ini para warga merasa senang karena dilingkungan mereka masih tertanam nilai-nilai keagamaan. Selain nilai-nilai keagamaan mereka juga mendapatkan penghasilan dari adanya ponpes. Warga sekitar bisa berjualan keperluan sekolah, warung makan, dan lain sebagainya di sekitar ponpes. Saat menjelang waktu kunjungan atau pendaftaran murid baru mereka juga mendapatkan penghasilan yang cukup besar dari parkir para keluarga atau pendaftar baru yang datang. Dan ini sangat menguntungkan bagi kegiatan ekonomi masyarakat sekitar.

5.      Profil Tokoh

Pondok pesantern ini didirikan oleh 6 anak muda yang berasal dari NU yaitu:

1)      Dr. Hilmi Muhammadiyah,

2)      Dr. Asrorun Niam Sholeh,

3)      Sulthan Fatoni, M.Si.,

4)      Abdullah Masud, S.Pd.I,

5)      Ridwan Taiyeb, S.Pd, dan

6)      Khoirul Hadi Nasution, S.Ag.

Yang bertujuan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berasrama yang mampu menggabungkan metode modern dan salaf dalam sebuah lingkungan pembelajar. Maka didirikanlah pondok pesantern ini.

Menurut keterangan beberapa alumni pondok pesantren ini tidak ada salah satu kiyai yang biasanya di setiap ponpes pasti selalu memiliki kiayi. Di pondok ini hanya ada pembinan pondok pesantren yang di pegang oleh Drs. KH. Hilmi Muhammdiyah, M.Si. dan direktur pondok yaitu Dr. H. M. Asrorun Ni`am Sholeh, MA dengan kepala pengasuh Ustadz Miftahul Huda, Lc dan kepala madrasah H. Abdullah Mas`ud, S.Ag, MH.

 

BAB V

Kesimpulan

Pondok pesantren merupakan salah satu dunia pendidikan yang sangat diperhitungkan. Di dalam pondok pesantren ini selalu melekat dengan kebudayan dan tradisi yang mendarah daging dan turun temurun dilakukan dari generasi kegenerasi.

Dipondok pesantren yang kami telitih ini juga mengandung banyak sekali kebudayaan yang membawa dampak positif bagi para santrinya baik di lingkungan santri maupun dilingkungan masyarakat.

Pembangunan pondok pesantren juga banyak membawa keuntungan bagi masyarakat yang ada di sekitar pondok baik dari segi keagamaan maupun dari segi ekonomi.

 


Tugas UAS_Jamillah (1113054000040)_Aulia Ulfa (1113054000020)_PMI4_Budaya Pesantren

A.    Pengertian Budaya Pesantren

Secara etimologis, Koentjaraningrat menyatakan bahwa kata budaya berasal dari kata budhayah, bahasa Sanskerta, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan dapat dikatakan "hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal.[1]

Dalam kamus besar bahas Indonesia pesantren diartikan sebagai asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adl lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dgn materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan utk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dgn menekankan penting moral dalam kehidupan bermasyarakat.

Jadi Budaya Pesantren adalah nilai-nilai, tata karma, prilaku, dan norma-norma yang terdappat didalam suatu pesantren. Yang mana hal tersebut di praktikan oleh santri.

 

B.     Sejarah Kelahiran Pesantren

            Pondok pesantren Ashiddiqiyah adalaah salah satu pesantren besar di Indonesia. Pesantren ini didirikan pada bulan Rabiul awl 1406 H (1 Juli 1985). Bertempat di Jl. Panjang No.6c Kedoya Utara Kec. Kebon Jeruk Jakarta Barat 11520. Pondok pesantren Ashiddiqiyah pertama kali didirikan oleh Dr. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ, putra dari salah satu Kyai besar Jawa Timur yang berasal dari Banyuwangi yaitu KH. Iskandar diatas tanah yang di wakafkan oleh Hj. Abdul Ghoni Dja'ani (Haji Oon), putra dari Kyai Hj Abdul Shiddiq di kawasan Kelurraan Kedoya Selatan Kebon Jeruk yang saat itu dipenuhi rawa dan sawah. Pondok pesantren Ashiddiqiah di asuh oleh Dr. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ.

Dr. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ dibesarkan di Dusun Sumber Beras Banyuwangi. Dia mengikuti pendidikan dasar dan menengahnya di pondok pesantren Manba'ul ulum di Sumber Beras yang di Asuh oleh ayahnya sendiri Kyai HJ Iskandar. Kemudian ia melanjutkan study guna memperdalam lagi ilmu pengetahuan dan keagamaannya di pondok pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur.

Ketika usianya 27 tahun, tepatnya pada tahun 1982, ia menikahi seorang waita bernama Siti Nur Jazilah, putri dari Kyai HJ Mashudi asal Tumpang, Malang Jawa Timur. 

Pada tahun 1983, Iskandar bertemu dengan kawan lamanya yaitu H. Rosyidi Ambari dan diminta untuk mengelola sebidang tanah di Kedoya untuk dijadikan lembaga pendidikan. Tanah tersebut pada awalnya adalah milik keluarga H. Jaani kemudian diserahkan kepada H. Rosyadi untuk dibangun menjadi lembaga pendidikan islam.

Tanah itu sudah dibangun pondasi, sudah dipasang papan nama yayasannya. Nama pondokannya adalah pesantren Ukhuwah Islamiah. Pembanguan yang baru melangkah ini terpaksa tertunda, karena pelaksana pembangunannya lari dengan membondol sejumlah uang panitia pembangunan. Masyarakat menjadi marah. Dalam kepanikan, H. rosyadi mengadukan hal itu kepada Kyai Mahrus Ali, kemudian disarankan agar tanah itu diserahkan kepada Iskandar sebagai pengelolanya.

Iskandar tidak langsung menerima tawaran tersebut. Untuk memberikan jawaban, beliau menunggu isyarat langit (Istikhorok). Selain itu, Iskandar mendiskusikan nya dengan istri, serta meminta pendapat kepada guru-gurunya.

Setelah mendengar berbagai pertimbangan dan guru-guruya. Maka pada tahun 1984 beliau memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Beliau menyatakan penerimaan itu kepada H. Rosyadi Ambari. Kemudian H. Rosyadi membawa Iskandar ke kediaman H. djanni, sehingga lahan seluas 2000 M wakaf H. Djanni yang tadinya dipercayakan kepada H. Rosyadi dialihkan kepada beliau.

Langkah pertama yang dilakoninya adalah membangun Mushola. Modal pembangunannya dari Bpk H. Abdul Ghani (putra ke-3 H. Djanni). Akhirnya Iskandar memutuskan untuk mengubaah nama pesantren tersebut menjadi pondok pesantren Ashiddiqiyah yang dalam bahasa Arab Shiddiq berarti jujur.

Seperti banyak kisah sukses pada umumnya, Ashiddiqiyah pun merintis dengan keprihatinan. Diatas tanah wakaf itu hanya berdiri sebuah mushola kecil. Bangunannya dari tripleks yang berdiri diatas tanah rawa-rawa, dekat pembuangan sampah bagi penghuni perumahan mewah Sunrise Garden. Namun dengan keprihatinan itu Iskandar punya keyakinan yang cukup kuat, bahwa kelak Ashiddiqiyah akan memiliki jangkauan yang cukup luas. Iskandar meyakini itu dengan sepenuh hati, karena memang apa yang beliau fikirkan selama ini adalah membangun kontribusi lewat umat lewat pendidikan.

Ashiddiqiah sedapat mungkin tidak sekedar sebuah institusi pendidikan, tetapi menjadi agen perubahan bagi kondisi umat Islam yang menderita keterbelakangan  dalam hal kebodohan dan kemiskinan.

Untuk memenuhi ketentuan organisasi, Iskandar sadar akan perlunya didirikan yayasan. Karenanya, ia bersama dengan H. Abdul Ghani dan H. Rosyadi menghadap ke notaris Ghufron Kamal, pada tanggal 5 oktober 1985. Dan mereka bertiga akhirnya bertanggung jawab sebagai badan pendiri bagi yayasan Pondok Pesantren Ashiddiqiyah.

Dengan yayasan ini, diharapkan dapat mengaplikasikan berbagai kegelisahan umat islam pada umumnya. Karenanya ada Tiga hal yang menjadi titik sentral cita-cita yayasan ini.  Pertama, membangun masyarakat yang bertakwa dan cinta kepada agama, bangsa dan negaranya. Kedua, meningkatkan pendidikan dan perkembangan islam. Ketiga, melaksanakan misi sosial, dan mengurus anak yatim dan fakir miskin.

Iskandar berjuang membangun kepercayaan dari masyarakat sampai banyak yang mempercayai anaknya untuk dididik. Iskandar juga berusaha meyakinkan donatur sampai mampu membangun gedung sekolah. Iskandar juga memperjuangkan perizinan, sampai memperoleh kepercayaan dari pemerintah untuk memberikan legalitas bagi pendidikan yang berawal dari sekedar kegiatan remaja masjid.  

Ketika bendera Ashiddiqiyah telah dikibarkan. Sambutan masyarak memang belum ada. Bahkan pada tahun pertama Iskandar menerima santri, yang datang hanya satu orang. Itupun calon santri pondok pesantren Manba'ul ulum di Sumber Beras. Santri asal lampung ini kebetulan bernama Iskandar. Setelah sempat singgah di kediaman beliau, akhirnya Iskandar memutuskan untk belajar di Ashiddiqiyah. Setelah tujuh bulan Iskandar mengikuti pembinaan, baru datang lagi santri perempuan dari Kuningan, yang bernama Rohanah.

Memang di awal berdirinya, pandangan masyarakat sangatlah minim. Jangankan untuk masuk, kenal saja dengan Ashidiqqiyah tampaknya tidak menarik. Namun Iskandar tidaklah patah semangat. Karena beliau sudah memutuskan untuk terus berjuang di bidang ini. pada tahun 1986, Iskandar membangun Madrasah Tsanawiyyah. Ada tiga puluh santri putra-putri pada awal dibukanya madrasah Tsanawiah tersebut.

Setelah satu tahun berdiri. Ternyata kepercayaan masyarakat semakin meningkat. Terbukti, pada tahun kedua beliau sudah harus membuka madrasah aliyah. Sebagai pemimpin pesantren. Beliau melakukan pembinaan dan pengajaran langsung, serta membangun akses kepusat-pusat kegiatan masyarakat. Karena, dukungan masyarakat sangat di butuhkan agar lembaga yang didirikannya itu dapat diterima.

Tahun-tahun berikutnya berbagai kepercayaan terus mengalir. Ketika santri di kedoya sudah tidak tertampung lagi, beliau menerima wakaf dari keluarga H. Jamhari dan H. Musa di batu Ceper Tangerang. Lahan seluas 1 hektar yang diserahkan untuk dikelola Ashiddiqiyah.

C.    Kelembagaan Pesantren

Struktur Kepemimpinan Ponpes Ashiddiqiyah
















 

 

 

 

 

 


 














 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Proses Kegiatan Belajar Mengajar

Proses kegiatan belajar mengajar di Pondok Pesantren Ashiddiqiyah sama halnya seperti kegiatan belajar mengajar pada umumnya, hanya saja banyak kegiatan malam yang dilakukan bersama-sama setiap harinya. Rincian kegiatan Pondok Pesantren Ashiddiqiyah adalah sebagai berikut

 

Senin, Rabu, Kamis, & Sabtu.

NO

Pukul

Kegiatan

1

04.00-06.00

Sholat Tahajud, Istighasah, Sholat Subuh berjamaah, belajar kelompok B. Inggris

2

06.00-07.00

Sarapan Pagi dan persiapan untuk kegiatan belajar mengajar

3

07.00-12.30

Sekolah Formal

4

12.30-13.00

Sholat Dzuhur berjama'ah

5

13.00-15.30

Istirhat, makan siang, mandi

6

15.30-17.00

Sholat Ashar berjama'ah, Madrasah Diniyah (Sekolah Non formal)

7

17.00-17.30

Persiapan Sholat Maghrib

8

17.30-18.30

Istighasah, Sholat Maghrib Berjama'ah, pembacaan Surat Yasin bersama.

9

18.30-19.00

Makan malam

10

19.00-20.30

Sholat Isya berjama'ah, Pengajian kelompok

11

20.30-22.00

Muthala'ah (mengulang pelajaran yang sudah dipelajari)

12

22.00-04.00

Istirahat, Tidur

 

Selasa

NO

Pukul

Kegiatan

1

04.00-05.30

Sholat Tahajud, Istighasah, Sholat Subuh berjamaah.

2

05.30-06.00

Olah raga

3

06.00-07.00

Sarapan Pagi dan persiapan untuk kegiatan belajar mengajar

4

07.00-12.30

Sekolah Formal

5

12.30-13.00

Sholat Dzuhur berjama'ah

6

13.00-13.30

Istirhat, makan siang, mandi

7

13.30-15.40

Extra Kulikuler

8

15.30-17.00

Sholat Ashar berjama'ah, Istirahat

9

17.00-17.30

Persiapan Sholat Maghrib

10

17.30-18.30

Istighasah, Sholat Maghrib Berjama'ah, pembacaan Surat Yasin bersama.

11

18.30-19.00

Makan malam

12

19.00-20.30

Sholat Isya berjama'ah, Pengajian kelompok

13

20.30-22.00

Muthala'ah (mengulang pelajaran yang sudah dipelajari)

14

22.00-04.00

Istirahat, Tidur

 

Jum'at

NO

Pukul

Kegiatan

1

04.00-06.00

Sholat Tahajud, Istighasah, Sholat Subuh berjamaah, belajar kelompok B. Inggris

2

06.00-07.00

Sarapan Pagi dan persiapan untuk kegiatan belajar mengajar

3

07.00-11.00

Sekolah Formal

4

11.00-13.00

Sholat Jum'at (Putra di masjid) Sholat dzuhur berjamaah (Putri di Mushalah lantai 3 asrama)

5

13.00-15.30

Istirhat, makan siang, mandi

6

15.30-17.00

Sholat Ashar berjama'ah, Madrasah Diniyah (Sekolah Non formal)

7

17.00-17.30

Persiapan Sholat Maghrib

8

17.30-18.30

Istighasah, Sholat Maghrib Berjama'ah, pembacaan Surat Yasin bersama.

9

18.30-19.00

Makan malam

10

19.00-20.30

Sholat Isya berjama'ah, Pengajian kelompok

11

20.30-22.00

Muthala'ah (mengulang pelajaran yang sudah dipelajari)

12

22.00-04.00

Istirahat, Tidur

 

Minggu.

NO

Pukul

Kegiatan

 

04.00-06.00

Sholat Tahajud, Istighasah, Sholat Subuh berjamaah.

 

06.00-07.30

Olah Raga di luar pesantren

 

07.30-12.30

Bebas

 

12.30-13.00

Sholat Dzuhur berjama'ah

 

13.00-15.30

Bebas

 

15.30-16.00

Sholat Ashar berjama'ah,

 

16.30-17.30

Bebas

 

17.30-18.30

Persiapan Shalat magrib, Istighasah, Sholat Maghrib Berjama'ah, pembacaan Surat Yasin bersama.

 

18.30-19.00

Makan malam

 

19.00-20.30

Sholat Isya berjama'ah, Pengajian kelompok

 

20.30-22.00

Muthala'ah (mengulang pelajaran yang sudah dipelajari)

 

22.00-04.00

Istirahat, Tidur

 

 

 

 

 

 

 

 

D.    Impack Terhadap Masyarakat

 

Pendidikan

Pondok Pesantren Ashiddiqiyah mempunyai program mondok gratis, terbagi menjadi 2 program yaitu AITAM (anak yatim piatu) dan Mahad Ali (Perguruan Tinggi)

 

Persyaratan untuk mengikuti program AITAM adalah sebagai berikut :

1.      Yatim/Piatu

2.      Kurang mampu

3.      Mampu membaca kitab kuning dan kitab suci Al-Qur'an

4.      Bersedia untuk menetap di Pemondokan

 

Persyaratan  untuk mengikuti program Mahad Ali

1.      Mampu membaca kitab kuning dan kitab suci Al-Qur'an

2.      Bersedia dan mau mengikuti pembelajaran

 

Sosial

Pondok Pesantren Ashiddiqiyah sangat ramah terhadap masyarakat sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan diturutsertakannya masyarakat apabila Pondok Pesantren Ashiddiqiyah mengadakan acara seperti Milad pesantren, pengajian bulanan, pemotongan hewan kurban, pembagian dan penerimaan zakat fitrah, sholat tarawih dan Idul Fitri atau pun Idul Adha bersama.

Ekonomi

Ashiddiqiyah memiliki mini market yang bernama SQ Mart yang terletak diluar pesantren, sehingga dapat bermanfaat untuk masyarakat sekitar. Ashiddiqiyah menyediakan peminjaman modal bagi wali santri dengan sayarat tertentu. Ashiddiqiyah juga merupakan sumber pendapatan masyarakat sekitar karena banyak masyarakat yang berjualan disekitar pondok pesantren Ashiddiqiyah.

 

 

E.     Profil KH. Noer Muhammad Iskandar SQ

        

   KH. Noer Muhammad Iskandar SQ lahir di Sumber Beras, Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 5 Juli 1955. Beliau lahir dari pasangan Kyai Iskandar dan Siti Nur Jazilah. Memiliki 9 saudara kandung (5 laki-laki dan 4 perempuan). Kegiatan beliau sehari-hari adalah sebagai  Pimpinan/Pengasuh Pondok Pesantren Asshiddiqiyah dan Anggota DPR/MPR RI dari Fraksi PKB

Kiai Noer memulai pendidikannya di pesantren tradisional Jawa Timur untuk kemudian sekolah di Jakarta dan mengembangkan pondok pesantren di kota besar dengan karakter budaya yang berbeda dengan kultur dasarnya. Karenanya, ketepatan pengetahuan akan peta sosiologis daerah akan sangat menentukan efektif tidaknya dakwah yang disampaikan. Makin rendah pengetahuan seorang santri akan peta simbolik masyarakat kota, akan tipis kemungkinan baginya untuk diterima dalam kelompok sosial yang di hadapinya.

 

 

 

 

 

F.     Profil Pendukung

Mahrus Iskandar adalah anak dari KH. Noer Muhammad Iskandar SQ. Beliau adalah anak ke 3 dari 5 bersaudara. Beliau menyelesaikan study nya di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir. Saat ini beliau yang memegang kendali atas Pondok Pesantren Asshidiqiyah Pusat sejak beberapa tahun yang lalu.

Beliau lahir dijakarta 29 yang lalu. Tepatnya pada tanggal 07 November 1986. Beliau menikah pada tahun 2012 namun hingga sekarang belum dikaruniai seorang anak. Beliau mengambil alih tugas ayahnya dikarenakan ayahnya sudah mulai kurang sehat dan sakit-sakitan. Beliau juga mengurus sendiri beberapa pembelajaran. Salah satunya beliau yang langsung mengajar kitab Ta'lim Mutaalim di massjid. Beliau merupakan anak laki-laki pertama yang paling besar. Sedangkan 2 kakak perempuan sebelumnya juga telah mengambil alih pesantren-pesantren cabang lainnya.

 

 



[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1976), h. 19.

Cari Blog Ini