Pendahuluan
a. Latar belakang
Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang mana pun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan.[1]
Santri adalah orang-orang yang menjalankan agama islam dengan menitik beratkan pada kepatuhan terhadap nilai-nilai ajaran dan tata cara keagamaan islam secara murni. Disisi lain kaum abangan merupakan orang-orang jawa yang kebanyakan juga muslim namun lebih tertarik untuk menghayati agamanya dengan cara-cara yang mereka anggap lebih tepat.
Geertz menyebutnya sebagai integrasi yang berimbang antara unsur-unsur animisme, hinduisme, dan islam atau yang ia sebut sebagai sinkrestisme jawa. Tradisi keagamaan kaum abangan terlihat dalam apa yang dinamakan sebagai selametan. Sementara itu, yang dinamakan priyai adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan elit jawa yang lebih menitik beratkan keagamaan pada elmen hinduisme.[2]
Pada tugas kali ini kelompok kami memilih Pondok Pesantren al-Nahdlah, yang berada di pelosok kota Depok, tepatnya di kelurahan Pondok Petir, Bojongsari. Kami memilih desa ini dikarenakan letak desa ini tidak terlalu jauh dari tempat kami yaitu Ciputat. Waktu yang di butuhkan untuk sampai ke desa ini pun tidak terlalu lama yaitu hanya 1 (satu) jam.
Kami juga bisa menjangkau Pondok Pesantren al-Nahdlah ini dengan menggunakan sepeda motor. Karena letak desa ini masih bisa di jangkau oleh sepeda motor mempermudah kami untuk mengumpulkan data dan datang Pondok Pesantren al-Nahdlah itu langsung. Selama disana kami diantar oleh bapak Nurul Zibat yang juga merupakan salah satu pengurus pondok pesantren.
Fokus pembahasan masalah dalam laporan ini ialah kepada masalah kebudayaan yang ada di pesantren.
Gambaran Umum
Pondok Pesantren al-Nahdlah, masyarakat biasa juga menyebutnya dengan Al Nahdlah Islamic Boarding School adalah Lembaga Pendidikan Islam dengan sistem pembelajaran yang terintegrasi antara pendidikan umum dan agama. Berdiri pada 1997 oleh aktivis muda pendidikan: Dr. Hilmi Muhammadiyah, Dr. Asrorun Niam Sholeh, Sulthan Fatoni, M.Si., Abdullah Masud, S.Pdi, Ridwan Taiyeb, S.Pd, dan Khoirul Hadi Nasution, S.Ag.
Pondok Pesantren Al-Nahdlah menggabungkan kekuatan tradisi Islam dengan kemajuan keilmuan kontemporer. Sehingga santri diharapkan mempunyai kemampuan yang berbasis karakter. Nilai-nilai kepesantrenan ditanamkan secara kuat dengan pola keteladanan.
Di atas tanah bertumbuhkan ilalang, 2005 silam sebuah gedung mulai dibangun, gedung yang merupakan buah hasil pemikir-pemikir muda NU dalam wadah yayasan yang mereka beri nama eLSAS (Lembaga Studi Agama dan Sosial) yang eksis mengkaji masalah-masalah agama dan sosial sesuai dengan namanya. Nama Al-Nahdlah pun dipilih sebagai langkah kebangkitan sebuah pendidikan yang mampu bersaing di zaman global ini, selain itu nama Al-Nahdlah juga dinisbatkan kepada NU. Model pembelajaran yang terintegrasi (Integrated Learning System) antara pendidikan umum dan agama menjadi wacana utama madrasah dan pondok pesantren ini, dengan moto "Center of Excellence" (Pusat Keunggulan).
Hasil Penelitian
1. Budaya Pondok Pesantren
Pada pondok pesantren ini ada suatu kebiasaan yang selalu dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan santri. Biasanya mereka melakukan pengakjian kitab kuning oleh kiyai mereka setelah melakukan shalat subuh dan itu tidak boleh di tinggalkan. Jika ada santri yang meninggalkan pengkajian kitab kuning maka santri tersebut akan dikenakan sanksi hukuman.
Selain pengkajian kitab kuning ada juga kebiasaan mereka untuk belajar bersama dengan santri lain. Mereka biasanya belajar bersama di musholah atau aula dan biasanya dilakukan mulai dari pukul 21.00 sampai dengan 22.00.
Shalat tasbih dan tahajjud juga sudah menjadi kebiasaan para santri di ponpes ini. Mereka tidak akan boleh melewatkan shalat tasbih yang dilakukan seminggu sekali dan shalat tahajjud setiap malam hari.
Di pondok pesantren ini mereka diajarkan atau dibiasakan untuk makan bersama di dapur dengan satu nampan untuk dimakan oleh beberapa santri. Saat keluarga mereka berkunjung mereka juga membagikan bekal dari keluarga mereka untuk teman-temannya. Mereka juga dibiasakan untuk mencuci baju sendiri dan bersih-bersih pondok pesantren seminggu sekali.
Ini sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun dan sudah membudaya di pondok pesantren ini.
2. Sejarah Kehadiran Pesantren
Berawal dari obrolan ringan para aktivis muda Nahdlatul Ulama yang berbasis di Ibukota, yang berhasrat untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berasrama yang mampu menggabungkan metode modern dan salaf dalam sebuah lingkungan pembelajar (Learning Environment) yang kondusif, akhirnya sepakatlah 6 pemikir muda NU yaitu Dr. Hilmi Muhammadiyah, Dr. Asrorun Niam Sholeh, Sulthan Fatoni, M.Si., Abdullah Masud, S.Pd.I, Ridwan Taiyeb, S.Pd, dan Khoirul Hadi Nasution, S.Ag. untuk benar-benar merealisasikan tujuan mulia itu, dan saling berkorban demi memperjuangkan kesepakatan bersama. Maka didirikanlah pesantern pada tahun 1997.
Nama Al-Nahdlah pun dipilih sebagai langkah kebangkitan sebuah pendidikan yang mampu bersaing di zaman global ini, selain itu nama Al-Nahdlah juga dinisbatkan kepada NU. Model pembelajaran yang terintegrasi (Integrated Learning System) antara pendidikan umum dan agama menjadi wacana utama madrasah dan pondok pesantren ini, dengan moto "Center of Excellence" (Pusat Keunggulan).
Di atas tanah bertumbuhkan ilalang, pada tahun 2005 silam di bangun pula sebuah gedung, gedung yang merupakan buah hasil pemikir-pemikir muda NU dalam wadah yayasan yang mereka beri nama eLSAS (Lembaga Studi Agama dan Sosial) yang eksis mengkaji masalah-masalah agama dan sosial sesuai dengan namanya.
Modal awal berdirinya pesantren ini ialah dengan dana yang diperoleh dari 6 pemikir muda NU. Mereka mulai membangun pesantren kecil-kecilan dan dibatasi hanya untuk sekitar 25 orang saja, ditunjang dengan pemberian beasiswa penuh selama tiga tahun masa pembelajaran di MTs Al-Nahdlah.
Melihat respon masyarakat yang positif menerima pembangunan pondok pesantren ini, maka pondok pesantren ini pun kian berkembang, penerimaan siswa pun dari berbagai daerah yang mayoritas nya ialah orang Jawa.
3. Kelembagaan
VISI DAN MISI Ponpes Al-Nadhlah:
VISI :
Al-Nahdlah Islamic Boarding School sebagai pusat unggulan (center of excellence) pendidikan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, pembangunan jaringan, pelestarian tradisi, pengabdian masyarakat, serta penyiapan sejak dini atas generasi masa depan yang bertaqwa, cerdas, dan inovatif.
MISI :
1. Menghasilkan lulusan yang mempunyai kompetensi di bidang ilmu pengetahuan dan kajian kitab kuning.
2. Menghasilkan lulusan yang mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Menghasilkan lulusan yang dapat berkomunikasi dalam bahasa internasional (Arab dan Inggris).
4. Menghasilkan lulusan yang mempunyai kualitas kepemimpinan (leadership), kemandirian, dan kecakapan dalam berorganisasi dan bersosialisasi.
5. Mengembangkan komunikasi dan jaringan dengan institusi pendidikan lainnya sebagai pusat pendidikan unggulan dalam menyiapkan generasi masa depan yang berdaya saing global.
Pondok pesantren Al-Nahdlah melakukan pembelajaraan kepada santrinya dengan menggabungkan kekuatan tradisi Islam dengan kemajuan keilmuan kontemporer. Sehingga santri diharapkan mempunyai kemampuan yang berbasis karakter. Nilai-nilai kepesantrenan ditanamkan secara kuat dengan pola keteladanan. Di sisi lain santri diakrabkan dengan keilmuan kontemporer dengan cara pengayaan literatur dan praktik. Memasuki satu windu, al-Nahdlah membatasi sejumlah 200 santri putra-putri untuk memberikan pelayanan pendidikan yang maksimal.
MTs. Al-Nahdlah Islamic Boarding School sebagai satuan pendidikan dasar, menerapkan sistem pembelajaran terintegrasi (Integrated Learning System) yang memadukan antara sistem pembelajaran modern dan salaf (pesantren), memadukan jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal dalam satu kesatuan. MTs. Al-Nahdlah Islamic Boarding School juga menekankan sistem pembelajaran holistik dan berkelanjutan yang didasarkan pada bakat dan minat masing-masing peserta didik.
Sementara Madrasah Aliyah memiliki dua model pembelajaran, Boarding School (berasrama) dan Full Day School (tidak berasrama yang sifatnya pilihan. Proses pembelajaran menerapkan sistem pembelajaran terintegrasi (Integrated Learning System).
Madrasah Aliyah Al-Nahdlah Full Day School menerapkan sistem terintegrasi antara pendidikan formal, non-formal, dan informal. Pembelajaran dimulai pukul 07.00 – 17.00 wib dengan penguatan pada muatan agama, bahasa, dan teknologi informasi dan komunikasi.
Pondok pesantren Al-Nahdhlah ini tidak hanya berkutat dengan lingkungan dalam saja, tetapi ia juga bekerja sama dengan berbagai pihak dari luar. Pondok ini juga sering sekali mengikuti perlombaan dan mendapatkan berebagai pernghargaan dan prestasi yang semakin hari semakin meningkat prestasinya.
4. Impek
Setelah menghasilkan lulusan perdananya, dan ternyata alumninya memiliki kelebihan tersendiri serta menjadi siswa yang unggul di lingkungannya, akhirnya Madrasah Aliyah Al-Nahdlah pun didirikan. Bermodal alumni MTs yang memilih untuk meneruskan masa studinya di Al-Nahdlah, lambat laun MA Al-Nahdlah pun mulai berkembang, dan tahun 2013 mendatang, merupakan tahun kelulusan awal siswa MA Al-Nahdlah.
Selain pendidikan umum para santri juga di ajarkan kitab kuning, bahasa arab, dan pelajara-pelajaran agama lainnya. Mereka juga dibiasakan mengikuti sholat-sholat sunah yang diadakan oleh pondok pesantern ini seperti sholat tahajud dan kegiatan keagamaan lainnya.
sementara pegurus pondok atau yang biasa di sebut OSIS (untuk sekolah umum) mereka melakukan berbagai macam kegiatan sosial yang mengatas namakan pesantren. Seperti, kerja bakti dan bakti sosial disekitar lingkungan ponpes yang sangat membantu masyarakat.
Dengan adanya pondok pesantren ini para warga merasa senang karena dilingkungan mereka masih tertanam nilai-nilai keagamaan. Selain nilai-nilai keagamaan mereka juga mendapatkan penghasilan dari adanya ponpes. Warga sekitar bisa berjualan keperluan sekolah, warung makan, dan lain sebagainya di sekitar ponpes. Saat menjelang waktu kunjungan atau pendaftaran murid baru mereka juga mendapatkan penghasilan yang cukup besar dari parkir para keluarga atau pendaftar baru yang datang. Dan ini sangat menguntungkan bagi kegiatan ekonomi masyarakat sekitar.
5. Profil Tokoh
Pondok pesantern ini didirikan oleh 6 anak muda yang berasal dari NU yaitu:
1) Dr. Hilmi Muhammadiyah,
2) Dr. Asrorun Niam Sholeh,
3) Sulthan Fatoni, M.Si.,
4) Abdullah Masud, S.Pd.I,
5) Ridwan Taiyeb, S.Pd, dan
6) Khoirul Hadi Nasution, S.Ag.
Yang bertujuan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam berasrama yang mampu menggabungkan metode modern dan salaf dalam sebuah lingkungan pembelajar. Maka didirikanlah pondok pesantern ini.
Menurut keterangan beberapa alumni pondok pesantren ini tidak ada salah satu kiyai yang biasanya di setiap ponpes pasti selalu memiliki kiayi. Di pondok ini hanya ada pembinan pondok pesantren yang di pegang oleh Drs. KH. Hilmi Muhammdiyah, M.Si. dan direktur pondok yaitu Dr. H. M. Asrorun Ni`am Sholeh, MA dengan kepala pengasuh Ustadz Miftahul Huda, Lc dan kepala madrasah H. Abdullah Mas`ud, S.Ag, MH.
Kesimpulan
Pondok pesantren merupakan salah satu dunia pendidikan yang sangat diperhitungkan. Di dalam pondok pesantren ini selalu melekat dengan kebudayan dan tradisi yang mendarah daging dan turun temurun dilakukan dari generasi kegenerasi.
Dipondok pesantren yang kami telitih ini juga mengandung banyak sekali kebudayaan yang membawa dampak positif bagi para santrinya baik di lingkungan santri maupun dilingkungan masyarakat.
Pembangunan pondok pesantren juga banyak membawa keuntungan bagi masyarakat yang ada di sekitar pondok baik dari segi keagamaan maupun dari segi ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Wirutomo, Paulus. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). 2012
T.O. Ihromi. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2013