Selasa, 16 Juni 2015

M.Nur Muhaimin_Ajeng Dwi Rahma Putri_PMI 4 _Tugas UAS_Budaya Pesantren

ANTROPOLOGI BUDAYA

Tugas ini dibuat guna memenuhi tugas UAS Antropologi budaya

BUDAYA PESANTREN

 

 

Disusun Oleh :

1.      Muh Nur Muhaimin       (1113054000008)

2.      Ajeng Dwi Rahma Putri (1113054000019)

 

 

Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam

Fakultas Ilmu Dakwah Dan Ilmu Komunikasi

Universaitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

 

 

Pendahuluan

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan system  pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetaapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan hindu-budha. Sehingga islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya ini tidak berarti mengecilkan peranan islam dalam memelopori pendidikan di Indonesia[1].

System nilai yang digunakan dikalangan pesantren adalah yang berakar dalam agama islam. Tetapi tidak semua yang berakar dalam agama itu dipakai oleh mereka. Kalangan pesantren sendiri, menamakan system nilai yang dipakainya itu dengan ungkapan Ahlul sunnah wal jama'ah. Ahlul sunnah wal jama'ah sendiri pertama-tama adalah mengacu pada golongan sunni. Maka dalam hal kalam atau ilmu  ketuhanan, pesantren mengikuti madzhab sunni, sebagaimana dirumuskan oleh Abu Hassan al asy'ari dan yang kemudian tersebar antara lain melalui karya-karya imam ghazali.

 

Sejarah Pesantren Darus Sunnah

Pendirian pesantren itu berawal dari pengajian yang diikuti tiga mahasiswa yang ingin mengkaji Hadits secara mendalam. Kegiatan pembelajaran berlangsung di ruang tamu, rumah pimpinan pondok pesantren. Ketiga orang tersebut adalah Ali Nurdin (sekarang Dekan Fakultas Ushuluddin di PTIQ Jakarta), Saifuddin (kini menjadi penghulu di Brebes Jawa Tengah), dan Khairul Mannan (kini mengajar di Brunei Darussalam) kegiatan ini berlangsung sejak tahun 1993. Melihat kepandaian ketiga mahasiswa tersebut khususnya dalam bidang Hadits, sekelompok mahasiswa mulai berdatangan mengikuti pengajian tersebut, dan menyatakan minatnya untuk mengaji bersama. Keinginan mereka itupun akhirnya mendapat sambutan hangat, dan pada saat itu juga mereka mengikuti pengajian.

 Semakin lama, peserta pengajian semakin bertambah banyak. Di satu sisi hal ini menunjukkan suatu kemajuan , namun di sisi lain sebaliknya. Sebab ruang tamu yang selama ini dijadikan sebagai kelas  tak mampu lagi menampung santri yang datang. Dan jika tak segera ditangani, proses pengajianpun akan tersendat. Namun ini masih bisa diatasi, karena masih ada ruangan keluarga yang kapasitasnya lebih besar dibanding ruang tamu. Beberapa bulan kemudian, peserta pengajian mencapai 20 orang. Ruang keluargapun ternyata sudah tidak mampu lagi menampung para santri yang ada. Mengingat kondisi seperti ini, pak kyai kwatir jika pengajian menjadi tidak kondusif dan tidak efektif. Maka beliau berinisiatif memindahkan pengajian ke masjid Mujahidin yang kebetulan letaknya tidak jauh dari rumah beliau. 

Keputusan untuk mengalihkan lokasi ke masjid dirasa cukup tepat, sebab tak lama kemudian peserta pengajian bertambah lagi menjadi 40 orang santri. Dan yang lebih mengesankan lagi, jumlah tersebut bukan kwantitas belaka. Komitmen dan semangat belajar para peserta pengajian pun cukup besar. Hal ini dibuktikan ketika Jakarta dilanda hujan lebat yang nyaris menyebabkan banjir tahun 1997 lalu, semua peserta pengajian tetap hadir meski rumah mereka jauh dengan tempat pengajian ini. Melihat semangat belajar mereka yang tinggi ini, KH. Ali Mustofa Yaqub pun terharu dan kemudian berinisiatif untuk mendirikan pesantren yang selain berfungsi sebagai tempat belajar mengajar, peserta pengajian juga bisa tinggal di pondok tersebut (nyantri). Alasannya, jika turun hujan atau hal lain yang menghalangi aktifitas pengajian, para santri tetap dapat menghadiri pengajian, selain itu beliau juga tidak ingin menyia-nyiakan hasrat mahasiswa yang terus menerus datang mengaji.

Gayung bersambut, secara kebetulan dibelakang rumah beliau terdapat sepetak tanah. Sebagai langkah awal, lokasi tersebut bisa dijadikan bangunan asrama santri. Sempit memang, sehingga bangunan ini terkesan seperti kos-kosan. Meski demikian, orang-orang yang berminat menjadi santri beliau kian membludak. Suatu ketika, ditengah usaha beliau membangun asrama itu, seorang kyai dari Walungu Jawa Tengah, KH. Dimyati Rais berkunjung ke rumah beliau dan mengatakan bahwa tanah yang ada disebelah rumah beliau ini kelak akan menjadi pesantren sekaligus asrama putra. Sementara asrama yang sedang dibangun dibelakang rumah pimpinan  adalah asrama putri. Tentu saja ucapan kyai Dimyati yang merupakan doa tersebut diamini oleh pimpinan meskipun sebenarnya tanah yang ada disebelah rumah beliau ini bukan miliknya. Tahun 1418 H/1997 M Departemen Agama RI, menghibahkan dana untuk membantu pembangunan lokal pesantren serta adanya dana swadaya masyarakat. Dari sinilah, akhirnya tanah yang ada di samping rumah beliau dapat dibeli, dan mulailah dibangun gedung berlantai dua. Setelah pesantren ini benar-benar berdiri, Ali Nurdin, salah seorang muridnya yang kemudian menjadi pengajar Pesantren Darus Sunnah, mengusulkan nama Darus Sunnah. Barulah pada 1 September tahun 1997 M/1418 H,  berdiri pesantren yang khusus mengkaji Hadits dan Ilmu Hadits.

Pesantrennya kini luasnya mencapai 1.000 meter persegi, setiap tahun pihaknya hanya menerima 20 santri, dari ratusan peminat yang mendaftar tiap awal semester ganjil. Dan untuk menjawab permintaan masyarakat dikarenakan minimnya mahasiswa yang diterima maka pesantren akan  diperluas. Tanah kosong yang luasnya sekitar 4000 meter persegi di dekat lokasi lama sudah dibeli dan akan segera dibangun asrama khusus untuk santri putra. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Mentri Agama Republik Indonesia, Bapak Suryadarma Ali, M.Si. dan Prof. Dr. M Quraisy Syihab pada tanggal 21 Januari 2010 yang dihadiri oleh para alim ulama dan tokoh masyarakat setempat. Insya Allah direncanakan selesai pada bulan Juli 2010. Nantinya jumlah santri yang akan diterima berjumlah 120 santri 60 santriwati. Pendidikan di Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus Sunnah merupakan kombinasi antara sistem pesantren dan perguruan tinggi, antara dzikir dan fikir, antara penghayatan pengamalan dan penalaran intlektual.

Secara geografis Pondok Pesantren Darus Sunnah memiliki letak yang strategis, yakni berada di daerah segitiga emas kampus terkemuka, Institute Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Islam Indonesia (UIN) Syarif Hidayatullah, yang tepatnya berada di jalan SD Impres Nomor 11, Pisangan Barat, Ciputat Tangerang, Kurang lebih 600 M di sebelah tenggara komplek UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kelembagaan

Struktur yang ada di pondok pesantren Darus Sunnah ini adalah :

1.      Pengasuh Pondok Pesantren

2.      Sekretaris pondok

3.      Kepala kelas

4.      Santri

Dalam proses belajar mengajar yang dilakukan di pondok pesantren Darus Sunnah menerapkan system yang merupakan kombinasi antara system pesantren dan system perkuliahan di perguruan tinggi. Dengan cara pengajar menerangkan pelajaran dan para santri mendengarkan dan menyimak dengan seksama, atau para santri membaca kitab yang dipelajari, dan pengajar menyimak kemudian mengoreksi dan menanyakan maksudnya kepada santri. Adapun masa pendidikan di pondok pesantren Darus-Sunnah adalah delapan semester atau empat tahun. Sedangkan waktu belajar adalah pada pukul 05.00-06.30 WIB dan pukul 19.30-21.00 WIB.
Selain itu, kelebihan dari pondok pesantren tersebut adalah adanya hafalan Al-Qur\'an 1 juz pada setiap tingkatan. Dan para santri diharuskan untuk dapat hafal Al-Qur\'an sebanyak 8 juz hingga tamat belajar di pondok pesantren tersebut.  

Sehingga saat menyelesaikan program studi dari Pondok Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah, para santri menyandang gelar LC (Licence) saat di wisuda. Mengingat belajar Ilmu Hadits membutuhkan kesanggupan memahami bahasa Arab dan juga kepandaian di bidang ilmu-ilmu agama, maka Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah memprioritaskan status mahasiswa sebagai santri yag berhak tinggal di sana. Bahkan bisa dikatakan syarat mutlak. Mayoritas yang mendaftar di Pondok Pesantren Darus-Sunnah adalah mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Ilmu al-Qur\'an (IIQ), Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur\'an (PTIQ) dan lain-lain. Setelah resmi menyandang status mahasiswa, barulah mereka yang ingin menjadi mahasantri Darus-sunnah harus mengikuti tes masuk. Yang berupa tes tulis dan lisan meliputi Ilmu Hadits, Ilmu Akidah, Qira\'atul kutub (membaca kitab-kitab berbahasa Arab), Fahmul Maqru\' (memahami isi teks Arab sekaligus mampu untuk menerangkannya), Nahwu & Sharaf, wawasan tentang sejarah dan pengetahuan Islam, wawasan tentang Hadits dan Ilmu Hadits, penguasaan bahasa Arab-Inggris dan Psikotes.
Hal ini dilakukan karena disamping tuntutan akademis pesantren, juga karena keterbatasan tempat yang tidak mungkin menampung seluruh pendaftar yang jumlahnya mencapai ratusan. Meski demikian, bukan berarti bahwa para pendaftar yang tidak lulus tes tidak diperkenankan belajar di pesantren Darus-Sunnah. Namun, mereka yang tidak lulus tidak dapat tinggal di pesantren Darus-Sunnah. Sebagai lembaga pendidikan, Darus-Sunnah telah berhasil menghasilkan sarjana-sarjana yang ahli dalam bidang agama, khususnya di bidang Hadits dan Ilmu Hadits yang telah terjun di masyarakat dan menyebarluaskan berbagai ilmu agama Islam sebagai realisasi pengamalan ilmu yang telah mereka peroleh. Selain itu, mahasantri yang telah lulus dari Darus-Sunnah dapat melanjutkan program study S2 di universitas-universitas yang ada di negara-negara timur tengah. Dan pihak Pondok Pesantern Luhur Ilmu Hadits darus-Sunnah yang bekerja sama dengan Atase Agama Kedutaan Besar Kerajaan Saudi arabia di Jakarta memberikan hadiah Haji dan Umrah kepada alumni terbaik Darus-Sunnah.

Impact pada masyarakat

Hal lain yang menjadi kelebihan pondok pesantren Darus-Sunnah adalah lingkungan pondok pesantren yang masyarakatnya berbaur dan bersosialisasi baik dengan mahasantri Darus-Sunnah. Dengan adanya kerjasama antara masyarakat dan mahasantri dalam berbagai acara kegiatan hari besar Islam. Sehingga para santri seperti menjadi bagian dari warga masyarakat yang ada di sekitar pondok pesantren. Kegiatan belajar mengajar di Darus-Sunnah tidak dipungut biaya sama sekali. Sebagai gantinya, setiap mahasantri wajib memiliki sendiri kitab-kitab yang dikaji. Pesantren juga memiliki fasilitas perpustakaan yang khususnya digunakan untuk literatur Hadits dan Ilmu Hadits. Selain kegiatan belajar-mengajar, kegiatan ekstrakulikuler yang ada di pesantren, antara lain adalah: Ikatan Mahasiswa Darus-Sunnah (ISDAR), Lembaga Tahfidz al-Qur\'an al-Itqan, Buletin Dakwah Umat Nabawi, Forum Diskusi Tingkat Perspektif (FDLP) dan forumDiskusi Dwi Mingguan.

Profil Tokoh

Profil pendiri

Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA (lahir di Batang, Jawa Tengah, 2 Maret 1952; umur 63 tahun) adalah seorang Imam Besar Masjid Istiqlal. Cita-citanya untuk belajar di sekolah umum tidak terlaksana, karena setelah tamat SMP ia harus mengikuti arahan orangtuanya, belajar di Pesantren. Maka dengan diantar ayahnya, pada tahun 1966 ia mulai nyantri di Pondok Seblak Jombang sampai tingkat Tsanawiyah 1969. Kemudia ia nyantri lagi di Pesantren Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak. Di samping belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy'ari, di Pesantren ini ia menekuni kitab-kitab kuning di bawah asuhan para kiai sepuh, antara lain al-Marhum KH. Idris Kamali, al-Marhum KH. Adlan Ali, al-Marhum KH. Shobari dan al-Musnid KH. Syansuri Badawi. Di Pesantren ini ia mengajar Bahasa Arab, sampai awal 1976.

Tahun 1976 ia menuntut ilmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan mendapatkan ijazah license, 1980. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan lagi di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis, sampai tamat dengan memperoleh ijazah Master, 1985. Tahun itu juga ia pulang ke tanah air dan kini mengajar di Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISIQ/PTIQ), Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah, dan IAIN Syarif Hidayatullah, Tahun 1989, bersama keluarganya ia mendirikan Pesantren "Darus-Salam" di desa kelahirannya.

Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh yang aktif menulis ini, kini juga menjadi Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Muaballighin, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua STIDA al-Hamidiyah Jakarta, dan sejak Ramadhan 1415 H/Februari 1995 ia diamanati untuk menjadi Pengasuh/Pelaksana Harian Pesantren al-Hamidiyah Depok, setelah pendirinya KH. Achmad Sjaichu wafat 4 Januari 1995. Terakhir ia didaulat oleh kawan-kawannya untuk menjadi Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi).

 

Kesimpulan

kesimpulan dari pemaparan di atas bahwasanya pondok pesantren memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda. Seperti halnya pondok pesantren Darus Sunnah ini memiliki budaya pesantren yang berbeda dari budaya pesantren lainnya. Karena para santri dan santriwati yang ada di pondok ini sebagian besar adalah mahasiswa. Pondok pesantren ini lebih menerapkan kepada hadis-hadis sehingga nantinya para alumni yang ada di pondok ini sebagian besar adalah ahli hadits. Di pondok ini hanya belajar hadis serta kitab-kitab hadis ada juga yang menghafal al qur'an. Dari nila-nilai islam yang ada dapat kita lihat bahwa pondok ini lebih mengutamakan kepada sumber hokum islam yang kedua.

 

Daftar Pustaka

Nurcholish Madjid, Bilik-bilik pesantren, Jakarta 1997

 



[1] Madjid nurcholish, Bilik-bilik pesantren, Jakarta 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini