Minggu, 15 Juli 2012

Al-Qiyadah al-Islamiyah Potret Buram Gerakan Dakwah di Indonesia

 Al-Qiyadah al-Islamiyah:
Potret Buram Gerakan Dakwah  di Indonesia[1]

Murodi*

 ABSTRAK

Dinamisasi Islam sebagai sebuah agama yang kemudian membentuk komunitas keagamaan, kerapkali dihadapkan dengan kenyataan munculnya kolompok penyimpang. Kelompok yang menganut keyakinan tentang Islam secara berbeda dengan yang dianut oleh muslim kebanyakan. Fenomena munculnya aliran al-Qiyadah al-Islamiyah misalnya, menjadi satu diantara potrem buram Islam di Indonesia. Ahmad Moshaddeq, sebagai 'nabi' aliran ini, memproklamirkan diri secara terbuka, bahwa dialah sosok al-masih al-maw'ud yang akan menyempurnakan ajaran yang telah dibawa Nabi Muhammad Saw. Saat aliran al-Qiyadah ini muncul, pertanyaannya siapa yang harus disalahkan? Apakah Moshaddeq dan para pengikut setianya, para ulama, para da'i, ormas Islam atau siapa? Dalam konteks ini, ti­daklah tepat jika kita saling menyalahkan. Tentu saja, kehadiran aliran ini me­nambah deretan panjang kemunculan aliran sesat di tanah air, dan tantangan langsung bagi gerakan dakwah Islam di Indonesia.

Key words : Aliran al-Qiyadah, Respon Masyarakat dan Pemerintah, Gerakan Dakwah


Pendahuluan

Beberapa waktu lalu, umat Islam Indonesia dikejutkan oleh pengakuan seorang mantan palatih bulu tangkis Indonesia dan pensiunan Pegawan Negeri Sipil, Ahmad Mosha­d­deq. Pengakuannya menghebohkan umat Islam. Betapa tidak. Lelaki berpenampilan necis ini mengaku mendapat wahyu dari tuhan dan mengutusnya sebagai nabi dan ra­sul, setelah bertirakat selama 40 hari 40 malam di sebuah saung miliknya di gunung Bunder, Bogor Jawa Barat pada 23 Juli 2006. Pengakuannya mendapat respons beragam. Ada yang menolak, bahkan mengancam akan memberangus kelompok ini, ada yang netral, dan ada pula yang pro. Kelompok terakhir ini tentu saja datang dari  kalangan para pengikutnya.

TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA DAN PENGUASA MEDIA


TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA  DAN PENGUASA MEDIA

Sofiandy Zakaria*

ABSTRAK

Kalangan teoritisi dan praktisi  media mengakui, bahwa media mempunyai pengaruh yang besar dan luas terhadap perubahan masyarakat. Bahkan dalam kehidupan suatu negara, media atau pers seringkali dijuluki sebagai kekuatan keempat ( the fourth pillar ) , disamping lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif, terutama dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Mengingat kekuatan dan pengaruhnya  yang luas dan besar itulah, media seringkali digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat massif, seperti sosialisasi tentang  pembangunan dalam bidang  ekonomi  untuk kesejahteraan masyarakat. Namun tidak jarang media juga dimanfaatkan  oleh  penguasa dan pengusaha untuk kepentingan dan keuntungan segelitir orang saja. Kolaborasi antara penguasa dan pengusaha media bisa saja terjadi dan syah-syah saja adanya,  sepanjang  usaha tersebut bukan semata-mata untuk membangun dan mempertahankan kekuasaan, tapi juga untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya dalam rangka memenuhi tanggung jawab media sebagai lembaga sosial.

Key words: Tanggung jawab, Penguasa, Pengusaha, Media, Perspektif Islam tentang Kebebasan

Pendahuluan
Kolaborasi banyak digunakan di bidang musik yang menggabungkan musisi dari berbagai aliran. Namun kolaborasi juga bisa  terjadi antara pengusaha dan penguasa, misalnya dalam bisnis media atau pers, baik dari  organisasi yang berbeda maupun dari organisasi  yang sama dalam bidang media itu sendiri. Persaingan atau  permusuhan antara media dengan penguasa  bukan lagi zamannya. Disadari atau tidak, sekarang masanya kembali penguasa dan pengusaha bergandengan tangan bahkan berpelukan erat untuk membangun usaha sekaligus mempertahankan atau membangun kekuasaan bersama. Seperti masa otoritarian , bisa saja media atau pers jatuh ke tangan orang-orang berkuasa yang jumlahnya sedikit[1]

Relation Democracy and Islam in Indonesia

POLA RELASI DEMOKRASI DAN ISLAM DI INDONESIA

Suhaimi*


Pola relasi antara demokrasi dan Islam sebagai seperangkat doktrin normatif  dan prosedural menyebabkan hubungan yang erat dan komplementer diantara keduanya. Demokrasi sebagai wujud kedaulatan rakyat menghendaki adanya politik partisipatoris yang memberi ruang berdaulat bagi warga masyarakat. Sementara Islam sebagai agama juga memiliki kepedulian terhadap tegaknya keadilan, penegakkan hukum, kesejahteraan dan lain-lain yang juga menjadi esensi demokrasi. Namun, normatifitas bagaimana membangun sebuah bentuk masyarakat  yang dikonsepsikan dalam sistem demokrasi juga dalam agama Islam, belum tentu dapat diimplementasikan dalam prosedur bernegara dan bermasyarakat. Praktik demokrasi di banyak negara-negara Islam sepanjang sejarahnya, memang banyak yang tak dapat berjalan secara maksimum. Hal ini, disebabkan cara pandang yang beragam tentang bagaimana demokrasi diintegrasikan dengan konsepsi yang sudah ada sebelumnya. Begitu pun yang terjadi dalam praktik berdemokrasi di Indonesia. Pola hubungan keduanya senantiasa diwarnai oleh sejarah yang menjadi konteksnya.

Key Words : Demokrasi, Transisi Kekuasaan, Konsepsi Islam, Demokrasi di Indonesia

Pendahuluan
Demokrasi pada awal sejarahnya lahir sebagai bentuk politik partisipatoris yang  melibatkan seluruh warga kota kecil yang disebut polis di Yunani Kuno (Ancient Greek). Istilah demokrasi  secara harfiah diambil dari kata bahasa Latin demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan.  Secara historis  teori demokrasi lahir sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja dan kedaulatan Tuhan.[1] Jadi dalam sejarah lahirnya demokrasi atau kedaulatan rakyat merupakan pardigma baru yang menjadi pembangkangan  terhadap legitimasi kekuasaan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja  sebagai dasar kekuasaannya. Sehingga pada gilirannya sekularisme dan antroposentrisme menjadi ciri yang melekat pada demokrasi, khususnya demokrasi ala Barat. 
Demokrasi kemudian telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal.  Larry Bermann dan Bruce Allen Murphy dalam buku Approaching Democracy menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 1996 tidak kurang 118 negara  dari 191 negara di dunia ini yang mendambakan  sistem pemerintahan demokrasi.[2]

"Koperasi" Movement: Between Dream and Praxis

GERAKAN KOPERASI: IDEALISME DAN REALITA
(PELAJARAN PENGELOLAAN KOPERASI UIN JAKARTA 2002-2008)
oleh
Lili Bariadi[*]


ABSTRAK
Ide, keinginan, dan cita-cita menjadikan koperasi sebagai sokoguru ekonomi di Indonesia, sepertinya jauh panggang dari api. Hal ini terjadi karena kebanyakan koperasi hidup dengan sistem pengelolaan yang konvensional. Padahal jika dilihat dari aspek manfaat, koperasi ini sangat besar manfaatnya—terutama bagi anggotanya. Artikel ini menjelaskan sebuah pengalaman melihat, mengelola, dan mengelaborasi institusi yang bernama koperasi di lingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan modal yang kuat stakeholders kampus, pengembangan koperasi sebagai unit ekonomi mikro ditempatkan pada prioritas tertinggi. Sementara itu, kebijakan makro ditempatkan sebagai faktor pendukung di dalam membentuk kemandirian koperasi. Dalam konteks seperti ini, maka koperasi kemudian bisa diharapkan menjadi sokoguru ekonomi yang berkait dengan UUD 45.
    
Key Word: Koperasi, Gerakan Ekonomi, Idealisme, Realitas
Pendahuluan
Koperasi adalah perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang berasas kekeluargaan, bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Koperasi merupakan terjemahan dari kata cooperative memiliki  suatu bentuk kerjasama antar individu di dalam bidang ekonomi.  Sebagai organisasi, koperasi termasuk kedalam bentuk badan usaha formal yang keberadaannya diakui oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Koperasi  menjalankan satu atau beberapa usaha di bidang ekonomi. Tujuan koperasi melakukan kegiatan usaha bukan semata-mata mencari keuntungan tetapi untuk mempertinggi kesejahteraan anggota dan masyarakat di sekitamya. Tidak semua hasil usaha yang diperoleh dibagikan kepada anggota,  sebagian disimpan sebagai cadangan dan  dana sosial yang dapat digunakan untuk mempertinggi kesejahteraan masyarakat.

To Extended Idea dan Praxis Community Development

MEMPERLUAS GAGASAN & PRAKTIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PERSPEKTIF JIM IFE
Budhi Rahman Hakim[*]
ABSTRAK
Ragam pendekatan dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat patut terus digali dan diperkaya. Artikel ini memberikan satu elaborasi pemikiran seorang aktivis dan pemikir pemberdayaan masyarakat yang cukup terkenal: Jim Ife. Ife memberikan beberapa prinsip mendasar dalam melakukan pemberdayaan, yaitu: (1) pemberdayaan terpadu, (2) menentang struktur yang merugikan, (3)  mendasarkan kepada penegakan Hak Azasi Manusia (HAM), (4) keberlanjutan, (5) penguatan, (6) keterkaitan gerakan pribadi dan politik, (7) kepemilikan komunitas, (8) kepercayaan diri, (9) kemandirian dari negara, dan (10) tujuan jangka pendek dan visi jangka panjang. Meski belum separuh dari apa yang disarankan Ife, namun kesepuluh prinsip ini sudah cukup memberikan banyak masukan kepada kita untuk memberikan penekanan lebih dalam pemberdayaan masyarakat. Terlebih lagi Indonesia, konteks teoritis dari Ife menjadi masukan yang sangat berharga bagi proses perubahan sosial.   

Key Words: Pemberdayaan Masyarakat, Ife, Gagasan Perubahan, Indonesia.

Pendahuluan

Banyak cara dilakukan para agen perubahan (agent of change) dalam melakukan perbaikan kehidupan rakyat Indonesia. Beragam era yang muncul, direspon dengan beragam pendekatan. Di era Orde Baru kita mengenal satu mekanisme perubahan yang didorong oleh negara (baca: pemerintah pusat) melalui program penyuluhan. Penyuluhan adalah program perubahan tata cara bertindak masyarakat melalui bimbingan teknis oleh para ahli kepada masyarakat. Sehingga sering dikatakan bahwa program ini sangat top down.
Dari kelemahan pendekatan tersebut, kemudian muncul pendekatan lain yang lebih kritis, yakni pendekatan pemberdayaan masyarakat. Di  era Orde Baru, pendekatan pemberdayaan masyarakat memang kurang populer, meski banyak kepustakaan terbit pada masa ini. Sehingga gerakan pemberdayaan seperti ini dilakukan secara terbatas. Sampai era Orde Reformasi tiba, pemberdayaan masyarakat seolah-olah menemukan momentum politiknya. Di mana-mana, didengungkan perlunya pemberdayaan masyarakat. Kelihatannya, gerakan ini bukan semata-mata sebagai kritik atas kegagalan sistem perubahan masyarakat di era Orde Baru, namun lebih jauh mengisi ruang kosong potensi masyarakat untuk melakukan perubahan kehidupannya. Maka jangan heran, nyaris di setiap departemen, instansi, selalu ada institusi pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi sangat tren di berbagai lapisan masyarakat, patut diapresiasi dengan kritis. Sebab tanpa sebuah proses kritik, pemberdayaan masyarakat bisa menjadi pedang bermata dua yang salah-salah menusuk kita sendiri. Sementara itu di sisi lain, substansi masalah belum bisa dipecahkan. Sebagai contoh, nyaris  di semua departemen, lembaga swasta (bisnis dan non bisnis) selalu –minimal—menyebut konsep ini sebagai proses yang harus menjadi kewajiban. Payungnya bisa bermacam-macam: Corporate Social Responsibility atau CSR, pemberdayaan, penguatan, dan lain-lain sebagainya.[1] Padahal bisa jadi istilah-istilah tersebut lebih bermuatan kepentingan ekonomi politik mereka semata, dibanding menjadi benar-benar kepentingan rakyat.

Membangun Kesalehan Sosial

Membangun Keshalehan Sosial sebagai Gerakan Keummatan
Oleh: Tantan Hermansah
(Direktur Pelayanan Pendidikan dan Kesehatan Titian-Nusa dan Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Atas undangan sebuah lembaga, selama seminggu pada bulan Juli ini saya mengikuti pelatihan yang diberi judul sebagai "Observation Study Tour...". Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk mengenalkan satu moda baru dalam pemberdayaan masyarakat di mana menjadikan masjid sebagai subyek utama pemberdayaan masyarakat. Cita-cita utamanya adalah melakukan transformasi sosial, budaya, ekonomi, dll. dengan membasiskan pada nilai-nilai agama dan masjid sebagai wadahnya, dengan goal perubahan.

Cari Blog Ini