Minggu, 15 Juli 2012

TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA DAN PENGUASA MEDIA


TANGGUNG JAWAB PENGUSAHA  DAN PENGUASA MEDIA

Sofiandy Zakaria*

ABSTRAK

Kalangan teoritisi dan praktisi  media mengakui, bahwa media mempunyai pengaruh yang besar dan luas terhadap perubahan masyarakat. Bahkan dalam kehidupan suatu negara, media atau pers seringkali dijuluki sebagai kekuatan keempat ( the fourth pillar ) , disamping lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif, terutama dalam menjalankan fungsi kontrol sosialnya. Mengingat kekuatan dan pengaruhnya  yang luas dan besar itulah, media seringkali digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat massif, seperti sosialisasi tentang  pembangunan dalam bidang  ekonomi  untuk kesejahteraan masyarakat. Namun tidak jarang media juga dimanfaatkan  oleh  penguasa dan pengusaha untuk kepentingan dan keuntungan segelitir orang saja. Kolaborasi antara penguasa dan pengusaha media bisa saja terjadi dan syah-syah saja adanya,  sepanjang  usaha tersebut bukan semata-mata untuk membangun dan mempertahankan kekuasaan, tapi juga untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya dalam rangka memenuhi tanggung jawab media sebagai lembaga sosial.

Key words: Tanggung jawab, Penguasa, Pengusaha, Media, Perspektif Islam tentang Kebebasan

Pendahuluan
Kolaborasi banyak digunakan di bidang musik yang menggabungkan musisi dari berbagai aliran. Namun kolaborasi juga bisa  terjadi antara pengusaha dan penguasa, misalnya dalam bisnis media atau pers, baik dari  organisasi yang berbeda maupun dari organisasi  yang sama dalam bidang media itu sendiri. Persaingan atau  permusuhan antara media dengan penguasa  bukan lagi zamannya. Disadari atau tidak, sekarang masanya kembali penguasa dan pengusaha bergandengan tangan bahkan berpelukan erat untuk membangun usaha sekaligus mempertahankan atau membangun kekuasaan bersama. Seperti masa otoritarian , bisa saja media atau pers jatuh ke tangan orang-orang berkuasa yang jumlahnya sedikit[1]

Kolaborasi memungkinkan kebebasan media menjadi terancam. Antara penguasa  dengan pengusaha akan sulit ditarik jarak. Kekuasaan menjadi di satu tangan dan kontrol media terhadap penguasa akan semakin berkurang, bahkan mungkin akan hilang.  Penguasa dan pengusaha media akan saling tergantung,  karena adanya  kepentingan yang sama, yaitu keuntungan ( profit ) finansial dan kelanggengan kekuasaan.
 Dalam forum diskusi  seri tokoh lintas sejarah, bertema " Kemerdekaan Pers Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia di The Habibie Center, Jakarta.[2], dua tokoh pers  yaitu Rosihan Anwar dan Atmakusumah Astraatmadja, saling mengungkapkan berbagai perasaan galau, prihatin, kurang percaya akan perkembangan media atau pers Indonesia.
Bahkan secara ekstrim kedua tokoh  pers  senior tersebut  di atas menyatakan, bahwa hubungan pemerintah dan pers di Indonesia tidak mengenal tradisi kemerdekaan pers. Meski sekarang tak lagi terdengar ada media yang dibredel, bukan berarti ada kebebasan pers. Sejak masa pemerintahan Belanda, pers Indonesia mengenal sensor, dan pada masa Jepang dengan surat izin terbit yang dilanjutkan hingga Indonesia merdeka, bahkan hingga pemerintahan Soeharto. Pada masa Orde Baru, pers menghadapi kendala SARA, telepon, bahasa eufemisme dan orientasi ke atas yang selalu minta petunjuk. Sayangnya kita belum keluar dari penyakit ini hingga sekarang.
Pemimpin tampaknya belum ikhlas dengan kebebasan pers yang diamanatkan Undang-Undang (UU ) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang disetujui DPR pada 13 September 1999 dan disahkan Presiden BJ Habibie 10 hari kemudian. " Dengan UU Pers, sensor atau penghentian siaran dapat dikenakan sanksi penjara dan denda. Mudah-mudan ini bisa dijamin, " papar Atmakusumah di forum tersebut. Ia juga menjelaskan tentang mantan Presiden Megawati Soekarnoputri yang pernah mengatakan pers Indonesia tidak nasionalistis dan patriotis. Saat ini, lanjut Atmakusumah, meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bukan zamannya memenjarakan wartawan lagi, namun dalam sambutannya di Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN ) Antara, Presiden menilai pers tak akurat dan berimbang. Pernyataan demi pernyataan dari penguasa di atas mengindikasikan kuat, adanya kekhawatiran dan ketidakpercayaan   penguasa untuk memberikan kebebasan yang hakiki dan berkelanjutan kepada media atau pers.
Di sisi lain kebebasan media itu sendiri sering dikaburkan oleh sikap  para wartawan sendiri, yang kadang meninggalkan akal sehat  dan hanyut dalam arus emosi antusiasme berlebihan dalam menjalankan tugasnya. Kekhawatiran tersebut diungkapkan oleh penulis dari The Jakarta Post, Emmy Fitri kepada  para wartawan  ketika meliput  peristiwa sakit sampai menjelang  meninggalnya mantan Presiden RI kedua, Soeharto. Di awal tulisannya, ia menyebut media massa sebagai "uncanny infatuation... still dwell in the past. The media craze has reached a point ..."[3]

Tanggung Jawab Media.
Thomas Szasz menguraikan keterkaitan dan keterjalinan sifat dasar kebebasan dan tangung jawab. " Karakteristik moral utama kondisi manusia adalah pengalaman ganda dari kebebasan berkehendak dan tanggung jawab pribadi. Karena keduanya merupakan dua aspek dari fenomena yang sama, kebebasan dan tanggung jawab mengandung perbandingan dengan peribahasa  "pedang bermata dua."  Salah satu sisinya menimbulkan banyak pilihan: kita menyebutnya kebebasan. Sisi lainnya mengandung kewajiban; kita menyebutnya tanggung jawab. Orang menyukai kebebasan karena ia memberi mereka kekuasaan atas benda-benda dan orang-orang. Mereka membenci tanggung jawab karena ia menghalangi mereka dari pemuasan keinginan mereka. Itulah sebabnya salah satu hal yang menjadi ciri sejarah adalah upaya manusia yang tanpa henti untuk meningkatkan kebebasan dan mengurangi tanggung jawab."[4]
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, perubahan politik dan sosial di seluruh dunia pada umumnya, termasuk di Indonesia menghasilkan kebebasan yang lebih bagi media. Bahkan menurut Cameron R. Hume, Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia: "Indonesia is one of the world's remarkable success stories for freedom and democracy…….. Indonesian media and civil society exercise their watchdog role, battling corruption and crying out against inequities. When one looks at the speed of progress that Indonesia has made over its first decade of democracy, in many ways it exceeds the United States' initial transition into a national democracy over 200 years ago". [5]
Oleh karena masyarakat Indonesia dianggap masih dalam "taraf belajar" memainkan peran watchdog,  ada yang beranggapan, bahwa euforia kebebasan pun dianggap kebablasan dan berlarut-larut, bahkan semakin kabur dan tanpa kejelasan tujuan. Tidak jarang kebebasan pun dimanfaatkan hanya sekedar untuk melampiaskan kekesalan, kejengkelan, dan  bahkan kefrustasian orang-orang kepada penguasa yang dianggap korup dan tidak bertanggung jawab terhadap kesejahteraan dan keadilan. Ungkapan perasaan dan emosi seringkali tampil dalam perilaku garang dan beringas tanpa kendali. Hampir semua kejadian yang brutal itu  dimuat di media, terutama media elektronik.
Pakar pendidikan , yang juga adalah Ketua Eksekutif Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, Dr. Arief Rahman Hakim  merasa khawatir menyaksikan berbagai pemberitaan media massa yang sebagian diantaranya terkesan tidak begitu mempertimbangkan dampak kepada khalayak, misalnya dalam hal eksploitasi kekerasan dan pornografi.[6] Pihak-pihak yang mengkhawatirkan fenomena ini pun mulai memunculkan isu utama yang berada di kawasan antara kebebasan dan tangung jawab, seperti: hak kerahasiaan pribadi, batas sensasionalisme dan obyetivitas media atau wartawan."[7]
Dalam kaitan ini Prof. Stephen Hill, Direktur UNESCO Indonesia menyarankan perlu adanya titik temu atau keseimbangan antara kebebasan yang dimiliki media massa, dan garis batas yang boleh dilakukannya. Keseimbangan ini harus dibuat dengan tanggung jawab, dan bukan dengan pengekangan. Karena itu tanggung jawab media dalam membangun budaya bangsa harus diletakkan pada pengembangan kemampuan para pekerja di bidang media.[8]
Dalam kesempatan seminar yang sama tersebut di atas, pakar Komunikasi UI, Dr. Sasa Djuarsa menyatakan, bahwa bebasnya media massa saat ini bukan karena tidak ada aturan, melainkan karena tidak ada yang menerapkan aturan. Pandangan yang mengatakan , bahwa media massa kebablasan adalah pandangan yang berlebihan ( over reacting ). Jika wajah media dianggap buruk, maka itu adalah sebetulnya cermin langsung dari buruknya kondisi masyarakat.Yang perlu dikhawatirkan justru  upaya penyeragaman budaya , karena  media memproduksi  budaya massal untuk pasar yang luas. Kesalahan tidak bisa serta merta ditimpakan kepada media massa, karena  penguasa dan pengusaha media berproduksi untuk mengejar keuntungan. Pendidikan media perlu diberikan baik kepada anak-anak  maupun orang tua, agar mereka memahami  apa yang disajikan media massa dan tidak mudah terkena dampak buruknya. Oleh karena itu, sangat perlu dikembangkan lembaga-lembaga pemantau media di kalangan masyarakat, yang mampu memberikan umpan balik dan kritikan terhadap media massa.
Patut diingat dan direnungkan berulang-ulang, media sebagai saluran komunikasi diakui mempunyai pengaruh kuat terhadap sikap dan perilaku pembaca dan atau pemirsanya. Karena media memiliki sifat massal, segala sesuatu yang disajikannya akan segera diketahui, diteruskan bahkan ditiru banyak orang hanya dalam waktu yang relatif singkat. Penyalahgunaan media untuk kepentingan pengusaha dan penguasanya, lambat atau cepat akan  berakibat fatal bagi masyarakat luas. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat akan informasi  yang benar dan bermanfaat akan sangat terabaikan.

Perspektif Islam tentang Kebebasan dan Tanggung Jawab.
            Secara historis Islam menggariskan prinsip komunikasi  yang bertanggung jawab, sedikitnya dalam lima kriteria, yaitu  (1) Qaulan tsaqila adalah komunikasi yang berpengaruh,(2) Qaulan syadida adalah komunikasi yang tegas atau konsisten, (3) Qaulan balighoh adalah komunikasi yang bermakna atau punya nilai positif, (4)Qaulan layyina adalah komunikasi yang lemah lembut, (5) Qaulan ma'ruufa adalah komunikasi untuk kebaikan. Kelima kriteria tersebut  ditampilkan secara  konsisten atau istiqomah oleh  nabi Muhammad SAW sendiri dalam kepribadian yang sangat utuh dan kuat , yaitu  siddiq, amanah , fatanah, dan tablig.[9]
Walaupun prinsip tersebut saat itu masih bersifat verbal, karena  situasi dan kondisinya, namun  nilai-nilainya tetap relevan untuk segala bentuk dan cara komunikasi dalam situasi apapun, termasuk komunikasi yang menggunakan media modern, seperti media cetak dan elektronik, termasuk media internet. Sifat siddiq mengandung arti benar dan jujur. Tidak ternodai dengan kebatilan, dan sikapnya tidak  bertentangan dengan kebenaran.  Apabila media komunikasi modern  dewasa ini memiliki sikap siddiq, dipastikan tidak  akan ada  masyarakat yang dikorbankan atau yang menjadi korban, karena kebohongan  beritanya. Apabila semua pejabat publik berperilaku benar dan jujur, dipastikan  tidak akan ada lagi  media yang mengungkapkan berita-berita yang semakin mempengaruhi masyarakat, yang sudah sengsara berkepanjangan.. 
Karakteristik siddiq  yang ditampilkan secara konsisten oleh Nabi Muhammad SAW secara tidak langsung diaktualkan kembali dalam harapan  Presiden Susilo Bambang Yodhoyono yang menyatakan, bahwa  media massa harus memiliki sikap kritis untuk tetap menumbuhkan harapan dan optimisme   bagi kemajuan bangsa. Hal positif dan negatif yang terjadi harus dilihat secara sama  dan berimbang. [10]. Inilah sesungguhnya hakekat  benar dan jujur yang harus melekat secara kuat dalam tugas-tugas yang berhubungan dengan media massa.
            Secara garis besar sistem komunikasi melalui media massa memiliki peran ganda, yaitu menyajikan pesan-pesan untuk social control dan menyajikan  pesan-pesan tersebut  untuk  keharmonisan perubahan  sosial . Dengan kata lain menurut Peterson dkk. Media harus " providing for social control and providing for harmonious social change" [11].
Sementara itu kata amanah, baik dalam bentuk tunggal maupun jamak terdapat dalam Al  Quran di berbagai surat adalah segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik yang menyangkut hak dirinya, hak orang lain maupun hak Allah SWT. Sesuai dengan konteksnya dalam ayat-ayat  Al- Quran  kata Amanah mempunyai beberapa pengertian, yaitu:(1) Dikaitkan dengan larangan menyembunyikan kesaksian atau keharusan atau keharusan memberikan kesaksian yang benar;(2).Dikaitkan dengan  keadilan atau pelaksanaan hukum secara adil;(3). Dikaitkan dengan sifat khianat;(4). Dikaitkan dengan sifat manusia yang mampu memelihara kemantapan rohaninya, tidak berkeluh kesah bila ditimpa kesusahan, dan tidak melampaui batas ketika mendapat kesenangan; (5).Dalam pengertian luas, baik sebagai tugas keagamaan maupun tugas kemanusiaan umumnya sesuai  konteks  usaha di bidang media, amanah adalah nilai yang harus dengan sendirinya ada , melekat secara inheren, agar bisnisnya dapat berlangsung secara berkelanjutan, karena ia dapat  menjalankan  usahanya secara bebas  dan bertanggung jawab untuk kepentingan lembaga dan masyarakat yang dilayaninya, bahkan hakekatnya adalah bentuk tangung jawab terhadap Tuhan yang memberi kepercayaan  tersebut.
Sedangkan kata fatanah berarti cerdik, pandai dan bijaksana dalam segala hal, karena mereka harus dapat menegakkan hujjah yang benar terhadap orang-orang yang diseru kepada kebenaran, sehingga dapat mengalahkan segala yang batil. Nilai-nilai  dalam sifat fatanah adalah  indikasi kredibilitas komunkator. Namun, apalah artinya seorang komunikator yang kredibel, tanpa memiliki  sifat siddiq dan amanah. Komunikator  demikian  tidak akan  punya pengaruh  terhadap masyarakat, karena tidak dapat dipercaya. Oleh karena itu  ketiga karakteristik, yaitu siddiq, amanah dan fatanah adalah prasyarat mutlak ( prerequisite )  bagi komunikator yang diberi kepercayaan untuk menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar dalam rangka mengajak dan mengubah keadaan masyarakat yang lebih baik ( tablig ).
            Sebagai saluran informasi dan komunikasi, media massa adalah komunikator terorganisasikan ( organized communicator ),  pada dasarnya adalah berkarakteritik tablig, yang mengemban tugas dan tanggung jawab  ganda yaitu sebagai  lembaga komersial dan sosial.  Prinsip-prinsip dasar komunikasi melalui media  yang dijelaskan di atas, dikembangkan  oleh James Payne  menjadi lima karakteristik  dalam komunikasi yang bertanggung jawab, baik secara sosial maupun etikal, yaitu:(1) Jujur ( honest ), (2) Sopan ( polite ) ,(3) Saling ( mutual ) ,(4) Mengubah kehidupan ( change the lives ), dan 5) Membantu ( helpful ).[12]
 Kelima karaktersitik tersebut , masing-masing mempunyai implikasi bagi komunikator sebagai penyampai pesan atau informasinya. Jujur berimplikasi terhadap komunikator untuk selalu menyampaikan informasi yang benar. Tidak pernah ada dusta di antara komunikator dan komunikannya, antara pengusaha dan pembelinya, antara produsen dengan konsumen, juga antara penguasa dan pengusaha media.
Karakteristik sopan sangat terkait dengan relativitas budaya yaitu komunikator selalu menghormati perasaan orang lain. Dengan mempertimbangkan perasaan pihak lain , maka komunikasi apapun dalam situasi apapun tidak boleh  menimbulkan orang lain sedih dan sakit hati yang bisa menimbulkan dendam kesumat dan dengki iri hati  mendalam berkepanjangan. Sebaliknya komunikasi harus menimbulkan kegembiraan dan kebahagiaan bagi orang banyak. Sejalan dengan itu, Jalaluddin Rakhmat mengungkapkan dua sisi mendasar , yang analog dengan komunikasi sebagai pisau atau pedang bermata dua: "Di satu sisi dengan komunikasi kita membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan,  memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Namun di sisi lain dengan komunikasi juga kita dapat menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran."[13]
Sifat saling ( mutual ) mempunyai implikasi terhadap komunikator agar mampu mendengarkan dan menjawab. Suasana ini sering disebut sebagai bentuk komunikasi timbal balik ( reciprocal ), yaitu bentuk komunikasi gabungan yang tidak hanya mengalirkan informasi dari atas ( top down ), tapi juga memperhatikan dan menerima pesan-pesan dari bawah ( bottom up )  Komunikasi timbal balik hanya bisa berlangsung dalam suasana saling percaya dan terbuka. Sebagai  komunikator tingkat atas, misalnya penguasa, pejabat atau pengusaha yang memiliki tujuan  tertentu harus mampu  meyakinkan  dan mendorong tingkat bawah untuk mau dan mampu menyampaikan umpan balik, bahkan keluhan untuk kepentingan kedua belah pihak khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dalam masyarakat demokratis, arus informasi mestinya berjalan seimbang untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat itu sendiri. Hanya saja demokrasi sering menampilkan sikap  bebas dan wajah garang untuk mematikan minoritas tertentu. Hal ini diingatkan oleh Walter Lippmann, bahwa  masyarakat demokratis  bisa juga dirumuskan sebagai masyarakat dimana mayoritas selalu siap meredam minoritas yang revolusioner.[14]
Komunikasi yang bertanggung jawab juga harus mampu mengubah kehidupan, yaitu mempertimbangkan efek komunikasi, yaitu memungkinkan orang lain menjadi lebih baik, secara personal dan profesional.
Kedua perspektif  tentang komunikasi tersebut di atas pada dasarnya menekankan tiga komponen utama dalam proses komunikasi, yaitu   isi atau substansi yang disampaikan , cara atau metode penyampaian termasuk media yang digunakan , dan efek yang diharapkan.
Dalam perspektif demokrasi , kita lebih sering mengedepankan hak dari pada tanggung jawab. Begitu pula dalam usaha media, kita lebih sering menjumpai  peran hak  dari pada tanggung jawab. Para penguasa dan pengusaha media sering  lupa, bahwa selain hak dirinya juga ada hak orang lain yang harus dihormati, yaitu masyarakat luas.

Penutup
Kalangan teoritisi dan praktisi  media mengakui, bahwa media mempunyai pengaruh yang besar dan luas terhadap perubahan masyarakat. Bahkan dalam kehidupan suatu negara ,media atau pers  seringkali disebut sebagai  kekuatan keempat ( the fourth pillar ) , disamping lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif. Oleh karena kekuatan pengaruhnya tersebut, media seringkali digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat massif , seperti sosialisasi tentang  pembangunan dalam bidang  ekonomi  untuk kesejahteraan masyarakat. Namun tidak jarang media juga dimanfaatkan  oleh  penguasa dan pengusaha untuk kepentingan dan keuntungan segelitir orang  yang menyengsarakan orang banyak.
Kolaborasi antara penguasa dan pengusaha media bisa saja terjadi dan syah-syah saja adanya,  sepanjang  usaha tersebut bukan semata-mata mencari keuntungan pribadi atau hanya kelompok tertentu, tapi juga untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya dalam rangka memenuhi tanggung jawab sebagai lembaga sosial. Siapapun yang menyintai kebebasan dan tanggung jawab, tentu tidak ingin media atau pers menjadi suatu perusahaan swasta yang merasa tidak berhutang apapun kepada masyarakat dan tidak menganggap sebagai rantai bisnis yang tidak berpengaruh  dan tidak terpisahkan dengan masayarakatnya.
Hakekat kebebasan media bukanlah  berarti media bebas memuat atau menyiarkan segala sesuatu kepada khalayak tanpa mengindahkan tanggung jawab terhadap kepentingan  masyarakat dalam berbagai lapisan..Meminjam istilah Yakob Utama "Tidak bisa  pers  melakukan tindakan "Publish and be damped".[15] Oleh karena media atau pers sebagai saluran komunikasi berbagai informasi bagi beragam khalayak, harus mengutamakan pertimbangan kemaslahatan bagi  masyarakat , bukan kepentingan pribadi atau golongan tertentu , apalagi penguasa tertentu.

CATATAN AKHIR :


* Penulis adalah Dosen tetap di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dosen tidak tetap di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta dan di FIKOM Universitas Mercu Buana. Kontak Pribadi: 08159240044. Email: sof_1505@yahoo.com



[1]  Sibert, Fred,S., Peterson, Theodore and  Schramm, Wilbur (1986). Empat Teori Pers. Terj. Putu Laxman Sanjaya Pendit. Jakarta : PT. Intermasa
[2]  Lihat, Harian Umum Kompas, 14 Maret 2007
[3]  Fitri, Emmy The Soeharto Saga and The State of The Media. dalam The Jakarta Post, 19 Januari 2008
[4] Johannesen , Richard, L.terj Mulyana, Deddy ( 1996 ). Etika Komunikasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
[5] Hume, Cameron R./ U.S Ambassador to Indonesia ( 2008 ). Indonesia's Journey in Democracy. dalam The Jakarta Post 12 April 2008.
[6] Seminar Tangung Jawab Media Massa dalam Pembangunan Budaya Bangsa 8 Mei  2002.
[7] Prayitno, Budi (2006 ). Etika Jurnalisme: Debat Global. Istitut. Jakarta : Studi Arus Informasi dan Kedutaan Besar Amerika Serikat
[8] Seminar Tanggung Jawab Media Massa dalam Pembanguan Budaya Bangsa  8 Mei 2002
[9] Al-Hafidz,Ahsin,W.( 2005 ).  Kamus Ilmu Al-Quran. Penerbit Amzah.Jakarta
[10] Harian Umum Kompas , 29 Februari2008
[11] Peterson, Theodore. Jensen, Jay,W. Rivers, William,W ( 1965 ). The Mass Media and Modern SocietyLondon : Holt, Rinehart and Winston, Inc.
[12] Payne,James ( 2001 ). Application. Communication. For Personal and Professional Contexts .Clark Publishing,Inc.Topeka.
[13] Jalaluddin, Rakhmat ( 1986 ).  Psikologi Komunikasi. Penerbit Remaja Karya. Bandung.
[14] Rivers,William,L. ( 1998 ) Ethics for The Media/ Etika Media Massa ( terj. Arwah Setiawan ). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
[15] Jakob Oetama ( 2002 ). Kata Pengantar dalam Perlawanan dalam Kungkungan  ( Djafar H. Assegaff ). Jakarta : Spora Pustaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini