Studi Perkotaan
Memahami bagaimana sebuah kota berfungsi menjadi sangat penting dalam sosiologi abad ke-20, apalagi di abad ke-21 ini. Salah satu sosiolog asal Chicago—Universitas Chicago, Amerika Serikat 1892, Robert Park (1864-1944), menjadi pendominasi studi perkotaan. Park mengembangkan apa yang disebutnya "pendekatan ekologis". Maksudnya, kota menyesuaikan dirinya dengan cara yang teratur, sebagaimana proses-proses ekologi lingkungan.
Kota tampak seperti mekanisme pengurutan dan penggeseran yang, dengan cara yang belum sepenuhnya dipahami, menyeleksi dari penduduk secara keseluruhan individu-individu yang cocok untuk tinggal dalam wilayah dan lingkungan tertentu.
Louis Wirth (1897-1952), sosiolog asal Chicago lainnya, memandang urbanisme sebagai "cara hidup", mirip kehidupan kota "impersonal" dari Max Weber. Ide ini banyak dianut dalam sosiologi modern. Menurutnya, hubungan sosial dalam kota bersifat impersonal dan mengalienasi. Tapi ini hanya mitos. Kota-kota bervariasi (seperti halnya desa), dan berubah dengan cepat (seperti halnya bagian lain dari masyarakat. Asumsi yang mendasarinya, yaitu bahwa kehidupan kota berjalan cepat, namun berbahaya dan tidak menyenangkan; sementara kehidupan desa berjalan lamban, tapi mempesona dan bersahabat, tidak terbukti bahkan melalui riset empiris yang paling elementer. Hidup di tengah kota bisa saja bersahabat, kosmopolitan, menarik dan interaktif secara sosial, bukannya terisolasi, mengalienasi dan keras.
Kembali ke memori tentang desa. Mitos tentang desa telah ada sejak bangsa Romawi mengeluhkan kehidupan kota 2000 tahun silam. Hanya saja, persoalannya bukan pada kota itu sendiri sebagai sebuah entitas abstrak, tetapi pada makna atau statement apa yang diberikan orang-orang terhadapnya.
Meskipun memang sebenarnya, bila melihat pendapat siapapun tentang perbandingan sifat atau ciari khas baik dari kota maupun desa, orang-orang pasti menganggap kehidupan di desa lebih menentramkan jiwa ketimbang di kota. Pasalnya, keadaan alam / lingkungan di desa, biasanya, yang sejuk, panasnya sedang dan sedikit polusi mendukung suasana hati yang damai, tentram dan sejahtera. Bandingkan dengan kehidupan kota, yang topik terhangatnya adalah kemacetan. Kalor-kalor panas nan menggerahkan fisik seseorang yang berkendaraan maupun siapa saja yang melewatinya menjadikan keluarnya keringat, bahkan sampai menggerahkan jiwa. Bunyi klakson-klakson yang bertubi-tubi menandai tak sabarnya supir-supir / pengendara sudah mewakili betapa hidup di kota itu 'tak damai'. Itu anggapan sebagian orang.
Walaupun kota memang menjanjikan mereka untuk bekerja, berkarya dan lain-lain yang kemungkinan besar tidak akan didapatkan di desa. Seperti kasus Pak Usep atau Mang Usep, lelaki paru baya asal Garut penjual es campur dengan nama warung "SINAR GARUT"nya yang sudah tak asing lagi oleh warga kota, khususnya ibukota. Dia menuturkan, bahwa barang dagangannya itu tak ia dgangkan di desa asalnya. Dan memang, tambahnya, teman-teman sedesa bahkan saudara-saudara kandungnya sendiri semuanya berjualan di ibukota. Sebab, di kota penghasilan sangat menguntungkan, terlebih lagi kakaknya yang bernama Asep, Sinar Garut-nya sudah laris dan dikenal oleh kalangan artis dan pejabat, diantaranya Aburizal Bakrie dan Nia Ramadhani.
Mang Usep mengakui sekalipun hidup di ibukota lebih menjajikan, untungnya banyak, transportasi lengkap, tetapi menurutnya desa adalah tempat yang cocok jika ingin menenangkan hati. Itu berarti terlihat, bahwa masing-masing dari kota ataupun desa memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Sekali lagi, permasalahannya terletak pada judge / statement orang-orang terhadap kota itu sendiri. Apakah berjalan cepat, menjanjikan, rapih-terstruktur namun berbahaya dan menyeramkan seperti kata sebagian orang; ataukah bersahabat, kosmopolitan, menarik dan interaktif menurut sebagian lainnya.
Ferdinand Tonnies (1855-1936), sosiolog Jerman, tertarik pada bentuk-bentuk dan pola-pola ikatan sosial dan organisasi menghasilkan klasifikasi masyarakat. Menurut Tonnies, mayarakat itu bersifat Gemeinschaft (komunitas) atau Gessellschaft (asosiasi).
· Masyarakat Gemeinschaft adalah masyarakat yang mempunyai hubungan sosial tertutup, pribadi, dan dihargai oleh para anggotanya. Keluarga adalah dasar jaringan sosial, kepatuhan sosial adalah normanya. Komunitas seperti ini tipikal masyarakat pra-industri. Kaum Amish di Amerika kini merupakan wakil bentuk masyarakat ini. Mungkin, suku Jawa termasuk di dalamnya. Gemeinschaft juga merupakan bentuk kehidupan bersama, di mana antar-anggotanya mempunyai hubungan batin murni yang sifatnya alamiah dan kekal.
Dasar hubungannya, yaitu rasa cinta dan persatuan batin yang nyata dan organis. Bentuk ini dapat kita temukan dalam kehidupan masayarakat desa, keluarga, kerabat dan lain-lain.
· Pada masyarakat Gesselschaft, asosiasi keluarga yang tertutup telah lenyap. Di dalam masyarakat ini, hubungan sosial cenderung impersonal dan tidak berdasarkan kekeluargaan. Ikatan sosial tumbuh dari pembagian kerja yang rumit. Tempat kerja menjadi lebih penting daripada keluarga besar. Gesselschaft juga merupakan bentuk kehidupan bersama di mana para anggotanya mempunyai hubungan yang bersifat pamrih dan dalam jangka waktu yang pendek, serta bersifat mekanis. Bentuk ini dapat kita temukan dalam perhubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal balik.
Pada dasarnya pandangan Tonnies, menurut Soerjono Soekanto dapat dibandingkan dengan pandangan dari Emile Durkheim yang mendasarkan diri pada pembagian kerja dalam masayarakat.
Pada masyarakat desa yang bersifat Gemeinschaftlich, pada umumnya spesialisasi individu tidak menonjol, sehingga kedudukan individual tidak begitu penting. Apabila salah seorang anggota dikeluarkan, maka tidak begitu terasakan oleh anggota lainnya, berarti bahwa kedudukan masyarakat lebih penting daripada kedudukan individu, sehingga strukturnya di sini disebut mekanis. Pada masyarakat yang bersifat Gesselschaftlich di mana sudah ada spesialisasi di antara para anggotanya, sehingga tidak dapat hidup secara tersendiri ('MM'—masing-masing atau nafsi-nafsi dalam istilah campurnya) atau dapat dipisah-pisahkan, sehingga merupakan suatu kesatuan organisme, oleh karenanya strukturnya merupakan struktur yang organis.
Seperti pelaku usaha ekonomi kreatif, Dendy Darman—pemilik dan pendiri distro unkl347, ini pun tidak dapat membangun usahanya tanpa bantuan dan kerja keras rekan-rekannya yang rata-rata hobi main sakateboard dan memang di samping distronya pun disediakan tempat khusus ber-skate. Begitu pun distro 'kelas atas' lainnya, SKATER, KickDenim, Prapatan Rebel dan lain-lain.