Selasa, 10 Mei 2016

Tugas Analisis Kampung Sasak Lombok Ahmad Ali dan M Fahmi Nurdin

AHMAD ALI NIDAULHAQ

1113054000027

M FAHMI NURDIN

1113054000023

TUGAS MATA KULIAH EKOLGI

ANALISIS KAMPUNG SASAK LOMBOK

Sejarah Kampung Sasak Lombok

Sebelum Abad ke 16 Lombok berada dalam kekuasan Majapahit, dengan dikirimkannya Maha Patih Gajah Mada ke Lombok. Malah ada kabar kalau beliau wafat di Pulau Lombok dan dimakamkan di Lombok Timur. Pada Akhir abad ke 16 sampai awal abad ke 17, lombok banyak dipengaruhi oleh Jawa Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri, juga dipengaruhi oleh Makassar. Hal ini yang menyebabkan perubahan Agama Suku Sasak, yang sebelumnya Hindu menjadi Islam.

Pada awal abad ke 18 Lombok ditaklukkan oleh kerajaan Gel Gel Bali. Peninggalan Bali yang sangat mudah dilihat adalah banyaknya komunitas Hindu Bali yang mendiami daerah Mataram dan Lombok Barat. Beberapa Pura besar juga gampang di temukan di kedua daerah ini. Lombok berhasil Bebas dari pengaruh Gel Gel setelah terjadinya pengusiran yang dilakukan Kerajaan Selapang (Lombok timur) dengan dibantu oleh kerajaan yang ada di Sumbawa (pengaruh Makassar). Beberapa prajurit Sumbawa kabarnya banyak yang akhirnya menetap di Lombok Timur, terbukti dengan adanya beberapa desa di Tepi Timur Laut Lombok Timur yang penduduknya mayoritas berbicara menggunakan bahasa Samawa. Kalau kita lihat dari aspek sejarah, orang Sasak bisa jadi berasal Jawa, Bali, Makassar dan Sumbawa. Tapi bisa juga ke empat etnis tersebut bukan Papuk Bloq orang sasak, melainkan hanya memberi pengaruh besar pada perkembangan Suku Sasak

Asal Mula Suku Sasak Nama sasak kemungkinan berasal dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi. Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata "sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa' Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya sebagai jalan yang lurus.

Gambaran Umum Kampung Sasak Lombok

Suku sasak adalah salah satu suku terbesar di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sekitar 80% penduduk di pulau Lombok  ini diduduki oleh Suku Sasak dan selebihnya adalah suku lainnya, seperti suku mbojo (bima), dompu, samawa (sambawa), jawa dan hindu (Bali Lombok). Suku sasak mendiami seluruh pulau Lombok, yang tersebar di tiga Kabupaten, yakni Kab. Lombok Barat, Lombok Tengah, dan Kab. Lombok Timur. Menurut catatan sensus yang diadakan  tahun 2000 populasinya mencapai 2,6 juta jiwa. Tapi itu belum termasuk "sasak diaspora" alias sasak rantau yang menetap di Pulau Sumbawa bagian Barat, di Kalimantan Timur (akibat proyek transmigrasi), di Malaysia (TKI) dan di beberapa Kota besar di Indonesia (yang umumnya karena faktor pekerjaan dan status sebagai Mahasiswa).

Dalam keseharian, mereka menggunakan bahasa Sasak. Sebagian besar mereka beragama Islam. Tapi  uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, ada yang melakukan praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu. Jumlah penganutnya  hanya sekitar 1%. Praktek yang agak berbeda misalnya mereka menggunakan syahadat dengan menggunakan bahasa jawa kuno. Hal itu terjadi karena para wali yang menyebarkan agama Islam tidak meneyelsaikan ajarannya, sehingga masyarakat terjebak pada masa peralihan itu. Selain itu, ada juga warga suku Sasak yang menganut kepercayaan  yang disebut dengan nama "sasak Boda".

Bahasa Sasak, terutama aksara (bahasa tertulis) nya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst. Tapi secara pelafalan cukup dekat dengan Bali. Sementara kalau diperhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek (cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Saat Pemerintah Kabupaten Lombok Timur ingin membuat Kamus Sasak saja, mereka kewalahan dengan beragamnya bahasa sasak yang ada di lombok timur, Walaupun secara umum bisa diklasifikasikan ke dalam: Kuto-Kute (Lombok Bagian Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Bagian Tenggara), Meno-Mene (Lombok Bagian Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Bagian Tengah), Mriak-Mriku (Lombok Bagian Selatan) Dari Aspek Bahasa, Papuk Bloq kita bisa jadi berasal dari Jawa (Malayo-Polynesian), Vitname atau Philipine ( Austronesian), atau dari Sulawesi (Sunda-Sulawesi)

Rumah Adat Suku Sasak Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat tersebut didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela. Pintu yang rendah sengaja dibuat terutama di rumah kepala suku yang menandakan kehormatan karena ketika masuk harus menundukan badannya.

Perekonomian Suku Sasak Kehidupan perekonomian suku sasak yaitu dalam bidang pertanian dan perkebunan. Mereka bertani dan menanam berbagai kebutuhan mereka sehari-hari. Sepulangnya mereka dari bertani, mereka menyempatkan diri untuk bertenun di sore hari. Tetapi, untuk saat ini dengan semakin terkenalnya suku sasak dan makin banyaknya 'pelancong' yang datang ke perkampungan mereka, maka mereka pun menjual berbagai hasil karya baik tenun maupun kerajinan tangan mereka yang lainnya. Di satu desa Sade yang saya datangi pun hampir setiap 3 meter atau setiap rumah menjual hasil karya mereka. Saat ini, suku sasak di desa Sade jauh lebih berkembang dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kerejinan tangan mereka sudah dikoordinir oleh koperasi desa yang dikelola oleh pengurus desa yang tidak lain masih satu

 

Nilai-nilai Budaya Kampung Sasak Lombok

Sistem Perkawinan Suku Sasak Adat istiadat suku sasak dapat dilihat pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan jika mau dinikahkan lelaki maka yang perempuan harus  dilarikan dulu dan dibawa kerumah keluarga pihak laki laki. Tradisi ini dikenal dengan sebutan merarik atau selarian. Sehari setelah dilarikan maka akan diutus salah seorang untuk memberitahukan kepada pihak keluarga perempuan bahwa anaknya akan dinikahkan oleh seseorang lelaki. Tradisi ini disebut dengan mesejati atau semacam pemberitahuan kepada keluarga perempuan. Setalah selesai makan akan diadakan yang disebut dengan nyelabar atau kesepakatan mengenai biaya resepsi. Perkawinan yang terjadi pun masih bersifat perkawinan saudara, yaitu perkawinan antar sepupu. Informasi yang kami dapat dari juru bicara Suku Sasak, di satu desa Sade terdiri dari 150 KK/ Kepala Keluarga dan semuanya masih bersifat saudara, perkawinan yang terjadi pun masih seputar satu lingkungan mereka. Walaupun mereka mayoritas beragama islam, namun adat perkawinan antar saudara masih tetap dilestarikan. Jika  suku sasak ingin menikah dengan suku lain yang berbeda provinsi, biasanya si calon pasangannya harus membayar denda yang cukup banyak di setiap desa yang dia lalui.

Sejak masa lampau etnis Sasak telah mengenal tentang wadah yang menjadi induk dalam kehidupan bermasyarakat mereka, yang mengatur tentang pedoman hidup warga masyarakat, dan tempat mereka mencari rujukan untuk menetapkan sanksi atas terjadi pelanggaran dalam tata pergaulan komunitasnya. Wadah itu dikenal dengan istilah karma. Konsepsi ini teraktualisasikan atau terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak sejak masa lampau. Sehingga pelaksanaan dari konsepsi kultural itu telah menjelma menjadi berbagai elemen atau unsur yang tidak terpisahkan. Pola yang lahir merupakan bagian dari karma, yang dapat ditelusuri sampai dengan saat ini.

Dari penerapan karma dalam kehidupan etnis Sasak itu, telah ikut mendorong lahirnya berbagai bentuk kearifan lokal dalam kumunitas tersebut, yang mengandung nilai-nilai yang masih cocok dengan kehidupan kekinian, dan relefan diwariskan melalui pendidikan bagi peserta didik. Berdasarkan hasil penelitian Ismail, dkk, dapat disarikan pola-pola kearifan lokal yang dimaksud, di bawah ini. Ada tiga kategori bentuk kearifan lokal masyarakat Sasak Lombok, yaitu :

1.Bidang politik, sosial, kemasyarakatan, tercermin dari 10 (sepuluh) macam saling sebagai pengikat tali silaturrahmi masyarakat Sasak, yaitu saling jot/perasak(saling memberi atau mengantarkan makanan), pesilaq (saling undang untuk suatu hajatan keluarga), saling pelangarin (saling layat jika ada kerabat/sahabat yang meninggal), ayoin (saling mengunjungi), dan saling ajinan (saling menghormati atau saling menghargai terhadap pebedaan, menghargai adanya kelebihan dan kekurangan yang dimilki oleh seseorang atau kelompok tertentu), saling jangoq (silaturrahmi saling menjenguk jika ada di antara sahabat sedang mendapat atau mengalami musibah), saling bait (saling ambil-ambilan dalam adat perkawinan), wales/bales (saling balas silaturrahmi, kunjungan atau semu budi (kebaikan) yang pernah terjadi karena kedekatan-persahabatan), saling tembung/sapak(saling tegur sapa jika bertemu atau bertatap muka antarseorang dengan orang lain dengan tidak membedakan suku atau agama) dan saling saduq (saling mempercayai dalam pergaulan dan persahabatan, terutama membangun peranakan Sasak Jati (persaudaraan Sasak sejati) di antara sesama sanak (saudara) Sasak dan antarorang Sasak dengan batur luah (non Sasak), dan saling ilingan/peringet, yaitu saling mengingatkan satu sama lain antara seseorang (kerabat/sahabat) dengan tulus hati demi kebaikan dalam menjamin persaudaraan/silaturrahmi.

2.Bidang ekonomi perdagangan, tercermin dari tiga praktik kearifan lokal (tiga saling)yaitu:saling peliwat (suatu bentuk menolong seseorang yang sedang pailit atau jatuh rugi dalam usaha dagangannya, saling liliq/gentik (suatu bentuk menolong kawan dengan membantu membayar hutang tanggungan sahabat atau kawan, dengan tidak memberatkannya dalam bentuk bunga atau ikatan lainnya yang mengikat), dansaling sangkul/sangkol/sangkon (salingmenolong dengan memberikan bantuan material terhadap kawan yang sedang menerima musibah dalam usaha perdagangan).

3.Bidang adat budaya, tercermin dari saling tulung (bentuk tolong menolong dalam membajak menggaru sawah ladang para petani); saling sero (saling tolong dalam menanami sawah ladang); saur alap (saling tolong dalam mengolah sawah ladang, seperti dalam hal ngekiskis/membersihkan rerumputan dengan alat potong kikis atau ngoma/ngome/mencabuti rumput; dan besesiru/besiru yaitunilai kearifan lokal ini juga hampir sama dengan saur alap, yaitu pekerjaan gotong royong bekerja di sawah dari menanam bibit sampai panen. Nilai-nilai kearifan lokal dalam komunitas Sasak yang tinggi dan sangat cocok diterapkan dalam kehidupan dewasa ini dan di masa depan, terdapat dalam ungkapan bahasa yang dipegang teguh dalam pergaulan, yang berwujud peribahasa dan pepatah sebagai perekat pergaulan masyarakat Sasak. Dalam komunitas Sasak diistilahkan dengan sesenggak.

Berdasarkan uraian di atas, dari masalah krama sampai dengan sesenggak, Ismail, dkk (2009), menyimpulkan bahwa "terdapat 10 (sepuluh) unsur atau komponen nilai demokrasi yang tercermin dalam kearifan lokal masyarakat Sasak, yaitu demokrasi berketuhanan; toleransi; kerja sama dengan orang lain; menghargai pendapat orang lain; memahami dan menerima kultur dalam masyarakat; berpikir kritis dan sistematik; penyelesaian konflik tanpa kekerasan; kemauan mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtif; sensitif terhadap kesulitan orang lain; kemauan dan kemampuan berpartispasi dalam kehidupan sosial". Berdasarkan hal itu, kearifan lokal etnis Sasak sejak masa lampau mengandung nilai-nilai yang sangat luhur dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Memiliki relevansi dan makna yang untuk dijadikan sebagai roh dan nilai-nilai baru di era kekinian. Namun dewasa ini, nilai-nilai yang telah diwariskan oleh leluhur etnis Sasak itu telah mengalami pergeseran, mengalami kelunturan, dan seakan-akan kehilangan makna sesungguhnya. Kelunturan nilai-nilai itu terjadi karena adanya pengaruh kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi atau globalisasi, serta laju pembangunan yang tidak didasarkan atas budaya masyarakat setempat. Oleh karena itu, generasi penerus dalam komunitas Sasak dewasa ini tidak lagi sepenuhnya mempedomani nilai-nilai tersebut, bahkan ada kecenderungan untuk ditinggalkan. Keadaan yang mengkhawatirkan itu menuntut adanya upaya untuk menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan masyarakat Sasak dewasa ini, sehingga generasi muda tidak tercerabut dari akar budayanya sendiri. Usaha ini akan efektif dilakukan melalui pendidikan, dan membangun kembali kesepakatan antar kelompok yang ada dalam komunitas Sasak itu sendiri secara sungguh-sungguh untuk memfotmat kembali nilai-nilai luhur tersebut, menyesuaikannya dengan kehidupan masa kini dan dikemas dengan afik sebagai modal untuk menghadapi tantangan masa depan. Transformasi nilai melalui pendidikan dan kesepakatan yang dibangun itu, hendaknya ditujukan untuk mengaplikasikan nilai-nilai luhur tersebut "dalam kehidupan bermasyarakat secara teguq (kuat dan utuh), bender atau tornboq (lurus dan jujur), patut (benar) tuhu (sungguh-sungguh) dan trasna (penuh rasa kasih atau kasih sayang)" (Ismail, dkk, 2009). Dalam usaha membangun kesepakatan dan memformat kembali nilai-nilai yang telah diwariskan oleh para leluhur itu, hendaknya memperhatiokan dan memahami bahwa "Kearifan lokal masyarakat Sasak dilem dengan krama dan awig-awig(lisan banjar gubuk/desa). Jadi, hidup bermasyarakat akan tetap harmonis, apabila lembaga adat ditopang awig-awig adat secara arif dapat dihidupkan, dirancang kembali, disesuaikan kebutuhan dan tuntutan masa kini" (Ismail, dkk, 2009). Transformasi nilai-nilai kearifan lokal (nilai-nilai moral) masyarakat Sasak di atas melalui pendidikan, terutama melalui pembelajaran IPS menjadi sangat urgen dan relevan, karena akan mampu mengarahkan peserta didikuntuk dapat menjadi warga negara Indonesia yangdemokratis, bertanggung jawab, dan cinta damai. Maksudnya adalah pengembangan sikap dan prilaku berdemokrasi, bertanggung jawab, dan cinta damai, dapat dilakukan dengan menerapkan pengembangan pembelajaran IPS melalui kajian kearifan lokal masyarakat setempat (bernuansa keindonesiaan).Dengan kata lain, materi pembelajaran IPS yang disajikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran di kelasadalah "mesti tumbuh dan lahir dari masyarakatnya sendiri, sehingga mencerminkan kondisi dan keadaan masayarakat yang ada" (Ismail, dkk, 2009).

Analisis Persfektif Ekologis Weberian.

Suku sasak memiliki beberapa kearifan local yang menjadi nilai pembeda antara suku sasak dengan suku-suku yang lain. Mengenai kearifan local yang dimiliki suku sasak, beberapa kearifan yang dimiliki mereka diantaranya dari bahasa yang beragam, kebiasaan pernikahan yang berbeda pada umumnya, sampai kepada kepercayaan akan hukum karma yang menurut mereka berlaku bagi kehidupan suku sasak, konsepsi ini teraktualisasikan atau terjabarkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sasak sejak masa lampau. Sehingga pelaksanaan dari konsepsi kultural itu telah menjelma menjadi berbagai elemen atau unsur yang tidak terpisahkan. Pola yang lahir merupakan bagian dari karma, yang dapat ditelusuri sampai dengan saat ini. Dari penerapan karma dalam kehidupan etnis Sasak itu, telah ikut mendorong lahirnya berbagai bentuk kearifan lokal dalam kumunitas tersebut, yang mengandung nilai-nilai yang masih cocok dengan kehidupan kekinian.

Dari nilai kearifan local di atas bisa dikatakan kampung sasak Lombok sangat mengjunjung tinggi nilai karma yang berlaku, maksudnya dalam konteks ekologi setiap individu sangat mematuhi hukum karma yang menyebabkan perilaku setiap individu sangat ramah akan lingkungan. Dari hal tersebut memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar. Prinsip karma ini sangat baik dalam konteks ekologi lingkungan, individu menjadi takut untuk membuang sampah sembarangan, mencenmarkan lingkungan, penebangan pohon secara liar. Karena dalam prinsip masyarakat kampong sasak Lombok yang sangat takut dengan hukum karma. Mereka takut apa yang dilakukan akan di balas. Baik di balas baik, dan buruk di balas buruk.

Bahan Bacaan

Posted on April 30, 2012 by estimurdiastuti

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/akbarzainudin/pesona-kampung-suku-sasak-sade-lombok_5517e8aea333114907b661f7

 

 

 

 

Dauatus saidah, Nur syamsiyah_ekologi manusia_pmi 6_tugas 5

Sejarah Suku BADUY
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya pun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.
Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a). Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan uyang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Baduy Luar
Baduy Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam ke Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduy dalam. Penyebab Mereka telah melanggar adat masyarakat Baduy Dalam. Berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam menikah dengan anggota Baduy Luar. Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam.
Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
Baduy Dalam
Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan Suku Baduy. Tidak seperti Baduy Luar, warga Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Baduy Dalam antara lain:Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasiTidak diperkenankan menggunakan alas kaki. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Puun) Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)Menggunakan Kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat)
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Lokasi Suku BADUY Banten
Suku baduy merupakan salah satu suku asli Banten dengan jumlah penduduk suku baduy sekitar 5000-8000 orang. Lokasi suku Baduy berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kenkes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat luar dan berawal dari sebutan para peneliti. Peneliti menyamakan mereka dengan kelompok masyarakat yang berpindah atau nomaden. Pada sejarah "baduy" diberikan oleh pemerintahan kesultanan banten, ketika itu masyarakat asli Banten enggan menerima ajaran islam mereka menolak dan diasingkan ke daerah pedalaman.
Namun orang suku baduy lebih senang dengan sbeutan lain untuk mereka yaitu "urang kenakes" atau dalam artinya orang kenakes berdasarkan asal daerah mereka yang tinggal di Kenakes.
Masyarakat suku baduy benar-benar menjaga adat istiadat dan sangat menjaga alam sekitarny. Karena mereka sadar mereka hidup oleh alam dan berdampingan dengan alam. Banyak ajaran suku baduy yang berupa larangan bila diabaikan akan terkena hukum alam. Di provinsi Banten terdapat suku asli yaitu suku baduy dalam dan suku baduy luar. Suku baduy dalam masi menjaga tradisi, adat istidat dan anti modernisasi baik cara berpakaian, pola hidup dan lainnya. Sedangkan suku baduy luar masih menjaga tradisi dan adat istiadat tetapi sudah mampu beinteraksi dengan masyarakat dari luar suku baduy.

Nilai-nilai Ekologi Masyarakat Suku Baduy
1. Menjaga dan merawat alam di lingkungannya
2. Menjaga kebersihan terutama kebersihan sungai, contohnya di Baduy Dalam dengan tidak bolehnya mandi menggunakan bahan yang mengandung sabun.
3. Tidak diperbolehkannya bagi Baduy Dalam menggunakan alat transportasi, dengan begini alam menjadi bersih karena tidak ada asap udara yang kotor.
4. Bercocok tanam dengan cara-cara tradisional. Dan dapat menjaga kandungan unsur hara dalam tanah.

Analisis Menggunakan Persektif Ekologi
Menurut kami, suku Baduy cocok menggunakan perspektif Weberian. Karena, tindakan setiap individu akan memberikan dampak yang signifikan pada lingkungan: misalnya tidak boleh mandi menggunakan dengan menggunakan sabun yang berbusa, karena akan merusak sungai. Ketika masyarakat suku Baduy tidak melakukan hal tersebut, sungai pun tidak tercemar.

Suku Toraja_Nur Muhaimin_Ekologi Manusia

Nama   : Nur Muhaimin

Nim     : 1113054000008

SUKU TORAJA

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

Asal usul kata Toraja sampai saat ini masih menjadi perdebatan termasuk berbagi versi dan referensi masing-masing. Ada beberapa versi asal kata Toraja diantaranya sebagai berikut; dari istilah orang Bugis yang menyebut, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya (dalam keseharian kita masih sering mendengar orang-orang tua di Toraja menyebut Toraja dengan kata tersebut), berasal dari 2 kata yakni To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar | bisa diartikan orang-orang besar atau bangsawan). Seiring waktu dan beberapa perubahan ejaan, kata Toraja masih mempertahankan ejaan lama dalam penulisannya. Adapun kata Tana dapat diartikan sebagai negeri. Hingga dikemudian hari wilayah pemukiman mayoritas suku Toraja lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja, yang akhirnya menjadi nama kabupaten dalam wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini toraja pada tahun 1909.

Diatas adalah beberapa versi yang sering kita baca dari berbagai literatur. Memang jika menyangkut asal-usul nama Toraja masih perlu dikaji lebih mendalam sumber sejarahnya, dan hal tersebut tentunya bukanlah sesuatu yang mudah tanpa kerjasama dari berbagai pihak. 
            Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.

Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.

 

A.    Identitas etnis

 



Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelumpenjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. 

Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.  Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. 

Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).

 

Sejarah

 



Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.

Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. 

Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.

Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.

Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.

Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.

 

B.     Komersialisasi

 

Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja. Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. 

Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa. Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara. "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar.

Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagaiprimadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelahBali". Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik), dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989. Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.

Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desazaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh". Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.

Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. 

Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.

Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat, sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.

Filosofi Tau - Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. 

Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.

 

C.     Kebudayaan

 

a.       Tongkonan

Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja 'tongkon' (duduk).

Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

 

b.      Ukiran kayu Toraja

 

Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Passura' (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.

Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. 

Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.

Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat ornamen geometris.

Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. 

Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". 

Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puyajika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.

Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

 

D.    Analisis

Budaya Toraja sebagaimana pendapat para ahli, terefleksikan dalam budaya Tongkonan, dimana Tongkonan pada hakekatnya bukan semata bangunan rumah adat tetapi merupakan konsep budaya Toraja itu sendiri. Budaya Tongkonan adalah ruh dari budaya Toraja yang merefleksikan hubungan harmonis antara manusia dengan alam, salah satunya diwujudkan dalam bentuk menjadikan hutan sebagai elemen dalam budaya Tongkonan. Oleh karena itu, pelestarian budaya Toraja pada dasarnya dapat disinergikan dengan upaya pelestarian hutan. Dengan demikian upaya nyata dalam menata hutan di Toraja dapat menjamin keberlangsungan budaya Toraja.

            Penulis coba mengolaborasikan budaya suku toraja dalam memanfaatkan alam dan menjaganya dengan memakai teori Ekologi Karl Marx, yang dimana "Universalitas Manusia", kata Marx, adalah kunci dari keterasingan manusia. Dalam Early Writings, Marx paling baik menjelaskan tentang alienasi (keterasingan) manusia buruh. Menurutnya, pertama adalah manusia (buruh) terasing dari obyek pekerjaannya, kedua, proses kerjanya, ketiga, keadaannya sebagai spesies manusia, dan keempat, keterasingannya dari sesama manusia lain. Begitulah hubungan manusia dan alam menurut Marx, sebagai satu-kesatuan tak terpisahkan ketika manusia melakukan aktivitas kerja pemenuhan kebutuhan. Disebutkan juga bahwa "…alam merupakan badan inorganic manusia karena alam bukanlah badan manusia, namun manusia hidup dari alam sehingga secara fisik dan mental, terhubung dengan alam, sederhananya, alam berhubungan dengan dirinya sendiri karena manusia bagian dari alam".

            Dalam Suku Toraja mempunyai budaya yang dimana keharmonisan diantara manusia dengan alam sangatlah ditekankan, agar dapat bersinergis dalam kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Memanfaatkan alam dan menjaganya merupakan kegiatang yang seringkali diterapkan oleh Suku Toraja, mulai dari proses kehidupan sehari-hari, tempat tinggal hingga tempat para mayat terbuat dari alam sekitarmya. Maka tak heran masyarakat Suku Toraja sangat melestarikan alam dengan menjadikannya budaya bagi seluruh masyarakat Suku Toraja.

            Penyusun beranggapan bahwa Teori Karl Mars berkaitan dengan kebudayaan Suku Toraja yang dimana manusia perlu menyadari bahwa manusia dan alam merupakan satu-kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Pemanfaatan alam haruslah seimbang dengan penjagaannya sehingga tidak ada yang namanya kehidupan yang merugikan alam.  

           

Daftar Pustaka

 

Abdul Aziz Said. (2004)."Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Torajad dan Perubahan Aplikasinya Paa Gesain Modern". Yogyakarta: Ombak.

 

Naqib Najah. (2014)."Suku Toraja: Fanatisme Filosofi Leluhur". Makassar: ARUS TIMUR.

 

http://www.torajaparadise.com/2013/03/sejarah-dan-asal-usul-suku-toraja-bagi.html Diakses Pukul 16:45 WIB tanggal 09 Mei 2016.

 

http://bankdata.konservasiborobudur.org/wp-content/uploads/2014/01/Menata-Hutan-Menjaga-Tongkonan-Alternatif-Upaya-Pelestarian-Budaya-Toraja.pdf Diakses Pukul 16:58 WIB tanggal 09 Mei 2016.

http://koranpembebasan.org/2013/06/resensi-buku/ Diakses Pukul 17:15 WIB tanggal 09 Mei 2016.

 

 

Cari Blog Ini