Lembaga Komunikasi Dewan Pers
Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
Nama : Syifa Maulidina
NIM : 1112051000150
Semester/ Prodi/ Kelas : 5/ KPI/ E
A. Ontologi
Dewan pers sebagai lembaga yang membawahi persoalan pengawasan sekaligus mempunyai wewenang dalam melakukan perbaikan dan pengaturan produk dalam jurnalistik. Karena dewan pers dalam hal ini, merupakan lembaga tertinggi yang menaungi segala persoal yang yang berhubungan lembaga penginformasian lewat media cetak dan elektronik, sehingga dibutuhkan suatu tempat yang mewadahinya. Karena berhubungan erat dengan tata moral dan hukum sosial yang berlaku dalam masyrakat. Lembaga dewan pers menjadikan diri sebagai lembaga yang menjaga keajekan sosial yang berlaku dalam masyarakat yang dijadikan objek pemberitaan.
Objek pemberitaan sendiri tak lepas dari sekelumit persoalan sosial. Jika kemudian jusrnalistik yang dilakukan tak sesuai, jelas objek dan tatanan sosial akan rusak. Maka dari itu, lembaga dewan pers diadakan berdasarkan objek masyarakat dan subjeknya perilaku media yang mempunyai andil di sana. Di samping itu, dewan pers didirikan tak membatasi tata etika dan kebebasan wartawan ketika melakukan peliputan berita, akan tetapi perilaku manusia dalam melihat realitas selalu berbeda sehingga interpretasi dalam media juga beragam. Maka dari itu, hal yang dilakukan oleh perilaku media bisa saja berubah dengan interpretasi objek (fenomena).
Di samping itu, beragam media kini dengan kriteria pembaca sangat rentan melakukan pelanggran. Dari sanalah dewan pers ada dengan landasan mengawasi tata moral dan perilaku dan pelaku wartawan dalam menghimpun berita. Di sisi lain dewan pers juga memberikan kebebasan kepada media dalam pers melakukan ekspresi sosialnya tetapi ditetapkan dalam undang-undang pers seperti tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999.
B. Epistemologi
Keadaan sosial dalam masyarakat selalu berubah-ubah di Indonesia. Dinamika yang ada dalam masyarakat menjadi pendorong berbagai dinamika dan pranata sosial yang semakin bergerak dinamis. Pers mengambil posisi penting dalam pembangunan bangsa Indonesia. Tumbuhnya kesatuan berbagai budaya yang menyatu dalam satu masyrakat Indonesia merupakan keuntungan tersendiri, tetapi di sisi lain juga menjadi tantangan. Tantangan tersebut berupa adanya opini yang beragam dalam cara pandang yang berbeda pula, walaupun tujuannya hanya untuk memberikan suatu pengalaman tetapi diperlukan kontrol sosial.
Pers sebagai kontrol sosial merupakan posisi yang menyambungkan persoalan hukum dan kondisi sosial yang terekam. Dari sinilah kemudian muncul sebuah lembaga yaitu dewan pers. Karena kontrol sosial yang dilakukan pers tak selalu dipasrahkan kepada media yang melakukan kontrol sosialnya dalam rakyat. Inilah kemudian yang menjadi landasan kenapa secara epistemologi kontrol sosial yang dijalankan dewan pers dengan undang-undangnya 40/1999 yang di dalamnya tercantum Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
C. Aksiologi
Dalam memberitakan peristiwa atau fakta harus sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, atau intervensi dari pihak lain, demi tercapainya tujuan yakni masyarakat mendapat informasi yang dipercaya benar sesuai dengan objektif ketika suatu peristiwa berlangsung. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk. Dan dalam Pasal 2 Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Serta dalam Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampur adukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Dalam penerapannya, dewan pers mempunyai andil besar dalam pengawasannya yang dilakukan terhadap media. Dengan adanya lembaga tertinggi di tubuh pers merupakan suatu usaha dalam menjaga keutuhan tata moral dan keamanan wartawan, serta kewajibannya dalam memberitakan kebenaran sesuai data fakta yang ada. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Dan juga dalam Pasal 10 Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca.
Di sisi lain, masyarakat mempunyai lembaga yang bisa menjadi sandaran dalam menerima pemberitaan sehingga menjadi tempat pengaduan dalam menjaga sosial masyakat oleh dewan pers. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional, baik dari narasumber maupun pembaca.
Dalam mewujudkan kemerdekaan pers, wartawan Indonesia juga harus menyadari dalam menyajikan sebuah berita pastinya tidak lepas dari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan (di bawah umur).
Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang dan off the record sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.