Nama : Idha Chusaini
Jurusan : PMI3
NIM : 1112054000007
Teori Kritis – Marxisme
Teori kritis dan Marxisme merupakan dua bangun pengetahuan yang berawal dari kepentingan dan cita-cita yang sama yaitu penegakan atas emansipasi manusia. Dalam banyak literatur dijelaskan bahwa teori kritis merupakan kelanjutan dari pemikiran Marxis, akan tetapi tidak dapat dinafikkan pula adanya kritik yang dialamatkan teori kritis atas pemikiran Marx. Untuk itu pembahasan pada tulisan ini akan mencoba menguraikan bagaimana kedua teori tersebut dibangun berikut persamaan dan juga perbedaan yang menyertainya.
Marxisme berkembang pada pertengahan 1840-an dan merupakan sebuah perspektif yang berangkat dari pemikiran Karl Marx mengenai sejarah dan kapitalisme. Pemikiran ini berawal dengan melihat adanya ketimpangan dan kontradiksi yang nyata dalam sejarah manusia yang ditandai dengan perjuangan kelas. Kritik tersebut ditujukan Marx pada model produksi kapitalistik Adam Smith dan David Ricardo yang menurut Marx berjalan dengan sangat eksploitatif. Adapun dalam kerangka berfikir teorinya tentang sejarah perjuangan kelas yang bersifat dialektis-materil, Karl Marx ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh dua filsuf besar yaitu G.W.F. Hegel dan Ludwig Feurbach.
Sementara itu teori kritis pada awalnya merujuk pada sebuah tradisi pemikiran yang berkembang di sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920an yang kemudian dikenal dengan mahzab Frankfurt atau Frankfurt School. Pemikiran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud dan terutama Karl Marx. Adapun pemikir utama pada masa itu antara lain Max Horkheimer dan Theodore Adorno. Pemikiran ini banyak mengalami perkembangan dan modivikasi sehingga muncul aliran-aliran baru yang membawa nama seperti Jurgen Habermas sebagai pemikir teori kritis kontemporer. Namun walaupun banyak terinspirasi dari pemikiran Marx, pada dasarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara pemikiran teori kritis dengan Marxisme. Hal ini terutama dilihat dari bagaimana kedua teori tersebut dibangun dengan asumsi-asumsi utama yang mendukungnya. Menganalisis lebih jauh dua teori tersebut akan memperlihatkan sejumlah perbedaan ontologis yang tentunya menjadi landasan utama berdirinya setiap teori.
Madzab Frankfurt merupakan kumpulan beberapa pemikir Jerman yang menganggap bahwa pemikiran Marx telah didistorsi oleh Engels dan para pemikir Lenin-Marxis yang diakibatkan oleh kegagalan revolusi kaum pekerja di Eropa Barat setelah perang dunia I dan oleh bangkitnya Nazisme di negara yang secara ekonomi, teknologi, dan budaya maju yaitu Jerman. Oleh karena itu, mereka merasa harus memilih bagian mana dari pemikiran-pemikiran Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi-kondisi yang Marx sendiri tidak pernah lihat. Pada awalnya pemikiran Marx dijadikan tolok ukur pemikiran sosial aliran tersebut. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa aliran Frankfurt merupakan perwujudan usaha untuk kembali mengkaji pemikiran-pemikiran Hegelian kiri (Hegelian Leftisme), yaitu pemikiran Hegel sekitar tahun 1840-an. Seperti Hegel dan Immanuel Kant, tokoh-tokoh Frankfurt tertarik dengan kajian mengenai filsafat dan ilmu-ilmu non alamiah seperti sosiologi, ekonomi, musikologi, ilmu politik dan lain-lain.
Cara berfikir Madzab Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern, khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi teori kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat.[3] Aliran Frankfurt atau dikenal dengan madzab Frankfurt merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institute Of Social Research Universitas Frankfurt, yang dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. latar belakang didirikannya lembaga tersebut adalah karena terjadinya kemenangan revolusi Bolhesvick, kegagalan-kegagalan revolusi di Eropa Tengah khususnya di Jerman. Peristiwa itu membangkitkan semangat intelektual kiri Jerman untuk melakukan kajian kembali secara serius teori-teori Marxis khususnya yang berkaitan dengan akal budi dan praktik dalam kondisi-kondisi sosial yang baru. Misalnya, melakukan kajian mengenai cara bagaimana agar teori Marxis dapat terus relevan dan cocok untuk setiap perkembangan sosial.
Walaupun pada awalnya menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosilanya. Akan tetapi, seperti yang penulis tulis di atas bahwa Madzab Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagaian pemikir Madzab Frankfurt berdialog dengan Marx, Hegel, dan Kant.
Menuju Pemikiran Kritis
Jalan membentuk kerangka berfikir kritis, salah satunya bisa dipelajari melalui konsep kritik ideologi yang dihadirkan oleh para intelektual kritik Madzab Fankfurt. Terlepas dari begitu banyaknya teori yang membicarakan metode berfikir kritis, namun penulis yakin bahwa hampir semuanya merujuk pada kajian kritik ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Konsep berfikir kritis, kiranya lebih 'menohok' bila dimulai dengan pengetahuan bagaimana pandangan madzab fankfurt periode pertama sampai kedua dalam menanggapi dominasi ideologi di masing-masing zamannya.
Secara menyeluruh, bisa dipastikan bahwa kemunculan pemikiran kritis para intelektual Madzab Frankfurt seperti Mark Horkeimer, Theodorno W. Adorno, dan Herbert Marcus karena mereka diliputi kegelisahan melihat realitas ketidakseimbangan agama, budaya, ilmu pengetahuan, bahkan ideologi. Madzab ini semakin terkenal karena anggotanya gemar mengeluarkan kritik-kritik tajam terutama masalah pencerahan (aufklarung) yang menurut mereka, gagal total. Menurut Bagus Takwin (2003) usaha pencerahan dalam pandangan mereka merupakan suatu paradoks antropologis. Manusia modern dalam upaya membebaskan diri dari kungkungan mitos, teologis, yang sifatnya 'taken for granted' telah merasionalisasi alam dan dirinya sendiri. Rasionalisasi dalam pengertian teori kritis adalah sebuah tindakan rasional bertujuan, yang berusaha menguasai realitas seefisien mungkin demi kepentingan-kepentingan yang terselubung (ekonomi, politik, dan sebagainya). Karena di dalamnya juga terkandung usaha penguasaan manusia, maka upaya pencerahan menghasilkan pula manusia-manusia yang tidak bebas, dikuasai oleh teknologi dan ilmu pengetahuan model abad pencerahan. Ini berarti usaha pencerahan malah membawa manusia kepada satu kungkungan dan penindasan baru. Manusia yang dibebaskan justru 'tertindas' oleh mitos baru: ilmu pengetahuan positivistik dan teknologi. Manusia seolah-olah objek tak berjiwa yang dapat dikuasai dan diutak-atik sedemikian rupa demi kepentingan industri kapitalistik dan kekuasaan.
Kritis dalam pandangan Kantian berarti usaha untuk memahami kondisi-kondisi yang membatasi rasio. Sedangkan kritis dalam pandangan Hegelian berarti rasio melakukan refleksi atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat rasio untuk melaksanakan proses pembentukan diri melalui sejarah. Dan dalam pandangan Marxis, kritik merupakan usaha-usaha emansipatoris terhadap penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Bersikap kritis berarti tidak begitu saja menerima apa yang ditampilkan masyarakat. Dalam sudut pandang Freudian, kritik dipahami sebagai pembebasan individu dari irasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.
Terma 'kritis' mendapatkan banyak pemaknaan pada masing-masing pemikiran. Namun semuanya tersebut dikatakan oleh Jurgen Habermas masih dalam 'paradigma kerja' sehingga teori kritis menemui kebuntuan di tangan para pendahulunya. Disebut oleh Shindunata bahwa para pendahulu teori kritis yang yang menggunakan pengertian kritik menurut pengertian Kantian, Hegelian, Marxian, dan Ferudian menemukan kebuntuan dalam proyek pembebasan manusia yang mereka lakukan (Shindunata, 1983; F. Budi Hardiman, 1990). Mereka mencapai kesimpulan bahwa emansipasi yang dilakukan oleh manusia sejak zaman yunani kuno hingga zaman modern pada akhirnya mengarahkan manusia pada irasionalitas. Emansipasi menghasilkan perbudakan, rasionalisasi menghasilkan irasionalitas, dan pencerahan menghasilkan kebutaan.
Habermas menegaskan rasio merupakan sesuatu yang berkaitan erat dengan kemampuan linguistik manusia. Sebagai ganti dari 'paradigma kerja', rasio didasarkan pada 'paradigma komunikasi'. Manusia adalah makhluk komunikasi yang mencapai kebermaknaannya melalui proses komunikasi.
Asumsi Dasar Teori Kritis
Teori kritis sendiri merupakan teori yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip umum, tidak membentuk sistem ide. Teori ini berusaha memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian teori ini adalah emansipatoris. Ciri teori ini adalah :
1. Kritis terhadap masyarakat. Teori kritis mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur yang rapuh ini harus diubah.
2. Teori kritis berfikir secara historis. Artinya berpijak pada proses masyarakat yang historis. Dengan kata lain teori kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan situasi sosial tertentu, misanya material-ekonomis.
3. Teori kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya teori dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada pemikiran filsafat modern. Menurut Madzab Frankfut, pemikiran tersebut telah berubah menjadi ideologi kaum kapitalis. Teori harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
4. Teori kritis tidak memisahkan teori dari praktek, pengetahuan dari tindakan, serta rasio teoritis dari rasio praktis. Peru digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak boleh dicampuradukkan dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana semata. Madzab Frankfurt menunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu.
Dimensi Metateori
Hal utama yang patut digarisbawahi dalam pemikiran Marx adalah konsep mengenai dialektika yang dimaknai sebagai kerangka berpikir dan citra dunia. Dialektika yang merupakan warisan pemikiran Hegel menjadi sebuah kerangka berpikir yang menekankan pentingnya hubungan, proses, dinamika, konflik dan kontradiksi, yang lahir dari kerangka berpikir yang dinamis tentang dunia. Dunia diciptakan tidak dari struktur yang statis melainkan dalam struktur dinamis yang penuh dengan kontradiks dan pertentangan-pertentangan. Namun tidak seperti dialektika Hegelian, Marx melihat bahwa dialektika tidak berada dalam dunia ide, tetapi pada dunia meteril yang terbentuk karena adanya perbedaan terhadap akses sarana produksi oleh setiap individu. Dengan berdasar pada hal tersebut, Marx kemudian menarik garis dan menempatkan dialektikanya pada basis material.
Konsep dialektika-materialis Marxis yang meyakini bahwa kebutuhan material adalah hal utama yang harus dipenuhi setiap manusia untuk dapat bertahan hidup. Pandangan ini kemudian meletakkan kepemilikan atas sarana produksi menjadi hal yang mutlak bagi setiap manusia dalam rangka pemenuhan kebutuahan materialnya. Apa yang dilihat Marxis mengenai kepemilikan sarana produksi ini menjadi dasar munculnya pemikiran tentang perjuangan kelas. Bahwa kepemilikan atas sarana-sarana produksi hanya memunculkan pembagian kelas dimana ada pihak yang memiliki sarana produksi (modal dan teknologi) dan pihak yang memiliki faktor produksi kerja yaitu tenaga kerja.
Sejarah manusia dibentuk di atas berbagai macam penindasan dan perjuangan kelas yang mengurangi daya hidup dan membatasi kebebasan manusia. Manusia beraktifitas secara fisik dalam masyarakat berbasiskan kelas yang eksploitatif dimana setiap manusia telah dipaksa untuk bekerja demi kekayaan manusia lain. Perselisihan antar kelas telah mendominasi konflik dalam sejarah dan menjadi mesin penggerak perubahan sosial. Dalam hal ini Burchill dan Linklater menjelaskan tiga konsep utama dalam pemikiran Marx yaitu, alienasi menggambarkan sebuah kondisi dimana umat manusia berada dalam genggaman kekuasaan struktur dan kekuatan yang mereka ciptakan sendiri. Eksploitasi merujuk pada sebuah kondisi di mana suatu kelompok tertentu secara langsung mengontrol dan mengambil keuntungan dari daya kerja kelompok lainnya. Keterasingan (estrangement), menjelaskan akan sebuah dunia yang penuh kecurigaan dan permusuhan antara kelompok-kelompok nasional dan kultural yang berbeda-beda (Burchill, 2005 : 164).
Marx dan Engels meyakini bahwa akibat yang ditimbulkan oleh produksi terhadap struktur masyarakat dan pergeseran pola-pola dalam sejarah telah banyak diabaikan dalam ajaran teori-teori politik sebelumnya. Untuk itu penindasan di sini tentunya dialamatkan pada penindasan material yang menekankan aspek-aspek ekonomi. Marx melihat dasar perekonomian (model produksi) sebagai substruktur dan pranata sosial lainnya (agama, adat, pemerintahan, hukum, dll) sebagai suprastruktur yang berfungsi untuk melindungi kepentingan kelas yang menguasai kekuatan produksi. Ekonomi sebagai aspek yang utama, sehingga institusi politik, hukum, sistem kepercayaan dan bahkan bentuk-bentuk keluarga menyesuaikan diri dengan tuntutan dasar sistem ekonomi. Jadi, ekonomi menentukan atau mnyebabkan bagaimana sistem sosial lainnya berfungsi dan berkembang.
Dalam mengamati pola produksi ekonomi itu sendiri, Marxis berkeyakinan bahwa ekspansi kapitalisme telah mengahapus pemisahan klasik antara negara-bangsa yang berdaulat dan mengganti sistem negara internasional dengan masyarakat kapitalis global dimana konflik utamanya terpusat pada dua kelas sosial yang saling bertentangan yaitu kaum borjuis dan kaum proletar. Model produksi kapitalistik dilihat Marx telah mereduksi peran kelas pekerja (buruh). Kesenjangan yang terbuka lebar dimana buruh berhadapan dengan kekuatan para pemilih modal yang semakin menambah keterpurukan mereka dalam jurang eksploitasi. Hal ini diungkapkan Marx dalam tulisannya, "Pekerja tidak memproduksi untuk dirinya sendiri namun harus memproduksi nilai lebih. Pekerja yang produktif hanyalah pekerja yang memproduksi nilai lebih (surplus value) untuk para pemilik modal." Cerminan lain muncul dari tulisan Marx dan Engels dalam The Communist Manifesto yang menekankan bahwa "Kaum borjuis melalui ekspliotasi pasar-global telah menciptakan sebuah karakter kosmopolitan atas konsumsi dan produksi di tiap negara. Hal ini memaksa semua bangsa, dengan pembungkaman, untuk menerapkan cara-cara produksi borjuis. Singkatnya kaum borjuis menciptakan sebuah dunia di balik bayangannya sendiri" (Burchill, 2005 : 167).
Jika dalam pandangan Marxis lebih melihat adanya dominasi ekonomi dalam bentuk penguasaan sumber dan alat produksi, maka teori kritis lebih menekankan aspek budaya dan ideologi yang ada dibaliknya. Teori ktiris mencoba untuk merekonstruksi pandangan Marx yang dinilai terlalu memberi tekanan pada bentuk-bentuk produksi (mode of production) dan mengabaikan aspek-aspek lain di luar kekuatan ekonomi. Pendangan ini terlihat dalam karya-karya bidang sosiologi terutama tulisan Giddens yang menyatakan bahwa teori kritis harus mengalamatkan perhatiannya kepada logika yang terpisah namun saling berhubungan antara state-building, geo-politik, pembangunan kapitalis dan industrialisasi. Senada dengan pemikiran tersebut, Habermas mencoba untuk memperbaiki misi emansipatif yang diperjuangkan Marxisme. Menurut Habermas kekeliruan utama yang dilakukan oleh para pemikir Marxis adalah dengan mengabaikan wilayah independen dari pembelajaran moral-praktis di mana umat manusia mengembangkan kemampuan etika dalam menciptakan tatanan sosial yang menuntut persetujuan agen-agen perwakilan manusia (Burchill, 2005 : 179). Pandangan ini menekankan pada totalitas hubungan sosial mengenai bagaimana kekuasaan menyusun tatanan dunia yang berlaku.
Dominasi akan pengetahuan menjadi titik tolak utama dalam teori kritis. Teori kritis berupaya menunjukkan adanya bentuk ketidakadilan dan hegemoni yang terstruktur dan terbentuk dalam masyarakat. Merujuk pada perkembangan teori kritis Gramscian, hegemoni dalam hal ini berbeda dengan dominasi dimana dominasi menggambarkan sebuah pola hubungan kekuasaan yang cenderung ditandai dengan paksaan dan ditopang oleh sarana-sarana militer. Hegemoni di sisi lain menggambarkan pola hubungan kekuasaan yang lebih mengandalkan legitimasi daripada paksaan (Sugiono, 2009 : 163). Hubungan kekuasaan yang hegemonis ditopang oleh legitimasi yaitu adanya penerimaan, kepatuhan dan dukungan oleh kelompok sosial yang tertindas terhadap sistem yang ada yang sebenarnya sangat eksploitatif.
Robert Cox, salah seorang pemikir teori kritis, mengemukakan bahwa teori selalu untuk seseorang dan untuk beberapa kepentingan (Griffiths 2001 : 155). Sejalan dengan pendapat tersebut, Habermas menyatakan bahwa terdapat kepentingan-kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam masyarakat. Dalil bahwa setiap struktur logis ilmu berkaitan erat dengan fungsi pragmatis dari pengetahuan ilmiah merupakan pijakan penting dalam bangunan teori kritis yang dikemukakan Habermas (Tjahyadi : 184-185)
Apa yang dikemukakan oleh Cox dan Habermas ini kemudian menjadi asumsi utama yang dikembangkan dalam teori kritis adalah bahwa terdapat kepentingan politis yang dapat memanipulasi pengetahuan manusia. Teori kritis melihat apa yang diungkapkan sebagai suatu "virtual reality" atau refeksi dari "false conciousness" yang melekat dalam diri masyarakat sosial sebagai hasil dari hegemoni ideologi-ideologi dominan (Nur Hidayat : 2-3). Akibatnya manusia tidak lagi menjadi makhluk yang independen dalam menentukan hidup mereka melainkan terkungkung dalam kerangka hegemoni atas pemikiran mereka. Untuk itu teori kritis kemudian mencoba menyajikan sebuah konsep yang akan dijadikan pijakan evaluasi terhadap norma-norma sosial. Teori ini akan mengarah pada pembebasan manusia atas segala bentuk penindasan, yang dilakukan dalam dan atas nama rasionalitas modern.
Penindasan dalam teori kritis maupun Marxis mempunyai arti yang relatif sama yaitu ketika setiap manusia tidak mempunyai kebebasan dalam menentukan nasibnya sendiri. Namun yang perlu digarisbawahi adalah penindasan di sini lebih ditekankan Marxis pada eksploitasi ekonomi ketika manusia tidak dapat mengakses sumber produksi. Sementara itu penindasan dialamatkan teori kritis pada serangkaian kegiatan yang menghegemoni pemikiran manusia. Teori kritis mencoba untuk menggambarkan adanya "pemaksaan" sistematis dan persuasif yang dibentuk oleh pemilik kepentingan yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk ide dan pandangan manusia yang kemudian akan menentukan pola tindakan manusia tersebut yang kemudian akan dijadikan norma budaya sosial yang membentuk peradaban manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa hegemoni bekerja pada ranah ideologi dimana pihak yang berkuasa dapat memperoleh legitimasi dan pembenaran atas tindakannya.
Dalam kajian politik internasional, pada dasarnya kedua teori ini, Marxis dan teori kritis, melihat negara sebagai struktur yang tidak otonom. Namun tentunya Marx menekanankan bahwa negara digerakkan oleh kepentingan kelas yang berkuasa (borjuis). Marxisme menganggap bahwa negara merupakan suatu refleksi atas perjuangan kelas yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemilik modal untuk memapankan kekuasaannya serta menjalankan penindasan secara sistematis terhadap kelas pekerja melalui lembaga-lembaga negara. Sementara itu, dengan menekankan pada aspek sosialnya, para pemikir teori kritis melihat negara sebagai dominasi kekuasaan atas adanya tendensi/kepentingan politik dari pengetahuan atau ideologi yang berkuasa. Struktur-struktur, termasuk negara, telah dikosntruksi secara sosial. Bertentangan dengan dogma kaum realis bahwa negara adalah negara, Cox memandang negara dan fungsi, peran serta tanggungjawabnya telah ditentukan secara sosial dan historis (Burchill, 2005 : 215).
Selanjutnya, sejalan dengan pandangannya terhadap negara, tatanan dunia yang juga menjadi poin analisis utama, juga tidak dilihat sebagai unit yang independen baik dalam Marxisme maupun teori kritis. Marxisme manganggap bahwa struktur internasional, tidak dapat dipungkiri, juga merupakan cerminan dari bentuk eksploitasi dan penindasan oleh pada pemilik modal. Globalisasi dengan kapitalismenya tidak lebih dari sekedar bentuk imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara maju melalui sarana global seperti lembaga keuangan dan perdagangan internasional, perkembangan teknologi dan doktrin pasar bebas. Adapun pemikiran lebih lanjut mengenai hal tersebut dilejalaskan oleh Immanuel Wallerstein dalam World System Theory. Teori yang masih menjadi turunan Marxisme ini, menjelaskan dunia dengan membagi negara-negara sesuai dengan perannya secara ekonomis, yaitu negara inti (core) dan negara pinggiran (periphery). Wallerstein melihat bahwa sistem kapitalisme global telah menempatkan negara pinggiran untuk melayani kepentingan ekonomi negara-negara inti. Hubungan ini menjadi sangat eksploitatif sehingga negara-negara pinggitan terpuruk dalam ketergantungan dan tidak mampu memperjuangkan nasibnya sendiri.
Di sisi lain teori kriris menjelaskan ketidak-independen-an sistem internasional dalam kerangka sosial. Hal ini tercermin dalam pernyataan Gramscian bahwa "tatanan dunia itu...didasarkan pada hubungan sosial" (Burchill, 2005 : 215). Hegemoni pada kenyataannya telah menyamarkan struktur-struktur global yaitu ketika suatu bentuk dominasi yang didasarkan atas suatu kepentingan menunjukkan dirinya sebagai kepentingan universal, dan di sisi lain pihak yang jauh dari kekuasaan tidak menyadari akan adanya eksploitasi dan pemaksaan pengetahuan tersebut.
Dimensi Advokasi
Teori kritis menyandarkan advokasinya untuk memberikan pencerahan dalam diri masyarakat sebagai pelaku sosial sehingga mereka dapat "bergerak" untuk menentukan dan memperjuangkan "kepentingan sejati" mereka. Teori kritis berupaya untuk menyajikan kerangka sistematis untuk memperlihatkan pada masyarakat akan adanya hegemoni. Suatu hegemoni akan roboh ketika masyarakat menyadari akan adanya hegemoni, dan bentindak resisten terhadapnya dan dalam tahap yang lebih lanjut akan menjadikan teori counter-hegemony sebagai rujukan ideologis dalam aktifitas sosial mereka. Teori kritis menekankan bahwa agar tercipta perubahan, maka perlu untuk tidak hanya memenangkan peperangan 'di lapangan' tetapi juga dalam wilayah ide-ide. Dengan demikian perubahan ini juga mencakup seperangkat nilai-nilai dan terutama sejumlah konsep alternatif sebagai upaya untuk memikirkan dan menjelaskan 'realitas' sosial yang sedang berlangsung dan kemungkinan-kemungkinan alternatifnya.
Sementara itu dengan berdasar pada landasan materialistisnya advokasi Marxis lebih menekankan pada perjuangan kesetaraan kelas. Upaya transformasi atas masyarakat internasional untuk menghilangkan alienasi, eksploitasi dan keterasingan merupakan cita-cita politik yang mendasar dalam tradisi pemikiran Marxis. Untuk itu sistem kapitalisme yang dilihat sebagai induk dari penindasan dan eksploitasi manusia sebagai makhluk yang mampu melakukan produksi, harus ditumbangkan. Kapitalisme merupakan sebuah sistem yang terbentuk dari struktur yang menghalangi manusia dari sumber-sumber produksi untuk melakukan kerja. Dengan demikian Marxis meyakini suatu kesimpulan bahwa revolusi politik akan menggulingkan tatanan kapitalis dan menciptakan sebuah masyarakat sosialis dimana prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan akan terwujud untuk meningkatkan derajat kehidupan manusia di seluruh dunia.