Senin, 30 September 2013

idha chusaini PMI3_Tugas3_konstrukvisme

Nama               :  Idha Chusaini
NIM                : 1112054000007
Jurusan            : PMI 3           
 
Paradigma konstruktivis dalam ilmu social merupakan sebagai kritik terhadap ilmu social positivistic. Menurut paradigma ini, yang menyatakan bahwa realitas osial secara otologis memiliki bentuk yang bermacam-macam merupakan konstruksi mental, berdasarkan pengalman social, bersifat local dan spesifik dan tergantung pada orang yang melakukan.
Realitas social yang diamati seseorang tidak dapat digeneralisir pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivistic. Epistemologi antara pengamatan dan objek dalam aliran ini bersifat satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi antara keduanya. Aliran ini menggunakan metodologi hermeneutic dan sialektis dalam proses mencapai kebenaran. Metode yang pertama kali dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang-perorang, kemudian membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang sehingga tercapai suatu konsensus tetang kebenaran yang telah disepakati bersama. (Agus Salim, Teori dan Paradigma Penelitian Social). 
 
Max Weber
Konstruktivis dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias social. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Oleh Karen aitu tuga ilmu social dalam hal ini mengamati cara agen melakukan penafsiran, memberi makna terhadap realitas. Makna berupa partisipan agen melakukan konstruk melalui proses partisipasi dalam kehidupan dimana ia hidup. Dalam tradisi konstruktivis mereka ingin keluar motif dan alasan tindakan individual guna memasuki ranah structural. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).  
Max Weber. Weber mengajukan bahwa dalam ilmu sosial yang dipakai menggunakan oendekatan verstehende. Ia melihat ilmu social berusaha untuk memahami tindakan-tindakan social dan menguraikannya dengan menerangkan sebab-sebab tindakan tersebut. Yang menjadi kajian pokok dalam ilmu ini menurutnya bukanlah bentuk subtansial kehidupan masyarakat maupun nilai objektif dari tindakan, melainkan semata-mata arti yang nyata dari tindakan perorangan yang timbul dari alas an-alasan subjektif. Verstehende merupakan motode pendekatan yang berusaha untuk mengerti makna yang mendasari dan mengintari peristiwa social histories. (Hotman M. Siahaan, Pengantar Kearah Sejarah dan Teori Sosiologi). Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa tindakan social individu berhubungan dengan rasionalitas. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung). 
Tindakan social yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tinakan yang bersifat "membatin", tau bersifat subjektif yang mengkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Dari pandangan dasar yang dimiliki oleh Weber maka ia menganjurkan penelitiannya dalam bidang ilmu ini meliputi; tindakan manusia yang mengandung makna, tindakan nyata bersifat subjektif dan membatin, tindakan pengaruh positif dari situasi dan tindakan tu diarahkan kepada beberapa orang atau individu. Mempelajari tindakan social dan ia menganjurkan lewat penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding). Peneliti menginterpretasikan tindakan si actor dalam artian mendasar dengan maksud memahami motif tindakan si actor. Cara memahami motif tindakan actor Weber memberikan dua cara, pertama melalui kesungguhan, mencoba mengenangkan dan menyelami pengalaman actor. Peneliti menempatkan diri pada actor dan berusaha memahai sesuatu yang dipahi oleh actor. Metode pemahaman yang ditawarkan oleh Weber bersifat pemberian penjelasan kausal terhadap tindakan social manusia. (George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda).  
Perbedaan antara Weber dan Durkheim tentang kenyataan social. Bagi Durkheim bahwa ilmu social mempelajari fakta social yang bersifat eksternal, memaksa individu. Kenyataan social bagi Durkheim sebagai situasi yang mengtasi individu berada dalam suatu tingkatan yang bebas. Sedangkan bagi Weber keyataan social merupakan sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan social. Durkheim memiliki pndangan berhubungan dengan realisme social, melihat masyarakat sebagai sautan yang riil, berada secara terlepas dari individu yang kemudian masuk didalamnya menurut prinsip-prinsip yang khas, tidak mencerminkan individu-individu yang sadar. Teori ini membandingkan masyarakat sebagai bentuk organis biologis dalam artian dalam menilai masyarakat merupakan suatu kenyataan yang lenih dari sekedar jumlah bagiannya. Sedangkan Weber berposisi nominalis, dengan artian bahwa individu yang riil secara objektif, dan masayarakat merupakan suatu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu. Analisis Weber dalam memandang individu merupakan suatu yang ekstrim, dan ia mengakui bahwa dinamika sejarah merupakan besar dan pengaruhnya terhadap individu. Pandangan Weber bersifat subjekif dan tujuannya untuk masuk kedalam arti subjektif yang berhungan dengan kategori interaksi manusia. (Doyle Paul Jonshon, Teori Sosiologi Klasik dan Modern). 
Pemikiran Weber dari tindakan social dan metode verstehende berkembang dibawa oleh beberapa ilmuan menjadi tradisi konstruktivisme. Tradisi ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka berangkat dari manusia mengkonstruksi realitas social dari perfektif subjektif dapat berubah menjadi objektif. Proses konstruk mulai pembiasaan tindakan yang memungkinkan actor-aktor mengetahui tindakan itu berulang-ulang dan memberikan keteraturan. Hubungan individu dengan institusi bersifat dialektik yang berisi tiga momen yakni,"masyarakat merupakan produk manusia, masyarakat merupakan realitas objektif, manusia produk masyarakat". Bahwa makna-makna umum dimiliki bersama dan diterima dilihat sebagai dasar dari organisasi social. Konstruksi social berusaha menyeimbangkan struktur masyarakat dengan individu. (Zainuddin Maliki, Narasi Agung).  
Aliran konstruktivis merupakan respon terhadap positivistic dan memiliki sifat yang sama dengan positivistic, sedangkan yang membedakan objek kajiannya sebagai star awal dalam memandang realitas social. Positivistic berangkan dari system dan struktur social sedangakan konstruktivis berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas sosial. Jika mau diturunkan dalam metodologi penelitian menjadi tujuan ilmu social ini memahami realitas social, ilmu bersifat neutral dan bebas nilai. Asumsi dasar yang digunakan bahwa manusia sebagai mahluk yang berkesadaran. Penelitian yang dipakai merupakan penelitian kualitatif dengan metode pencarian data dengan wawancara dan observasi. Dalam memandang masyarakat merupakan realitas yang beragam dan memiliki keunikatan tersendiri, sehingga dari hasil penelitian yang didapatkan tidak boleh untuk menggeneralkan pada objek yang lain. 
 
 Peter L Berger
konstruksi sosial
Teori konstruksi sosial (social construction) Berger dan Lukmann merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 1990:1).
Oleh karena konstruksi sosial merupakan sosiologi pengetahuan maka implikasinya harus menekuni pengetahuan yang ada dalam masyarakat dan sekaligus proses-proses yang membuat setiap perangkat pengetahuan yang ditetapkan sebagai kenyataan. Sosiologi pengetahuan harus menekuni apa saja yang dianggap sebagai pengetahuan dalam masyarakat.
Sosiologi pengetahuan, yang dikembangkan Berger dan Luckmann, mendasarkan pengetahuannya dalam dunia kehidupan sehari-hari masyarakat sebagai kenyataan. Bagi mereka (1990:31-32), kenyataan kehidupan sehari-hari dianggap menampilkan diri sebagai kenyataan par excellence sehingga disebutnya sebagai kenyataan utama (paramount). Berger dan Luckmann (1990:28) menyatakan dunia kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia. Maka itu, apa yang menurut manusia nyata ditemukan dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan suatu kenyataan seperti yang dialaminya.
Dunia kehidupan sehari-hari yang dialami tidak hanya nyata tetapi juga bermakna. Kebermaknaannya adalah subjektif, artinya dianggap benar atau begitulah adanya sebagaimana yang dipersepsi manusia. Misalnya, Bali dalam masyarakat modern campur-aduk, itulah kenyataannya yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat modern berarti masyarakat yang mengalami modernitas. Modernitas merupakan gejala sejarah atau fenomena sosial. Sebagai fenomena sosial, modernitas memang tidak terelakkan. Bagi Berger, modernitas dipengaruhi oleh kapitalisme, yang tumbuh dalam waktu yang lama (Berger, 1990:11-19).
Sebagai suatu yang berpengaruh bagi perubahan sosial, kapitalisme tidak hanya berkait dengan masalah kapital, tetapi mengandung konsep yang luas. Perannya tidak hanya ada dalam pengembangan kapital, tetapi juga sosial politik, budaya, dan nilai-nilai. Menurut Berger (1990:21), kapitalisme selalu dikombinasikan dengan industrialisme untuk menciptakan apa yang sekarang disebut dunia modern. Berger (1990:24) menyatakan, secara historis, perkembangan kapitalisme terjadi bersamaan dengan fenomena industrialisme.   
            Modernitas berkait dengan pengalaman modern, seperti pengalaman kehidupan kota dan pengalaman komunikasi massa modern. Kota, merupakan tempat pertemuan orang atau kelompok yang sangat berbeda-beda. Kota mendorong para penghuninya menjadi "urban" terhadap orang-orang asing. Modernitas (kemodernan), di masyarakat mana pun, telah berarti perkembangan kota dalam kapasitas besar (Berger et al., 1992:63). Kotalah yang telah menciptakan gaya hidup (termasuk gaya pikir, gaya rasa, dan pada umumnya gaya mengalami realitas), yang sekarang menjadi standard untuk masyarakat luas (Berger et al., 1992:65). Modernitas lebih dipahami sebagai "cara hidup yang lebih modern dan bercorak kekinian"
  Bagi Berger dan Luckmann (1990:32), kenyataan hidup sehari-hari sebagai kenyataan yang tertib dan tertata. Fenomena-fenomenanya seperti sudah tersusun sejak semula dalam bentuk pola-pola, yang tidak tergantung kepada pemahaman seseorang. Kenyataan hidup sehari-hari tampak sudah diobjektivasi, sudah dibentuk oleh suatu tatanan objek-objek sejak sebelum seseorang hadir. Dalam hal ini, bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari terus-menerus, dipakai sebagai sarana objektivasi yang membuat tatanan menjadi bermakna.
Kenyataan hidup sehari-hari bersifat intersubjektif, dipahami bersama-sama oleh orang yang hidup dalam masyarakat sebagai kenyataan yang dialami. Kendatipun kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia intersubjektif namun bukan berarti antara orang yang satu dengan orang yang lain selalu memiliki kesamaan perspektif dalam memandang dunia bersama. Setiap orang memiliki perspektif berbeda-beda dalam memandang dunia bersama yang bersifat intersubjektif. Perspektif orang yang satu dengan yang lain tidak hanya berbeda tetapi sangat mungkin juga bertentangan. Namun, bagi Berger dan Luckmann (1990:34), ada persesuaian yang berlangsung terus-menerus antara makna-makna orang yang satu dengan yang lain tadi. Ada kesadaran bersama mengenai kenyataan di dalamnya menuju sikap alamiah atau sikap kesadaran akal sehat. Sikap ini kemudian mengacu kepada suatu dunia yang sama-sama dialami banyak orang. Jika ini sudah terjadi maka dapat disebut dengan pengetahuan akal sehat (common-sense knowledge), yakni pengetahuan yang dimiliki semua orang dalam kegiatan rutin yang normal dan sudah jelas dengan sendirinya dalam kehidupan sehari-hari.
Kenyataan hidup sehari-hari, yang diterima sebagai kenyataan oleh masyarakat merupakan faktisitas yang memaksa dan sudah jelas dengan sendirinya, dan juga akan berlangsung terus-menerus. Namun, masyarakat dapat saja menyangsikan atau mengubahnya. Untuk mengubah kenyataan, perlu peralihan yang sangat besar, kerja keras, dan pikiran kritis.
Oleh karena itu, pandangan Berger dan Luckmann (1990:47) dapat dimengerti bahwa kenyataan sosial kehidupan sehari-hari dipahami dalam suatu rangkaian (continuum) berbagai tipifikasi, yang menjadi semakin anonim dengan semakin jauhnya tipifikasi itu dari di sini dan sekarang dalam situasi tatap-muka. Pada satu sisi, di dalam rangkaian itu terdapat orang-orang yang saling berinteraksi secara intensif dalam situasi tatap muka; dan di sisi lain, terdapat abstraksi-abstraksi yang sangat anonim karena sifatnya yang tidak terlibat dalam tatap muka. Dalam konteks ini, struktur sosial merupakan jumlah keseluruhan tipifikasi dan pola-pola interaksi yang terjadi berulang-ulang melalui tipifikasi, dan ia merupakan satu unsur yang esensial dari kenyataan hidup sehari-hari.
Berbagai skema tipifikasi, dengan kemampuan ekspresi diri, manusia mampu mengadakan objektivasi (objectivation). Manusia dapat memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatannya yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur-unsur dari dunia bersama. Objektivasi itu merupakan isyarat-isyarat yang bersifat tahan-lama dari proses-proses subjektif para produsennya, sehingga memungkinkan objektivasi dapat dipakai melampaui situasi tatap-muka.
Kenyataan hidup, tentunya tidak hanya berisi objektivasi-objektivasi; juga berisi signifikasi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Sebuah tanda (sign), dapat dibedakan dari objektivasi. Jikaobjektivasi lebih berupa ekspresi diri dalam wujud produk, signifikasi berupa ekspresi diri berupa bahasa. Namun, keduanya dapat digunakan sebagai tanda, dan terkadang kabur penggunaannya. Signifikasi bahasa menjadi yang terpenting dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan dan melalui bahasa. Suatu pemahaman mengenai bahasa, merupakan hal yang pokok bagi setiap pemahaman mengenai kenyataan hidup sehari-hari. Bahasa lahir dari situasi tatap muka, dan dengan mudah dapat dilepaskan darinya. Ia juga dapat menjadi tempat penyimpanan yang objektif dari akumulasi makna dan pengalaman yang besar dan yang kemudian dilestarikan dalam waktu dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya. Ia memiliki sistem tanda yang khas, yang bersifat objektif, yang tidak dimiliki sistem tanda lainnya. Ia sebagai faktisitas, yang memiliki sifat memaksa; karena memaksa orang masuk ke dalam pola-polanya.
Oleh karena yang dicoba dipahami di sini adalah kesadaran kenyataan sebagaimana yang dipersepsi pengarang maka--sebagaimana yang dikemukakan Berger dan Luckmann (1990:29)--metodennya yang representatif adalah metode fenomenologis. Metode yang berlandaskan pada pemikiran fenomenologi Husserl ini mencoba memahami gejala-gejala yang tampak atau fenomena-fenomena yang berupa kesadaran yang ada dalam masyarakat. Metode fenomenologi adalah suatu metode yang secara sistematis berpangkal pada pengalaman, sehingga metode ini mengharuskan terus-menerus mengadakan kontak dengan pengalaman.
Maka itu, secara metodis, pengguna metode ini melakukan tiga tingkat pembebasan diri berupa:
 (1) pembebasan diri dari unsur-unsur subjektif,
 (2) pembebasan diri dari kungkungan hipotesis, dan
(3) pembebasan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
 Dengan demikian, kebenaran kenyataan dan pengetahuan, nantinya hanya diperoleh dari pengalaman.
 
Daftar Pustaka
saripuddin.wordpress.com/pemikiran-max-weber
Peter L. Berger et al., Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1992
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini