1. Kritik Marx
A. KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN KARL MARX
Jika kita perhatikan bahwa pemikiran marx merupakan bentuk keprihatinan mengenai nasib buruh yang amat memprihatinkan di eropa kala itu. Dalam sistem kapitalisme eropa pada saat itu buruh amat di eksploitasi tenaganya dengan upah yang sangat murah untuk memenuhi kebutuhan produksi para pemilik modal. Dalam teorinya yang terkenal surplus value, marx menggambarkan bahwa dalam suatu nilai komoditas buruh hanya mendapat jatah yang merupakan sebagian dari biaya produksi, sedangkan yang menjadi surplus dari komoditas tersebut tidak dinikmati sama sekali oleh para buruh. Hal ini yang kemudian mendasari munculnya teori sosialisme marxisme.
Lebih lanjut menurut marx, kondisi tersebut menunjukkan kapitalisme yang semakin tinggi justru akan menghancurkan kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme selalu berusaha memperbanyak pegumpulan kekayaan. Membeli byk modal dan relatif tdk butuh tenaga kerja akan mengurangi nilai surplus keuntungan.Penggantian tenaga kerja dgn mesin akan meningkatkan pengangguran . serta dengan upah yang tetap rendah akan menimbulkan keresahan sosial. Ini akan mengakhiri kapitalisme.
Marx berpendapat bahwa kehancuran kapitalisme akan ditandai engan revolusi sosial yang dilakukan para buruh. Revolusi sosial tersebut akan mengubah tatanan masyarakat dari ekonomi kapitalis menuju ekonomi sosialis. Keberhasilan Ekonomi sosialis baru tersebut akan ditandai oleh beberapa hal seperti penghapusan hak milik atas tanah dan menggunakan semua bentuk sewa tanah u/ tujuan2 umum,program pajak pendapatan progresif atau gradual,Pemusatan kredit di tangan Negara,Pemusatan alat2 komunikasi dan transportasi di tangan Negara,,Pengembangan pabrik2 dan alat2 produksi milik negara.
B. Kritik Terhadap Ekonomi Politik
Saya meneliti sistem ekonomi borjuis dengan urutan sebagai berikut: kapital, kepemilikan tanah, buruh-upahan; Negara, perdagangan luar negeri, pasar dunia. Kondisi ekonomi dari keberadaan tiga kelas besar, yang mana membagi masyarakat borjuis modern, dianalisis di bawah ketiga judul yang pertama; hubungan dari ketiga judul yang lain sudah tidak perlu dibuktikan. Bagian pertama dari buku yang pertama, yang membahas mengenai Kapital, terdiri dari bab-bab berikut ini: 1. Komoditas, 2. Uang atau sirkulasi sederhana, 3. Kapital secara umum. Bagian yang sekarang ini terdiri dari dua bab. Seluruh bahan terletak di depan saya dalam bentuk monografi, yang ditulis bukan untuk publikasi melainkan untuk klarifikasi-diri pada periode-periode yang sangat terpisah; pembentukannya ke dalam suatu keseluruhan yang terintegrasi, sesuai dengan rencana yang telah saya tunjukkan, akan tergantung dari keadaan.
Sebuah pengantar yang umum, yang telah saya susun, telah saya hilangkan, karena berdasarkan pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut, pengantar tersebut tampak membingungkan bagi saya untuk mengantisipasi hasil-hasil yang masih perlu diperkuat, dan pembaca yang ingin mengikuti saya harus memutuskan untuk maju dari yang khusus ke yang umum. Beberapa catatan tentang studi-studi politik-ekonomi yang saya lakukan sendiri mungkin pada tempatnya di sini.
Subjek studi-studi profesional saya ialah ilmu hukum, tetapi yang saya ambil dalam hubungannya dengan, dan sekunder terhadap, studi-studi filsafat dan sejarah. Dalam tahun-tahun 1842-1843, sebagai editor Rheinische Zeitung, saya mula-mula canggung pada waktu saya harus ikut serta dalam diskusi-diskusi mengenai apa yang disebut kepentingan-kepentingan material. Jalannya sidang-sidang pada Majelis Rhein berhubungan dengan pencurian-pencurian kayu di hutan, dan pembagian lanjutan dari hak milik tanah yang bersifat ekstrim; pertentangan resmi tentang keadaan kaum tani di Mosel, di mana Herr von Schaper, saat itu menjabat Presiden Provinsi Rhein, bersengketa melawan Rheinische Zeitung; akhirnya perdebatan mengenai perdagangan bebas dan proteksi; semuanya ini memberi rangsangan pertama kepada saya untuk memulai studi mengenai masalah-masalah ekonomi. Pada waktu yang sama, gema yang lemah dan bersifat filosofis-semu dari sosialisme dan komunisme Prancis terdengar dalam Rheinische Zeitung waktu itu, tatkala maksud-maksud baik untuk "maju terus" jauh melebihi pengetahuan tentang fakta. Saya bertekad melawan pendekatan yang amatir itu, tetapi harus mengakui serta-merta dalam suatu pertentangan dengan Allgemeine Augsburger Zeitung bahwa studi-studi saya sebelumnya tidak memungkinkan saya untuk mencoba mengemukakan penilaian mandiri mengenai isi dari pemikiran aliran-aliran Perancis itu. Karena itu, tatkala para penerbit Rheinische Zeitung mempunyai ilusi bahwa dengan kebijakan yang kurang agresif surat kabar itu dapat diselamatkan dari hukuman mati yang dijatuhkan pada harian itu, maka dengan senang hati saya memanfaatkan kesempatan itu untuk mengundurkan diri dari kehidupan umum dan masuk ke dalam ruangan studi saya.
C. Kritik Terhadap Buku Ekologi Marx, Materialisme dan Alam
"Ilmu tidak boleh menjadi kesukaan diri sendiri. Mereka yang beruntung mampu mencurahkan dirinya kepada pengudian ilmu, harus yang pertama-tama menempatkan pengetahuan mereka untuk mengabdi umat manusia. Bekerjalah untuk umat manusia". (Karl Marx)[1]
Demikian pesan Marx kepada para ilmuwan, bahwa sesungguhnya ilmu adalah urusan kemaslahatan umat manusia. Ilmu yang diarahkan hanya untuk mengabdi kepada kepentingan individu, adalah percuma. Apa yang dipaparkan oleh John Bellamy Foster, seorang Professor dari University of Oregon Amerika Serikat, dalam bukunya yang berjudul "Ekologi Marx, Materialisme dan Alam", adalah sebuah terobosan baru dalam perspektif ilmu pengetahuan khususnya menyangkut alam dan lingkungan.
Ketika pertama kali membaca judul "Ekologi Marx", benak saya menganggap buku ini terkesan sangat tendensius dan subjektif. Seakan ada upaya paksa dari Foster untuk mengaitkan antara ekologi dan Marxisme. Pemikiran ini didasari setidaknya 2 alasan, Pertama, minimnya literatur Marxisme yang secara vulgar membedah alam dan lingkungan. Kedua, latar belakang Foster sebagai seorang sosiolog marxis. Namun setelah memasuki alam ide yang tertuang dalam buku tersebut meski masih beberapa bagian saja, apa yang saya pikirkan akhirnya terbantahkan.
Perang diskursus atau wacana mungkin masih terbilang jarang dikalangan pemikir kita. Kebanyakan buah pikir diantara kita hanya berupa rekonstruksi pemikiran yang dikutip dan disaring lalu dibenarkan dari apa yang sudah pernah ada sebelumnya. Ada baiknya kita memulai perang wacana ini dari karya Foster tersebut. Wacana "ecocide" atau penghancuran alam sudah dikenal diabad 19, terutama pasca perang dunia. Namun foster melalui buku ini, telah memberikan perspektif keilmuan yang mendalam, sehingga pemikiran mengenai keterhubungan alam dan manusia mampu disajikan dengan baik di buku ini.
D. KRITIK KARL MARX TERHADAP AGAMA
Abstract
Bukan tidak mungkin kekerasan yang berbau agama timbul karena memang pada dasarnya umat beragama bukan atas dasar kesadaran kemanusiaan, akan tetapi karena bentukan social yang mengasingkan manusia ke dalam ekstasi agama yang menjajikan pola hidup yang bahagia dunia dan akhirat. Namun pada kenyataannya banyak sekali fakta yang sangat berlainan dengan pesan moral suci setiap agama. Ekspresi anarkis yang dimunculkan oleh umat beragama seolah merupakan pengungkapan emosi manusia yang terjajah oleh agama itu sendiri, sebuah pemberontakan kepada keterasingan dirinya. Pada dataran gambar-gambar manusia itu sendiri, mereka lupa akan jati dirinya sehingga manusia menjadi pasif bahkan mengharapkan berkah dariNYA. Manusia tidak merealisasikan dirinya dalam dunia yang nyata dan masuk dalam baying-bayang agama, dengan demikian agama mengasingkan manusia dari dirinya sendiri.Karl Marx melihat relevansi keterasingan itu dengan sikap atau perilaku umat beragama dalam tingkat realitasnya. Apakah satu-satunya penyebab keterasingan dan ketersiksaan manusia manusia itu hanyalah agama ?. Untuk memahami pandangan Karl Marx terhadap agama ini penulis menggunakan beberapa langkah antara lain inventarisasi terhadap karya Karl Marx yang mempunyai keterkaitan dengan obyek penelitian ini sebagai sumber utama juga buku yang membahas tentang kritik Karl Marx terhadap agama, serta tulisan lain yang mempunya relevansi dengan obyek formal maupun material sebagai sumber kedua penulisan ini, sehingga yang menjadi focus penelitian ini adalah studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Karl Marx menemukan keterasingan manusia dalam agama hanyalah sebagai tanda keterasingan, tetapi bukan merupakan dasarnya. Keterasingan dalam agama ini hanyalah gejala sekunder keterasingan manusia yang sesungguhnya. Keterasingan yang sesungguhnya adalah keterasingan manusia dari realitas social yang nyata dan konkrit, terutama berpusat kepada system ekonomi kapitalisme.Yang dapat diambil sebagai saripati dari agama dan keterasingan manusia ini antara lain adalah sebuah ajakan nalar positif untuk reintrospeksi internal yang akan menjadi basis interaksi eksternal umat manusia yang beragama.
E. KRITIK MARX TERHADAP KAPITALISME
Sejak buaian sampai liang lahat, hidup Marx penuh kontradiksi.
Dia menentang borjuis picik, tetapi dia dibesarkan dalam keluarga borjuis. Dia menjalani kehidupan dewasanya dalam kemiskinan selama bertahun-tahun, tetapi dia dilahirkan dalam keluarga yang cukup kaya. Dia memuji teknologi kaptalisme dan kemajuan material, tetapi dia mengutuk masyarakat kapitalis. Dia sangat bersimpati pada pekerja, tetapi dia sendiri tak pernah punya kerja tetap atau mengunjungi pabrik selama kehidupan dewasanya. Sampai-sampai ibunya mengeluh, "mudah-mudahan Marx bisa menghasilkan capital daripada sekadar menulis tentang capital" (Padover, 1978: 344)
Marx bersifat anti-smith tetapi dia sebenarnya keturunan Yahudi dari kedua belah pihak keluarganya. Dia menyukai anak-anaknya tetapi dia juga menyaksikan anak-anaknya mati premature karena kurang gizi dan sakit atau karena terpaksa bunuh diri. Marx melancarkan protes terhadap kejahatan eksploitas dalam system kapitalis, namun (menurut penulis biografinya)"dia mengeksploitasi semua orang di sekelilingnya –istrinya, anaknya, pelayannya, dan kawan-kawannya—dengan kasar dan ini sangat mengerikan karena dilakukan dengan sengaja dan penuh perhitungan. (Payne, 1968: 12).
F. Kritik terhadap Filsafat Hak Hegel
Landasan untuk kritik sekuler adalah: manusialah yang menciptakan agama, bukan agama yang menciptakan manusia. Agama adalah kesadaran-diri dan harga-diri manusia yang belum menemukan dirinya sendiri atau sudah kehilangan dirinya sendiri. Namun manusia bukanlah suatu makhluk abstrak yang berkedudukan di luar dunia. Manusia itu adalah dunia umat manusia -- negara, masyarakat. Negara ini, masyarakat ini menghasilkan agama, yang merupakan sebuah kesadaran-dunia yang terbalik, karena mereka sendiri merupakan sebuah dunia yang terbalik. Agama merupakan teori umum tentang dunia tersebut, ringkasan ensikopledia dunia tersebut, logikanya di dalam bentuk yang populer, point d'honneur spiritual dunia tersebut, antusiasmenya, otoritas moralnya, pelengkapnya, dan basis penghibur dan pembenarannya yang universal. Agama merupakan realisasi inti manusia yang penuh khayalan (fantasi) karena inti manusia itu belum memiliki realitas yang nyata. Maka, perjuangan melawan agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan sebuah dunia yang aroma spiritualnya adalah agama tersebut.
Kesengsaraan agamis merupakan ekspresi kesengsaraan riil sekaligus merupakan protes terhadap kesengsaraan yang nyata tersebut. Agama adalah keluhan para makhluk tertindas, jantung-hati sebuah dunia tanpa hati, jiwa untuk keadaan tak berjiwa. Agama adalah candu rakyat.
Menghapuskan agama sebagai kebahagiaan ilusioner untuk rakyat, berarti menuntut agar rakyat dibahagiakan dalam kenyataan. Maka, panggilan supaya mereka melepaskan ilusi tentang keadaan mereka adalah panggilan agar mereka melepaskan keadaan di mana ilusi itu diperlukan. Maka, kritik terhadap agama adalah embrio dari kritik terhadap dunia yang penuh kesedihan dimana agama merupakan cahaya lingkaran sucinya.
1. Kritik Marxisme
A. Marxisme Kritik atas Perspektif Terdahulu
Marxisme muncul sebagai kritik atas realisme dan liberalisme/idealisme yang dianggap sebagai ideologi yang mementingkan diri mereka sendiri. Hal ini dikarenakan perspektif-perspektif sebelumnya cenderung berpusat pada kaum elit dan mengabaikan kaum-kaum yang ada di bawahnya yang pada akhirnya menimbulkan ketidaksetaraan. Marx juga memberikan kritik atas sistem internasional yang kapitalis dimana kebebasan yang mereka anut merupakan kebebasan dalam kontrak kerja dan subjek bebas. Namun hal tersebut pada akhirnya tetap berujung pada kesenjangan antarkelas. Oleh karena itu, Marx menilai bahwa revolusi harus dilaksanakan untuk menghapus kelas-kelas yang ada dalam masyarakat dengan membentuk masyarakat sosialis yang menjunjung tinggi kesetaraan. Marx berharap agar akhirnya alat-alat produksi berada di tangan kaum proletar sehingga kaum borjuis tidak lagi bisa mengeksploitasi dan bertindak semena-mena.
B. MARXISME DAN KRITIK SASTRA
Kritik sastra marxis, lebih dari sekadar "sosiologi sastra" yang memusatkan perhatiannya pada alat-alat produksi sastra, ditribusi, dan pertukarannya dalam masyarakat. Secara keseluruhan sosiologi sastra membentuk salah satu aspek kritik sastra marxis yang memusatkan perhatian pada bentuk, gaya, dan maknanya sebagai produk dari sejarah tertentu. Pemahaman yang revolusioner terhadap sejarah tersebutlah yang menjadi kekhasan kritik sastra marxis.
Dalam bukunya The German Ideology (1845) Marx dan Engels mengungkapkan bahwa "model produksi kehidupan material mengkondisikan proses kehidupan sosial, politik, dan intelektual pada umumnya. Bukan kesadaran manusia yang menentukan kehidupan mereka tapi kehidupan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka" (hlm 11). Dengan kta lain, hubungan sosial antar manusia terkait dengan cara mereka berproduksi dalam kehidupan material.
Dimulai dengan hubungan sosial antara budak dan majikan yang dikenal dengan feodalisme, pada tahap selanjutnya terdapat model baru produksi yang melibatkan kelas kapitalis yang menguasai alat produksi dengan kaum proletar yang tenaganya diperas guna mendapat keuntungan. Hubungan tersebut oleh kalangan marxis disebut 'basis ekonomi' atau 'infrastruktur' yang merupakan struktur ekonomi masyarakat. Dari basis ekonomi, muncullah superstuktur yaitu bentuk-bentuk hukum dan politik, bentuk negara yang berfungsi melegitimasi kekuasaan kelas sosial yang memiliki alat-alat produksi ekonomi. Tidak hanya itu supersutruktur juga merupakan kesadaran sosial yang bersifat politis, religius, etis, estetis, yang disebut ideologi yang berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan kelas yang berkuasa dalam masyarakat (hlm.12). Sehingga, pandangan yang dominan dalam masyarakat merupakan pandangan dari kelas yang berkuasa.
[1] Paul Rafarge dalam Reminiscences yang dikutip kembali oleh Nyoto, 1962. Marxisme Ilmu dan Amalnya. Jakarta:Harian Rakjat. Hlm. 5-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar