Rabu, 14 Mei 2014

FittaFauziah_TugasVI_PenelitianTemaKe2

Anak-anak Jalanan Generasi Bangsa yang Terabaikan

Pendahuluan

Fenomena anak jalanan sebetulnya sudah berkembang lama, tetapi saat
ini semakin menjadi perhatian dunia, seiring dengan meningkatnya
jumlah anak jalanan di berbagai kota besar di dunia. Di Indonesia,
saat ini diperkirakan terdapat 50.000 anak, bahkan mungkin lebih, yang
menghabiskan waktu yang produktif dijalanan. Yang mana anak jalanan
ini merupakan usia belajar dan usia produktif seharusnya menjadi aset
generasi bangsa dimasa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk
meneliti bagaimana gambaran konsep diri anak jalanan usia remaja dan
mengapa konsep diri tersebut dapat terbentuk. Konsep diri adalah
gambaran deskriptif dan evaluatif individu mengenai diri sendiri;
penelitian atau penaksiran mengenai diri sendiri, ataupun cara
seseorang memandang dirinya sendiri. Menurut Baldwin dan Holmes (dalam
Calhoun dan Acocella 1995), faktor pembentuk konsep diri remaja adalah
orangtua, kawan sebaya, masyarakat, dan belajar. Melalui konsep diri
akan terbentuk pandangan atau pola pikir untuk mengembangkan diri
menjadi generasi bangsa yang baik dengan memiliki watak kebangsaan

Sementara itu, Departemen Sosial (dalam Terloit 2001) membuat suatu
definisi operasional dari anak jalanan, yaitu anak yang menghabiskan
sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan berkeliaran di
jalanan dan tempat- tempat umum lainnya. Mereka biasanya berusia 6 –
18 tahun, masih sekolah atau sudah putus sekolah, tinggal dengan
orangtua maupun tidak, atau tinggal di jalanan sendiri maupun dengan
teman- temannya, dan mempunyai aktivitas di jalanan, baik
terus-menerus maupun tidak.

Beberapa faktor utama, yang diakui oleh masyarakat dan beberapa tokoh,
yang menyebabkan timbulnya anak jalanan, antara lain kemiskinan,
disfungsi keluarga, dan kekerasan dalam keluarga. Berdasarkan uraian
di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran
konsep diri anak jalanan usia remaja dan mengapa konsep diri tersebut
dapat terbentuk. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk
memberi gambaran konsep diri pada anak jalanan usia remaja serta
bagaimana konsep diri tersebut terbentuk.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan teori Karl Marx karena penelitian ini
terkait kelas sosial, keikut sertaan subjek dalam masalah sosial,
penulis pun merekomendasikan untuk dapat berkontribusi menyelesaikan
masalah sosial ini. Pendekatan Penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif di
sini berupa studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang
anak jalanan yang sudah putus hubungan dengan keluarganya, dan
berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi dan
berusia remaja.

Hasil dan Pembahasan

Pemuda sebagai generasi bangsa harus memiliki watak yang baik dan
dibangun dari pengetahuan yang cukup. Sumber pengetahuan didapat dari
keluarga, sekolah, teman, dan lingkungan. Dalam keluarga subjek dari
penelitian ini keluarganya bisa dibilang tidak harmonis, diawali
masalah ekonomi yang sulit kedua orang tuanya berpisah dan subjek pun
merasa tidak ada yang menyayanginya sehingga pengetahuan yang didapat
dari keluarga terbilang kurang baik dalam pembentukan konsep diri
untuk membangun watak kebangsaan.

Subjek memang pernah sekolah namun hanya sampai SD kelas 5 itu sudah
empat tahun lalu seharusnya sekarang subjek duduk dikelas 3 SMP,
dilihat dari tingkat pendidikan kelas 5 SD belum memadai dalam bekal
keilmuan, dan konsep pembangun watak, dari sini subjek menganggap
pendidikan tidaklah penting karena dengan pendidikannya tidak ada
gunanya terutama untuk menyambung hidup dalam kerasnya ibukota.

Untuk teman karena subjek banyak di jalan jadi teman-temannya ya
merupakan anak jalanan lain, pedagang, preman, supir transportasi jadi
ilmu yang didapat sebatas ilmu untuk mencari makan dan hidup dijalan
sama sekali tidak ada pengembangan diri, motivasi apalagi pembentukan
watak.

Beberapa dimensi diatas memiliki lingkungan yang saling mendukung
khususnya dalam pembentukan watak yang saat ini terbentuk sebagai
seorang remaja yang merasa terisingkir dari keluarga, dimasyarakat pun
dianggap sampah, bahkan dalam keilmuan sosial anak jalanan dianggap
masalah sosial. Dalam undang-undang mereka harusnya dilindungi dan
dipelihara oleh negara diberi kehidupan yang layak, selayaknya
generasi muda karena nasib bangsa masa mendatang merupakan bagian dari
tangan anak – anak yang sekarang menjadi anak jalanan tersebut.

Dengan banyaknya anak jalanan berarti makin banyak generasi bangsa
kita yang sia – sia dan terabaikan, mereka tidak mendapatkan hak nya
mulai dari pendidikan, kehidupan yang layak sampai kepada proses
pengembangan diri yang terpaku hanya mencari kebutuhan perut. Jadi
jangan salahkan jika mereka akan terus menjadi masalah sosial.

Perlu adanya penanganan yang serius baik dari pemerintah maupun
masyarakat agar anak jalanan dapat dibina demi generasi penerus bangsa
yang berkualitas, jika mereka tetap diabaikan bagaimana nasib bangsa
ini dimasa mendatang.

Penutup

Kesimpulan dan Saran

Anak jalanan merupakan bagian dari masyarakat dan masalah sosial yang
harus di selesaikan, karena mereka menjadi anak jalanan bukanlah
kemauan mereka sendiri namun mereka tercebur dalam lingkungan yang
seharusnya bukan tempat mereka. Anak jalanan merupakan generasi
penerus bangsa yang sangat penting untuk masa depan bangsa negara ini.
Penulis menyarankan bagi pembaca tergugah hatinya untuk bisa
berkontribusi dalam menangani masalah sosial ini. Demikian penelitian
ini dibuat semoga dapat bermanfaat.

Noor Rachmawaty_tugas 3_karl marx

Teori Karl Marx menjelaskan tentang teori struktural fungsional. Menurut Karl Marx, stratifikasi yang berbeda-beda itu mempunyai fungsi tersendiri. Karl Marx melahirkan suatu aliran, yaitu aliran komunisme. Agama adalah candu yang terdapat didalam masyarakat. Dalam prakteknya seperti orang katolik. Fungsi tersebut didalamnya terdapat suatu konflik. Adanya pembagian masyarakat itu memicu terjadinya suatu konflik. Mark juga menjelaskan tentang suatu revolusi karena menurutnya kita sebagai masyarakat haruslah mengambil alih secara cepat dalam berbagai bidang apapun. masyarakat juga tidak mempunyai stratifikasi kelas karena memiliki suatu alat, dalam artian sama rata. Karl Marx mempunyai semboyan yang sangat khas, yaitu "sama rata sama rasa". Menurut Karl Marx, agama itu tidak boleh karena menimbulkan suatu konflik. Tetapi jika agama dilarang, maka kita tidak akan mempunyai suatu pedoman untuk hidup didalam dunia ini. Karl Marx juga menjelaskan tentang konsep kapitalisme. Paradigma yang dianut oleh Karl Marx adalah paradigma fakta sosial. Jadi semakin miskin seseorang sebagai rakyat maka semakin miskin juga seseorang dalam hal apapun. Tetapi semakin kaya seseorang maka semakin kaya juga seseorang tersebut dalam hal apapun. Marx juga berpendapat bahwa kolektifitas selalu menimbulkan suatu perbedaan. Sedangkan yang mendorong adanya suatu kesadaran itu adalah setiap materi-materi yang diberikan dan dipahami. Dalam teorinya Marx ini terdapat pemaksaan terhadap kelas bawah dan bukan karena konsensus. Pemaksaan disini berarti stabilitas dalam teori konflik. Konflik dalam teori ini merupakan konflik vertikal karena tentang suatu alat reproduksi.
Teori konflik muncul sebagai reaksi atas teori fungsionalisme struktural yang kurang memperhatikan fenomena konflik di dalam masyarakat. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bias menjalankan fungsinya dengan baik. Namun demikian, teori ini mempunyai akar dalam karya Karl Marx di dalam teori sosiologi klasik dan dikembangkan oleh beberapa pemikir sosial yang berasal dari masa-masa kemudian. Karl Marx melahirkan sebuah aliran, yaitu aliran komunisme. Teori konflik adalah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukkan komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh kepentingan sebesar-besarnya.
Pada dasarnya pandangan teori konflik tentang masyarakat sebetulnya tidak banyak berbeda dari pandangan teori funsionalisme structural karena keduanya sama-sama memandang masyarakat sebagai satu sistem yang tediri dari bagian-bagian. Perbedaan antara keduanya terletak dalam asumsi mereka yang berbeda-beda tentang elemen-elemen pembentuk masyarakat itu. Menurut teori fungsionalisme struktural, elemen-elemen itu fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa berjalan secara normal. Sedangkan teori konflik, elemen-elemen itu mempunyai kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling mengalahkan satu sama lain guna memperoleh kepentingan sebesar-besarnya. Kunci untuk memahami Marx adalah idenya tentang konflik sosial. Konflik sosial adalah pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk merebut aset-aset bernilai. Bentuk dari konflik sosial itu bisa bermacam-macam, yakni konflik antara individu, kelompok , atau bangsa. Marx mengatakan bahwa potensi-potensi konflik terutama terjadi dalam bidang pekonomian, dan ia pun memperlihatkan bahwa perjuangan atau konflik juga terjadi dalam bidang distribusi prestise/status dan kekuasaan politik.
Segi-segi pemikiran filosofis Marx berpusat pada usaha untuk membuka kedok sistem nilai masyarakat, pola kepercayaan dan bentuk kesadaran sebagai ideologi yang mencerminkan dan memperkuat kepentingan kelas yang berkuasa. Meskipun dalam pandangannya, orientasi budaya tidak seluruhnya ditentukan oleh struktur kelas ekonomi, orientasi tersebut sangat dipengaruhi dan dipaksa oleh struktur tersebut. Tekanan Marx pada pentingnya kondisi materiil seperti terlihat dalam struktur masyarakat, membatasi pengaruh budaya terhadap kesadaran individu para pelakunya. Terdapat beberapa segi kenyataan sosial yang Marx tekankan, yang tidak dapat diabaikan oleh teori apa pun yaitu antara lain adalah, pengakuan terhadap adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan diantara orang-orang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran dan berbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, merupakan sesuatu hal yang sangat penting.
Marx lebih cenderung melihat nilai dan norma budaya sebagai ideologi yang mencerminkan usaha kelompok-kelompok dominan untuk membenarkan berlangsungnya dominasi mereka. Selanjutnya, mereka pun berusaha mengungkapkan berbagai kepentingan yang berbeda dan bertentangan yang mungkin dikelabui oleh munculnya konsensus nilai dan norma. Apabila konsensus terhadap nilai dan norma ada, para ahli teori konflik menduga bahwa konsensus itu mencerminkan kontrol dari kelompok dominan dalam masyarakat terhadap berbagai media komunikasi (seperti lembaga pendidikan dan lembaga media massa), dimana kesadaran individu dan komitmen ideologi bagi kepentingan kelompok dominan dibentuk.
Perspektif konflik yang berakar pada pemikiran Karl Marx, betapapun radikalsme diakui sebagai salah satu jalan keluar sehingga sangat erat dengan revolusi, hal ini tidak dimaksudkan menumpahkan darah. George Ritzer misalnya mengatakan bahwa tidak benar kalau Marxisme dikatakan sebagai ideology radikal yang haus darah (a bloodthirsty radical ideology). Marx adalah seorang humanis. Hatinya terluka melihat pnderitaankaum buruh akibat eksploitasi di bawah sistem yang kapitalistik. Rasa kemanusiaan itu mendorongnya untuk mencetuskan keinginan merubah tatanan kapitalistik dalam sistem yang mapan tetapi dalam praktek mengeksplotasi masyarakat. Oleh karena itu, sistem tersebut harus diubah agar menjadi lebih manusiawi. Tetapi hal itu hanya harus mungkinterjadi dalam sistem sosialis. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial.
Karl Marx berpendapat bahwa bentuk-bentuk konflik yang terstruktur antara berbagai individu dan kelompok muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi. Sampai pada titik tertentu dalam evolusi kehidupan social manusia, hubungan pribadi dalam produksi mulai menggantikan pemilihan komunal atas kekuatan-kekuatan produks. Dengan demikian masyarakat terpecah menjadi kelas-kelas social berdasarkan kelompok-kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki kekuatan-kekuatan produksi. Jadilah kelas dominan menjalin hubungan dengan kelas-kelas yang tersub-ordinasi dalam sebuah proses eksploitasi ekonomi.
Teori Marx di atas memandang eksistensi hubungan pribadi dalam produksi dan kelas-kelas social sebagai elemen kunci dalam banyak masyarakat. Ia juga berpendapat bahwa pertentangan antara kleas dominan dan kelas yang tersubordinasi memainkan peranan sentral dalam menciptakan bentuk-bentuk penting perubahan social. Sebenarnya sebagaimana yang ia kumandangkan, sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga kini adalah sejarah pertentangan-pertentangan kelas. Marx menghadirkan suatu analisis yang kompleks dan masih relevan tentang dasar-dasar historis ketidaksetaraan di dalam kapitalisme dan bagaimana cara mengubahnya. Walaupun teori-teorinya terbuka untuk berbagai interpretasi, namun kita tidak mencoba untuk menghadirkan interpretasi tentangnya yang membuat teori-teorinya konsisten dengan studi-studi historis aktualnya.
Marx percaya bahwa masyarakat terbentuk di sekeliling kontradiksi-kontadiksi yang hanya bisa di selesaikan melauli perubahan sosial yang aktual. Salah satu kontradiksi mendasar yang di lihat Marx adalah antara sifat dasar manusia dan syarat-syarat kerja di dalam kapitalisme. Bagi Marx sifat dasar manusaia dikaitkan dengan kerja yang mengekspresikan dan mentranfomasikan hakikat kita. Dibawah kapitelisme, kerja kita kita dijual sebagai komoditas, dan hal lain menyebabkan kita teraliensi dari aktivitas produktif kita. Analisis marx terhadap masyarakat kapitalis. Kita mulai dengan konsep sentral tentang komoditas-komoditas, kemudian melihat kontradiksi antara nilai-guna komoditas tersebut dan nilai-tukarnya. Di dalam kapitalisme, nilai komoditas tukar cenderung melebihi penggunaanya yang aktual di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia, oleh karena itu, komoditas-komoditas mulai tampak terpisah dari kerja manusia dan kebutuhan manusia dan pada akhirnya tampak menjadi berkuasa atas manusia. Marx menyebut hal ini dengan fetisisme komoditas. Fetisisme ini merupakan suatu bentuk reifikasi, dan pengaruhnya lebih dari sekedar terhadap komoditas-komoditas: secara khusus, mempengaruhi sistem ekonomi yang mulai terlihat seperti kekuatan objektif dan nonpolitis yang menentukan kehidupan manusia. Karena refikasi ini, kita tidak melihat bahwa ide kapital memuat suatu relasi sosial yang kontadiktif antara orang-orang yang mengambil keuntungan dari investasi-investasi dan orang-orang yang bekerja menyediakan nilai-surplus yang membentuk keuntungan. Marx percaya kalau kapitalisme adalah sesuatu yang baik dan bahwa kritik pedasnya terhadap kapitalisme adalah sesuatu yang baik dari sudut kemungkinannya dimasa yang akan datang.
Marx merasa mampu memperkirakan nasib kapitalisme dimasa depan karena dia berpegangan pada pemahaman materialisme historisnya. Dengan fokus pada kekuatan produksi, Marx mampu memperkirakan tren sejarah yang memungkinkanya menentukan di titik-titik mana saja aksi-aksi politik dapat efektif. Aksi dan refolusi politik sangat diperlukan karena relasi produksi dan ideologi menentukan perkembangan kekuatan-kekuatan produksi. Dalam pandangan Marx perubahan-perubahan ini akhirnya akan melahirkan masyarakat komunis.

Noor rachmawaty_tugas 2_max weber

Karya Weber pada dasarnya adalah mengemukakan teori tentang rasionalisasi (Brubaker, 1984). Secara spesifik, berkembangnya brokrasi dalam kapitalisme modern, merupakan sebab-akibat dari rasionalisasi hukum, politik, dan industri. Menurutnya, birokratisasi itu sesungguhnya merupakan wujud dari administrasi yang konkrit dari tindakan yang rasional, yang menembus bidang peradaban Barat, termasuk kedalamnya seni musik dan arsitektur. Kecenderungan totalitas ke arah rasionalisasi di dunia Barat merupakan hasil dari pengaruh perubahan sosial.
Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri khas dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, pembedaan yang diperlakukan tentang subyek dan obyek tidak harus melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis sebab-musabab yang dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial bermula dari suatu perasaan bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian dirangsang oleh rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya perubahan sosial yang diinginkan (Giddens, 1986: 164).
Penggunaan ilmu pengetahuan empiris dan analisis logis dapat memperlihatkan kepada seseorang tentang apa yang dapat dicapainya, atau akibat apa saja yang terjadi selanjutnya, serta membantunya menjelaskan sifat dari ideal-idealnya. Akan tetapi, ilmu pengetahuan itu sendiri sulit untuk menerangkan kepadanya tentang keputusan apa yang harus diambil. Analisis Weber mengenai politik dan tentang logika motivasi politik, didasarkan atas pertimbangan-perimbangan ini. Perilaku politik dapat diarahkan dalam suatu etika dari maksud-maksud pokok atau dalam suatu etika pertanggungjawaban. Perilaku ini pada akhirnya bersifat keagamaan, atau paling tidak memiliki bersama dengan perilaku keagamaan dengan atribut-atributnya yang luar biasa.
Inti dari pembahasan Weber tentang sifat obyektivitas merupakan usaha untuk menghilangkan kekacauan, yaitu yang menurut Weber seringkali dianggap menutupi pertalian yang logis antara pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Arah tujuan tulisan-tulisan empiris dari Weber sendiri—yang tampak dalam Economy and Society—menyebabkan suatu perubahan tertentu dalam penitikberatan di dalam pendirian tersebut. Weber tidak melepaskan pendirian fundamentalnya tentang pemisahan logis dan mutlak antara pertimnbangan-pertimbangan faktual dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Dengan demikian, sosiologi itu sendiri berkaitan dengan perumusan dari prinsip-prinsip umum dan konsepsi-konsepsi jenis umum yang ada hubungannya dengan tindakan sosial. Sebaliknya, sejarah diarahkan ke analisis dan penjelasan sebab-musabab dari tindakan-tindakan, struktur-struktur dan tokoh-tokoh yang khusus dan yang dalam segi budaya memiliki arti penting. (Giddens, 1986: 168-178).
Di sisi lain, Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia ada yang mendominasi, yaitu national spirit (folk spirit). Durkheim menyatakan bahwa memang ada semangat tertentu dalam kelompok yang mengikat sehingga menjadi unit analisis. Asumsi dasar Marx mengenai saling ketergantungan antara pelbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam fungsionalisme Durkheim, Misalnya, pandangan keduanya mengenai pentingnya hasil tindakan yang tidak dimaksudkan, yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh tentang ini, dapat dilihat pula dalam pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan dari investasi kapitalis yang dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi secara tidak disengaja mempercepat krisis ekonomi (Johnson, 1986: 163).
Konvensionalisme dalam Perubahan Sosial Menurut Weber:
Assumption &
Beliefs Concerning
Conventionalism
Max Weber
(1864-1920)
Idealism
Stereotype "Volintarism"
1. The Image
Individual
Positive
2. The Image of
Society
Social Structure:
A Network of Meaning
(The relationships between social actions, the social structures, and institutions of capitalism)
3. The Image
Theory
Verstehen:
Empathy Interpretation
4. Methodological
implications
Qualitative Approach
5. Other Label:
- Purdeu (1986)
- Ritzer (1985)
-Pluralist Paradigm
-Social Definition Paradigm


Hubungan Tentang Agama dan Kapitalisme:
  1. Mempelajari agama dengan mengkritisi kehidupan agama sebagai subyek analisis mendalam.
  1. Melihat adanya spirit agama untuk memobilisir kekuatan ekonomi sebagai bentuk hubungan manusia dengan Tuhan
  1. Verstehen adalah upaya ekploitasi subyektif nilai-nilai perilaku beragama setiap individu anggota masyarakat
  1. Menganggap kapitalisme berasal dari suatu rasionalitas adanya ide keagamaan (irrational callings)—dalam Calvinisme—sehingga orang bekerja keras demi panggilan Tuhan.
  1. Profesional yang tinggi (etos kerja) ini berada dalam semangat kapitalisme dan etika protestan.

Hubungan Antara Agama dan Rasionalitas dengan Perubahan Sosial.
Konsep Perubahan sosial dapat muncul dari dua kubu yang saling mencari pengaruh, yaitu kubu materialisme yang dipelopori oleh Marx dan Durkheim. Dalam proses perubahan sosial, Marx menempatkan kesadaran individu sejajar dengan kesadaran kelas, ideologi dan budaya yang kemudian merupakan medium perantara antara struktur dan individu. Sebab, pada dasarnya, individu itu baik, tetapi masyarakatlah yang membuatnya menjadi jahat. Meskipun Marx dan Weber sama-sama setuju bahwa basis kapitalisme modern adalah produksi masyarakat, akan tetapi Marx mengkhususkan diri dalam kiprahnya, sebab, dinamika sosial adalah faktor penyebab terjadinya konflik total.
Mengenai hubungan Weber dan Marx adalah bahwa ia dipandang lebih banyak bekerja menurut tradisi Marxian ketimbang menentangnya. Karyanya tentang agama (Weber, 1951; 1958a; 1958b), apabila diinterpretasikan menurut sudut pandang ini adalah semata-mata merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, akan tetapi gagasan itu sendiri yang mempengaruhi struktur sosial. Interpretasi karya Weber pada sisi ini jelas menempatkannya sangat dekat dengan teori Marxian. Contoh yang lebih baik dari pandangan bahwa Weber terlihat dalam proses membalikan teori Marxian adalah dalam bidang teori stratifikasi (Ritzer & Goodman, 2003: 36).
Struktur sosial dalam perspektif Weber, didefinisikan dalam istilah-istilah yang bersifat probabilistik dan bukan sebagai suatu kenyataan empirik yang ada terlepas dari individu-individu. Jadi, misalnya suatu hubungan sosial seluruhnya dan secara eksklusif terjadi karena adanya probabilitas, dimana akan ada suatu arah tindakan sosial dalam suatu pengertian yang dapat dimengerti secara berarti. Suatu keteraturan sosial yang absah didasarkan pada kemungkinan bahwa seperangkat hubungan sosial akan diarahkan ke suatu kepercayaan akan validitas keteraturan itu. Dalam semua hal ini, realitas akhir yang menjadi dasar satuan-satuan sosial yang lebih besar ini adalah tindakan sosial individu dengan arti-arti subyektifnya. Karena orientasi subyektif individu mencakup kesadaran akan tindakan yang mungkin dan reaksi-reaksi yang mungkin dari orang lain.
Weber juga mengakui pentingnya stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas perubahan. Baginya, kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup yang sama dalam bidang ekonomi. Menurutnya, kita dapat bicara tentang suatu kelas apabila: (1) sejumlah orang sama-sama memiliki sumber hidup mereka sejauh; (2) komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi berupa kepemilikan benda-benda dan kesempatan memperoleh pendapatan yang terlihat dalam; (3) kondisi-kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja (Johnson, 1986: 222).
Weber memandang Marx dan para penganut Marxis pada zamannya sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan teori-teori berpenyebab tunggal tentang perubahan sosial. Artinya, teori Marxian dilihat oleh Weber sebagai upaya pencarian semua perkembangan historis pada basis ekonomi dan memandang semua struktur kontemporer dibangun di atas landasan ekonomi semata. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang menggangu pikiran Weber adalah pandangan yang mengatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi kepentingan materil (terutama kepentingan ekonomi), dan bahwa kepentingan materi menentukan ideologi (Ritzer & Goodman, 2003: 35).
Weber mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), Weber membahas pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Ia memusatkan perhatian pada Protestanisme terutama sebagai sbuah sistem gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang lain, yaitu semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi kapitalis. Weber mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, dengan mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing (Weber, 1951; 1958). Berdasarkan karya-karya Weber ini, kesimpulannya adalah bahwa Weber mengembangkan gagasan yang bertentangan dengan gagasan Marx.
Konsep legitimasi keteraturan sosial mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik, dan agama, serta interpretasinya mengenai perubahan sosial. Stabilitas keteraturan sosial yang absah, menurut Weber, tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja atau pada kepentingan dari individu yang terlibat. Artinya, uniformitas perilaku tidak diperkuat oleh sanksi eksternal. Justru sebaliknya, hal ini didasarkan pada penerimaan individu akan norma-norma atau peraturan-peraturan yang mendasari keteraturan itu sebagai sesuatu yang dapat diterima atau yang diinginkan (Giddens, 1986).
Otoritas legal rasional tersebut di atas, diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber yang sangat terkenal mengenai organisasi birokratis berbeda dengan sikap yang umumnya terdapat pada masa kini, yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak efisien, boros, dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang didasarkan pada keluarga besar dan hubungan pribadi, Weber melihat birokrasi modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis, dan dapat diramalkan. Walaupun organisasi birokratis yang sebenarnya tidak pernah sepenuhnya mengabaikan timbulnya hubungan-hubungan pribadi, namun stidaknya sebagian besar analisa Weber mengenai birokrasi ini mencakup karakteristik-karakteristik yang istimewa, dan dipandang sebagai tipe yang ideal (Johnson, 1986: 226).

Teori Rasionalitas Perubahan Sosial Max Weber (1864-1920) adalah sebagai berikut:
  1. Traditional RationalityTujuannya adalah perjuangan nilai yang berasal dari tradisi kehidupan masyarakat (sehingga ada yang menyebut sebagai tindakan yang non-rational).
  2. Value Oriented Rationality: Suatu kondisi dimana masyarakat melihat nilai sebagai potensi hidup, sekalipun tidak aktual dalam kehidupan keseharian.
  3. Affective Rationality: Jenis Rational yang bermuara dalam hubungan emosi yang sangat mendalam, dimana ada relasi hubungan khusus yang tidak dapat diterangkan di luar lingkaran tersebut.
  4. Purpossive RationalityTujuannya adalah "tindakan" dan "alat" dari bentuk rational yang paling tinggi yang dipilihnya"Etika Protestan" dan "Semangat "Kapitalisme".
Inti Teori Weber tentang perubahan sosial adalah terletak pada:
  1. Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia ada yang mendominasi, yaitu national spirit (folk spirit). Durkheim juga menyatakan bahwa memang ada semangat tertentu dalam kelompok yang mengikat sehingga menjadi unit analisis (analisis parameter)
  2. Berbeda dengan Weber yang menyatakan bahwa sebelum terjadinya teknologi terlebih dahulu telah terjadi perubahan gagasan baru dalam pola pemikiran masyarakat, dalam pemikiran Marx justru sebaliknya.
  3. Marx dan Weber sama-sama setuju bahwa basis kapitalisme modern adalah produksi masyarakat.

Cari Blog Ini