Senin, 22 September 2014

Ferdy Rizky Saputra_KPI/5E_Etika dan Filsafat Komunikasi

A.    ETIKA DAN ETIKET

Pengertian Etika

Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah "Ethos", yang berarti sikap, cara berfikir, watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya identik atau berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu "Mos" dan dalam bentuk jamaknya "Mores", yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin¬dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika merupakan cabang dari filsafat etika mencari ukuran baik buruk'a dari tingkah laku manusia. Etika adalah ajaran atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan kebiasaan baik atau buruk yang diterima umum mengenai sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya.

            Etika adalah merupakan suatu cabang ilmu filsafat, tujuannya adalah mempelajari perilaku, baik moral maupun immoral dengan tujuan membuat pertimbangan yang cukup beralasan dan akhirnya sampai pada rekomendasi yang memadai yang dapat diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu.

 

Pengertian Etiket


            Etiket adalah prilaku yang dianggap pas, cocok, sopan dan terhormat dari seseorang yang bersifat pribadi seperti gaya makan, gaya berpakaian, gaya berbicara, gaya berjalan, gaya duduk, gaya tidur. Namun karena etiketseseorang menghubungkannya dengan pihak lain, maka menjadi peraturan sopan santun dalam pergaulan dan hidup bermasyarakat.

 

Perbedaan antara Etika dengan etiket:

  • Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan trtentu. Sedangkan etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika juga menyangkut maslah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukakn atau tidak boleh dilakukan
  • Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Sedangkan etika selalu berlaku walaupun ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa.
  • Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopa dalam sebuah kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Sedangkan etika jauh lebih absolut. Perintah seperti "jangan berbohong", "jangan mencuri" merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.
  • Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan setika memandang manusia dari segi dalam. Penipuan misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidk mungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak berskapetis orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik

B.     MORAL DAN MORALITAS

Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata 'moral' yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata 'etika', maka secara etimologis, kata 'etika' sama dengan kata 'moral' karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata 'moral' sama dengan kata 'etika', maka rumusan arti kata 'moral' adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu 'etika' dari bahasa Yunani dan 'moral' dari bahasa Latin.

 

 'Moralitas' (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan 'moral', hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang "moralitas suatu perbuatan", artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

 

C.    AMMORAL DAN IMMORAL

            Kata "amoral" dalam Concise Oxford Dictionary diartikan sebagai "unconcerned with, out of the sphere of moral, non-moral". Jadi, amoral berarti "tidak berhubungan dengan konteks moral", "di luar suasana etis", "non-moral".

Kata "immoral" dalam kamus yang sama dimaknai sebagai "opposed to morality; moralyy evil". Jadi, immoral berarti "bertentangan dengan moralitas yang baik", "secara moral buruk", "tidak etis".

Much Mugni Noorrachman (NIM. 11.12.051.000.104) – KPI 5D 2014 – Etika dan Filsafat Komunikasi – Tugas I “Etika I”

Much Mugni Noorrachman (NIM. 11.12.051.000.104) – KPI 5D 2014 – Etika
dan Filsafat Komunikasi – Tugas I "Etika I"

بسم الله الرّحمٰن الرّحيم
Etika I: Seputar Istilah dan Kerancuan Istilah: Etika dan Moral,
Ammoral dan Immoral, Etika dan Etiket, Moralitas, Subyektif, dsb.
Membedakan antara: Etika Diskriptif, Etika Normatif, dan Metaetika,
Hakikat Etika Filosofis.
++ SEPUTAR ISTILAH
Etika dan Moral
Etika; Ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh
akal pikiran.
Moral; sesuai dengan ide-ide umum diterima tentang tindakan manusia,
mana yang baik dan wajar. Sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang
oleh umum diterima yang meliputi sosial atau lingkungan tertentu.
Ammoral dan Immoral
Ammoral; sama artinya dengan non moral adalah sesuatu yang tidak
berhubungan dengan konteks moral, diluar suasana etis. Menurut kamus
Bahasa Indonesia, tidak bermoral berarti tidak berakhlak. Sedangkan
dalam sudut bhasa latin, netral dari sudut moral atau tidak mempunyai
relevansi etis.
Immoral; tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh seseorang
walaupun orang tersebut sudah tahu bahwa hal tersebut memang salah dan
tetap melakukannya. Contohnya adalah pencuri. Sudah tahu mencuri
adalah tindakan yang buruk, tetap saja dilakukan.
Etika dan Etiket
Etika dan etiket adalah hal yang menyangkut perilaku manusia. Namun,
kedua-duanya memiliki perbedaan. Etika selalu berlaku walaupun tidak
ada saksi mata, sedangkan etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Etiket
tidak berlaku saat tidak ada orang lain atau saksi mata yang melihat.
Etika bersifat jauh lebih absolut atau mutlak, etiket bersifat
relative. Etika memandang manusia dari segi dalam, etiket hanya
memandang manusia dari segi lahiriah saja. Etika Memberi norma tentang
perbuatan itu sendiri, etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus
dilakukan oleh manusia.
Moralitas
Moralitas; berasal dari kata dasar "moral" berasal dari kata "mos"
yang berarti kebiasaan. Kata "mores" yang berarti kesusilaan, dari
"mos", "mores". Moralitas yang secara dapat dipahami sebagai suatu
tata aturan yang mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan
kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya yang
boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu
azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup bermasyarakat.
Subyektif
Subyektif; pemikiran relatif, di mana pendapat tersebut benar bagi
dirinya dan belum tentu bagi orang lain (tidak universal).

++ SEPUTAR ETIKA
Etika Deskriptif
Etika Deskriptif; cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas,
seperti adat kebasaan, anggapan tentang baik dan buruk, tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari
moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau subkultur
tertentu. Oleh karena itu, etika deskriptif tidak memberikan pemikiran
apa pun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral.
Etika Normatif
Etika Normatif; berarti sistem-sistem yang dimaksud untuk memberikan
petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik
atau buruk. (Lauren Bagus, Kamus Filasafat, 1996: 217).
Metaetika
Metaetika; kajian etika yang ditunjukan pada ungkapan-ungkapan etis.
Bahasa etis atau bahasa yang digunakan dalam bidang moral dikaji
secara logis. Metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitan
dengan 'baik' atau 'buruk.' Perkembangan lebih lanjut dari metaetika
adalah fisafat analitis.
Hakikat Etika Filosofis
Hakikat Etika Filosofis; adalah dasar ilmu yang menanamkan tentang
sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang
mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar
dan penilaian.

++SUMBER
1. Dr. Hamzah Ya'qub, "Etika Islam, Pembinaan Akhlaqulkarimah (suatu
pengantar)," cetakan IV, CV Diponegoro, Bandung: 1988.
2. Muhamad Mufid, "Etika dan Filsafat Komunikasi," Kencana, Jakarta: 2009.
3. Prof. Dr. Nina W. Syam, M.S., "Filasafat sebagai Akar Ilmu
Komunikasi," Simbiosa Rekatama Media, Bandung: 2010.

Dauatus Saidah_PMI 3_Tugas 2_Urbanisasi dan Budaya Perkotaan

Nama: Dauatus Saidah
Nim : 1113054000016
Jurusan : PMI 3
Judul : Urbanisasi dan Budaya perkotaan
Kepadatan Penduduk Sebagai Akar dari Permasalahan Kota Jakarta

Berbicara mengenai permasalahan perkotaan di Indonesia, pikiran kita tidak bisa terlepas dari Jakarta. Jakarta adalah contoh yang sangat pas untuk membahas sebuah – permasalahan dalam kota. Khususnya masalah kepadatan penduduk. Masih jelas di kepala kita, beberapa waktu yang lalu banyak isu yang menyebutkan bahwa ada rencana pemindahan ibu kota Republik Indonesia. Kenapa? Karena Ibu kota yang sekarang dinilai tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai ibu kota. Ada alasan yang begitu rumit untuk dijelaskan bahkan, aparat yang katanya pemimpin kota dan negeri ini pun kelimpungan dan terkesan ngumpet-ngumpet ketika ditanyakan mengenai kota yang amat sembrawut ini. Tidak hanya mengenai pemindahan kota Jakarta, tetapi yang lebih mengerikan dari pada itu adalah ada wacana yang disebutkan para ahli bahwa 2080 ada kemungkinan Jakarta akan tenggelam. Tidak heran jika Koran Jakarta Post edisi Jumat, 08/21/2010 juga memperjelas hal tersebut mungkin akan terjadi, karena hari-hari ini pun kerap terjadi banjir di Jakarta.

Untuk itu, baik buat kita sekalian untuk mengerti arti dari sebuah kota. Kota. Sangat sulit mendefinisikan kota secara umum, Pakar Perkotaan Gino Germani pun sepakat dengan hal itu. Untuk dapat mendefinisikan kota harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Misalnya Gino Germani, ia mengatakan bahwa kota itu dapat dilihat dari dua sudut. Pertama demografis, yaitu bahwa kota itu pasti dihuni oleh penduduk yang relative besar. Kedua sosiologis, yaitu dilihat dari banyak aspek seperti hukum (Athena dan Sparta), ekonomi (Pusat Industri) dan social (personal). Jika pendapat ini dihubungkan dengan Jakarta, maka Jakarta dapat dikatakan sebagai akumulasi dari semua aspek tersebut. Jakarta sebagai pusat ekonomi, social, budaya, hukum pemerintahan dan juga politik. Jakarta menjadi pusat segala peradaban yang terjadi di Indonesia. Semuanya ada di Jakarta. Masyarakat Indonesia memandang Jakarta sebagai tambang emas, karena semuanya ada di Jakarta. Oleh karena itu banyak para urban berbondong-bondong ke kota ini dengan tujuan dapat merubah kondisi perekonomian di desa.
 
Jakarta dalam Surat kabar The Jakarta Post (edisi Jumat, 21 Agustus 2010) menyebutkan bahwa penduduk Jakarta berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Menurut hasil sensus nasional terakhir, ibu kota dihuni oleh hampir 9,6 juta orang melebihi proyeksi penduduk sebesar 9,2 juta untuk tahun 2025. Populasi kota ini adalah 4 persen dari total penduduk negara, 237.600.000 orang.
 
Dengan angka-angka ini, kita dapat melihat bahwa populasi kota telah tumbuh 4,4 persen selama 10 tahun terakhir, naik dari 8,3 juta pada tahun 2000. Apa yang dikatakan angka-angka ini? "Ibukota telah kelebihan penduduk." Pada tingkat ini, Jakarta memiliki kepadatan penduduk 14.476 orang per kilometer persegi. Sebagai akibatnya, para pembuat kebijakan kota perlu merevisi banyak target pembangunan kota ini, termasuk penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, perumahan, kesehatan dan infrastruktur, sebagai peredam masalah pada saat kota sudah mengalami kepadatan penduduk yang sangat menghawatirkan.


PENYEBAB

Jumlah penduduk ditentukan oleh : 1. Angka kelahiran 2. Angka kematian 3. Perpindahan penduduk, yang meliputi :a. Urbanisasi, b. Reurbanisasi, c. Emigrasi, d. Imigrasi, yaitu e. Remigrasi, f. Transmigrasi. Yang menjadi focus penyebab kepadatan penduduk Jakarta saat ini adalah adalah Urbanisasi. Dimana, fakta berbicara bahwa penduduk kota Jakarta mayoritas adalah para urban. Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta 2010 mengatakan bahwa jumlah penduduk Jakarta bertambah sebanyak 134.234 jiwa per tahun. Jika tidak ada program dari pemerintah untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, maka pada 2020 Jakarta akan menjadi lautan manusia. Kenapa mereka berurbanisasi ke Jakarta?
 
Ada banyak faktor yang memicu urbanisasi misalnya; modernisasi teknologi, rakyat pedesaan selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang ada di kota besar sehingga semakin mendorong mereka meninggalkan kampungnya. Pendidikan. Faktor pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap melunjaknya jumlah penduduk. Universitas terbaik di Indonesia baik negeri maupun swasta ada perkotaan termasuk di Jakarta. Lapangan Kerja. Jakarta sebagai kota besar dan berpenduduk banyak tentunya sangat menjanjikan untuk orang-orang kecil yang berniat untuk mencari sesuap nasi dikota ini mulai dari pedagang kaki lima (PKL), pedagang asongan, tukang ojek, tukang sngat menjanjikan untuk hidup.emir sepatu, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, office boy, satpam, sopir, kondektur dll yang penting bisa bekerja tanpa nmempunyai keahlian khusus. Jika ditambah dengan orang-arang yang berkeahlian khusus yang didatangkan dari luar kota maupunh luar negeri untuk bekerja di Jakarta. Pusat Hiburan. Jakarta merupakan magnet dan pintu gerbang Indonesia. Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri sebagai kota Jakarta dekat dengan tempat – tempat hiburan yang sperti mall, pantai indah kapuk, dufan, pantai Tidung, sea world dan banyak arena-arena yang lainnya yang tidak ada di kota-kota lain di Indonesia.

DAMPAK

Pasti ada dampak dari suatu hal yang berlebihan begitu pula overloadnya Jakarta. Kesesakan yang diakibatkan oleh berlebihannya pendduduk Jakarta mengakibatkan; Sifat Konsumtif, Kekumuhan kota, Kemacetan lalu lintas, Kriminalitas yang tinggi, Struktur kota yang berantakan, isu Jakarta tenggelam, Banjir, pelebaran kota dengan tata kota yang tidak baik, melonjaknya sector informal, terjadinya kemerosotan kota, dan pengembangan industry yang menghasilkan limbah.
 
Dalam hal perbaikan, pemerintah Jakarta memang mengambil langkah-langkah untuk membatasi urbanisasi. Pemerintah mengeluarkan peraturan yang membatasi masuknya migran ke kota, dengan hanya mereka yang telah dijamin pekerjaannya diijinkan untuk tinggal di kota, sementara petugas dari lembaga ketertiban umum kota sering melakukan serangan terhadap warga ilegal.
 
Semua upaya untuk mengekang tingkat kelahiran di kota itu akan menjadi tidak berarti jika kita tidak dapat membatasi urbanisasi. Untuk mengatasi masalah ini, Jakarta tidak bisa bekerja sendiri karena masih ada faktor yang mendorong urbanisasi dari berbagai daerah. Namun Semua masalah ini hanya bisa dipecahkan jika ada kemauan politik dari pemerintah pusat untuk menangani masalah mengurangi kesenjangan antara Jakarta dan provinsi-provinsi lainnya.
·         Teori Durkheim
Sesuai perspektif atau paham Durkheim akan struktural yang satu sama lainya akan bergantungan. Menurut kasus perkotaan di atas menjelaskan bahwa setiap perkotaan memiliki masalah yang dihadapi, apalagi itu mengenai ibu kota dalam suatu Negara. Permasalahan perkotaan di Jakarta adalah kepadatan penduduknya, yang bisa memunculkan permasalahan yang lain. Jadi, apabila tidak adanyakepadatan penduduk baik dari 1. Angka kelahiran tinggi 2. Angka kematian rendah 3. Peningkatan Perpindahan penduduk, yang meliputi :a. Urbanisasi, b. Reurbanisasi, c. Emigrasi, d. Imigrasi, yaitu e. Remigrasi, f. Transmigrasi. Maka tidak aka nada pemasalahan dalam prkotaan.
·         Teori Marx Weber
Menurut Marx Weber dalam tindakan social dengan masalah perkotaan di atas adalah suatu komunikasi antara pemerintahan dengan masyarakat, baik permasalahan ekonomi, lalu lintas dan lain-lain. Dengan adanya komunikasi di antara keduanya maka akan terlihat komunikasi social dalam perkotaan.
·         Teori Karl Marx
Dari teorinya tentang kelas social dalam perkotaan. Bisa terbilang dalam penempatan pemerintahan kota Jakarta. Baik dari gubernur, wali kota, dan lain-lain. Penempatan dalam pemerataan pembangunan gedung juga harus di tata dengan tempatnya masing-masing. Seperti Mall, gedung perusahaan, dan perumahan warga. Semua sudah memiliki kelasnya untuk penempatanya.

Lilis. okviyani . PMI V . tugas demografi

Nama: Lilis. Okviyani

Nim: 1112054000002

Pengembangan Masyarakat Islam ( V)

Demografi


Studi kependudukan terdiri dari analisa-analisa yang bertujuan dan mencakup :

1.      Informasi dasar tentang distribusi penduduk, karakteristik , dan perubahan-perubahannya.

2.      Menerangkan sebab-sebab perubahan dari faktor dasar tersebut.

3.      Menganalisa segala konsekuensi yang mungkin sekali terjadi di masa depan sebagai hasil perubahan-perubahan itu.

Kata demografi berasal dari Greek ( Yunani) yang untuk pertama kali digunakan oleh Guillard lebih dari seabad yang lalu, digunakan sebagai sinonim bagi Population study. Sedangkan kata population study bersumber dari bahasa Latin. Demografi adalah studi ilmiah terhadap penduduk manusia , terutama mengenai jumlah , struktur , dan perkembangannya. Sementara menurut Bogue, demografi adalah studi matematik dan statistik terhadap jumlah , komposisi , dan distribusi spasial dari penduduk manusia dan perubahan-perubahan dari aspek –aspek tersebut yang senantiasa terjadi sebagai akibat bekerjanya lima proses, yaitu: fertilitas, mortalitas, perkawinan, migrasi dan mobilitas sosial.

Robert Thomas Malthus ( 1766-1834) terkenal sebagai pelopor ilmu kependudukan ( population study) sebagian dari rentetan perkembangan demografi yang dimulai sejak pertengahan abad ke 17. Dalam tulisan esay yang populer dengan sebutan Prinsip Kependudukan ( 1798), Malthus memulai dengan merumuskan dua postulat, yaitu:

1.      Bahwa pangan dibutuhkan untuk hidup manusia , dan

2.      Bahwa kebutuhan nafsu seksuil antar jenis kelamin akan tetap sifatnya sepanjang masa.

Atas dasar postulat tersebut, Menurut Malthus ada pengekangan, kecenderungan pertambahan jumlah manusia akan lebih cepat dari pertambahan pangan. Namun abad ke 19 teori Malthus semakin melemah karena timbul kesadaran bahwa ekspoitasi sumber daya dunia ada batasnya. Jika cepatnya penduduk dunia berlangsung terus pada suatu saat akan melampaui kemampuan dunia menyediakan berbagai kebutuhan untuk mendukung suatu tingkat hidup yang lebih layak.

Komponen sederhana  untuk mengestimasi jumlah penduduk jika tersedia data sensus  penduduk dan data registrasi kelahiran,  kematian dan perpindahan penduduk:

 Pt =P0 + ( B-D) + Mi –Mo)

Teori transisi demografi dan aliran –aliran pemikiran mengenai kependudukan

1.      Tahap I ( pre Industrial)

Pertumbuhan penduduk sangat rendah yang dihasilkan oleh perbedaan angka kelahiran dan kematian yang tinggi, sekitar 40-50 per 1.000 penduduk.

2.      Tahap II ( early industrial )

Angka kematian menurun dengan tajam  akibat revolusi industri serta kemajuan teknologi dan juga mulai ditemukannya obat-obatan , terutama antibiotik penisilin.

3.      Tahap III ( industrial)

Angka kematian terus menurun dengan kecepatan yang melambat.

4.      Tahap IV ( mature industrial)

Kelahiran dan kematian sudah mencapai angka yang rendah sehingga angka pertumbuhan penduduk juga rendah, yang dihasilkan dalam kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang maju.

Dalam arah perkembangan teori kependudukan ini seperti pemikiran Caldwell yang mengemukakan bahwa ada dua tipe renzim fertilitas, yaitu pertama, tipe renzim dimana individu-individu tidak memperoleh keuntungan ekonomis dengan membatasi fertilitas. Kedua, merupakan renzim yang sering atau kemungkinan besar memberikan  keuntungan ekonomis bagi individu-individu yang membatasi fertilitas.

Sejarah perkembangan penduduk dunia dan Indonesia

Angka –angka perkembangan penduduk dunia pada berbagai periode

Sejak munculnya manusia hingga masa permulaan sejarah, reit perkembangan penduduk dunia mungkin hanya sekitar 0,002 persen pertahun  atau 20 juta per tahun.  Fenomena ledakan penduduk ( cepat) muncul pada abad-abad terakhir. Dengan perkembangan sekitar 1, 7 persen per tahun. Jika pada permulaan tahun masehi penduduk bumi ditaksir hanya sekitar 250 juta, dan pada tahun 1650 baru menjadi sekitar 500 juta , pada tahun 1975 mencapai 4 milyar , dan pada tahun 1987 menjadi 5 milyar. Perkembangan penduduk yang cepat sedang terjadi di negara yang sedang berkembang. Sekitar 71 persen penduduk dunia tinggal di wilayah  negara berkembang.

Perkembangan penduduk jawa abad ke 19

Jumlah penduduk jawa hasil perkiraan atau perhitungan antara tahun 1795-1900 semakin meningkat dari 1, 25 persen menjadi 1, 86 persen. Menurut Breman berpendapat bahwa angka-angka pertambahan penduduk Jawa abad ke 19 mengalami pertambahan penduduk yang sangat cepat.

Penduduk  Indonesia di abad ke 20

Pada zaman Indonesia sebelum merdeka pengumpulan data jumlah penduduk yang lebih seksama mencakup seluruh wilayah  pada tahun 1920 sebanyak 49,3 juta dan jawa 35, 0 juta. Dalam masa 60 tahun terakhir antara 1930-1990 jumlah penduduk Indonesia hampir menjadi tiga kali lipat .

 

Daftar Pustaka

Rusli, Said. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES

 

 

Wita Eka Sucita (NIM. 112051000126) - KPI 5E 2014 - Etika dan Filsafat Komunikasi -  Tugas 1 "Etika 1"
Seputar Istilah dan Kerancuan Istilah: Etika dan Moral, Amoral dan Immoral, Etika dan Etiket, Moralitas, Subyektif,dst. Membedakan antara: Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan MetaEtika; Hakikat Etika Filosofis
Etika berasal dari kata ethos (bahasa yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan, atau adat. Sebagai suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, baik atau buruk. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Etika adalah refleksi dari "self control", karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok itu sendiri. Pendapat lain bahwa etika berasal dari bahasa inggris yang disebut dengan ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or rules of behaviour, atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berprilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud, ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern of influence a person's behaviour, prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh prilaku pribadi. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini "etika" berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah "etika" yang oleh Aristoteles (384-322 SM) dipakai untuk menunjukan filsafah moral.
Moral menurut definisinya antara lain hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau norma. Saran untuk mengukur benar atau tidaknya tindakan manusia. Menurut Helden dan Richard "Kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan aturan" (Helden dan Richard: 1997). Sedangkan menurut Atkinson pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan manusia (Atkinson:1969). Penerimaan sebuah nilai erat kaitannya dengan upaya-upaya rasinal manusia dalam mencari pembuktian-pembuktian yang meyakinkan dirinya akan kebenarannya, sehingga ia pun dapat hidup dengan cara yang baik dan pantas setiap saat. Oleh karena itu, pernyataan spesifik apa yang disebut "yang baik " dan "yang buruk", "apa yang pantas" dan "apa yang tidak pantas".serta bagaimana cara mengetahuinya merupakan persoalan yang urgen untuk dijawab untuk melihat aktivitas pembenaran moral yang sesungguhnya bagi manusia.
Etika dan etiket menyangkut prilaku manusia istilah tersebut dipakai mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket. Kedua-duanya mengatur manusia secara normatif artinya memberi norma bagi prilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Justru karena keduanya bersifat nomatif maka keduanya sering dicampur adukan. Perbedaan yang sangat mendasar terletak pada cara melakukan perbuatan manusia. Etiket menunjukan cara yang tepat artinya cara yang tepat dan diharapkan, sedangkan etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan. Etika menyangkut apakah perbuatan itu boleh dilakukan.
Komunikasi hampir menyentuh semua aspek kehidupan keseharian manusia. Sebelum lebih jauh membahas tentang etika itu sendiri mari kita terlebih dahulu mengungkapkan etika yang berhubungan langsung dengan komunikasi. Etika dibagi menjadi tiga, yaitu etika deskriptif, etika normatif dan metaetika. Etika deskriptif adalah etika yang mendeskritifkan tingkah laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, anggapan baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Objek penelitiannya adalah individu dan kebudayaan. Etika normatif dalam hal ini, seseorang dapat dikatakan sebagai participation approach karena yang bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang prilaku manusia. Ia tidak netral karena berhak untuk mengatakan atau menolak etika tertentu. MetaEtika yang berkata awalnya meta (Yunani) berarti melebihi atau melampaui. MetaEtika sendiri bergerak seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada prilaku etis, yaitu taraf "bahasa etis" atau bahasa yang digunakan di bidang moral.
Pengertian filsafat dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Menurut Surajiyo Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan terminologi. (Surajiyo: 2010). Dalam bahasa Yunani kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata, yakni "philo" yang berarti "cinta" dan "sophos" yang berarti "kebijaksanaan". Dengan demikian, secara etimologi filsafat mempunyai arti "cinta akan kebijaksanaan" (love of wisdom). (Muhamad Mufid: 2009) Jadi, menurut namanya, filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, cinta kepada kebijaksanaan. (M. Ahmad Syadalim: 1999) Kata filsafat petama kali digunakan oleh pythagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada saat itu belum jelas, kemudian pengertian filsafat itu diperjelas seperti halnya yang banyak dipakai sekarang ini oleh para kaum sophist dan juga oleh Socrates (470-399 SM). Etika disebut juga filsafat moral, merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, tetapi mempersoalkan cara manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma hukum, norma moral, norma agama, dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral berasal dari suara hati, dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari.

Referensi :
Drs. A. Ilham Macmud, Dipl. Sci., Apt dan Drs. Frans A. Rumate, Apt. Etika dan Prilaku, Universitas Hasanudin, 2005
H. Aang Ridwan,M. Ag, Filsafat Komunikasi, Bandung: Pustaka Setia, 2013

Tugas Etika dan Filsafat I (KPI 5 C)

Tugas Etika dan Filsafat I (KPI 5 C)

Muhammad Arif Fathurrahman_KPI 5E_Etika dan Filsafat

Nama : Muhammad Arif Fathurrahman
NIM : 1112051000154
Kelas : KPI/5E

Etika dan Etiket
Etika mengandung tiga pengertian, yaitu:
1.      Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai/norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2.      Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral, misalnya kode etik.
3.      Etika merupakan ilmu tentang baik atau buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis (Rizal, dkk, 2001: 29)
Perbedaan etika dan etiket
Kadang dalam kehidupan sehari-hari, batas antara etika dan etiket bisa sangat tipis. Padahal dua terminologi tersebut sangat berbeda satu sama lain, meskipun di sana sini tetap masih ada persamaan antara etika dan etiket. Persamaannya adalah bahwa etika dan etiket menyangkut tindakan dan perilaku manusia, etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif.
Sementara itu ada beberapa perbedaan pokok antara etika dan etiket (lihat Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004: 257):
1.      Etika menyangkut cara perbuatan yang harus dilakukan oleh seorang atau kelompok tertentu. Etiket memberikan dan menunjukkan cara yang tepat dalam bertindak. Sementara itu, etika memberikan norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut apakah suatu perbuatan bisa dilakukan antara ya dan tidak.
2.      Etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial. Jadi etiket selalu berlaku ketika ada orang lain. Sementara itu, etika tidak memerhatikan orang lain atau tidak.
3.      Etiket bersifat relatif. Dalam arti bahwa terjadi keragaman dalam menafsirkan perilaku yang sesuai dengan etiket tertentu. Etika jauh lebih bersifat mutlak. Prinsip etika bisa sangat universal dan tidak bisa ada proses tawar menawar.
4.      Etiket hanya menyangkut segi lahiriah saja. Sementara, etika lebih menyangkut aspek internal manusia. Dalam hal etiket, orang bisa munafik. Tetapi dalam hal dan perilaku etis, manusia tidak bisa bersifat kontradiktif.
 
Moral dan Moralitas
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata 'moral' yaitu mos  sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata 'etika', maka secara etimologis, kata 'etika' sama dengan kata 'moral' karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata 'moral' sama dengan kata 'etika', maka rumusan arti kata 'moral' adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu 'etika' dari bahasa Yunani dan 'moral' dari bahasa Latin.
'Moralitas' (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan 'moral', hanya ada nada lebih abstrak. Berbicara tentang "moralitas suatu perbuatan", artinya segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya perbuatan tersebut. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
 
Ammoral dan Immoral
Amoral sama artinya dengan non moral adalah sesuatu yang tidak berhubungan dengan konteks moral, diluar suasana etis. Menurut kamus Bahasa Indonesia, tidak bermoral berarti tidak berakhlak. Sedangkan dalam sudut bhasa latin, netral dari sudut moral atau tidak mempunyai relevansi etis.
Immoral menurut Concise Oxford Dictionary adalah sesuatu yang bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis.

Tugas sosiologi perkotaan ke-2

Nama: Mir'atun Nisa'
Nim: 1113054000038
Tugas ke-2 Urbanisasi dan budaya perkotaan
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. Perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni migrasi penduduk dan mobilitas penduduk. Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota, sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara saja atau tidak menetap.
Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya..
Urbanisasi Penduduk Desa Jetis
Desa Jetis merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Terletak kira-kira sejauh dua kilometer di sebelah utara kota kecamatan, dan enam kilometer di sebelah selatan kota kabupaten, sedangkan dengan Kota Solo kira-kira berjarak 20 kilometer. Dari segi transportasi, ada beberapa jalur jalan yang menghubungkan desa Jetis dengan desa-desa di sekitarnya. Sebagian prasarana jalan tersebut telah diaspal, dan sebagian lain berupa jalan makadam.
Seperti umumnya desa-desa di Jawa, Jetis adalah desa pertanian. Menurut data monografi desa, luas Desa Jetis adalah 256, 77 hektar, terdiri dari: (1) persawahan 89,92 hektar; (2) pekarangan/pemukiman 89,48 hektar; (3) tegalan 67,81 hektar; dan (4) lain-lain (jalan, sungai, dsb) seluas 3,53 hektar. Apabila jumlah kepala keluarga di Desa Jetis ada 632 kk, maka rata-rata pemilikan tanah bagi setiap keluarga adalah 0,37 hektar, dan bila jumlah penduduknya ada 3427 orang maka pemilikan tanah rata-rata tiap orang adalah 0,069 hektar. Bila mengacu pengertian cukupan seperti yang dikatakan Singarimbun (1976:25) bahwa seseorang dapat kecukupan kehidupannya jika dapat mengolah 0,7 hektar sawah tadah hujan, dan sebidang tanah darat 0, 3 hektar, maka keadaan penduduk di Desa Jetis dapat dikatakan amat kekurangan tanah pertanian. Kondisi yang memprihatinkan ini ditunjang pola pemilikannya yang tidak merata. Hanya sebagian kecil penduduk yang memiliki tanah lebih dari
satu hektar, sementara sebagian besar penduduk merupakan petani gurem atau bertanah sempit, bahkan banyak di antaranya yang tidak memiliki tanah persawahan sama sekali.
Dengan kondisi tanah pertanian yang demikian menyebabkan masyarakat Desa Jetis tidak dapat terlalu mengandalkan kehidupannya hanya dari sektor pertanian. Nampaknya sejarah kehidupan penduduk desa Jetis menunjukkan hal yang demikian. Hal ini bisa dilihat bahwa sejak tahun 1950-an di desa Jetis telah berkembang suatu kegiatan di luar bidang pertanian, yaitu dalam bentuk industri tenun. Industri tenun ini mencapai puncak kejayaanya pada sekitar tahun 1962, di mana saat itu di Desa Jetis ada sekitar 35 perusahaan tenun, dengan jumlah sekitar 550 unit tenun, dan dengan melibatkan sekitar 750 orang tenaga kerja. Masa itu penduduk Desa Jetis mengalami masa kemakmuran, bahkan juga menjadi tumpuan untuk mencari nafkah bagi pekerja dari desa-desa di sekitarnya, karena pekerja yang tertampung pada industri tenun tidak hanya penduduk Desa Jetis, tetapi juga penduduk desa-desa sekitar.
Karena berbagai sebab, sejak dekade 1960-an industri tenun di Desa Jetis mulai mengalami kemunduran, dan mencapai kemacetan total pada sekitar sekitar pertengahan tahun 1970-an. Kemacetan total industri tenun di desa Jetis saat itu membawa perubahan besar bagi sebagian besar penduduknya, baik pada pengusaha maupun pekerjanya. Sebagian ada yang kembali bekerja sebagai petani, ada yang menjadi pedagang, tetapi yang paling banyak adalah meninggalkan desa mengadu nasib dengan berurbanisasi ke kota.
Dengan demikian untuk kasus Desa Jetis, faktor urbanisasi antara lain dapat dilihat karena tidak adanya lapangan kerja di desa selepas mereka bekerja sebagai buruh industri. Memang ada sawah, tetapi berhubung sempitnya lahan pertanian tidak memungkinkan mereka secara keseluruhan bekerja di sektor pertanian, apalagi mereka umumnya sudah lama atau bahkan ada yang sebelumnya tidak pernah mengenal kegiatan bertani. Faktor yang lain adalah, adanya daya tarik kota. Daya tarik tersebut muncul karena pada saat industri tenun masih ber-jalan, telah ada beberapa orang Desa Jetis yang berurbanisasi, terutama ke Jakarta. Pada saat pulang ke desa, mereka mencerita-kan berbagai pengalaman hidupnya di kota besar. Cerita itu banyak menarik orang untuk ikut pergi ke kota, apalagi kondisi industri tenun tidak dapat diharapkan lagi.
Sejak saat itu arus urbanisasi terus mengalir ke kota-kota besar baik di Jawa maupun luar Jawa. Mengenai jumlah dan tujuan mereka berurbanisasi, ternyata tidak ada data atau catatan yang resmi. Namun demikian berdasarkan penjelasan beberapa informan, termasuk kepala desa, diketahui bahwa sejarah perjalanan urbanisasi yang terjadi sejak tahun 1970-an menyebabkan ada sekitar separoh penduduk Desa Jetis yang melakukan urbanisasi, dan mereka itu umumnya pada usia produktif. Yang kini tinggal di Desa Jetis, sebagian besar adalah orang-orang yang sudah tua, yang ditinggal pergi anak-anak; atau sebaliknya anak-anak yang masih kecil yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Memang ada beberapa yang masih yang masih muda dan produktif yang tinggal, mereka umumnya juga tidak bekerja di bidang pertanian melainkan pada peker-jaan-pekerjaan sebagai pegawai negeri, pe-dagang, atau bekerja pada industri tekstil yang ada di kota kabupaten. Sebagian besar di antara mereka
pernah mencoba, tetapi mereka gagal atau merasa tidak cocok hidup di kota, dan memilih tinggal di desa.
Berdasarkan keterangan beberapa in-forman, kota tujuan urbanisasi sebagian be-sar adalah Jakarta, dan sebagian kecil di Semarang, Serang, Bangka, Belitung, Pang-kal Pinang, Medan, Balikpapan, dan bebe-rapa kota di Jawa Tengah. Sementara itu jenis pekerjaan yang dilakukan umumnya adalah pada sektor-sektor informal seperti penjual bakso, penjual jamu, penjual buah dingin, tukang ojek, sopir taksi, sopir bajaj, atau sebagai pekerja perusahaan. Hanya sedikit penduduk Desa Jetis yang berurbani-sasi yang bekerja sebagai pegawai pemerin-tah atau pada sektor formal yang lain. Sedangkan mengenai frekuensi kepulangan ke daerah asal, amat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, jauh dekatnya kota tujuan urbanisasi, dalam hal ini semakin jauh tempat tujuan akan semakin jarang pulang ke desanya. Kedua, tanggungan keluarga yang ada di desa, dalam hal ini yang memiliki tanggungan keluarga di desa frekuensi kepulangannya cenderung lebih sering dilakukan. Namun demikian,
secara umum dapat dikatakan bahwa setidaknya setahun sekali mereka pulang ke desanya, yaitu pada saat lebaran.
Satu hal yang menarik dalam kasus urbanisasi ini adanya variasi dalam pola urbanisasi penduduk Desa Jetis. Pertama, ada yang berniat melakukan urbanisasi secara permanen. Mereka ingin menjadi penduduk kota sepenuhnya, sehingga mereka membawa serta seluruh anggota keluarganya. Pada kelompok ini umumnya adalah mereka yang memiliki status sosial ekonomi lebih baik, dan dengan pekerjaan yang lebih mapan, serta bekerja pada sektor formal. Misalnya sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan, atau pada sektor formal yang lain. Kedua, yang merupakan bagian yang lebih besar, mereka cenderung merupakan migran sirkuler. Artinya sekali-pun mereka sudah puluhan tahun tinggal di kota, tetapi secara kultural mereka masih menunjukkan sikap pedesaan. Mereka mera-sa bahwa bekerja di kota hanya bersifat sementara, mereka ingin kembali ke desanya suatu saat kelak. Gejala ini diperkuat oleh adanya kenyataan masih banyak keluarga muda yang dengan sukarela atau terpaksa
meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil di desa.
Satu kasus yang pernah ditemui, yaitu ada keluarga muda yang berurbanisasi, yang memiliki tiga orang anak yang masih kecil, di mana ketiga anaknya tersebut tersebar dalam tiga tempat. Anak pertama, kelas tiga SD tinggal di rumah sendirian; anak kedua yang masih TK nol kecil dititipkan kepada neneknya yang tinggal di desa lain yang lokasinya cukup jauh dari Desa Jetis; dan anak ketiga berusia sekitar satu tahun dibawanya ke Jakarta tinggal bersama mereka.
Sikap kedesaan mereka juga diper-jelas dengan adanya kenyataan simpanan kekayaan mereka di desa. Sebagai misal mereka menggunakan uangnya untuk mem-bangun rumah atau membeli sawah di desanya. Sementara di kota mereka tinggal secara berdesak-desakan di rumah-rumah kumuh. Dari segi ini terlihat adanya kondisi yang bertolakbelakang, di desa mereka sebenarnya memiliki rumah yang bagus dengan perlengkapan perabotan rumah tangga yang bagus, dan rumah tersebut untuk sementara, mungkin juga dalam waktu yang cukup lama, tidak dihuni; sebaliknya ketika di kota, khususnya Jakarta mereka tinggal secara berdesakan di rumah-rumah kumuh, dengan kondisi pemukiman yang kurang memenuhi syarat untuk tempat tinggal. Pada hal sebagian besar hidup mereka berada di kota
Referensi :
Aminudin, Moh., Kemiskinan dan Polari-sasi Sosial:Studi Kasus di Desa Bu-lugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah (Jakarta:UI Press, 1987
Hugo, G., "Circular Migration in Indonesia" dalam Population and Development Review, No. 8 (1) 1986.

Dityan Zahra/1112051000149/KPI 5E/Tugas 1

Nama : Dityan Zahra P

NIM : 1112051000149

Kelas : KPI 5E

Tugas 1 Etika dan Filsafat Komunikasi


1. Etika :  Merupakan cabang filsafat moral, yang berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban kewajiban manusia. Etika lebih condong ke arah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih sering dikenal sebagai kode etik.

Moral : Merupakan keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk. Dua kaidah dasar moral adalah kaidah sikap baik dan kaidah sikap keadilan.

Amoral: Sama artinya dengan non moral, adalah sesuatu yang tidak berhubungan dengan konteks moral, diluar suasana etis.

Immoral : sesuatu yang bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis.

3.   Etika : Etika menyangkut cara perbuatan yang harus dilakukan oleh seorang atau kelompok tertentu. Etika memberikan norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut apakah suatu perbuatan bisa dilakukan antara ya dan tidak. Etika jauh lebih bersifat mutlak, prinsip etika bisa sangat universal dan tidak bisa ada proses tawar menawar.

Etiket : Memberikan dan menunjukan cara yang tepat dalam bertindak yang harus dilakukan oleh manusia. Yaitu cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu. Etiket bersifat relatif, yang berarti bahwa terjadi keragaman dalam menafsirkan perilaku yang sesuai dengan etiket tertentu.

4. Moralitas : Kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup tentang baik buruknya perbuatan manusia.

5. Subyektif : Lebih kepada keadaan dimana seseorang berpikiran relatif, hasil dari menduga duga, berdasarkan perasaan atau selera orang.

6.  Etika Deskriptif : Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, serta apa yang dikejar orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya, etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.

Etika Normatif : Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan yang seharusnya dimilikioleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi, etika normatif merupakan norma norma yang dapat menuntun manusia agar bertindak secara baik dan menghindarkan hal hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang di sepakati dan berlaku di masyarakat.

MetaEtika : Sebagai suatu jalan menuju konsepsi atas benar atau tidaknya suatu tindakan atau peristiwa. Dalam MetaEtika, tindakan atau peristiwa yang dibahas dipelajari berdasarkan hal itu sendiri dan dampak yang dibuatnya.

7. Hakikat Etika Filosofis : Etika termasuk filsafat dan dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks yunani kuno, etika sudah terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Ciri khas filsafat itu dengan jelas tampak pada etika. Etika pun tidak berenti pada yang konkret, pada yang secara faktual dilakukan, tapi ia bertanya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Tentang yang baik atau yang buruk untuk dilakukan.

 

Cari Blog Ini