Nama: Mir'atun Nisa'
Nim: 1113054000038
Tugas ke-2 Urbanisasi dan budaya perkotaan
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. Perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni migrasi penduduk dan mobilitas penduduk. Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota, sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara saja atau tidak menetap.
Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya..
Urbanisasi Penduduk Desa Jetis
Desa Jetis merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Terletak kira-kira sejauh dua kilometer di sebelah utara kota kecamatan, dan enam kilometer di sebelah selatan kota kabupaten, sedangkan dengan Kota Solo kira-kira berjarak 20 kilometer. Dari segi transportasi, ada beberapa jalur jalan yang menghubungkan desa Jetis dengan desa-desa di sekitarnya. Sebagian prasarana jalan tersebut telah diaspal, dan sebagian lain berupa jalan makadam.
Seperti umumnya desa-desa di Jawa, Jetis adalah desa pertanian. Menurut data monografi desa, luas Desa Jetis adalah 256, 77 hektar, terdiri dari: (1) persawahan 89,92 hektar; (2) pekarangan/pemukiman 89,48 hektar; (3) tegalan 67,81 hektar; dan (4) lain-lain (jalan, sungai, dsb) seluas 3,53 hektar. Apabila jumlah kepala keluarga di Desa Jetis ada 632 kk, maka rata-rata pemilikan tanah bagi setiap keluarga adalah 0,37 hektar, dan bila jumlah penduduknya ada 3427 orang maka pemilikan tanah rata-rata tiap orang adalah 0,069 hektar. Bila mengacu pengertian cukupan seperti yang dikatakan Singarimbun (1976:25) bahwa seseorang dapat kecukupan kehidupannya jika dapat mengolah 0,7 hektar sawah tadah hujan, dan sebidang tanah darat 0, 3 hektar, maka keadaan penduduk di Desa Jetis dapat dikatakan amat kekurangan tanah pertanian. Kondisi yang memprihatinkan ini ditunjang pola pemilikannya yang tidak merata. Hanya sebagian kecil penduduk yang memiliki tanah lebih dari
satu hektar, sementara sebagian besar penduduk merupakan petani gurem atau bertanah sempit, bahkan banyak di antaranya yang tidak memiliki tanah persawahan sama sekali.
Dengan kondisi tanah pertanian yang demikian menyebabkan masyarakat Desa Jetis tidak dapat terlalu mengandalkan kehidupannya hanya dari sektor pertanian. Nampaknya sejarah kehidupan penduduk desa Jetis menunjukkan hal yang demikian. Hal ini bisa dilihat bahwa sejak tahun 1950-an di desa Jetis telah berkembang suatu kegiatan di luar bidang pertanian, yaitu dalam bentuk industri tenun. Industri tenun ini mencapai puncak kejayaanya pada sekitar tahun 1962, di mana saat itu di Desa Jetis ada sekitar 35 perusahaan tenun, dengan jumlah sekitar 550 unit tenun, dan dengan melibatkan sekitar 750 orang tenaga kerja. Masa itu penduduk Desa Jetis mengalami masa kemakmuran, bahkan juga menjadi tumpuan untuk mencari nafkah bagi pekerja dari desa-desa di sekitarnya, karena pekerja yang tertampung pada industri tenun tidak hanya penduduk Desa Jetis, tetapi juga penduduk desa-desa sekitar.
Karena berbagai sebab, sejak dekade 1960-an industri tenun di Desa Jetis mulai mengalami kemunduran, dan mencapai kemacetan total pada sekitar sekitar pertengahan tahun 1970-an. Kemacetan total industri tenun di desa Jetis saat itu membawa perubahan besar bagi sebagian besar penduduknya, baik pada pengusaha maupun pekerjanya. Sebagian ada yang kembali bekerja sebagai petani, ada yang menjadi pedagang, tetapi yang paling banyak adalah meninggalkan desa mengadu nasib dengan berurbanisasi ke kota.
Dengan demikian untuk kasus Desa Jetis, faktor urbanisasi antara lain dapat dilihat karena tidak adanya lapangan kerja di desa selepas mereka bekerja sebagai buruh industri. Memang ada sawah, tetapi berhubung sempitnya lahan pertanian tidak memungkinkan mereka secara keseluruhan bekerja di sektor pertanian, apalagi mereka umumnya sudah lama atau bahkan ada yang sebelumnya tidak pernah mengenal kegiatan bertani. Faktor yang lain adalah, adanya daya tarik kota. Daya tarik tersebut muncul karena pada saat industri tenun masih ber-jalan, telah ada beberapa orang Desa Jetis yang berurbanisasi, terutama ke Jakarta. Pada saat pulang ke desa, mereka mencerita-kan berbagai pengalaman hidupnya di kota besar. Cerita itu banyak menarik orang untuk ikut pergi ke kota, apalagi kondisi industri tenun tidak dapat diharapkan lagi.
Sejak saat itu arus urbanisasi terus mengalir ke kota-kota besar baik di Jawa maupun luar Jawa. Mengenai jumlah dan tujuan mereka berurbanisasi, ternyata tidak ada data atau catatan yang resmi. Namun demikian berdasarkan penjelasan beberapa informan, termasuk kepala desa, diketahui bahwa sejarah perjalanan urbanisasi yang terjadi sejak tahun 1970-an menyebabkan ada sekitar separoh penduduk Desa Jetis yang melakukan urbanisasi, dan mereka itu umumnya pada usia produktif. Yang kini tinggal di Desa Jetis, sebagian besar adalah orang-orang yang sudah tua, yang ditinggal pergi anak-anak; atau sebaliknya anak-anak yang masih kecil yang ditinggalkan oleh orangtuanya. Memang ada beberapa yang masih yang masih muda dan produktif yang tinggal, mereka umumnya juga tidak bekerja di bidang pertanian melainkan pada peker-jaan-pekerjaan sebagai pegawai negeri, pe-dagang, atau bekerja pada industri tekstil yang ada di kota kabupaten. Sebagian besar di antara mereka
pernah mencoba, tetapi mereka gagal atau merasa tidak cocok hidup di kota, dan memilih tinggal di desa.
Berdasarkan keterangan beberapa in-forman, kota tujuan urbanisasi sebagian be-sar adalah Jakarta, dan sebagian kecil di Semarang, Serang, Bangka, Belitung, Pang-kal Pinang, Medan, Balikpapan, dan bebe-rapa kota di Jawa Tengah. Sementara itu jenis pekerjaan yang dilakukan umumnya adalah pada sektor-sektor informal seperti penjual bakso, penjual jamu, penjual buah dingin, tukang ojek, sopir taksi, sopir bajaj, atau sebagai pekerja perusahaan. Hanya sedikit penduduk Desa Jetis yang berurbani-sasi yang bekerja sebagai pegawai pemerin-tah atau pada sektor formal yang lain. Sedangkan mengenai frekuensi kepulangan ke daerah asal, amat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, jauh dekatnya kota tujuan urbanisasi, dalam hal ini semakin jauh tempat tujuan akan semakin jarang pulang ke desanya. Kedua, tanggungan keluarga yang ada di desa, dalam hal ini yang memiliki tanggungan keluarga di desa frekuensi kepulangannya cenderung lebih sering dilakukan. Namun demikian,
secara umum dapat dikatakan bahwa setidaknya setahun sekali mereka pulang ke desanya, yaitu pada saat lebaran.
Satu hal yang menarik dalam kasus urbanisasi ini adanya variasi dalam pola urbanisasi penduduk Desa Jetis. Pertama, ada yang berniat melakukan urbanisasi secara permanen. Mereka ingin menjadi penduduk kota sepenuhnya, sehingga mereka membawa serta seluruh anggota keluarganya. Pada kelompok ini umumnya adalah mereka yang memiliki status sosial ekonomi lebih baik, dan dengan pekerjaan yang lebih mapan, serta bekerja pada sektor formal. Misalnya sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan, atau pada sektor formal yang lain. Kedua, yang merupakan bagian yang lebih besar, mereka cenderung merupakan migran sirkuler. Artinya sekali-pun mereka sudah puluhan tahun tinggal di kota, tetapi secara kultural mereka masih menunjukkan sikap pedesaan. Mereka mera-sa bahwa bekerja di kota hanya bersifat sementara, mereka ingin kembali ke desanya suatu saat kelak. Gejala ini diperkuat oleh adanya kenyataan masih banyak keluarga muda yang dengan sukarela atau terpaksa
meninggalkan anak-anak mereka yang masih kecil di desa.
Satu kasus yang pernah ditemui, yaitu ada keluarga muda yang berurbanisasi, yang memiliki tiga orang anak yang masih kecil, di mana ketiga anaknya tersebut tersebar dalam tiga tempat. Anak pertama, kelas tiga SD tinggal di rumah sendirian; anak kedua yang masih TK nol kecil dititipkan kepada neneknya yang tinggal di desa lain yang lokasinya cukup jauh dari Desa Jetis; dan anak ketiga berusia sekitar satu tahun dibawanya ke Jakarta tinggal bersama mereka.
Sikap kedesaan mereka juga diper-jelas dengan adanya kenyataan simpanan kekayaan mereka di desa. Sebagai misal mereka menggunakan uangnya untuk mem-bangun rumah atau membeli sawah di desanya. Sementara di kota mereka tinggal secara berdesak-desakan di rumah-rumah kumuh. Dari segi ini terlihat adanya kondisi yang bertolakbelakang, di desa mereka sebenarnya memiliki rumah yang bagus dengan perlengkapan perabotan rumah tangga yang bagus, dan rumah tersebut untuk sementara, mungkin juga dalam waktu yang cukup lama, tidak dihuni; sebaliknya ketika di kota, khususnya Jakarta mereka tinggal secara berdesakan di rumah-rumah kumuh, dengan kondisi pemukiman yang kurang memenuhi syarat untuk tempat tinggal. Pada hal sebagian besar hidup mereka berada di kota
Referensi :
Aminudin, Moh., Kemiskinan dan Polari-sasi Sosial:Studi Kasus di Desa Bu-lugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah (Jakarta:UI Press, 1987
Hugo, G., "Circular Migration in Indonesia" dalam Population and Development Review, No. 8 (1) 1986.