Senin, 22 September 2014

Tugas 1: Seputar Istilah dan Kerancuan Istilah

Nama                                     : Syifa Maulidina
NIM                                        : 1112051000150
Semester/ Prodi/ Kelas          : 5/ KPI/ E


Merujuk pada buku Etika oleh K. Bertens, Cetakan kesepuluh: Februari 2007, diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.


ETIKA dan MORAL

Etika menurut Bertens:

  1. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya.
  2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.
  3. Bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.
  4. Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.

Sejalan dengan pengertian etika sebagaimana disebutkan sebelumnya, Bartens mengatakan bahwa kata yang sangat dekat dengan "etika" adalah "moral". Kata ini dari bahasa latin "mos", jamaknya "mores" yang juga berarti adat kebiasaan. Dengan merujuk pada arti kata etika yang sesuai, maka arti kata moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Maka ini pula yang berkaitan dengan kesadaran moral, artinya kesadaran manusia tentang dirinya sendiri dan memaknai dirinya sebagai manusia ciptaan Tuhan. Dalam hal ini manusia dapat membedakan antara yang halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, meskipun dapat dilakukan.


AMORAL dan IMMORAL

Bertolak dari istilah-istilah Inggris oleh Concise Oxford Dictionary, dan masih, menurut K. Bertens, kata "amoral" diartikan sebagai"unconcerned with, out of the sphere of moral, non moral". Jadi, kata "amoral" berarti "tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis, non moral", dengan kata lain berarti "tidak bermoral, tidak berakhlak". Immoral dijelaskan sebagai "opposed to morality, morally evil". Jadi, kata "immoral" berarti "bertentangan dengan moralitas yang baik, secara moral buruk, tidak etis". Tetapi sebaiknya kata "amoral" diartikan sebagai "netral dari sudut moral, tidak mempunyai relevansi etis".


ETIKA dan ETIKET

Dalam rangka menjernihkan istilah karena kerancuan istilah, harus disimak lagi perbedaan antara etika dan etiket. Etika di sini berarti moral, dan etiket berarti sopan santun. Jika dilihat asal usulnya sebenarnya tidak ada hubungan antara kedua istilah ini. Hal itu menjadi lebih jelas, jika membandingkan bentuk kata ini dalam bahasa Inggris, yaitu ethic dan etiquette. Tetapi dipandang menurut artinya, istilah ini memang dekat satu sama lain. Di samping perbedaan, ada pula persamaan. Pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Kedua, baik etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Menurut K. Bartens ada empat perbedaan secara umum antara etika dan etiket:

  1. Etiket menyangkut cara untuk melakukan suatu perbuatan benar sesuai dengan yang diharapkan. Tetapi etika tidak sebatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan,  etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut apakah perbuatan ini boleh dilakukan atau tidak sesuai dengan pertimbangan baik atau buruknya sebagai akibat dari perbuatan itu.
  2. Etiket hanya formalitas, bila tidak ada orang yang hadir atau tidak ada saksi mata yang melihat, maka etiket tidak berlaku. Sebaliknya, etika selalu berlaku, tidak bergantung pada hadir tidaknya pada orang lain atau ada tidaknya saksi mata. Etika adalah bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.
  3. Etiket bersifat relatif, yaitu hal yang dianggap tidak sopan bagi suatu kebudayaan, mungkin saja di kebudayaan lainnya dianggap sopan. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar, apabila melakukan kebaikan mendapat pujian dan melakukan kesalahan akan mendapat sanksi.
  4. Etiket bicara tentang kita hanya memandang manusia dari lahiriah, bisa saja orang tampil tampak luar sebagai pribadi yang sangat sopan dan halus, tetapi di dalamnya penuh kebusukan. Sedangkan etika memandang manusia dari dalam, sikap etis dan baik yang timbulnya dari kesadaran dirinya.

MORALITAS

Moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak pada makhluk lain. Makhluk yang paling dekat dengan manusia tentunya binatang. Banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang-plus: binatang yang ditambah dengan suatu perbedaan khas. Di antara jawaban-jawaban yang diberikan pelbagai filsuf: perbedaan khas itu rasio, bakat untuk menggunakan bahasa, kesanggupan untuk tertawa, untuk menciptakan banyak inovasi, tapi sekurang-kurangnya satu lagi: manusia adalah binatang-plus karena mempunyai kesadaran moral.

Moralitas merupakan suatu ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi lainnya. Pada tahap binatang tidak ada kesadaran baik dan buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak pantas dilakukan.


SUBYEKTIF

Norma-norma dapat bersifat obyektif dan dapat pula bersifat subyektif. Di antara norma subyektif, ada yang disebut perasaan moral, namun sebagai norma: perasaan moral tidak dapat memberikan ukuran atau patokan yang memadai. Sebab perasaan moral selalu mempunyai banyak variasinya, tergantung pada kondisi fisik dan suasana hati emosi manusia.

Etika subyektif, secara definisi bisa diartikan bahwa suatu tindakan yang baik dan buruk tidaklah dinilai dari akibat, hasil atau tujuan., melainkan tindakan tersebut sudah dipahami dan diyakini secara subyektif telah mengandung makna kebaikan atau keburukan. dengan kata lain tindakan dianggap bernilai moral atau tidak bermoral karena tindakan itu dilaksanakan terlepas dari apa tujuan dan akibat dari tindakan itu, contoh berbohong, mencuri, dianggap mutlak merupakan tindakan buruk dan tidak bemoral dalam sudut etika ini.


ETIKA DESKRIPTIF, ETIKA NORMATIF, dan METAETIKA

Studi tentang moralitas dapat dibedakan menjadi pendekatan non filosofis dan filosofis. Pendakatan non filosofis adalah etika deskriptif, sedangkan pendekatan filosofis bisa sebagai etika normatif, bisa juga sebagai metaetika atau etika analitis. Etika deskriptif, normatif, dan metaetika ini merupakan cara atau metode untuk mempelajari moralitas atau pendekatkan ilmiah tentang tingkah laku moral yang dalam konteks ini sering dilakukan.

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, serta mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan atau subkultur tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Etika deskriptif hanya melukiskan, tidak memberikan penilaian. Misalnya, ia melukiskan adat mengayau dan hanya melukiskan, tidak memeriksa apakah norma-norma pada adat kebudayaan itu benar atau tidak.

Beda dengan etika normatif tidak hanya melukiskan tetapi juga mengemukakan pendapat penilaian tentang perilaku manusia. Bersambung dari permisalan sebelumnya, di sini ia tidak lagi membatasi hanya sebagai penonton atau seperti halnya pada etika deskriptif, ia mulai melibatkan diri dan berani untuk menentang apabila pada adat mengayau ini terdapat pelanggaran norma-norma.

Hal yang sama bisa dirumuskan juga dengan mengatakan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif melainkan prespektif (=memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral, mengemukakan alasan-alasan mengapa suatu tingkah laku harus disebut baik atau buruk. Singkatnya etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan dalam praktek.

Lebih lanjut etika normatif dibagi menjadi dua; etika umum dan etika khusus. Etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Tetapi studi lebih dalam menunjukkan bahwa metaetika merupakan bagian dari etika khusus, karena metaetika mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus. Filsuf Inggris George Moore, misalnya, dalam bukunya yang berisi analisis terhadap kata yang sangat penting dalam konteks etika, yakni kata "baik". Ia tidak bertanya apakah menjadi pendonor organ tubuh untuk ditransplantasi pada pasien yang membutuhkan itu disebut baik dari sudut moral dan apakah syarat-syaratnya agar perbuatan itu disebut baik. Ia hanya bertanya apakah artinya dari kata "baik", menyoroti arti khusus kata "baik"dengan membandingkan kalimat "Menjadi pendonor organ tubuh adalah perbuatan baik" dengan kalimat jenis lain seperti "Mobil ini masih dalam keadaan baik".

Filsafat analitis menganggap analisis bahasa sebagai tugas yang sangat penting bagi filsafat atau bahkan sebagai satu-satunya tugasnya. Karena perkaitannya dengan filsafat, metaetika ini kadang-kadang juga disebut dengan etika analitis.


HAKIKAT ETIKA FILOSOFIS

Berbicara tentang keadaan atau peristiwa yang pernah dialami atau disaksikan, maka tidak pernah melakukannya dengan netral saja. Kita menyetujui atau menolak, kita memuji atau mencela, perbuatan yang dialami atau disaksikan adalah baik dan patut dicontoh oleh masyarakat luas atau akan sebaliknya, adalah buruk dan sebenarnya tidak boleh demikian atau sebaliknya, dan lain sebagainya.

Etika sebagai cabang ilmu melanjutkan kecenderungan kita dalam hidup sehari-hari, mulai dari merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan, tidak jarang kita berbeda pendapat dengan teman. Maka akan muncul pertanyaan; siapa yang benar? Siapa yang mempunyai argumen yang paling kuat? Ada dasar obyektif apa untuk pendapat kita? Kita harus berpegang teguh pada norma apa? Menjadi tugas etika untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Dengan demikian etika filsafat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma.

 Dari sudut pandang normatif, etika filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah laku manusia. Etika filsafat termasuk salah satu cabang ilmu filsafat dan malah dikenal sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua. Dalam konteks filsafat yunani kuno etika filsafat sudah terbentuk terbentuk dengan kematangan yang mengagumkan. Etika filsafat merupakan ilmu, tetapi sebagai filsafat ia tidak merupakan suatu ilmu emperis, artinya ilmu yang didasarkan pada fakta dan dalam pembicaraannya tidak pernah meniggalkan fakta. Ilmu-ilmu itu bersifat empiris, karena seluruhnya berlangsung dalam rangka empiris (pengalaman inderawi) yaitu apa yang dapat dilihat, didengar, dicium, dan dirasakan. Ilmu emperis berasal dari observasi terhadap fakta-fakta dan jika ia berhasil merumuskan hukum-hukum ilmiah, maka kebenaran hukum-hukum itu harus diuji lagi dengan berbalik kepada fakta-fakta. Dibandingkan dengan ilmu-ilmu lain, etika filsafat tidak membatasi gejala-gejala konkret. Tentu saja, filsafat berbicara juga tentang yang konkret, kadang-kadang malah tentang hal-hal yang amat konkret, tetapi ia tidak berhenti di situ.

Menurut Sokrates orang yang mempunyai pengetahuan tentang baik pasti akan melakukan kebaikan juga. Orang yang berbuat jahat, dilakukan karena tidak ada pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika. Makanya ia berbuat jahat. Bila orang mempunyai pengetahuan mendalam mengenai ilmu etika, belum terjamin perilakunya baik. Disini berbeda dari pengalaman ilmu pasti. Orang-orang yang hampir yang tidak mendapat pendidikan di sekolah, tetapi selalu hidup dengan perilaku baik dengan sangat mengagumkan. Namun demikian, ada kebenarannya juga dalam pendapat Sokrates tadi, pengetahuan tentang etika merupakan suatu unsur penting, supaya orang dapat mencapai kematangan perilaku yang baik. Untuk memperoleh etika baik, studi tentang etika dapat memberikan suatu kontribusi yang berarti sekalipun studi itu sendiri belum cukup untuk menjamin etika baik dapat terlaksana secara tepat.

Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis. Etika tidak memberikan ajaran melainkan memeriksa kebiasaan, nilai, norma, dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut pertanggungjawaban dan mau menyingkatkan kerancuan (kekacauan). Etika tidak membiarkan pendapat-pendapat moral yang dikemukakan dipertanggungjawabkan. Etika berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral, sedangkan kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakkan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. (Surajiyo: 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini