Minggu, 15 Juli 2012

To Extended Idea dan Praxis Community Development

MEMPERLUAS GAGASAN & PRAKTIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DENGAN PERSPEKTIF JIM IFE
Budhi Rahman Hakim[*]
ABSTRAK
Ragam pendekatan dalam upaya-upaya pemberdayaan masyarakat patut terus digali dan diperkaya. Artikel ini memberikan satu elaborasi pemikiran seorang aktivis dan pemikir pemberdayaan masyarakat yang cukup terkenal: Jim Ife. Ife memberikan beberapa prinsip mendasar dalam melakukan pemberdayaan, yaitu: (1) pemberdayaan terpadu, (2) menentang struktur yang merugikan, (3)  mendasarkan kepada penegakan Hak Azasi Manusia (HAM), (4) keberlanjutan, (5) penguatan, (6) keterkaitan gerakan pribadi dan politik, (7) kepemilikan komunitas, (8) kepercayaan diri, (9) kemandirian dari negara, dan (10) tujuan jangka pendek dan visi jangka panjang. Meski belum separuh dari apa yang disarankan Ife, namun kesepuluh prinsip ini sudah cukup memberikan banyak masukan kepada kita untuk memberikan penekanan lebih dalam pemberdayaan masyarakat. Terlebih lagi Indonesia, konteks teoritis dari Ife menjadi masukan yang sangat berharga bagi proses perubahan sosial.   

Key Words: Pemberdayaan Masyarakat, Ife, Gagasan Perubahan, Indonesia.

Pendahuluan

Banyak cara dilakukan para agen perubahan (agent of change) dalam melakukan perbaikan kehidupan rakyat Indonesia. Beragam era yang muncul, direspon dengan beragam pendekatan. Di era Orde Baru kita mengenal satu mekanisme perubahan yang didorong oleh negara (baca: pemerintah pusat) melalui program penyuluhan. Penyuluhan adalah program perubahan tata cara bertindak masyarakat melalui bimbingan teknis oleh para ahli kepada masyarakat. Sehingga sering dikatakan bahwa program ini sangat top down.
Dari kelemahan pendekatan tersebut, kemudian muncul pendekatan lain yang lebih kritis, yakni pendekatan pemberdayaan masyarakat. Di  era Orde Baru, pendekatan pemberdayaan masyarakat memang kurang populer, meski banyak kepustakaan terbit pada masa ini. Sehingga gerakan pemberdayaan seperti ini dilakukan secara terbatas. Sampai era Orde Reformasi tiba, pemberdayaan masyarakat seolah-olah menemukan momentum politiknya. Di mana-mana, didengungkan perlunya pemberdayaan masyarakat. Kelihatannya, gerakan ini bukan semata-mata sebagai kritik atas kegagalan sistem perubahan masyarakat di era Orde Baru, namun lebih jauh mengisi ruang kosong potensi masyarakat untuk melakukan perubahan kehidupannya. Maka jangan heran, nyaris di setiap departemen, instansi, selalu ada institusi pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat yang akhir-akhir ini menjadi sangat tren di berbagai lapisan masyarakat, patut diapresiasi dengan kritis. Sebab tanpa sebuah proses kritik, pemberdayaan masyarakat bisa menjadi pedang bermata dua yang salah-salah menusuk kita sendiri. Sementara itu di sisi lain, substansi masalah belum bisa dipecahkan. Sebagai contoh, nyaris  di semua departemen, lembaga swasta (bisnis dan non bisnis) selalu –minimal—menyebut konsep ini sebagai proses yang harus menjadi kewajiban. Payungnya bisa bermacam-macam: Corporate Social Responsibility atau CSR, pemberdayaan, penguatan, dan lain-lain sebagainya.[1] Padahal bisa jadi istilah-istilah tersebut lebih bermuatan kepentingan ekonomi politik mereka semata, dibanding menjadi benar-benar kepentingan rakyat.

Intinya bahwa kepedulian kepada masyarakat yang dilakukan oleh individu atau lembaga sudah memiliki koridor teoritik dan praktik. Bahkan jika kita telisik lebih detil, banyak pakar, praktisi, konseptor, atau kontributor untuk hal ini sudah sangat banyak. Begitu juga dimensi-dimensi pengetahuan yang dikembangkannya. Mulai dari dimensi pemberdayaan ekonomi, sampai kepada politik dan kebudayaan. Bahkan di beberapa kasus, masing-masing dimensi diberikan ruang yang jauh lebih luas dan dalam, sehingga praktik pemberdayaan masyarakat, saat ini, menjadi sangat kaya.
Tulisan berikut akan berupaya memberikan satu hasil penggalian empiris yang dilakukan oleh pemikir, konseptor, penggali, dan—bahkan—penemu teori pemberdayaan masyarakat yang diperluas. Dia adalah Profesor Jim Ife. Seorang aktivis dan juga teorisi pemberdayaan masyarakat dari  "School of Social Work & Social Policy" di Curtin University of Technology, Australia.  Tulisan ini akan dikonstruksi oleh beberapa hasil karya tulisan Profesor Ife dalam berbagai pertemuan, maupun buku yang ditulisnya.
Bahan baku utama sumber tulisan tersebut adalah: Community Development: Creating Community Alternatives—vision, analysis and practice (1995). Namun demikian, berbagai pemikiran dari Ife seperti: Local and Global Practice: relocating social work as a human rights profession in the new global order (2000), World Trends in Social Welfare and Human Rights (2001), Challenges for Human Rights in the New Global Order (2001), Human Rights and Child Poverty (2002), Community Development and Human Rights (2003), Human Rights and Community. The community of rights and the community of responsibilities (2004), Linking Community Development and Human Rights (2004), Globalised Community Development (2005), dan A Culture of Human Rights and Responsibilities (2005),[2] tetap akan menjadi rujukan perbandingan maupun pelengkap dari pemikiran utama yang ada pada buku tersebut.

Ife: Gagasan Pemberdayaan yang Luas

Pembahasan akan diawali dari karya besar yang, menurut penulis, sangat kentara positioning Ife dalam konteks pemikiran community development. Buku yang terbit pada tahun 1995 ini bisa dikatakan merupakan master piece dan mewarnai hampir seluruh pemikiran yang ditulis dan diseminasikannya kemudian. Artinya, membahas buku ini sangat signifikan tidak hanya dari aspek sebuah mahakarya pemikiran. Tetapi lebih jauh mengenai ideologi, kerangka berpikir, paradigma, maupun keberpihakan seorang pemikir dan aktivis besar  seperti Ife.
Buku Jim  Ife "Community Development: Creating Community Alternatives—vision, analysis and practice" (1995), memuat satu kredo dalam proses pemberdayaan masyarakat. Prinsip-prinsip pemberdayaan, menurut pandangan Ife setidaknya harus memperhatikan enam masalah berikut, antara lain: (a) Keterkaitan personal dan politik; (b) Keterkaitan jangka pendek obyektif dengan visi jangka panjang; (c) Keterkaitan antara tatanan lokal dan global; (d) Keterkaitan antara enam aspek Comdev; (e) Keterkaitan prinsip-prinsip yang bermacam-macamnya; dan (f) Keterkaitan antara prinsip-prinsip tersebut dan diskusi terkini dari ekologi dan perspektif keadilan sosial.
Keenam aspek tersebut kemudian diterjemahkan dalam duapuluh dua prinsip utama dalam pemberdayaan masyarakat. Keduapuluh dua[3] prinsip yang saling berkaitan tersebut tercantum dalam buku yang disebutkan di atas. Tetapi, karena keterbatasan dari pembahasan, artikel ini hanya akan membahas sepuluh saja. Kesepuluh prinsip tersebut adalah:

1.   Pemberdayaan terpadu[4]

Menurut Ife, dalam proses dan visi pemberdayaan hendaknya dilakukan secara terpadu, yakni melihat dan melibatkan seluruh kebutuhan persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan dan invidu—baik personal maupun spiritual.  
Di tingkat ini, Ife mengajukan visi penyatuan antar berbagai aspek kemasyarakatan seperti isu ekonomi, budaya, bahkan sampai masalah-masalah spiritual. Penulis melihat ini merupakan karakter yang kuat dalam teori pemberdayaan Ife. Sebab selama ini banyak strategi pemberdayaan dilakukan tidak menyertakan pembangunan (lebih tepatnya pemberdayaan) spiritual. Terlebih bagi Indonesia, pemberdayaan masyarakat yang menekankan aspek spiritual menjadi sangat penting dilakukan karena beberapa hal sosiologis berikut:
A.     Sebagai negara dengan jumlah penduduk mayoritas muslim, agama menjadi faktor dominan. Agama telah menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dalam berbagai relasi dan aksi sosial. Sehingga jika faktor ini diabaikan, maka akan terjadi missing dalam proses keagamaan itu sendiri.
B.     Selain masalah fakta sosial, agama juga telah menjadi instrumen penting bagi perubahan. Agama secara sosial-politik bahkan telah merasuk lebih jauh. Ia telah menjadi alat untuk mendapatkan atau mempengaruhi kekuasaan.
Dengan melihat aspek spiritual, Ife tidak terjebak pada pendefinisian parsial akan satu nilai agama. Sementara di sisi lain, ia juga memberikan kepercayaan kepada satu ajaran atau keyakinan tertentu untuk ikut.
Pluralisme pemberdayaan ala Ife memberikan kemungkinan besar menyelesaikan beberapa masalah terkini mengenai integrasi sosial. Kasus pembakaran Masjid Ahmadiyah[5] pada bulan April 2008 di Sukabumi, menunjukkan bahwa selama ini, capaian pemberdayaan masyarakat sangat lemah memperhatikan aspek sosial dan spiritual. Penistaan kepada kelompok Ahmadiyah sejatinya tidak akan terjadi saja ada pemahaman mendalam mengenai konsep keyakinan. Dan hal ini sebenarnya mudah dicerna jika penguasa lokal menggunakan pendekatan Ife ini.
Dengan pendekatan Ife, melihat kelompok Ahmadiyah akan membicarakan apa dan bagaimana keyakinan sebuah komunitas, serta bagaimana harus diberdayakan. Pemberdayaan spiritual ala Ife akan memberikan ruang yang lebih mendalam mengenai dialog partisipatoris antar kelompok.

2.    Menentang struktur yang merugikan[6]

Ciri lain dari karakter pemberdayaan menurut Ife adalah bahwa gerakan atau aksi ini harus dilekatkan pada satu penentangan atas struktur yang merugikan, seperti penindasan, pemujaan kepentingan individu di atas kepentingan kelompok, maupun perilaku-perilaku koruptif. Ciri ini memang memberikan satu pemahaman mendasar mengenai gerakan pemberdayaan masyarakat yang menjadi pelengkap dari integrasinya dengan konsisi sosial ekonomi.
Dalam pemberdayaan masyarakat, perlawanan atas sistem atau struktur yang merugikan memang harus menjadi spirit utama. Penindasan struktural telah menyebabkan langgengnya kemiskinan, kebodohan, dan bahkan berkurangnya akses sebagian masyarakat kepada sumber-sumber kesejahteraan yang kemudian menyebabkan membludaknya pengangguran.  Dalam analisis lain, pembagian tipologi kemiskinan dibagi menjadi dua: kemiskinan kultural atau kemiskinan yang timbul karena pemahaman yang salah akan nilai-nilai kerja keras, dan usaha lainnya yang akhirnya berujung kepada tindakan malas. Sedangkan tipologi kedua adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural adalah model kemiskinan yang terjadi akibat sistem yang tidak memihak kepada terjadinya keadilan, kemudahan akses bagi kaum yang lemah, atau keberpihakan yang sejatinya diemban oleh negara.
Dalam konteks demikian maka pemikiran Ife menjadi menemukan relevansinya. Sebab penentangan atas struktur yang menindas dengan berbagai dimensinya menjadi sangat penting di sini. Sebab salah satu bentuk penentangan akan memberikan harapan akan terselesaikannya kesenjangan struktural dan dengan sendirinya akan mengakhiri penindasan.
Contohnya adalah kasus tereliminasinya dunia pertanian dalam kancah kehidupan sosial-ekonomi-politik negeri ini. Secara sistematis, fakta ini menunjukkan ada struktur yang menindas petani di berbagai aspek. Di era rejim Orde Baru petani disungkurkan pada situasi sulit ketika era revolusi hijau. Mereka dicecoki satu persepsi mengenai kelemahan daya beli mereka disebabkan oleh kelemahan berproduksi. Sehingga dibangunlah logika-logika yang sangat pro sekelompok orang dengan obyek petani. Dengan alasan produksi pula, masyarakat harus mengadopsi segala suguhan pemerintah.
Hal yang sama terjadi pada kemampuan media massa. Jika dulu ada "pakem" bahwa media massa adalah pilar keempat dari demokrasi, sehingga semua orang bisa benar-benar berkesempatan untuk mengakses substansi beritanya. Saat ini, sebagian media sudah takluk di bawah ketika kapitalisme, di mana rejim modal adalah yang utama. Akibatnya, idealisme media massa banyak yang berguguran.  Media massa menjadi alat kepentingan sekelompok orang yang menimba kepentingan khususnya ekonomi.
Penentangan atas struktur yang menindas sebenarnya sudah dilakukan dalam banyak rentang sejarah perlawanan. Bahkan moda perlawanan tersebut tidak melulu merupakan 'kewajiban' perubahan sosial, namun juga kewajiban teologis atau spiritual. Di kawasan Asia misalnya, gerakan perlawanan berbasis semangat teologis bisa dilihat pada Teologi Minjung di Korea, Teologi Perjuangan di Filipina, Teologi Dalit di India, maupun dalam agama-agama besar seperti Islam, Budha, Kong Hu Cu, dan Kristen.[7]

3.    Mendasarkan kepada penegakan Hak Azasi Manusia (HAM)[8]

Pemikiran akan penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) dalam konteks pemberdayaan masyarakat memang masih sangat minim. Untuk itu konsep HAM dalam praktik pemberdayaan masyarakat yang ditawarkan oleh Ife menjadi sangat penting. HAM dan pemberdayaan masyarakat dalam paradigma Ife menjadi titik tekan yang sangat besar dalam keseluruhan aksi. Dalam tulisannya yang lain (2004) dijelaskan bahwa HAM berkaitan dengan tanggungjawab kemanusiaan. HAM dalam Konteks dinamika berbagai tradisi politik maupun budaya merupakan visi yang berbeda pada level.
Hak-hak asasi manusia atau HAM, sebagaimana dikatakan Soetandyo Wignjosoebroto (2005) adalah hak-hak yang (seharusnya) diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Dikatakan 'universal' karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usianya, latar belakang kultural dan pula agama atau kepercayaan spiritualitasnya.[9]
Sehingga dengan memasukkan unsur atau semangat membangun, dan menegakkan HAM dalam pemberdayaan masyarakat akan memberikan spektrum yang luas dalam cara pandang terhadap HAM. Hal ini karena dalam cara pandang Community Development ala Ife, HAM dilihat sebagai spirit seluruh aksi dan paradigmanya.[10]
Jika kita melihat lebih jauh, aspek HAM menjadi krusial sekali dalam konteks Indonesia kekinian. Sebab cara pandang yang memasukkan unsur HAM masih sangat kurang bahkan dalam aksi non community development sekalipun. Kemudian jika melihat sejarah, pada awal kelahirannya, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Proses pemberdayaan dengan demikian merupakan depowerment dari sistem kekuasaan yang bersifat absolut.[11]
Dalam posisi demikian menjadi relevan memahami dengan utuh bahwa motif utama pemberdayaan adalah untuk memberikan perhatian lebih dan mementingkan pada gagasan manusia dan kemanusiaan atau humanisme. Humanisme yang ditegakan bukan karena intervensi dari luar, tetapi humanisme yang dibangun karena semua pihak menyadari kebutuhan dan kekuataannya.
Jika hal ini sudah menjalar ke seluruh stakeholders pemberdayaan, maka tidak mustahil agenda-agenda peningkatan hak, pembelaan hak, dan sebagainya tidak mesti dilakukan hanya oleh sekelompok orang. Namun justru oleh masyarakat keseluruhan. Al ini mungkin dilakukan jika masyararakat sudah menyadari benar mengenai pentingnya penguatan HAM dalam kehidupan sehari-hari.

4.   Keberlanjutan[12]

Kegagalan suatu perencanaan pembangunan adalah tidak adanya jaminan bahwa praktiknya akan memberikan jaminan keberlanjutan. Hal ini terjadi karena tidak katarsisnya perencanaan pembangunan dari problem politik satu fase pemerintahan. Padahal dalam satu proses pemberdayaan, garansi akan keberlanjutan program harus ada. Hal ini tidak lain karena pemberdayaan adalah proses panjang yang harus dikelola dengan rapi, tersruktur dan jelas rancang bangunnya.
Dalam hal ini, prinsip keberlanjutan yang dikedepankan Ife menjadi sangat relevan. Untuk itu, aspek ini akan menjadi satu alat menganalisa mengapa aspek keberlanjutan program pemberdayaan menjadi sangat penting. Para pemberdaya masyarakat diharapkan bisa memberikan ukuran-ukuran kategorikal agar proses pengalisaan aspek keberlanjutan bisa dilakukan dengan cermat dan benar.
Sustainable development saat ini seakan-akan sudah menjadi kebutuhan. Hal ini bercermin pada kenyataan bahwa banyak agenda-agenda pembangunan dibangun atas asumsi 'menghabiskan' apa yang ditemukan hari ini. Pergeseran paradigma ini kemudian direspon oleh banyak aksi, salah satunya adalah membangun perspektif bahwa kegiatan pemberdayaan sekalipun, yang tidak jarang harus dibangun dalam kepentingan memperpanjang usia kehidupan. Akibatnya, dalam praktiknya, pemberdayaan seperti ini akan memberikan ruang yang lebih luas bagi untuk mengembangkan hal-hal prinsipal mengenai pemberdayaan ini. Sehingga konsekwensi dari hal itu kemudian dalam setiap program harus dikemas dalam asumsi jangka panjang ini.
Sebagai contoh menarik adalah apa yang dilakukan banyak pegiat NGO. Program yang mereka lakukan selalu dibuat dalam perencanaan komunitas jangka panjang. Setelah goal akhirnya sudah bisa dirumuskan, maka kemudian yang dilakukan adalah membuat perecanaan sistematis jangka pendek. Modus lain dalam kegiatan ekonomi adalah CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan yang menggunakan pendekatan pembangunan sosial. Sebagaimana dikatakan oleh Gunawan Sumodiningrat (2008) bahwa pembangunan sosial diawali dengan pembangunan sosial. Karena yang paling penting adalah mampu membangun manusianya.[13]

5.   Penguatan[14]

Hal lain yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa setelah proses dekonstruksi, proses selanjutnya adalah penguatan. Mengapa hal ini demikian penting, karena dalam ibarat membangun rumah, selain proses menggambar, mendesain, merancang, dan membangun, setelah mengisinya hal lain yang tidak bisa dilupakan adalah memeliharanya.
Dalam konteks pemberdayaan, masyarakat yang sudah diempowering harus terus dipelihara. Di sini pandangan Ife memberikan pendekatan penguatan. Salah satu model penguatan masyarakat adalah dengan cara melibatkan secara lebih proses ini kepada masyarakat.  
Dalam grand theory mengenai pemberdayaan, dikenal pendekatan PAR atau Participatory Action Research. Pendekatan ini dilahirkan karena minimnya spirit pembebasan dalam setiap dimensi pemberdayaan yang melibatkan stake holders masyarakat sendiri. PAR dalam prakteknya diharapkan menjadi instrumen pembebasan, perubahan struktur secara mendasar, menantang  penindasan struktural.[15]
PAR menjadi instrumen penting dalam proses dekonstruksi atau pembongkaran nilai-nilai lama yang melanggengkan penindasan. Dengan PAR, masyarakat dibangun bukan (hanya) fisiknya, tetapi (juga) mental dan spiritualnya. Hal ini mungkin dilakukan jika mereka terlebih dahulu disadarkan atas situasi aktualnya. Situasi aktual yang memberikan peluang kepada sistem untuk melakukan penindasan secara laten.  
Setelah melakukan proses penyadaran—dan ini hanya mungkin dilakukan melalui proses yang cukup panjang—proses dalam PAR memberikan kesempatan kepada masyarakat sendiri untuk melakukan evaluasi kritis atas keadaan dirinya. Hasilnya mereka secara aktif dan partisipatif melakukan perubahan sistemik atas diri dan lingkungannya. Dengan demikian, perubahan yang kemudian dilakukan bukan atas dorongan siapapun, namun justru karena merupakan kebutuhan kultural dan sosialnya.
Model aksi dalam paradigma PAR ternyata memiliki korelasi yang kuat dengan pemikiran Ife mengenai pemberdayaan khususnya dalam proses penguatan atas struktur yang menindas. Partisipasi dalam kredo PAR sama kuatnya dengan proses penguatan atas struktur yang menindas yang diinginkan oleh Ife.

6.   Keterkaitan gerakan personal dan politik[16]

Menurut Ife, keterkaitan antara pribadi dan politik, individu dan struktur, atau masalah privat dan isu publik, merupakan komponen esensial  dalam pemberdayaan masyarakat. Sebab berbagai pengalaman pribadi bisa dikaitkan dengan politik, bahkan ini juga merupakan kontribusi penting dari kebangkitan politik kaum perempuan. Di mana mereka mampu memperlihatkan aspek politik dari aktivitas privat seperti hubungan seksual, menjadi semacam arena penindasan kepada perempuan.
Sementara di sisi lain, banyak proses pemberdayaan masyarakat muncul sangat parsial. Misalnya, penekanan yang terlalu kuat pada sisi penguatan indvidu saja, atau komunitas saja. Misalnya pemberdayaan yang sifatnya individu adalah konseling; sedangkan pendekatan yang sifatnya terlalu menekankan komunitas seperti pembangunan lembaga-lembaga ekonomi bersama. Tentu saja pendekatan yang parsial ini tidak sepenuhnya salah. Hanya saja perlu ada penekanan lebih luas, terintegrasi, dan komprehensif. Bentuk pendekatan ini oleh Ife disebut sebagai pendekatan personal dan sosial.
Begitu juga dengan outcome dari satu proses pemberdayaan. Hampir semuanya terpisah dari ruang politik. Ife dalam hal ini dengan tegas memberikan penekanan bahwa apa yang akan dilakukan harus menjadi semacam aktivisme politik. Politik yang berarti memperjuangkan tegaknya keadilan dan juga kebenaran serta demokrasi.
Tapi cita-cita memperkuat masalah politik, seluruh gerakan pemberdayaan malah akan mandeg pada level komunitas tanpa mengetahui dengan pasti maksud dari gerakan yang dilakukannya.  Salah satu contoh yang menarik diambil sebagai pelajaran adalah isu kuasa otoriter yang dilakukan oleh rejim Orde Baru. Seperti kita ketahui bahwa rejim Orde Baru merupakan wujud nyata dari satu bentuk representasi politik individu yang diterjemahkan menjadi kepentingan politik bangsa, secara sangat salah. Bahkan apa yang dilakukan oleh rejim ini, kemudian dijadikan acuan bagi para politisi saat ini dalam membangun kekuasaannya. Contoh kasus Mobil Timor yang didalamnya melibatkan putera Soeharto:  Hutomo Mandala Putera (HMP). Kepentingan ekonomi HMP untuk mengeruk untung dari ceruk pasar mobil mewah menjadi seolah-olah kepentingan bangsa yang kemudian dilegitimasi oleh berbagai aturan pendukungnya.
Bercermin dari kasus di atas, menjadi sangat jelas mengapa penting sekali memberikan pemahaman yang mendalam mengenai gerakan-gerakan pemberdayaan. Gerakan-gerakan ini harus memuarakan dirinya pada satu cita-cita politik. Bukan anti politik.

7.   Kepemilikan komunitas[17]

Program pemberdayaan masyarakat akan menjadi hampa jika masyarakat tidak diorientasikan kepada partisipasi aktif masyarakat sendiri sebagai komunitas yang diperkuat. Partisipasi aktif ini bisa terjadi dengan kuat jika masyarakat selain sebagai beneficiaries, juga sebagai pemilik dari keseluruhan program dan outcomenya.
Tentu saja kepemilikan yang dimaksud dalam konteks ini bukan model kepemilikan perusahaan. Tetapi model kepemilikan yang didasarkan karena perasaan memiliki dan menjadi bagian dari program. Oleh karenanya, dalam proses  pemberdayaan tersebut, mekanisme kepemilikan memungkinkan komunitas sendiri yang akan melakukan self control terhadap berbagai agenda yang direncanakannya. Misalnya apakah komunitas tersebut mau melakukan pelayanan kesehatan, pendidikan, bahkan membuat keputusan mengenai berbagai aktivitas dan pembangunan di tingkat lokal.[18]
Dengan adanya proses 'kepemilikan' maka mekanisme transferring of knowledge menjadi sangat penting. Sebab tumpuan dari pemberdayaan masyarakat bukan lagi kepada agen atau pekerja CD melainkan sudah kepada komunitas. Di sisi lain, sistem demikian memberikan pancingan kepada fasilitator untuk lebih bisa melakukan improvisasi program. Model-model program yang top down, tex books, dan sejumlah sistem yang baku menjadi sangat minimal untuk dilakukan.
Kasus yang menarik diangkat di sini, misalnya adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Meski program ini bersifat sangat struktural, dimana inisiasinya dilakukan oleh pemerintah, tetapi secara metodologis di lapangan program ini cukup memberikan warna lain dalam konteks pemberdayaan.
Pada kasus PNPM di Desa Kedungwaringin Bekasi, misalnya, ada satu program pendirian Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Di sini sekolah PAUD menjadi refresentasi bagaimana komunitas memikirkan, menganalisis semua kendala dan kebutuhan, serta membuat rancangannya. Sehingga keputusan berbasis kemauan komunitas menjadi terlaksana. Sehingga sekolah yang dibangun kemudian menjadi inklusif. Bahkan lebih jauh, ibu-ibu dari orang tua anak yang disekolahkan di sana kemudian juga dilibatkan secara aktif dalam proses pengembangannya. [19]

8.   Kepercayaan diri[20]

Kelemahan mendasar dari masyarakat miskin atau mereka yang disebut kurang berhasil dalam kehidupan adalah melemahnya kepercayaan diri, terutama ketika mereka harus melakukan satu upaya-upaya advokatif atas haknya. Dalam konteks demikian, maka menjadi sangat penting bagi satu proses pemberdayan jika di antara tujuannya membangun kepercayaan diri komunitas.
Dalam hal ini Ife sangat memberikan penekanan bahwa di antara agenda pemberdayaan adalah meningkatkan kepercayaan diri masyarakat yang diberdayakan. Lebih jauh, sebenarnya apa yang disarankan Ife ini adalah agenda perubahan mental dan spiritual. Sebab proses membuat orang menjadi lebih percaya diri dalam menghadapi kehidupannya merupakan agenda dan program yang cukup berat. Bahkan sebelum hal-hal lain, agenda perubahan mental menjadi yang pertama kali harus dilakukan.
Adapun metodologinya di lapangan bisa dilakukan melalui berbagai cara. Misalnya pelatihan, kunjungan lapangan agar bisa mendapatkan pelajaran dari wilayah lain, sampai kepada metode cuci otak.
Dalam konteks yang lebih luas, upaya ini sejalan dengan visi perubahan melalui pendekatan pembangunan kapasitas. Dalam sebuah laporan yang dilakukan oleh lembaga donor, disebutkan bahwa agenda capacity building  akan meningkatkan kemampuan CSO (civil society organization) untuk berkontribusi lebih besar kepada seluruh desain program, mekanisme pengelolaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi, dan bahkan membukakan diri untuk bekerja sama dengan pemerintahan regional.[21] Dengan demikian, perubahan mental menjadi lebih memiliki kepercayaan diri sangat penting dilakukan karena sejalan dengan model pembangunan kapasitas dari masyarakat yang diberdayakan.

9.   Kemandirian dari negara[22]

Independensi adalah spirit yang harus diambil dalam melakukan community development atau CD. Tanpa kuasa independen, program CD tidak akan bisa berjalan maksimal. Sikap independen memberikan keleluasaan kepada agen perubahan untuk melakukan intervensi kepada komunitas dengan bebas, tanpa beban, dan—yang lebih penting—bebas dari kepentingan politik seseorang atau sekelompok orang, sehingga dengan sendirinya juga bebas membangu kepentingan dirinya.
Pemberdayaan masyarakat adalam upaya kritis atas cara-cara yang menindas, yang dilakukan oleh siapapun. Entah itu negara, kelompok, elit tertentu, dan siapapun yang melakukan tindakan-tindakan merusak relasi kemanusiaan seseorang. Negara dalam hal ini tidak boleh dipahami secara sempit. Misalnya hanya aparatus yang menguasai sumberdaya politik dan birorasi saja. Negara atau state dalam hal ini juga harus dipahami dalam konteks yang lebih luas, yakni mereka yang juga menjadi agen-agen negara, misalnya pebisnis dan politisi yang elitis.
Pemberdayaan masyarakat harus mampu membebaskan dirinya dari ketidak kuasaan mengatasi problem tersebut. Sehingga dengan sendirinya, upaya ini bisa dengan merdeka melakukan pembebasan.
Jika kita melihat kepada poin-poin di atas, maka menjadi sangat jelas mengapa aspek ini menjadi sangat penting ditekankan oleh Ife. Ife tidak ingin upaya-upaya kritikal seperti pembongkaran atas struktur yang menindas itu, menjadi terhambat karena gagalnya para agen perubahan itu melakukan negosiasi kritis atas sikap independensi dari negara.

10.Tujuan jangka pendek dan visi jangka panjang[23]

Pada bagian ini, proses pemberdayaan diletakkan dalam satu kehendak untuk membangun masa depan. Untuk itu, cara-cara yang mereduksi gerakan menjadi satu proyek jangka pendek, harus jauh-jauh dihilangkan. Dalam konteks ini, Ife memberikan perspektif bahwa sebuah gerakan pemberdayaan harus—dan mau tidak mau—dimuati satu misi mengenai proses untuk membangun cita-cita. Di sini kemudian dibangun apa yang dalam istilah keorganisasian disebut sebagai visi.
Jadi visi harus dibangun sebagai ujung dari cita-cita kegiatan. Dari visi inilah kemudian disusun satu kerangka praktis jangka pendek yang lebih taktis dan operasional. Untuk bisa lebih 'nyangkut' mengenai penjelasan ini, kita bisa melihat satu proses pemberdayaan ala pesantren.
Pesantren adalah miniatur masyarakat, demikian beberapa ahli berkesimpulan. Hal ini terjadi karena pesantren didirikan dengan kaidah membangun masyarakat. Visi dan misi pesantren kebanyakan dikaitkan dengan pengembangan keumatan. Untuk menjalin visi itu dalam gerakan, kemudian disusun dalam program-program yang lebih operasional, seperti pendidikan, networking, dan lain-lain.
 Menurut Saepurrohman (2005), paling tidak tiga hal yang mesti digarap oleh pondok pesantren yang sesuai dengan jati dirinya. Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Fungsi ini tetap harus melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Kedua, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khusus agama Islam. Ketiga, dunia pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformasi, motivator, dan inovator.[24]
Dengan mengambil asosiasi pesantren seperti dikutip di atas, menjadi jelas bagaimana praktek dari sebuah perencanaan komunitas. Di dalam model pesantren, jelas sekali terlihat bagaimana visi jangka panjang dituangkan dalam program-program sistematis jangka pendek. Sehingga kemudian bisa menjelma menjadi satu bangunan utuh pemberdayan masyarakat.  

PENUTUP: Aspek Strategis Pemikiran Ife dalam Konteks Comdev di Indonesia

Mengutip penjelasan dari Prasojo (2003) bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan suatu rangkaian tindakan yang sistematis dan melibatkan berbagai komponen organisasi formal dan non formal. Pemberdayaan masyarakat adalah suatu gerakan (movement) untuk menghimpun kekuatan dan kemampuan masyarakat beserta lingkungannya.[25] Dalam konteks seperti ini maka konsep pemberdayaan masyarakat dengan perspektif Ife menemukan relevansinya.
Dengan kerangka pemikiran di atas pula, menjadi sangat nyata bahwa substansi pemikiran Ife dengan model pemberdayaan untuk Indonesia memenukan banyak kecocokan. Apalagi ada aspek-aspek non-teknis yang menjadi pertimbangan mengapa pemberdayaan dengan pendekatan Ife menjadi sangat penting.
Sebagai bangsa yang jumlah muslim mayoritas dan memiliki keragaman strata sosial berbasis agama, pendekatan Ife menjadi sangat relevan. Di mana salah satu kunci utama yang mengedepankan aspek spiritualitas, menjadi sangat penting dilakukan. Ife sepertinya sudah bergulat lama dengan realitas di masyarakat negara berkembang bahwa upaya pemberdayaan harus melibatkan proses-proses spiritual. Sebab dalam spiritual itulah, bagi beberapa kalangan, proses perubahan mental dan sosial terjadi.
Tidak terkecuali bagi Indonesia. Proses perubahan melalui arena ini menjadi sangat penting. Kasus-kasus aktual seperti pembakaran dan penistaan atas satu kelompok agama tertentu, atau tekanan batin karena melihat dunia yang sudah sedemikian brengsek sehingga memancing seorang ibu tega menghabisi anak-anaknya, adalah bukti nyata bahwa proses pemberdayaan masyarakat di Indonesia harus melibatkan aspek spiritual dalam konsep, praktik, dan tujuannya.
Lebih jauh, kesesuaian antara kerangka yang dibangun Ife untuk pemberdayaan di Indonesia, bisa dilihat pada beberapa poin berikut:
1.     Gagasan Ife memberikan input positif bagi apa yang sedang dilakukan oleh para aktivis pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Selain memberikan pengayaan teoritik, juga memberikan ruang diskursus yang lebih luas;
2.     Sebenarnya banyak gagasan Ife sudah dipraktikkan dalam proses pemberdayaan di Indonesia. Hanya saja, nuansa dari pemberdayaannya terasa masih konservatif. Di sinilah apa yang dikemukakan Ife menjadi sangat penting. Sebab selain memperluas gagasannya, Ife juga memberikan arena yang lebih relevan bagi gerakan pemberdayaan.
3.     Dimensi-dimensi pemberdayaan ala Ife memiliki relevansi yang kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia. Terlebih sebagai masyarakat yang secara sosiologis beragama dan plural. Model pemberdayaan Ife menawarkan banyak kelebihan.
Akhirnya, gagasan besar Ife hanya bisa teraplikasikan jika para aktivis mengimplementasikannya dengan tetap metodologis, sistematis, dan kritis. Sebab jika tidak, apa yang dipikirkan oleh Ife akan hanya menjadi buku babon yang dipahami sewaktu dalam perkuliahan saja.

Catatan Akhir:


[*] Penulis adalah Dosen di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kontak Pribadi: 081510191576. Email: brh_journalist@yahoo.com


[1] Tentu saja tidak ada kesamaan persis antar masing-masing istilah yang dimunculkan. CSR dengan community development misalnya, sangat berbeda dari sisi sifat kelembagaan yang menunaikan. CSR umumnya ditunaikan oleh perusahaan bisnis semata, sedangkan comdev lebih luas daripada itu. Begitu juga dengan konsep-konsep pemberdayaan (development) atau penguatan (empowerment), dan sejumlah konsep lain hampir serupa dan memiliki titik singgung, sebenarnya memiliki derajat berbeda-beda di tingkat praktik.
[2] Artikel ini sangat sengaja tidak membahas sosok Jim Ife secara personal. Hal ini dimaksudkan agar seluruh pemabahasan diletakan dalam konteks kemasyarakatan dan humanisme universal yang digagas dan diperjuangkan Ife, bukan pada sosok personalnya.
[3] Prinsip-prinsip ini diadopsi dari Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives—vision, analysis and practice. h. 177 – 199.
[4] Ife, Jim. Ibid. h. 178.
[5] Istilah Masjid Ahmadiyah sendiri memang menyesatkan, baik secara sosiologis, politis, apalagi secara historis. Sebab dalam tradisi Islam, tidak ada dikenal identifikasi dan penamaan sebuah Masjid berbasis etnik, kelompok, atau golongan tertentu.
[6] Ife, Jim. Op.Cit. h. 179.
[7] Selengkapnya bisa dilihat dalam, Amaladoss, Michael. 2001. Teologi Pembebasan Asia. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. h. 3 – 249.
[8] Ife, Jim. Op.Cit. h. 180.
[9] Lihat, Wignjosoebroto, Soetandyo. 2005. Hak-Hak Asasi Manusia Konsep Dasar dan Perkembangan Pengertiannya dari Masa ke Masa. Makalah dipresentasikan untuk Kursus HAM untuk Pengacara X, 2005 yang diselenggarakan ELSAM.
[10] Ife, Jim. 2004. Community Development and Human Rights. Paper yang dipresentasikan pada Community Development, Human Rights and the Grassroots Conference. Deakin University, April 2004.
[11] Hikmat, R. Harry. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. h. 2.
[12] Ife, Jim. 1995. Op. Cit. h. 181.
[13] Departemen Sosial RI-Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial. 2008. CSR mendukung pemberdayaan sosial. Dalam Koran Tempo, Rabu 30 April 2008.
[14] Ife, Jim. Op.Cit. h. 182.
[15] Agusta, Ivanovich. 2006. Penerapan Riset Aksi dalam Pemberdayaan dan Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat. Paper dipresentasikan pada Pelatihan PAR di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tanggal 20 Mei 2006.
[16] Ife, Jim. Op.Cit. h.183.
[17] Ife, Jim. Op.Cit. h.184.
[18] Ife, Jim. Ibid. h.185.
[19] Anonim. 2008. PNPM Mandiri tingkatkan Perekonomian Desa Kedungwaringin, Bekasi. Dalam Koran Tempo, Rabu 30 April 2008. h. A3.
[20] Ife, Jim. Op.Cit. h.185.
[21] Asian Development Bank. 2003. Strengthening Civil Society Participation In The Design, Implementation, And Monitoring Of Asian Development Bank Projects. Paper report.
[22] Ife, Jim. Op.Cit. h.186.
[23] Ife, Jim. Op.Cit. h.187.
[24] Lihat, Saepurrohman. 2005, Peran Pesantren Dalam Pemberdayaan Umat. Dalam Koran PIkiran Rakyat Kamis, 07 Juli 2005,
[25] Resume hasil penelitian penulis dan tim Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial dan Politik
(PKSPSP) FISIP UI tahun 2003 dalam literatur research dengan judul "Pola dan Mekanisme
Pemberdayaan Masyarakat di DKI Jakarta".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini