Minggu, 15 Juli 2012

Relation Democracy and Islam in Indonesia

POLA RELASI DEMOKRASI DAN ISLAM DI INDONESIA

Suhaimi*


Pola relasi antara demokrasi dan Islam sebagai seperangkat doktrin normatif  dan prosedural menyebabkan hubungan yang erat dan komplementer diantara keduanya. Demokrasi sebagai wujud kedaulatan rakyat menghendaki adanya politik partisipatoris yang memberi ruang berdaulat bagi warga masyarakat. Sementara Islam sebagai agama juga memiliki kepedulian terhadap tegaknya keadilan, penegakkan hukum, kesejahteraan dan lain-lain yang juga menjadi esensi demokrasi. Namun, normatifitas bagaimana membangun sebuah bentuk masyarakat  yang dikonsepsikan dalam sistem demokrasi juga dalam agama Islam, belum tentu dapat diimplementasikan dalam prosedur bernegara dan bermasyarakat. Praktik demokrasi di banyak negara-negara Islam sepanjang sejarahnya, memang banyak yang tak dapat berjalan secara maksimum. Hal ini, disebabkan cara pandang yang beragam tentang bagaimana demokrasi diintegrasikan dengan konsepsi yang sudah ada sebelumnya. Begitu pun yang terjadi dalam praktik berdemokrasi di Indonesia. Pola hubungan keduanya senantiasa diwarnai oleh sejarah yang menjadi konteksnya.

Key Words : Demokrasi, Transisi Kekuasaan, Konsepsi Islam, Demokrasi di Indonesia

Pendahuluan
Demokrasi pada awal sejarahnya lahir sebagai bentuk politik partisipatoris yang  melibatkan seluruh warga kota kecil yang disebut polis di Yunani Kuno (Ancient Greek). Istilah demokrasi  secara harfiah diambil dari kata bahasa Latin demos berarti rakyat dan kratos berarti kekuasaan.  Secara historis  teori demokrasi lahir sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja dan kedaulatan Tuhan.[1] Jadi dalam sejarah lahirnya demokrasi atau kedaulatan rakyat merupakan pardigma baru yang menjadi pembangkangan  terhadap legitimasi kekuasaan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja  sebagai dasar kekuasaannya. Sehingga pada gilirannya sekularisme dan antroposentrisme menjadi ciri yang melekat pada demokrasi, khususnya demokrasi ala Barat. 
Demokrasi kemudian telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal.  Larry Bermann dan Bruce Allen Murphy dalam buku Approaching Democracy menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 1996 tidak kurang 118 negara  dari 191 negara di dunia ini yang mendambakan  sistem pemerintahan demokrasi.[2]


Transisi Menuju Demokrasi
Bahtiar Effendy mencatat bahwa akhir kwartal abad ke-20 merupakan periode demokrasi  yang paling menjanjikan dalam sejarah peradaban modern, karena pada kenyataannya tercatat antara 1974 hingga 1992 terdapat tiga puluh negara yang mengalami proses transisi ke demokrasi. Namun demikian para pengamat  tidak memasukkan di dalamnya sebagian besar dunia Islam.[3]
Para ahli seperti Larry Dimond, Juanz Linz, dan Seymour Martin Lipset berpendapat bahwa kebanyakan negara-negara Islam tak dapat diharapkan melakukan proses transisi ke demokrasi, bahkan  Samuel P. Huntington  menandaskan bahwa , " confucion democracy is clearly  contradiction in terms. It is unclear whether 'Islamic democracy' is."[4]    
Dalam tulisan berjudul "Defisit Demokrasi di Dunia Islam," Sukidi Mulyadi mengutip survey hak-hak politik  dan kebebasan sipil 2001-2002  Freedom House yang berkesimpulan bahwa dunia Islam secara umum gagal membangun demokrasi. Adrian  Karatncky, Presiden lembaga itu mengatakan  terjadi the democracy gap antar  dunia Islam dan dunia  non Islam.[5] Laporan  Freedom House, 2002, menyatakan sbb :
Di antara 47 negara dengan mayoritas  Islam, hanya 11 negara (sekitar 23 persen) yang memenuhi standar minimal demokrasi (prosedural) dimana pemerintahannya terpilih melalui pemilu secara demokratis. Sekadar sebagai perbandingan, di negara-negara non-Islam, diperoleh data sekitar 110 dari 145 negara (lebih dari 75 persen) yang memenuhi standar demokrasi (prosedural) melalui pemilu demokratis. Jadi Negara-negara non-Islam hampir lebih tiga kali lipat ketimbang dunia Islam. Yang mengejutkan, tak satu pun dari 16 negara-negara Arab yang memenuhi standar minimal demokrasi melalui pemilu demokratis. Bahkan terkait soal indeks kebebasan (freedom), kesenjangan antara dunia Islam dengan negara-negara non-Islam tampak semakin lebar. Di dunia Islam hanya satu negara, Mali di Afrika, yang masuk sebagai negara yang memenuhi peringkat bebas penuh (free), sementara 18 negara masuk peringkat bebas sebagian (partly free), dan sisanya, 28 negara tidak bebas (not free). Sebliknya di negara-negara non-Islam, 85 negara masuk peringkat bebas, 39 negara bebas sebagian, dan hanya 21 negara yang dikategorikan sebagai tidak bebas.[6]


Islam dan Esensi Demokrasi
Demokrasi adalah setiap bentuk pemerintahan yang selalu mengembalikan pada kekuasaan rakyat yang dilandaskan pada kontrol masyarakat dan kesetaraan politik, seperti yang ditegaskan oleh Presiden  Amerika Serikat Abraham Lincoln,"Democracy of the people, by the people and for the people."[7]
Demokrasi secara konstitusional baru muncul sebagai suatu program dan sistem politik yang konkrit pada akhir abad ke-19. Ditetapkan bahwa syarat-syarat dasar  untuk terselengaranya pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law ialah : [8]
1.      Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain dari menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2.      Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3.      Pemilihan umum yang bebas;
4.      Kebebasan untuk menyatakan pendapat;
5.      Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
6.      Pendidikan kewarganegaraan.  

Bagaimana pandangan sarjana muslim tentang demokrasi? Masykuri Abdillah telah menginventarisir secara umum bagaimana respons intelektual Islam di dunia termasuk di Indonesia terhadap demokrasi, menurutnya hal itu dapat diklasifikasikan  ke dalam lima bentuk, yaitu tradisionalis, reformis, modernis, fundamentalis dan neo-modernis.[9]
Kaum modernis  adalah mereka  yang melakukan artikulasi dan upaya penyadaran untuk mereformulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam istilah-istilah pemikiran modern atau untuk menyatukan pemikiran dan institusi modern dengan tradisi Islam. Dari para modernis Islamlah kemudian bergulir wacana demokrasi Islam, sosialisme dan nasionalisme Islam.  Sementara Kaum fundamentalis Islam adalah mereka yang membela doktrin Islam dan yang menegaskan superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara total. Mereka mengharamkan istilah dan konsep demokrasi.  Kaum tradisionalis adalah mereka yang memegangi  pemikiran Islam dari ulama abad pertengahan tanpa melakukan usaha-usaha mengubah bentuknya secara substantif, termasuk dalam merespons masalah kemasyarakatan kontemporer. Pada  umumnya mereka menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup, sehingga ajaran Islam diambil dengan mengikuti mazhab tertentu (mazhab hukum Islam). Kaum reformis adalah mereka yang melakukan usaha-usaha  reinterpretasi doktrin Islam dan menentang penyimpangan agama  atau bid'ah yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah. Mereka juga menuntut atas perlunya mengikuti ulama salaf. Tokoh utama mereka adalah Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahab, Rasyid Ridla. Kaum neomodernis adalah mereka yang melakukan usaha-usaha untuk menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisionalis. [10]
Allah Swt  memerintahkan umat manusia sebagai khalifah–Nya di muka bumi  untuk menjaga amanat, bersikap adil serta mematuhi perintah Allah Swt  dan  Rasulullah serta Ulil Amri, baik para umara/aparatur pemerintah maupun para ulama dalam menjalankan tugas menegakkan agama dan mengatur urusan dunia melalui penegakan hukum syariat, hukum fikih dan siyasah (perundang-undangan).[11]
Prinsip atau asas menegakkan keadilan termaksud di atas antara lain disebutkan dalam Surat al-Nisa (4), 58-59 yang artinya sbb:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."

Berdasarkan ayat tertulis di atas dalam ajaran Islam terdapat tiga kategori hukum yang wajib dijalankan oleh setiap orang muslim yang terdiri dari:
1)    Hukum syariat  dalam arti ketentuan Allah swt yang berkaitan dengan perbuatan subjek hukum berupa suatu perbuatan, memilih atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang;
2)    Fikih dalam arti ilmu atau pemahaman tentang hukum-hukum syara' yang bersifat perbuatan yang dipahami dalil-dalilnya yang rinci;
Kategori satu dan dua disebut sebagai hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur'an dan sunnah atau hadits Rasulullah Muhammad saw secara tekstual baik yang bersifat ajaran, yuridis, legalistik maupun normatif.
3)  Siyasat yang lebih dikenal dengan peraturan perundang-undangan yakni ketentuan berdasarkan kewenangan pemerintah untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan, melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.[12]

Selain keadilan (al-adalah) sebagai nilai dasar kehidupan menurut Islam yang sejalan dengan demokrasi, terdapat pula nilai persamaan  (al-musawah) yang antara lain tertulis dalam firman Allah swt  Surat al-Hujurat (49) : 13 berarti:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal."

Nilai kemerdekaan (al-huriyah) seperti tertulis dalam Surat Yunus (10) : 99 berarti:
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya?"

  Nilai persaudaraan (al-ukhuwwah) seperti termaktub dalam  Surat al-Hujurat (49) : 10 berarti:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat"

Nilai toleransi (al-tasamuh) tertulis dalam firman Allah  swt  Surat al-An'am (20) : 108 berarti:
"Dan janganlah kamu memaki-maki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan"

Menurut Masdar F. Masudi demokrasi sejalan pula dengan landasan syariat Islam yang menjamin hak-hak asasi manusia berupa: [13] hak untuk hidup (hifdz al-nafs); sesuai dengan firman Allah swt Surat al-Isra (17) : 33 yang artinya:
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu alasan yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya (atau penguasa untuk menuntut si pelaku), tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan."
 
Hak beragama (hifdz al-din) berdasarkan firman Allah swt Surat al-Baqarah (2) : 256 berarti:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah"

Hak berfikir (hifdz al-aql) sesuai dengan firman Allah swt Surat al-A'raf (7) : 179 yang artinya:
"Dan sungguh, akan kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah."

Hak kesejahteraan (hifdz al-mal) berdasarkan firman Allah Swt Surat al-Baqarah (2):  188 yang artinya:
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa urusan  harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.

Serta hak berketurunan (hifdz al-nasl) berdasarkan firman Allah Swt Surat al-Nisa (4) : 1 yang artinya:
"Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak."

Nilai-nilai kompatibelitas  Islam dan demokrasi seperti terdapat dalam nilai-nilai syura/musyawarah,  persamaan, kebebasan, persaudaraan   dan hak asasi manusia antara lain telah dikemukakan juga oleh Hatamar (2003) dalam Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berjudul "Islam dan Demokrasi Studi Perbandingan antar Nilai-Nilai Universal Demokrasi dan Islam." Dia mengutip para modernis Islam seperti Muhammad Abduh (1981) dan Ali Bahansawi (1996), serta Muhammad Dhiauddin Rais.
Syura sebagai nilai dasar sistem politik Islam tercantum  dalam Surat al-Syura [42]: 38 sbb.:
"Orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka dan mereka melaksanakan shalat (dengan sempurna), serta urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka."

Dan dalam Surat Ali Imran [3]: 159: 

" Maka dengan rahmat Allah engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal."  




Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa Nabi Muhammadlah yang diperintahkan bermusyawarah pada ayat tertulis di atas dalam kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat Islam, meskipun beliau ma'shum  Allah Swt menghendaki Rasulullah Muhammad Saw memberikan contoh nilai konsultasi agar ditiru oleh umat Islam yang lain.[14]

Islam dan Prosedur Kekuasaan
Nabi Muhammad Saw memimpin ummat Islam Hijrah ke Yatsrib Madinah setelah beliau melaksankan Bai'at Aqabah I dan Bai'at Aqabah II terhadap orang-orang Suku Khazraj dari Yatsrib  pada tahun ke-11 Kenabian. Setelah Nabi hijrah, Yatsrib berganti nama Madinah dimana beliau  memimpin pemerintahan Islam secara konstitusional dalam Piagam Madinah yang mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas Islam dengan komunitas Yahudi dan suku-suku Arab  lainnya yang belum masuk Islam.[15]
Piagam Madinah menjadi konstitusi Negara Islam pertama yang mengatur bahwa semua warga yang tinggal di Madinah tergabung dalam satu masyarakat (pasal 1) yang secara fisik dan politis berbeda dengan kelompok lain dan secara tegas menyebutkan Allah dan Muhammad Saw  sebagai hakim dan sumber kekuasaan terakhir (pasal 23, 36 dan 42).[16]
Semasa hidup Muhammad Saw tidak menetapkan petunjuk  bagaimana cara menentukan Kepala Negara, selain petunjuk Al-Qur'an bersifat umum agar umat Islam menempuh jalan musyawarah. Itulah sebabnya  mengapa empat orang Al-Khulafa Al-Rasyidun, pengganti beliau ditentukan   melalui musyawarah dengan polanya yang beraneka ragam.
Abu Bakar menjadi Khalifah Pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan di Saqifah, dia mengingatkan bahwa   Muhammad saw pernah bersabda kepemimpian umat Islam seyogyanya dari suku Quraisy untuk menjamin keutuhan Bangsa Arab, kemudian dia menawarkan   dua tokoh Quraisy, Umar ibn Khattab dan Abu Ubaidah ibn Jarah untuk dipilih, tapi Umar berbaiat menyatakan kesetiaannya kepada Abu Bakar sebagai khalifah.
Umar ibn Khattab   mendapatkan kepercayaan  sebagai Khalifah Kedua tidak melalui forum musyawarah terbuka, tetapi melalui penunjukan     atau wasiat dari Abu Bakar ketika sakit yang dituturkan kepada Utsman ibn Affan. Berdasarkan wasiat itu kemudian Umar dibaiat secara umum dan terbuka di Masjid Nabawi. 
Atas desakan beberapa tokoh masyarakat, Umar ibn Khattab menyebutkan enam sahabat senior untuk berunding memilih satu diantara diri mereka menjadi pengganti dirinya sebagai khalifah: Ali ibn Abu Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abd  al-Rahman ibn Auf, Zubair ibn Awwam dan Thalhah ibn Ubaidillah serta Abdullah ibn Umar. Berdasarkan proses ijtihad Abd al-Rahman ibn Auf menembus kebuntuan perundingan antar mereka, Utsman ibn Affan kemudian menjadi Khalifah Ketiga.
Dua belas tahun kemudian Ali ibn Abu Thalib diangkat menjadi Khalifah Keempat melalui pemilihan yang penyelenggaraannya jauh dari sempurna. Setelah pemberontak membunuh Utsman ibn Affan, mereka mendesak Ali agar bersedia diangkat menjadi khalifah, maka atas dukungan baiat dari Thalhah, Zubair dan Saad, Ali ibn Abu Thalib bersedia menjadi khalifah.
Pemilihan khalifah melalui beraneka bentuk musyawarah atau persetujuan dari tokoh-tokoh masyarakat berganti pada saat Mu'awiyah ibn Abu Sufyan menduduki jabatan khalifah berkat ketajaman pedang dan tipu muslihat, kemudian pada akhir hayatnya dia menunjuk Yazid anaknya sebagai calon penggantinya, maka pada masa Dinasti Umayyah jabatan Kepala Negara ditentukan atas dasar keturunan atau monarki.
Sistem monarki juga dilestarikan oleh penguasa Dinasti Abbassyiah yang berkuasa setelah menumbangkan Dinasti Umayyah, bahkan pada masa Abbasyiah pengertian khalifah telah diwarnai dengan alam pikiran Persia bahwa khalifah memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan dan bukan dari rakyat.
Hal sebaliknya  dikemukakan oleh Abu al-A'la al-Maududi  yang mengatakan bahwa manusia memang sebagai khalifah Allah di bumi, tapi itu berarti bahwa kedaulatan sesungguhnya adalah milik Tuhan sedang manusia hanyalah pelaksana kedaulatan itu yang harus tunduk kepada hukum Allah. Jadi sistem pemerintahan Islam lebih tepat disebut teokrasi.
Tetapi teokrasi  Islam adalah sesuatu   yang sama sekali berbeda dari teokrasi dimana orang Eropa mempunyai pengalaman yang lebih pahit…. Jika saya diperkenankan membuat istilah baru, saya akan melukiskan sistem pemerintahan ini sebagai sebuah 'theo-demokrasi', yakni sebuah pemerintahan demokratis yang bersifat ketuhanan, karena di bawah sistem 'theo-demokrasi itu orang-orang Islam melaksnakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaualtan Tuhan.[17]

Menurut Salim Ali al-Bahansawi konsep syura secara praktis menunjukkan sistem politik Islam sbb.:
1.      Kepentingan negara diambil dari kekuasaan publik melalui pemilihan. Kekuasaan publik itu diwujudkan dalam lembaga perwakilan rakyat. Para wakil itu  dipilih oleh rakyat untuk memilih penguasa, mengawasinya dan memberhentikannya jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip umum kenegaraan dan agama;
2.      penguasa menjalankan pekerjaan dan tugasnya sesuai dengan akad antara rakyat dan dirinya. Akad ini berupa baiat yang diwakili antara penguasa dan Ahl al-Hilli wa al-Aqd (wakil-wakil yang memiliki keahlian untuk meluluskan atau menahan kebijakan pemerintah) sebagai wakil rakyat. Setelah itu dilaksanakan baiat umum antara penguasa itu dengan rakyat seluruhnya. Baiat ini menegaskan bahwa penguasa dari rakyat dan mewakili mereka. Sedangkan Ahl al-Hilli wa Al-Aqd mewakili rakyat (umat) dan juga mewakili para ulama, pejabat daerah, kepala suku, kelompok professional dan intelektual. Penguasa tidak memilih mereka. Sebab nabi saw meminta kepada public untuk memilih para wakil rakyat.  
3.      Sistem ini berpusat pada musyawarah. Asas musyawarah ini berbeda dengan demokrasi dalam banyak hal meskipun dalam beberapa hal tidak berbeda:
a.       Sistem demokrasi mengantar para wakil rakyat pada kekuasaan legislatif secara mutlak, bukan pada hukum Tuhan. Sedangkan dalam Islam tidak dibenarkan membuat undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang-Nya.
b.      Sistem demokrasi dan syura mempunyai kesamaan dalam beberapa hal, diantaranya bahwa rakyatlah yang memilih ahli syura, rakyat memilih penguasa, mereka mempunyai hak untuk memberhentikan dan mengawasinya.[18]

Tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an  dan Sunnah yang mendukung supremasi Ahl al-Hilli wa Al-Aqd, demikian Ibnu Taimiyah menandaskan dalam perluasan pengertian baiat dalam proses pemilihan Kepala Negara, menurutnya baiat sebaiknya melibatkan semua unsur masyarakat, semua pihak yang berpengetahuan dan berbakat   serta berpengaruh. Tidak hanya melibatkan ulama.[19] Jadi menurutnya proses baiat  seorang Kepala Negara  dalam sistem politik Islam melibatkan keikutsertaan masyarakat secara langsung.

Demokrasi di Indonesia
Di Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, konsep demokrasi  telah diterapkan melalui tiga model yang dikenal sebagai Demokrasi  Liberal atau Demokrasi Parlementer (1950-1958), Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Demokrasi Pancasila (1966 sampai sekarang). 
Berdasarkan penerapan demokrasi secara luas tertulis di atas, demokrasi tidak hanya merupakan ide Barat dan model demokrasi liberal bukanlah satu-satunya bentuk demokrasi yang mungkin. Demokrasi di Indonesia mengandung nili-nilai dasar kemanusiaan yang universal yang diilhami tidak hanya dari pemikiran liberal Barat, tetapi juga nilai-nilai dari Al-Qur'an dan nilai-nilai lokal tradisional Indonesia. 
C.A.O. Nieuwenhuije (1958) meneliti politik Islam Indonesia dengan Pendekatan Dekonfessionalisasi Islam. Dia mengatakan seperti halnya  jenis dekonfessionalisasi di Belanda,  Islam di Indonesia rela melepaskan sikap formal untuk memperluas penerimaan semua kelompok berkepentingan tanpa harus berubah keyakinan, Misalnya  ketika umat Islam menerima Pancasila.[20]
Lain halnya Harry J. Benda dengan Pendekatan Domestifikasi  Islamnya meneliti politik Islam Indonesia    abad ke-16 sampai abad ke-18, menurutnya kekuasaan politik Islam di Indonesia terdomestifikasi seperti terlihat dalam penolakan ide negara Islam, pembubaran Masyumi, serta pemapanan ideologi Pancasila dalam politik Indonesia kontemporer.[21]       
Bahtiar Effendy juga menyatakan terdapat beberapa pendekatan lain dalam penelitian politik Islam Indonesia sbb.[22]:  
Pendekatan Skismatis dan Aliran oleh Robert R. Jay dan Clifford Geertz yang berusaha menjawab pertanyaan: Mengapa perebutan kekuasaan antar Islam dan Jawaisme terjadi?  
Berdasarkan penelitian historis  dan penafsiran antropologis yang luas, Robert Jay menyimpulkan sesuai sejarah Islamisasi di tanah Jawa terdapat dua model keberislaman yaitu muslim "ortodoks' (santri) dan muslim "sinkritisme" (abangan). Kecendrungan skismatis keduanya kemudian berkembang ke bidang non-agama, seperti politik dengan terjadinya permusuhan antara negara-negara pesisir di bawah kerajaan Demak dan negara sinkritisme Mataram sepanjang abad ke-16. Hal itu juga terjadi dalam konteks sejarah politik Indonesia modern seperti antara lain terjadi pada periode pascakolonial pada perdebatan-perdebatan ideologis dan konstitusional yang menyebabkan pengelompokan muslim nasionalis sekuler dan muslim ortodoks pada 1940-an dan 1950-an dan tampak pada hasil pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tahun 1955.
Hal itu juga dijadikan contoh oleh Clifford Geertz (1959) yang mengembangkan konsep aliran dalam tiga varian sosio-kultural yang terkenal: abangan (pandangan dunia dan etos yang sinkritis terlihat pada mayoritas penduduk yang petani), santri (Islam terlihat pada pedagang) serta priyayi (bercorak kehinduan tampak pada unsur birokrasi). Menurut Geertz  pada   pemilu tahun 1950-an kelompok santri cenderung mengarahkan orientasi politik merek ke partai-partai politik Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Masyumi, sedangkan abangan dan priyayi lebih suka mengekspresikan kedekatan politis mereka dengn partai "nasionlis" Partai Nasionalis Indonesia (PNI) atau Partai Komunis Indonesia (PKI).
Donald K. Emmerson menggunakan Pendekatan Kultural yang mempertanyakan validitas tesis bahwa "Islam yang berada di luar kekuasaan adalah Islam yang tidak lengkap, atau bahwa umat Islam yang tidak terus menerus mengupayakan terwujudnya negara Islam adalah umat Islam yang tidak berbuat sesungguhnya demi Islam."
Dalam perspektif historis, pendekatan kultural  meneliti setelah masa kekalahan politis umat Islam pada sedikitnya lima bidang: konstitusi, fisik, pemilu, birokrasi dan simbol, maka umat Islam Indonesia mengerahkan kembali energi mereka dalam rangka mengembangkan sisi non-poitis dari agama mereka. Kecenderungan diskursus Islam Indonesia sepanjang 1980-an menegaskan dimensi kulturalnya, maka pada gilirannya jika Islam kultural berkembang semakin pesat dan semakin berpengaruh, pertanyaanya kemudian menurut Emmerson: "Siapa sesungguhnya yang mengkooptasi (mempengaruhi atau menguasai) siapa?
Allan Samson, B.J. Boland dan Howard Federspiel menggunakan Pendekatan Trikotomi untuk meneliti politik Islam modern. Samson mencatat bahwa pandangan partai-partai Islam mengenai politik, kekuasaan dan ideologi tidak tunggal, menurutnya muncul orientasi fundamentalis, reformis dan akomodasionis.     
Kelompok fundamentalis mendukung jenis penafsiran Islam yang kaku dan murni, menentang pemikiran sekuler, pengaruh Barat dan sinkritisme kepercayaan tradisional dan menekankan keutamaan agama atas politik. Secara teoritis, kelompok reformis juga menekankan keutamaan agama atas politik, tapi dibanding kelompok fundamentalis, mereka jauh lebih mau bekerjasama dengan kelompok-kelompok sekuler atas landasan yang sama-sama disepakati. Mereka juga amat peduli dengan usaha menjadikan keyakinan agama relevan dengan era modern. Kelompok akomodasionis memberi penghargaan yang tinggi kepada kerangka persatuan yang diberikan Islam, tetapi mereka berpegang pada pandangan bahwa kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi harus mendapat prioritas yang utama oleh organisasi-organisasi Islam. Lebih jauh mereka menekankan keharusan untuk mengakui kepentingan-kepentingan yang bisa dibenarkan dari kelompok-kelompok sekuler dan bekerjasama dengan mereka atas landasan yang sama-sama disepakati.

Tahun 1998 akhirnya reformasi politik di negara Indonesia terlaksana juga, setelah bangsa Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam dikebiri hak-hak politiknya (baca: restrukturisasi partai politik) oleh penguasa Orde Baru rezim pemerintahan Soeharto. Islam politik dan partai politik Islam kembali berperan serta aktif dalam demokrasi Pancasila di Indonesia Pada Orde Reformasi.
Pancasila yang menjadi landasan konseptual kenegaraan Indonesia menempatkan agama dalam peran yang sangat penting, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama dan dipahami sebagai menjiwai sila-sila lainnya.
Dawam Rahardjo menyatakan hal ini berkaitan dengan masalah antara Islam dan Pancasila, bahwa sekalipun secara historis pada mulanya Pancasila itu lebih menampakkan pemikiran Barat, dalam perkembangannya kemudian ideologi Negara Indonesia ini juga dipengaruhi oleh pemikiran Islam, hal itu tampak pada penempatan sila Ketuhanan Yang Maha Esa paling atas dan menjadi fondasi moral yang paling fundamental dari Pancasila.[23]
Berdasarkan kritik yang dikemukakan oleh Bung Hatta terhadap golongan Islam yang bersikap kaku mendesakkan dasar Negara Islam bagi Indonesia dalam Majelis Konstituante, tahun 1950, ummat Islam sendiri pada saat itu tidak siap dengan fondasi religio-kultural, seperti penegasan Syafi'i Maarif bahwa usaha-usaha mengubah Indonesia menjadi suatu Negara Islam pada tahun 1950-an merupakan usaha prematur dan tidak realistis.
Meskipun demikian, Syafi'i Maarif menambahkan pendapatnya bahwa Pancasila sebagai filsafat negara harus bersifat terbuka, maksudnya dalam konteks masyarakat Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam, Syafi'i mengharapkan agar Islam dijadikan sumber moral bagi pelaksanaan Pancasila, khususnya bagi ummat Islam.[24] 
Berkaitan dengan masalah apakah munculnya semangat penerapan perda-perda yang berbau syariah Islam pada beberapa tempat di Indonesia akan menjadi bencana sosial dalam bentuk disintegrasi bangsa? Menurut penulis sudah sewajarnya mendapat tanggapan bermacam-macam, bahkan dari dalam kalangan ummat Islam sendiri.
Pengaruh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi saat ini terhadap pola kehidupan masyarakat Indonesia telah menjadi topik bahasan berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Di beberapa tempat di Indonesia masih ada yang belum terjangkau dengan energi penerangan arus listrik, sehingga pengaruh terpaan informasi dalam berbagai bidang kehidupan masih sangat terbatas, sebaliknya  di beberapa kota besar dan kota pada berbagai provinsi  pengaruh negatif dari berbagai bidang informasi terhadap kehidupan masarakat Indonesia dinilai oleh sebagian pemimpin masyarakat Indonesia telah menggusur etika dan kepribadian luhur masyarakat Indonesia. 
Film dan iklan serta informasi baik dari media cetak maupun media elektronik yang mempublikasikan budaya masyarakat Barat, seperti gaya  hidup individualis dalam mengejar kesenangan tanpa mengindahkan norma, etika dan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran agama secara umum dipandang oleh sebagian pemimpin masyarakat telah mempengaruhi masyarakat Indonesia di beberapa tempat yang   mempertontonkan kemaksiatan seperti prilaku seks bebas, meminum minuman  berkadar alkohol tinggi serta prostitusi.
Sebagai contoh satu atau dua tahun lalu berbagai media massa secara berkala mempublikasikan adanya puluhan warung remang-remang yang menjadi sarang perbuatan  maksiat di sepanjang  jalan dari arah Parung menuju Bogor. Dari waktu ke waktu warung tersebut beroperasi pada malam hari menjajakan minuman keras dan perempuan tuna susila, sehingga ketenangan dan keamanan masyarakat yang berdomisili di daerah sekitar terganggu.
Berdasarkan pengaduan masyarakat sekitar dan didukung oleh pemimpin-pemimpin agama di sana, jika mereka   meminta wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bogor untuk membuat landasan hukum yang menertibkan warung remang-remang  di Parung atau di tempat-tempat lain di Bogor, sudah sewajibnyalah berbagai pihak yang tidak menyetujui peraturan seperti itu, juga menempuh jalur konstitusi yang berlaku.
Sementara itu, jika wakil-wakil rakyat di daerah setempat (DPRD) bersama dengan aparatur pemerintahan daerah telah sepakat mengeluarkan peraturan daerah untuk mengatur ketertiban peredaran minumman-minuman keras misalnya, maka sebagai seorang muslim, seyogyanya warga di daerah tersebut mematuhinya.
Jika dilihat dari Pendekatan Trikotomi untuk menjawab respons umat Islam Indonesia terhadap isu perda berbau syariah, sebagian ummat Islam  yang tidak menyetujui penerapan perda-perda yang berbau syariah Islam pada beberapa tempat di Indonesia menurut penulis termasuk dalam kelompok akomodasionis, yaitu mereka yang menekankan keharusan untuk mengakui kepentingan-kepentingan yang bisa dibenarkan dari kelompok-kelompok sekular dan bekerjasama dengan mereka berdasarkan landasan yang sama-sama disepakati. Mereka juga menekankan kepentingan sosial dan ekonomi sebagai prioritas utama ummat Islam.
Sedangkan kelompok yang menuntut perberlakuan perda-perda yang berbau syariah Islam, penulis masukkan dalam kelompok muslim fundamentalis yang mendukung penafsiran Islam yang murni dan menentang pemikiran sekuler serta menekankan agama atas politik, meskipun mereka menuntutnya dengan cara-cara damai.
Kelompok ketiga adalah mereka yang meskipun terbuka terhadap kelompok sekular berdasarkan kesepakatan bersama, tapi mereka tetap mengutamakan agama atas politik termasuk dalam kelompok reformis.

Penutup
            Pada periode kekuasaan Orde Reformasi di Indonesia, khusunya pasca peristiwa 11 September di Amerika Serikat, bom Bali dan peristiwa-peristiwa kekerasan lainnya, terdapat satu pertanyaan yang gencar diajukan kepada agama, termasuk agama Islam: apakah agama itu sumber masalah atau sumber solusi?
Sebagai lembaga yang memiliki hasrat politik untuk mengumandangkan suara kepentingan politik ummat Islam Indonesia, partai politik Islam menjadi salah satu lembaga yang berkewajiban memberikan jawaban bahwa agama adalah sumber penyelesaian masalah, bukan sebaliknya.
Dengan demikian tidak mengherankan jika partai-partai politik Islam bersama komponen masyarakat lainnya berbondong-bondong menyuarakan ajaran Islam sebagai alternatif jawaban masalah sosial yang tidak kunjung dapat dijawab oleh pemerintah dengan aparatnya. "agama bukanlah agama jika tak terlibat politik," kata Mahatma Gandhi. Persoalannya adalah keberpihakan pada penguasa atau rakyat? Wallahualam bi al-Shawab

CATATAN AKHIR :


* Penulis adalah Dosen dan Ketua Konsentrasi Studi Jurnalistik di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta. Kontak Pribadi : 081380576313. Email : hs.suhaimi@gmail.com



[1] Nurtjahjo, Hendra  (2006). Filsafat Demokrasi. Jakarta : Bina Aksara.Cet. Pertama. h. 31-44
[2] Ibid. h.1
[3] Effendy, Bahtiar (1998). Teologi Baru Politik Islam Pertautan Agama, Negara , dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press. h. 101-102
[4] Samuel P. Huntington, The Third Wafe: Democratization in the LateTtwentieth Century, dalam  Effendy, Bahtiar (2001). Teologi Baru Politik Islam. Yogyakarta : Galang Press. h.101
[5] Mulyadi , Sukidi "Defisit Demokrasi di Dunia Islam". dalam Hidayat, Komaruddin  dan Gaus  AF, Ahmad (2005). Islam Negara dan Civil  Society Gerakan Pemikiran Islam Kontemporer. Jakarta :Paramadina. Cet.ke-1. h. 219
[6] Mulyadi , Sukidi  "Defisit Demokrasi di Dunia Islam". h. 220
[7] Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, h.57
[8] Ibid. h. 43
[9] Abdillah, Masykuri (1999). Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993). Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, Cet.ke-1. h. 11
[10] Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna. h. 2
[11] Sukardja, Ahmad" Diktat Fikih Siyasah," h.4-6          
[12] Ibid
[13] F. Mas'udi, Masdar "Pokok-Pokok Pikiran di Seputar Islam dan Demokrasi di Indonesia," dalam Ridwan, M Deden dan Nurjulianti, Dewi. ed. (1999). Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokrasi di Indonesia. Jakarta : LSF. h.138
[14] Taimiyah, Ibn. "Majmu' Fatawa". dalam Ibrhim Jindan, Khalid (1999). Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah tentang Pemerintahan Islam. terjemahan Masrohin. Surabaya. h.101
[15] Sjadzali, Munawir (1993). Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta, UI-Press, Edisi Kelima. h.10 
[16] Ibid.  h.10-16
[17] al-Maududi, Abu al-A'la. "Islamic Law  and Constitution".  seperti dikutip Abdillah,  Masykuri Demokrasi di Persimpangan Makna. h.9-10
[18] Ali Al-Bahansawi, Salim. Wawasan Sistem Politik Islam, terjemahan Mustolah Maufur, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar. h.65
[19] Ibrahim Jindan, Khalid . Teori Politik Islam. h.95 
[20] Effendy, Bahtiar (1998). Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta, Paramadina, 1998, Cet. ke-1. h.23
[21] Ibid. h.28
[22] Ibid.  h.31-47
[23] Anwar, M. Syafi'i (1995). Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Jakarta : Paramadina. Cet. ke-1. h. 198
[24] Anwar, M. Syafi'i. Pemikiran dan Aksi Islam. h.199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini