Minggu, 15 Juli 2012

Al-Qiyadah al-Islamiyah Potret Buram Gerakan Dakwah di Indonesia

 Al-Qiyadah al-Islamiyah:
Potret Buram Gerakan Dakwah  di Indonesia[1]

Murodi*

 ABSTRAK

Dinamisasi Islam sebagai sebuah agama yang kemudian membentuk komunitas keagamaan, kerapkali dihadapkan dengan kenyataan munculnya kolompok penyimpang. Kelompok yang menganut keyakinan tentang Islam secara berbeda dengan yang dianut oleh muslim kebanyakan. Fenomena munculnya aliran al-Qiyadah al-Islamiyah misalnya, menjadi satu diantara potrem buram Islam di Indonesia. Ahmad Moshaddeq, sebagai 'nabi' aliran ini, memproklamirkan diri secara terbuka, bahwa dialah sosok al-masih al-maw'ud yang akan menyempurnakan ajaran yang telah dibawa Nabi Muhammad Saw. Saat aliran al-Qiyadah ini muncul, pertanyaannya siapa yang harus disalahkan? Apakah Moshaddeq dan para pengikut setianya, para ulama, para da'i, ormas Islam atau siapa? Dalam konteks ini, ti­daklah tepat jika kita saling menyalahkan. Tentu saja, kehadiran aliran ini me­nambah deretan panjang kemunculan aliran sesat di tanah air, dan tantangan langsung bagi gerakan dakwah Islam di Indonesia.

Key words : Aliran al-Qiyadah, Respon Masyarakat dan Pemerintah, Gerakan Dakwah


Pendahuluan

Beberapa waktu lalu, umat Islam Indonesia dikejutkan oleh pengakuan seorang mantan palatih bulu tangkis Indonesia dan pensiunan Pegawan Negeri Sipil, Ahmad Mosha­d­deq. Pengakuannya menghebohkan umat Islam. Betapa tidak. Lelaki berpenampilan necis ini mengaku mendapat wahyu dari tuhan dan mengutusnya sebagai nabi dan ra­sul, setelah bertirakat selama 40 hari 40 malam di sebuah saung miliknya di gunung Bunder, Bogor Jawa Barat pada 23 Juli 2006. Pengakuannya mendapat respons beragam. Ada yang menolak, bahkan mengancam akan memberangus kelompok ini, ada yang netral, dan ada pula yang pro. Kelompok terakhir ini tentu saja datang dari  kalangan para pengikutnya.

Pengakuan Moshaddeq sebagai seorang nabi di abad modern ini, baru di­prok­lamirkan pada tahun 2007. Padahal, menurut cerita Moshaddeq, ia sudah menyebarkan aliran ini sejak 2001. Ini berarti aktivitasnya sudah berjalan lebih kurang 6 tahun. Banyak hal yang sudah dilakukan Moshaddeq selama itu, di antaranya pe­nyu­sunan buku ajaran aliran ini, pembaiatan, konsolidasi dan lain sebagainya. Per­ta­nya­an­nya, mengapa aliran ini baru diketahui pemerintah, tokoh agama dan tokoh masyarakat  setelah  adanya  informasi yang diberitakan media massa ? Kemana saja para ulama dan kaum cendekiawan muslim selama ini ? Aktivitas dakwah apa saja yang selama ini di­lakukan para da'i? Sudahkah dakwah mereka menyentuh persoalan mereka yang paling mendasar, khususnya dalam akidah dan masalah-masalah sosial-ekonomi lainnya?  Ada apa dengan dakwah kita? Pertanyaan-pertanyaan  seperti inilah, hemat saya, yang mesti dijawab, sebelum  memberi kecaman kepada Moshaddeq dan para sahabatnya.  Ini bu­kan membela, hanya bertanya. Semoga pertanyan ini membuka mata hati umat Islam, terutama para ulama, tokoh masyarakat, politisi, pejabat, pendidik, dan lain sebagainya.  Dalam konteks inilah artikel ini ditulis. Penulisan artikel ini bukan untuk  memojokkan suatu kelompok, dan mengangkat kelompok lain. Tapi hanya sebuah resonansi diri yang dapat dijadikan cermin kehidupan dalam menjalankan aktivitas dakwah di ma­sya­rakat.

al-Qiyadah al-Islamiyah:
Wadah Baru Pemburu Wahyu di Abad Modern

Berawal dari pencarian identitas diri dan pemantapan spiritualitas seorang man­tan Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dan mantan pelatih bulu­tang­kis Indonesia, bernama H. Abd Salam atau Ahmad Moshaddeq, lahirlah sebuah aliran baru yang cukup menggegerkan muslim Indonesia.[2] Ia terlahir sebagai putera Betawi di kawasan Jalan Bangka, Jakarta Selatan.
Sebagai putera Betawi, tentu saja ia terbiasa me­laksanakan ajaran Islam yang dianut mayoritas komunitas etnis ini, yaitu Islam Sunni. Meskipun alumni Sekolah Tinggi Olahraga, ia lancar melafalkan al-Qur'an de­ngan baik. Mungkin karena  pendidikan agama yang diperoleh dari orangtuanya atau mengaji di lingkungan tempat tinggalnya yang banyak berdiri mushalla atau masjid, tempat mencari ilmu agama. Bahkan  menurut para tetangganya, sejak muda ia sangat aktif sebagai pengurus masjid di lingkungannya, dan terkadang menjadi penceramah.  Sikapnya yang ramah dan supel, membuat masyarakat di sekitarnya senang bila ber­temu dengannya. Upaya "pancaran spiritualitas" ini, menurut sebagian orang, sebagai upaya pencarian wahyu, sudah sejak lama dilakukannya, mungkin sejak masa-masa mudanya. Tetapi, ia baru menemukan "wahyu "setelah bertapa atau bersemedi selama 40 hari 40 malam di salah satu saung yang ada di sekitar vilanya di Gunung Bundar, Bo­gor, Jawa Barat.
Dalam sebuah wawancara yang ditayangkan program "Sigi 30 menit" SCTV tanggal 4 No­vember 2007,  Moshaddeq menyamakan aktivitas dirinya seperti yang pernah dilakukan nabi Muhamad saw. Dulu, katanya, nabi Musa bertapa di Gunung Sinai selama 40 hari 40 malam, nabi Isa juga seperti itu. Begitu pun nabi Muhammad Saw mendapat wahyu dari Allah Swt setelah ia bersemedi selama lebih kurang 40 hari 40 malam di Gua Hira. Jadi me­nu­rut­nya, sah-sah saja kalau kemudian ia juga melakukan hal yang sama guna memburu wahyu itu. Karena itu, ia sekali lagi berargumen sebagaimana argumen yang dulu pernah diucap­kan Nabi Muhamad Saw, bahwa ia adalah penyempurna ajaran para nabi sebelumnya. Ia tidak memungkiri risalah Nabi Muhammad, tapi hanya ingin menyem­purnakan ajar­an nabi Muhamad yang menurutnya sudah saatnya disempurnakan. Inilah antara lain argumentasi dasar yang dikemukakan Ahmad Moshaddeq, nabinya al-Qiyadah al-Islamiyah, dalam meyakinkan umat Islam Indonesia.[3] Sebuah pengakuan yang meng­gegerkan mayoritas muslim Indonnesia.
Pernyataan secara terbuka di depan publik dilakukan setelah ke­lompok alir­an ini melakukan tahapan dakwah  Sirriyah, yaitu dakwah secara tertutup, seperti yang dilakukan saat-saat awal Nabi Muhammad berdakwah di Makkah. Ini berarti aliran ini sudah sejak lama melakukan "gerakan dakwah " tanpa diketahui oleh masyarakat dan pemerintah.  Pertanyaannya, kemana saja para ulama pembina umat selama ini, dan apa pula yang selama itu mereka lakukan. Apakah mereka asyik dengan kesibukannya ma­sing-masing, sehingga melupakan tugas utamanya sebagai juru dakwah dan pene­rang bagi umat, ketika umat Islam membutuhkannya. Sayangnya hampir sebagian besar para ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, para politisi dan birokrat, tidak  menya­da­ri hal ini akan terjadi. Bahkan tak jarang para ulama yang lebih senang "mondok" di  Se­na­yan, ketimbang mengurus pondoknya sendiri. Ironis memang, tapi itulah ke­nya­taan yang ada.
Banyaknya tokoh agama atau ulama yang memilih "mondok" di Senayan, me­ru­pakan satu diantara implikasi  nyata arus reformasi. Kita tahu bahwa sejak digulirkannya reformasi pada 1988, banyak tokoh agama dan masyarakat yang terjun ke dunia politik praktis. Ada yang mendirikan partai  politik berbasis agama, ada yang berbasis ideologi orga­ni­sasi sosial keagamaannya, dan ada pula yang masuk  ke partai politik yang tidak men­dasari ideologinya kepada salah satu agama besar di Indonesia.[4] Dengan demikian, prak­tis para ulama, yang seharusnya menjadi pembimbing umat, malah sibuk dengan sen­dirinya. Karenanya wajar kalau kemudian banyak masyarakat muslim yang kehi­langan pegangan, mencari jalan sendiri untuk menemukan apa yang dicarinya dalam agama.
Dalam situasi krisis seperti itu, biasanya ada orang atau kelompok orang yang mencoba memberikan jawaban alternatif atas keresahan umat dengan memberikan bim­bingan spiritual keagamaan, dengan berbagi janji yang menyegarkan. Dalam tradisi Kristen biasanya disebut mesiachs, dan dalam masyarakat Jawa dikenal dengan sebutan Ratu Adil, dan sebagainya.[5] Barangkali inilah yang menjadi latar belakang kemunculan aliran atau sekte agama yang mengklaim diri sebagai agama paling mutakhir dan paling benar, sementara agama lama yang dianggap telah mapan oleh kebanyakan masyarakat penganutnya, dinilai telah kehilangan pegangan, usang dan perlu direformasi. Untuk itulah mereka  menyatakan bahwa al-Qiyadah al-Islamiyah adalah agama baru dan wa­dah spritusalitas bagi pencari wahyu di abad modern ini.
Tak pelak, pernyataan ini mendapat respon beragam; ada yang secara terang-terangan menolak dan menyatakan al-Qiyadah al-Islamiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan; ada pula yang berusaha membela aliran ini, meskipun bukan anggota kelompok al-Qiyadah al-Islamiya, ada pula yang bersikap netral. Untuk kelompok ter­akhir ini biasanya muncul dari kalangan akademisi, aktivis dan pemerhati hak asasi manusia (HAM), bahkan kelompok yang menyatakan diri sebagai Jaringan Islam Li­beral (JIL). Dalam dialog di Metro TV, Abdul Moqshit Ghazali, mewakili JIL, seakan membela aliran ini. Bahkan ia menyatakan fatwa MUI yang menyatakan aliran al-Qiya­dah al-Islamiyah adalah sesat dan menyesatkan, justru malah bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya. Sebab Islam, menurutnya lebih jauh, sebagai sebuah agama, memiliki aturan yang menjamin adanya perbedaan agama atau mazhab. Karena itu, Moqshit menyayangkan keluarnya fatwa MUI yang menyatakan al-Qiyadah al-Is­lam­i­yah merupakan aliran sesat dan menyesatkan.  Dan sekali lagi, fatwa MUI tidak meng­i­kat. Abdul Moqshit merasa khawatir kalau fatwa MUI itu akan menimbulkan sikap anarkis masyarakat, dengan menangkap, menghakimi atau membakar tempat – tempat ibadah aliran ini, seperti yang terjadi pada aliran Ahmadiyah dan lain sebagainya. Pa­da­hal, menurut Kautsar Azhari Noor, negara menjamin lewat Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 ayat 2. Karena itu, bila terjadi penangkapan atau tindakan anarkis, baik yang dilakukan oleh aparat atau masyarakat , maka tindakan itu sangat tidak produktif dan bertentangan. Selain itu, menurut Guru Besar UIN Jakarta ini, pasal 146 KUHP, me­ngenai penistaan agama, dinilai pasal karet. Karena pasal itu akan selalu digunakan oleh kelompok penguasa atau mayoritas untuk menghakimi aliran seperti al-Qiyadah al-Is­lamiyah.[6] Menurutnya, mestinya negara justeru memberikan perlindungan terhadap se­mua pemeluk agama, apapun aliran mereka. Apalagi pasal itu digunakan untuk meng­hakimi keyakinan, semakin tidak masuk akal.  Sebab soal keyakinan sangat tergantung pada kepercayaan diri, dan tidak bisa dipaksakan. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah, MUI dan masyarakat berhati-hati dalam memberikan vonis terhadap se­buah kepercayaan.
Senada dengan itu, Abdul Moqshit Ghazali, mengatakan bahwa salah satu fatwa MUI yang menyatakan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah sesat, terutama berkaitan dengan syahadat yang tidak menyebutkan Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul Allah, tidak bertentangan bagi siapa saja yang berpegang pada al-Qur'an. Karena menurutnya, ba­nyak aliran sejenis yang tidak menyebut Muhammad sebagai  nabi terakhir, yang dalam tradisi Islam disebut sebagai khâtam al-nabiyyîn, meskipun kata-kata tersebut terdapat  di dalam al-Qur'an. Tetapi, menurutnya lebih jauh, kata-kata khâtam al-nabiyyîn,  inter­pretable, memiliki penafsiran atau pemahaman berbeda. Sebab kata khâtam bermakna banyak. Kata khatam bisa berati cincin, stempel, bukan penutup saja. Karena kata bahasa Arab yang berarti penutup adalah khâtim, bukan  khâtam. Karena itu, sejak dulu, teru­ta­ma di kalangan Ahmadiyah, kata ini juga menjadi debatable, yang menyebabkan aliran ini dikategorikan sesat dan menyesatkan. Karena tidak mengakui Muhamad Saw se­ba­gai nabi dan rasul terakhir.[7]
Menanggapi masalah ini, Moshaddeq berkomentar, bahwa syahadat yang di­pa­kai dalam membai'at jama'ahnya berbeda bukan berarti menafikan Muhamad sebagai nabi dan rasul. Justeru ia ingin menyempurnakan ajaran Nabi Muhamad Saw yang di­anggapnya belum sempurna. Ia mencoba memformulasikan konsep ajarannya dari ke­tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam. Karenanya, syahadat kedua yang diu­cap­kan bukan mengakui Muhammad sebagai Nabi dan rasul, tapi dengan menyebut al-masih al-maw'ud, yaitu juru selamat yang dijanjikan. Konsep ini hampir sama dengan ajaran kelompok al-Rawandiyah, yang terjadi pada masa pemerintahan dinansti Ab­basiyah. Kelompok ini mencoba memadukan ajaran Islam dengan ajaran Zoroaster, Mazdakiyah, Manuwiyah, dan tradisi Kristen.[8] Di antara doktirn kelompok al-Rawan­diyah adalah bahwa ruh nabi Isa telah menjelma di dalam diri 'Alî ibn Abî Thâlib. Se­telah 'Alî wafat, ruh itu pindah ke anak cucunya, dan ada yang menjadi juru selamat atau al-mahdî. Paham ini ternyata terus berkembang, terutama di daratan anak Benua India. Adanya unsur kedekatan paham antara al-maw'ûd dengan konsep reinkarnasi, membuat ajaran ini berkembang, dan malah mendapat dukungan dari pemerintah pen­jajah Inggris, hingga lahirlah satu aliran baru dalam Islam, yaitu Ahmadiyah, meskipun kemudian aliran ini terpecah menjadi dua, yaitu Lahore dan Qadiyan.  Dengan demikian, bila melihat matarantai ajaran, terutama soal syahadat yang tidak menyebut Muhammad Saw sebagai rasulullah, ada kemungkinan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah  memiliki kaitan langsung atau tidak langsung dengan beberapa aliran sebe­lumnya, seperti disebutkan di atas. 
Ajaran kontroversial lainnya adalah soal shalat, pusa, zakat dan haji. Aliran ini belum atau tidak melaksanakan shalat lima waktu, melarang pusa, melarang membayar zakat dan melarang melaksanakan ibadah haji. Alasannya, mereka belum memperoleh perintah dari tuhan untuk melaksanakannya. Sebab, kelompok ini beranggapan masih pada periode awal penyebaran Islam. Shalat yang dilaksanakan hanya shalat malam, ka­rena itu terdapat dalam al-Qur'an. Sementara shalat lima waktu yang kini dilaksanakan umat Islam kebanyakan, tidak terdapat di dalam al-Qur'an, dan masih banyak lagi ajar­an yang dianggap kontroversial. Merespons hal ini, Nasaruddin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag mengatakan, kalau elemen dasar ajaran aliran ini berbeda dengan ajaran Islam, maka jelas ini meru­pakan aliran yang salah. [9]
  
Sekelumit Tafsir yang Dianggap Sesat

            Sebagian besar artikel ini dikutip dari Lajnh Pembela Sunnah. Dalam penje­las­an­nya, lajnah ini mengatakan bahwa tafsir yang dipergunakan oleh kelompok ini tidak di­dasari atas kaidah-kadiah tafsir sesuai aturan yang berlaku. Lajnah ini memberikan contoh dengan mengutip pendapat al-Hâfidz Ibn Katsîr dalam pendahuluan tafsir Ibn Katsir. Berikut kutipannya: [10]
           
  1. Menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Metodologi ini merupakan yang paling shalih (valid) dalam menafsirkan Al-Qur'an.
  2. Menafsirkan Al-Qur'an dengan As-Sunnah. Kata beliau -rahmahullah-, bahwa As-Sunnah merupakan pensyarah dan yang menjelaskan tentang menjelaskan tentang Al-Qur'an. Untuk hal ini beliau -rahimahullah- mengutip pernyataan Al-Imam Asy-Syafi'i -rahimahullah- : "Setiap yang dihukumi Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam-, maka pemahamannya berasal dari Al-Qur'an. Allah -Subhanahu wata'ala- berfirman:

 "Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan Kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) membela orang-orang yang khianat." (An-Nisaa':105)

 3. Menafsirkan Al-Qur'an dengan pernyataan para shahabat. Menurut Ibnu Katsir -rahimahullah- : "Apabila tidak diperoleh tafsir dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, kami merujuk kepada pernyataan para shahabat, karena mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui sekaligus sebagai saksi dari berbagai fenomena dan situasi yang terjadi, yang secara khusus mereka menyaksikannya. Merekapun adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang sempurna, strata keilmuan yang shahih (valid), perbuatan atau amal yang shaleh tidak membedakan diantara mereka, apakah mereka termasuk kalangan ulama dan tokoh, seperti khalifah Ar-Rasyidin yang empat atau para Imam yang memberi petunjuk, seperti Abdullah bin Mas'ud -radliyallahu anhu-.
 4. Menafsirkan Al-Qur'an dengan pemahaman yang dimiliki oleh para tabi'in (murid-murid para shahabat). Apabila tidak diperoleh tafsir dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah atau pernyataan shahabat, maka banyak dari kalangan imam merujuk pernyataan-pernyataan para tabi'in, seperti Mujahid, Said bin Jubeir. Sufyan At-Tsauri berkata : "Jika tafsir itu datang dari Mujahid, maka jadikanlah sebagai pegangan".
    
 Ibnu Katsir -rahimahullah- pun mengemukakan pula, bahwa menafsirkan Al-Qur'an tanpa didasari sebagaimana yang berasal dari Rasulullah -shallallahu'alaihi wasallam- atau para Salafush Shaleh (para shahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in) adalah haram. Telah disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas -radliyallahu 'anhuma- dari Nabi -shallallahu'alaihi wasallam-:

"Barangsiapa yang berbicara (menafsirkan) tentang Al-Qur'an dengan pemikirannya tentang apa yang dia tidak memiliki pengetahuan, maka bersiaplah menyediakan tempat duduknya di Neraka." (Dikeluarkan oleh At Tirmidzi, An Nasa'i dan Abu Daud, At Tirmidzi mengatakan : hadist hasan).


Sementara umat Islam lain menggunakan metode tafsir sebagaimana di jelaskan di atas, Al-Qiyadah Al-Islamiyah telah menerbitkan sebuah tulisan dengan judul  Tafsir wa Ta'wil. Tulisan setebal 97 hal + vi disertai dengan satu halaman berisi ikrar yang menjadi pegangan jama'ah Al-Qiyadah Al-Islamiyyah. Sebagai gerakan keagamaan yang menganut keyakinan datangnya seorang Rasul Allah yang bernama Al-Masih Al-Maw'ud pada masa sekarang ini, mereka melakukan berbagai bentuk penafsiran terhadap Al-Qur'an dengan tanpa kaidah-kaidah penafsiran yang dibenarkan berdasarkan syari'at, ayat-ayat Al-Qur'an dipelintir sedemikian rupa agar bisa digunakan sebagai dalil bagi pemahaman yang sesat. Sebagai contoh, bagaimana mereka menafsirkan ayat sebagaimana berikut : 

"Lalu Kami wahyukan kepadanya: "Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami." (Al-Mu'minuun :27)

Maka, mereka katakan bahwa kapal adalah amtsal (permisalan,ed) dari qiyadah, yaitu sarana organisasi dakwah yang dikendalikan oleh Nuh sebagai nakoda. Ahli Nuh adalah orang-orang mukmin yang beserta beliau, sedangkan binatang ternak yang dimasukkan berpasang-pasangan adalah perumpamaan dari umat yang mengikuti beliau. Lautan yang dimaksud adalah bangsa Nuh yang musyrik itu….. (lihat tafsir wa ta'wil hal.43).

Demikian upaya al-Qiyadah al-Islamiyah mempermainkan Al-Qur'an guna kepen­tingan gerakan sesatnya. Sungguh, seandainya Al-Qur'an yang diturunkan kepada Ra­sulullah -shallallahu 'alihi wasallam- boleh ditafsirkan secara bebas oleh setiap orang, tanpa mengindahkan kaidah-kaida penafsiran sebagaiman dipahami salaful ummah, maka akan jadi apa Islam yang mulia itu ditengah pemeluknya ? Al-Qiyadah Al-Islamiyyah hanya sebuah contoh dari sekian banyak aliran atau paham yang melecehkan Al-Qur'an dengan cara melakukan interpretasi atau tafsir yang tidak menggunakan ketentuan yang selaras dengan pemahaman yang benar.
            Dalam kata lain, gaya dan metode penafsiran mereka terhadap ayat-ayat al-Qur'­an, lebih mengedepankan penafsiran melalui ta'wil yang didasari atas akal se­mata, tidak merujuk pada metodologi penafsiran para ulama salaf.  Hal ini meng­in­dikasikan bahwa mereka yang belum atau tidak memahami metodologi penafsiran yang diajarkan para ulama salaf yang merujuk pada al-qur'an, dan hadis. Tapi lebih pada pendapat mereka sendiri. Karena itu, banyak ulama dan masyarakat yang menolak ajaran ini dan dikategorikan sebagai aliran sesat oleh MUI.


al-Qiyadah al-Islamiyah:
Respons Masyarakat dan Pemerintah


Dari pihak MUI, keluar fatwa bahwa al-Qiydah al-Islamiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Keluarnya fatwa ini, ditambah adanya laporan masyarakat, membuat al-Qiyadah al-Islamiyah seolah menjadi musuh bersama (common enemy) umat Islam Indonesia, yang mesti dibasmi. Tak pelak, Departemen Agama, Kejaksaaan Agung dan Kepolisian, bahkan presiden Soesilo Bambang Yudoyono, juga disibukkan dengan aliran baru ini.
Sementara kelompok netral, meskipun terkesan membela, berasal dari para ak­tivis HAM dan JIL, yang menyebutkan siapapun berhak menganut agama dan keper­ca­yaan  di negeri ini, karena Indonesia bukan negara Islam. Apalagi masalah kebebasan beragama mendapat perlindungan hukum dalam pasal 29 ayat 2. Tidak hanya para aktivis HAM dan JIL, beberapa intelektual muslim, mecoba memberikan penjelasan bahwa soal akidah tidak dapat diintervensi siapapun, termasuk negara.  Sedang mereka yang pro, tentu saja dari kelompok aliran ini. Mereka akan membela mati-matian nabi dan aliran mereka, sehingga tak seorangpun berhak menghakimi keyakinan yang mere­ka anut. Apapun yang terjadi, mereka tetap akan berada pada pendirian bahwa al-Qi­yadah al-Islamiyah adalah agama terakhir yang paling benar, dan Ahmad Moshad­deq adalah nabi dan rasul mereka, yang disebut sebagai al-masîh al-maw'ûd.[11]
Anehnya, aliran yang katanya sudah berjalan lebih kurang enam tahun dan me­miliki pengikut lebih dari 50 ribu di seluruh Indonesia,  baru diketahui oleh instansi ter­kait dan masyarakat, setelah Ahmad Moshaddeq, memproklamirkan diri secara ter­buka di depan publik. Jadi, selama ini, diam-diam aliran ini telah melakukan pem­bai'atan dan konsolidasi untuk memperkuat barisan mereka. Pengikutnya, tidak hanya dari kalangan masyarakat bawah kurang terdidik, juga kalangan menengah atas yang terdidik. Mulai dari tingkat  Sekolah Menengah Pertama (SMP), seperti di Lampung, hingga  maha­siswa di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, menjadi pengikut setianya, misalnya di  Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Jawa Timur, Padang, Makassar, dan  beberapa kota lain di Indonesia.[12] Di hampir tiap daerah, pengikut aliran ini menjadi komunitas eks­lusif, tidak mau bergaul dengan masyarakat. Akibatnya, masyarakat  curiga. Ada apa gerangan dengan komunitas ini.  Adakah kelompok agama atau aliran tertentu di balik kemunculan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, siapakah dalangnya dan untuk apa aliran ini lahir di Indonesia yang mayoritas muslim. Bagaimanan dengan adanya tudingan da­ri sebagian masyarakat bahwa munculnya gerakan ini akibat gerakan dakwah yang be­lum tuntas, karena banyak ulama yang lebih memilih  "mondok"  di Senayan, di birok­rasi, atau  jadi politisi, dan lain sebagainya. Pertanyaan ini pantas mengemuka, meng­ingat aliran ini cukup merepotkan banyak pihak, termasuk masyarakat dan pemerintah.
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh, masyarakat dan ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya, mengecam keras aliran ini. Mereka mendesak pemerintah untuk membubarkan dan menangkap pemimpin dan anggota aliran ini. Masyarakat khawatir bila dibiarkan, aliran ini akan mengganggu keimanan dan keamanaan masyarakat muslim lainnya. Desakan itu terus dilakukan terlebih setelah MUI mengeluarkan fatwa diperkuat dengan hasil investigasi Depag bahwa al-Qiyadah al-Islamiyah termasuk salah satu aliran sesat dan dilarang ber­kem­bang di Indonesia.[13]  Desakan ormas Islam dan MUI untuk membubarkan al-Qiyadah, semakin menambah kepercayaan para anggota aliran ini, bahwa al-Qiyadah al-Islami­yah adalah yang benar. Karena itu, mereka tetap pada pendirian bahwa mereka tidak akan kembali ke ajaran "Islam lama" yang mereka anut atau bertobat.  
MUI mengan­jurkan kepada mereka yang sudah terlanjur menjadi anggota aliran ini untuk bertobat dan kembali kepada ajaran Islam yang selama ini dianut oleh muslim Indonesia dan mungkin juga dunia. Tetapi tetap saja mereka tidak bergeming dan bertahan pada ke­ya­kinan. Menurut Fachry Ali, pemerintah sulit membendung aliran sesat seperti al-Qi­ya­dah al-Islamiyah. Alasannya, pemerintah ada dalam posisi yang dilematis, karena tiap tindakan (pemberantasan) dikategorikan sebagai pelanggaran kepada kebebasan ber­a­gama dan itu juga berarti pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia ( HAM).[14]
Semakin kuat mereka mempertahankan keyakinan ini, semakin kuat desakan masyarakat kepada pemerintah untuk membubarkan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah ini. Hal yang dikhawatirkan oleh anggota masyarakat lain, terutama pemerhati dan aktvias HAM, adalah implikasi politik dan sosial yang ditimbulkan, misalnya, perusakan dan penangkapan yang berlebihan yang dilakukan oleh aparat dan anggota masyarakat, seperti yang terjadi pada aliran Ahmadiyah. Tindakan anarkis inilah yang tidak dikehendaki oleh para aktivis HAM di Indonesia. Karena, menurut mereka, siapapun sebenarnya diperbolehkan menganut agama dan kepercayaan di Indonesia, bahkan dijamin oleh UUD 45 pasal 29 ayat 2.
Menurutnya lebih jauh, pemerintah tegak pada konstitusi yang berbasis sosial sekuler, sehingga mengakomodasi gagasan-gagasan yang bersifat sekuler, terutama dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM). ''Inilah yang kemudian menimbulkan tindakan pemerintah itu kelihatan begitu ragu-ragu. Satu saat pemerintah khawatir teralienasi dari masyarakat, pada saat yang sama pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dari tindakannya. Mengenai legalitas Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat fatwa aliran sesat terhadap beberapa sekte, ia mengatakan organisasi keagamaan itu berhak menentukan, sesat tidaknya sebuah aliran agama. Karena menurutnya lebih jauh,  MUI membuat fatwa sebagai patokan dari penilaian dia. Pegangan yang dibuat oleh MUI berdasarkan ke-Islaman yang secara umum berlaku selama berabad-abad lalu, kemudian mendapatkan keabsahan dari tradisi Nabi Muhammad SAW maupun di dalam Al Qur`an serta penafsiran dari Ulama-ulama yang diakui oleh umat Islam sedunia. Jadi itu merupakan koridor untuk mengatakan mana yang Islam dan mana yang bukan Islam, lanjutnya. [15]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa usaha pemerintah dan masyarakat untuk membubarkan aliran ini, sebagai bentuk respons yang dapat dipahami. Sebab masyarakat tidak menghendaki adanya aliran Islam yang berbeda dengan aliran yang selama ini dianut, terlebih dalam ajarannya menafikan Muhammad Saw sebagai nabi terakhir, dan hanya mengakui Ahmad Moshaddeq sebagai nabi al-masih al-maw'ud. Klaim nubuwat inilah yang "membuat gerah" komunitas muslim yang telah mapan di Indonseia. Mereka te­rus melakukan tekanan psikologis dengan mengancam akan memberangus aliran ini, membuat sebagian anggota aliran al-Qiyadah al-Islamiyah bertobat, termasuk "sang nabi dari Betawi " ini yang menyerahkan diri pada tanggal 29 Oktober 2007. sejak itu, gema aliran ini mulai meredup. Tapi kita tidak tahu selanjutnya, sebab ada sebagian tokohnya di daerah yang bersikukuh mempertahankan keyakinannya ini. Inilah tugas kita semua untuk berdakwah secara aktif, simultan dan sinergis dengan lembaga-lembaga Islam lain, hingga menghasilkan sebuah komunitas muslim yang shâlihîn.

Al-Qiyadah al-Islamiyah:
Tantangan bagi Gerakan Dakwah di Indonesia

Setuju atau tidak, bahwa kemunculan aliran menyimpang atau disebut juga se­bagai aliran sempalan, merupakan salah satu faktor kegagalan gerakan dakwah Islam. Alas­annya, ternyata para pendiri dan pengikut aliran ini bukan hanya terdiri dari ma­sya­rakat biasa atau masyarakat awam di bidang ilmu agama. Banyak pula mereka yang memang berasal dari komunitas muslim yang sedari kecil sudah mengenyam pen­di­dik­an agama di pesantren atau madrasah. Salah satu contoh pendiri gerakan Islam Jama'ah. Organisasi ini hingga kini masih dianggap sebagai komunitas muslim ekslusif. [16]
Berbeda dengan pendiri Islam Jama'ah, pendiri aliran al-Qiyadah al-Islamiyah, Ahmad Moshaddeq, bukan berasal dari keluarga santri.. Ini dapat dilihat dari pengem­baraan ilmunya yang tidak satupun menyebut dirinya pernah nyantri di salah satu pon­dok pesantren ternama. Ia hanya seorang alumni Sekolah Tinggi Olah Raga di Jakarta. Bahkan mantan pelatih bulutangis di Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia ( PBSI). Hanya karena keingintahuannya tentang ajaran Islam, ia mencoba mencarinya sendiri tanpa bimbingan dari guru agama atau kyai, dan ia "menemukan wahyu " di gunung Ijo, Bogor, Jawa Barat.[17] Dari situlah  Moshaddeq menyebar ajarannya dan menganggap dirinya sebagai nabi setelah bertapa selama lebih kurang 40 hari 40 malam.
Ketika ia mengkalim diri sebagai seorang nabi, al-masih al-maw'ud, mendadak sontak semua terperangah. Kaget, marah, mengecam dengan kata-kata kasar. Kecaman itu ditujukan pada aliran ini. Lalu, siapa yang disalahkan. Apakah Moshaddeq dan para pengikut setianya, para ulama, para da'i, ormas Islam atau siapa. Dalam konteks ini, ti­dak pantas saling melontarkan kesalahan. Tapi yang jelas, kehadiran aliran ini me­nambah deretan panjang kemunculan aliran sesat di tanah air, dan tantangan langsung bagi gerakan dakwah Islam di Indonesia.
Selama ini, dakwah hanya dipahami sebatas tabligh dan pengajian, baik di masjid, mushalla, perkantoran dan lain sebagainya. Padahal, secara lebih luas, dakwah memiliki pengertian sangat luas, dengan cakupan obyek yang cangat luas pula. Dalam konsep dakwah, secara teoritis terbagi pada tiga bagian besar dengan pendekatan yang sesuai dengan obyek dakwah tersebut. Ada dakwah bil lisan, yang diaktualisasikan dalam bentuk tabligh atau pengajian. Dakwah bil qalam, yakni penyampaian pesan atau ajaran Islam melaui media massa, seperti koran, majalah, tabloid, bulletin, TV, radio, email dan lain sebaganya. Ada pula yang disebut dakwah bil hal, yaitu dakwah yang mampu memberdayakan masyarakat melalui potensi yang dimilikinya.
Simplifikasi pengertian dan pemahaman dakwah sebatas tabligh atau ceramah dan pengajian, menyebabkan banyak orang salah paham, bahwa intensifikasi nilia-nilai ajaran Islam cukup dilakukan di situ. Terserah masyarakat, setelah mengikuti pengajian apakah mereka akan terberdayakan secara sosial ekonomi atau tidak, atau peahaman kea­gamaan mereka bertambah atau tidak, bukan lagi urusan sang dâ'i. Semuanya terpulang dan mejadi tugas masing-masing individu masyarakat muslim itu sendiri. Karena itu wajar jika ada sekelompok orang yang ingin mencari solusi sendiri mengenai problem yang selama ini mereka hadapi. Termasuk Ahmad Moshaddeq dan para pengikutnya. Mereka mencari solusi tanpa bimbingan para ulama dan arahan dari lembaga-lembaga Islam, semisal MUI dan ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Jami'ah al-Washliyah, Perti, dan  lain sebagainya.
Karena banyak aktivitas dakwah dianggap "tuntas" di tempat pengajian, dan tidak dilanjutkan dengan upaya bimbingan agama bagi para mad'û , maka tidak banyak penambahan wawasan dan pengetahuan para mad'û. Melihat kenyataan ini, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas dan gerakan dakwah yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dakwah, da'i, tokoh agama dan masyarakat, belumlah tuntas. Kenyataan ini dapat dilihat dari fenomena munculnya gerakan atau aliran Islam yang dianggap menyimpang. Salah satunya aliran al-Qiyadah al-Islamiyah.
Lantas apa yang mesti kita lakukan ? Membiarkan masyarakat mencari solusi sendiri dalam menyelesaikan persoalan pengetahuan keagamaan, atau membimbing mereka menemukan solusi yang tepat dalam menjawab kebutuhan spiritualitas mereka.  Semua terpulang pada kita, akademisi, tokoh agama, ulama, ormas dan pemerintah. Bila kita membiarkan, maka risikonya akan semakin banyak bermunculan aliran atau paham keagamaan yang "nyeleneh" di Indonesia. Karena itu, diharapkan gerakan dakwah dapat menjawab segala tuntutan dan kebutuhan masyarakat muslim Indonesia. Selain itu, gerakan dakwah tidak hanya sebatas tabligh, juga melalui aksi sosial dan pemberdayaan umat; baik dari sisi ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain sebagainya.  Oleh karena itu, dakwah bil hal  wajib dilaksanakan dengan seksama dan ter­prog­ram dengan baik, sehingga tidak ada lagi masyarakat muslim yang tertindas dan termarginalkan di negeri Indonesia ini, yang berpenduduk muslim terbesar di dunia.   

Penutup

Demikian seklias paparan mengenai gerakan dakwah dan fenomena kemunculan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah. Harapan penyusun, kepedulian kita terhadap masyarakat muslim mustadh'afîn semakin bertambah, sehingga kegiatan dakwah yang kita lakukan akan lebih terfokus melalui program yang jauh lebih mengenai sasaran. Dengan demikian, tidak akan muncul kembali atau paling tidak menimimalisir kemunculan aliran sesat di Indonesia. Karena salah satu faktor kemunculan aliran semacam ini disebabkan oleh latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan. Banyak di antara para pengikutnya memiliki latar belakang sosial ekonomi yang miskin. Karena kemiskinan ilmu dan harta, mereka tidak tahu bagaimana seharusnya yang mereka lakukan dalam menjalankan ajaran agama Islam yang mereka anut.  
CATATAN AKHIR :



* Penulis adalah Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta. Kontak Pribadi : 08129833600, Email  :


[1] Tulisan ini pernah disampaikan dalam Seminar Nasional di STAIN Syaikh Abdurrahman Siddik, Bangka Belitung, 19 Januari 2007.  Penulis menyadari, bahwa tulisan ini merupakan riset awal atau preliminary research mengenai aliran ini. Oleh karena itu, masih memungkinkan terjadinya dinamisasi dan fakta terbaru berkenaan dengan aliran ini yang belum terbahas dalam isi tulisan.
[2]  Perhatikan, " Mayarakat Perlu Mewaspadai Aliran al-Qiyadah" dalam Harian Umum Kompas, 4 Oktober 2007. Lihat juga tulisan "al-Qiyadah Tolak Fatwa Sesat MUI", dalam  Koran Tempo, Jakarta, 18 Oktober  2007
[3] Perhatikan, Sigi 30 Menit, yang ditayangkan SCTV  pada 4 November 2007
[4] Pascareformrasi, banyak ormas Islam yang mendirikan partai politik baru, semisal PKB yang basis massanya ada di kalangan warga NU, PAN yang basis massanya ada di kalangan warga Muhamadiyah. Bahkan warga NU pun kemudian terpecah menjadi beberapa faksi dan mendirikan partai tersendiri, seperti PKNU, dan lain-lain. Lihat Wahid Hasyim, "Pesantren dan Politik: Studi tentang Sikap Politik Kiai Pesantren di Jawa Timur 1998-2004", dalam Disertasi, tidak dipublikasikan, Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2007.
[5] Perhatikan, Murodi : "al-Qiyadah Bentuk Ajaran Cari Popularitas,"  dalam Pelita, 20 Oktober 2007 . Perhatikan pula, www.endonesia. com. 26 Oktober 2007.
[6] Perhatikan Sigi 30 Menit, yang ditayangkan SCTV pada 4 November 2007  
[7] Ibid
[8] Perhatikan, Hitti, PK (1970). History of the Islamic Peoples. London: McMillan. Perhatikan pula Hassan Ibrahim Hassan (tt.). Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima'I. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah.  
[9] Perhatikan, " Depag Teliti Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah", Antara, Kompas, Republika, Pelita, dll. Jakarta, 25 Oktober 2007. 
[10] www. http// salafy.or.id., Tafsir Sesat al-Qiyadah al-Islamiyah, 25 Agustus 2007, Lajnah Pembela Sunnah, Memerangi Bid'ah dan Kemusyrikan
[11] Perhatikan, Kompas, dll, yang menurunkan berita pernyataan MUI Pusat bahwa al-Qiyadah al-Islamiyah adalah aliran sesat, Jakarta: 4 Oktober 2007
[12] Perhatikan , Berita Radar Lampung, pada 24 Oktober 2007
[13] Perhatikan " PB NU Desak  Pemerintah Tegas pada Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah", dalam Kompas, 24 Oktober 2007
[14] Fachry Ali, " Pemerintah Sulit berantas aliran sesat", dalam Indo News, 01 November 2007.
[15] Ibid
[16] Perhatikan, Afif HM, " Gerakan Kelompok Islam Isa Bugis", dalam Aziz, Abdul (ed) (1999). Gerakan Kontemporer Islamdi Indonesia. Jakarta : Pustaka Firdaus. h. 75- 137. 
[17] Perhatikan, Murodi "al-Qiyadah al- Islamiyah Bentuk Ajaran Cari Popularitas", dalam  Pelita, 26 Oktober 2007

2 komentar:

  1. Mari kita mengaktualisasikan Pancasila Dasar Negara
    kita agar damai sejahtera yg sudah diketahui dunia.gampang to ,apa lagi yg dicari?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Cari Blog Ini