BUDAYA PESANTREN
STUDI KASUS DI PESANTREN TAPAK SUNAN CONDET
Disusun oleh:
Dauatus saidah (1113054000016)
Milva susanti d putri (1113054000015)
Pendahuluan
Pesantren[1] atau lebih dikenal dengan istilah pondok pesantren dapat diartikan sebagai tempat atau komplek para santri untuk belajar atau mengaji ilmu pengetahuan agama kepada kiai atau guru ngaji, biasanya komplek itu berbentuk asrama atau kamar-kamar kecil dengan bangunan apa adanya yang menunjukkan kesederhanaannya.
Arifin (1995: 240) mendefenisikan pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama di mana menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan seorang atau beberapa orang kiai dengan cirri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.
Sedangkan menurut Mastuhu (1994: 55) pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tradisional islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.
Pesantren didirikan sebagai pembebas dari belenggu keterbelakangan pendidikan dan sosial ekonomi. Di sisi lain, pesantren didirikan sebagai bagian dari adaptasi komunitasnya atas tantangan modernitas.[2] Mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia menurut Ensiklopedi Islam ada dua versi pendapat. Pertama; pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Karena pesantren pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini didasarkan bahwa dalam awal penyiaran Islam di Indonesia lebih dikenal dengan kegiatan tarekat, yang ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat ini disebut kiai, yang dalam melaksanakan suluk dilakukan selama 40 hari tinggal bersama kiai di Masjid untuk dibimbing dalam melakukan ibadah-ibadah tertentu. Di samping itu kiai juga biasanya menyediakan kamar-kamar kecil yang letaknya di kiri kanan Masjid untuk tempat penginapan dan memasak. Sehingga dalam kesehariannya juga diajarkan kitab-kitab agama, yang kemudian aktifitas ini dinamakan pengajian. Dalam perkembangannya lembaga pengajian tarekat ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
Kedua, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren yang kita kenal sekarang merupakan pengambilalihan sistem yang diadakan oleh orang-orang Hindu di Nusantara. Pendapat ini didasarkan dengan adanya fakta bahwa sebelum Islam datang ke Indonesia telah dijumpai lembaga pendidikan yang sama dengan pesantren. Lembaga itu digunakan untuk mengajarkan agama Hindu dan tempat untuk membina kader-kader penyebar Hindu. Fakta lain, adalah bahwa sistem pendidikan semacam pesantren ini, tidak kita jumpai di Negara-negara Islam tetapi justru dijumpai di Negara-negara Hindu dan Budha seperti India, Thailand dan Myanmar. (Dewan Redaksi, 1993: 100).[3]
Dari semua paparan di atas dapat kita ketahui bahwa dari awal munculnya pesantren memang telah memiliki budaya nya tersendiri. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar, berpikir, merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan, praktik komunikasi , tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan teknologi semua itu berdasarkan pola budaya.
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada saat tertentu.[4]
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.[5]
Budaya juga merupakan pengetahuan yang dapat dikomunikasikan, sifat-sifat perilaku dipelajari yang juga ada pada anggota-anggota dalam suatu kelompok sosial dan berwujud dalam lembaga-lembaga dan artefak-artefak mereka. E. B. Taylor, Bapak Antropologi budaya, mendefenisikan budaya sebagai "keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan atau keiasaan-kebiasaan lain yang diperoleh anggota suatu masyarakat". Dalam hal ini setiap kelompok budaya menghasilkan jawaban-jawaban khususnya sendiri terhadap tantangan-tantangan kehidupan seperti kelahiran-pertumbuhan, hubungan sosial, dan bahkan kematian.[6]
Karakteristik Budaya
Budaya memberi identitas pada sekelompok orang, bagaimana kita dapat mengidentifikasi aspek-aspek budaya yang menjadikan sekelompok orang sangat berbeda?
Terdapat 10 klasifikasi umum yang perlu kita ketahui untuk menjawab pertanyaan tersebut.
1. Komunikasi dan Bahasa
Sistem komunikasi verbal dan nonverbal membedakan suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Terdapat banyak "bahasa asing" didunia. Sejumlah bangsa memiliki lima belas atau lebih bahasa utama dan ada juga jenis bahasa lainnya seperti bahasa symbol dan bahasa tubuh.
2. Pakaian dan Penampilan
3. Makanan dan kebiasaan makan
4. Waktu dan kesadaran akan waktu
5. Penghargaan dan pengakuan
6. Hubungan-hubungan
7. Nilai dan norma
8. Rasa diri dan ruang
9. Proses mental dan belajar
10. Kepercayaan dan sikap
Kesepuluh klasifikasi umum yang diuraikan di atas merupakan suatu model yang sederhana untuk menilai suatu budaya tertentu. Model ini adalah suatu paradigma, atau tatanan mental untuk mengevaluasi karakteristik-karakteristik utama budaya. Ia tidak meliputi setiap aspek budaya bukan pula merupakan satu-satunya cara untuk menganalisis budaya pendekatan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi budaya suatu kelompok atau komunitas, salah satunya yaitu dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi "Budaya Pesantren".
Sejarah Berdirinya "Pesantren Tapak Sunan"
Pada awal berdirinya Pondok Pesantren Tapak Sunan ini bermula dari majelis-majelis ta'lim yang dibina oleh sang Kiyai yang bernama Drs. KH. Muhammad Nuruddin Munawwar, yang saat itu berjumlah 36 majelis ta'lim. Ketika beliau mengajar ke setiap majelis-majelis tersebut, beliau ini membuat program untuk mendirikan sebuah pesantren. Para jama'ah beliau setuju dengan program tersebut.
Pada tahun 1991 dimulailah pembangunan pesantren ini di daerah Condet Balekambang Jakarta Timur. Dana awal untuk membangun pesantren ini didapat dari para jama'ah majelis beliau, dengan cara dana yang dibutuhkan untuk membangun pesantren ini di lelang, maksudnya dana yang dibutuhkan diberitahu ke para jamaah lalu para jamaah dianjurkan untuk menyumbang berapapun jumlahnya. Ketika uang sudah mulai terkumpul pembangunan pesantren ini akhirnya dilaksanakan.
Pada tahun 1993 pertama kalinya pesantren ini membuka angkatan pertama, yang jumlah santrinya masih belum banyak. Hingga akhirnya pada tanggal 1 Agustus 1999 pesantren ini diresmikan. Kenapa dinamakan pondok Pesantren "Tapak Sunan"??. Tapak itu berarti jejak, sedangkan sunan berarti Para Wali. Karena pesantren itu adalah sistem pendidikan yang dikembangkan oleh Wali Songo, sehingga dengan memberikan nama "Tapak Sunan" ini beliau berharap para santrinya bisa mengikuti jejak para Wali tersebut.
Dahulu sebelum pesantren ini berdiri, tempat itu adalah sebuah hutan yang luas, tetapi di dekat hutan tersebut terdapat sebuah mushola kecil yang sering dipakai untuk berbuat judi. Respon masyarakat pada rencana pendiriran pesantren waktu itu sangatlah baik, karena bisa dibilang perkampungan di daerah Condet dahulunya sangat haus dengan agama. Ketika dibangunnya pesantren ini orang-orang dikampung ini sangat mendukung sekali bahkan ada yang ikut turut bekerja bakti demi mendirikan sebuah pesantren walaupun meraka tidak dibayar.
Mushola ini akhirnya di perbesar menjadi sebuah masjid, ketika mushola ini di perbesar ada beberapa orang yang kelihatannya keberatan bahkan tidak setuju, karena ada sebuah masjid yang kira-kira jaraknya 1 km dari perkampungan sehingga mereka berfikir "bahwa di sana ada masjid yang letaknya tidak jauh kenapa harus memperbesar mushola ini". Tetapi beliau (sang pendiri pesantren) berpandangan jauh ke depan. Di berpikir mungkin tahun ini masih bisa menampung orang-orang atau jamaah di masjid tersebut, tetapi lima tahun kedepan apakah masih bisa menampung? Dan akhirnya sekarang terbukti bahwa Mushola yang diperbesar ini tidak bisa menampung banyak jamaah. Bahkan sekarang masjid ini sudah menjadi masjid yang mempunyai kapasitas cukup besar. Itu pun masih belum bisa menampung banyaknya jamaah yang berada di perkampungan itu saat ini, karena perkampungan makin padat penduduk. Karena, dahulu yang sebagian perkampungnya hutan sekarang sudah menjadi rumah-rumah bahkan sampai ke pinggir kali pun masih ada perumahan warga.
Dahulu pada awal pendirian pesantren ini pihak kelurahan juga tidak mendukung, dikarenakan berada di tanah cagar budaya alam. Sampai waktu itu dapat surat dari pihak wali kota ke kecamatan untuk pembongkaran pesantren. Tetapi beliau tidak tinggal diam, beliau berjuang demi tetap berdirinya pesantern tersebut dan akhirnya pembongkaran pesantren ini tidak terjadi tetapi pembangunan tetap berjalan.
Kelembagaan Pesantren
STUKTUR PESANTREN
Secara berurutan strukturnya adalah sebagai berikut:
1. Pimpinan pesantren
2. Ketua yayasan
3. Lurah pondok
4. Kepala kependidikan Madrasah Aliyah
5. Kepala kependidikan MTS
6. Kepala kependidikan Madrasah islamiyah salafiyah
7. Kepala kependidikan MI
8. Kepala kependidikan TK
9. Guru-guru
10. Para santri
Proses belajar mengajar ini secara umum dilakukan hampir 24 Jam, karena kehidupan disini adalah belajar. Hanya saja pelajaran disini dibagi menjadi tiga bidang yaitu, pelajaran akademik, nonakademik dan pelajaran kehidupan. Pelajaran akademik ini dimulai Pada pukul 07.30-13.00 dilakukan sekolah formal setiap hari minggu libur, maka diganti dengan kegiatan kerja sama atau gotong royong. Setelah pulang sekolah para santri melakukan sholat zuhur, makan siang serta istirahat atau tidur siang. Setelah sholat ashar sampai pukul 17.00 ada belajar mengaji Al-Qur'an. Setelah itu santri makan sore dan istirahat. Ketika selesai sholat magrib dari jam 19.00-21.00 ada MIS atau Madrasah Islamiah Salafiah (sekolah mengaji kitab). Sekolah ini unik, kenapa dibilang unik? Karena sekolah ini mempunyai raport, kurikulum, ijazah, tapi tidak pernah di daftarkan ke kementrian agama.
Sedangkan di bidang nonakademik (ekstrakulikuler) ada kaligrafi, tari saman, angklung, drum band, pencak silat, hadroh, marawis, dll. Setiap Ekstrakulikuler ini mempunyai jadwal masing-masing untuk belajar. Ketika santri sudah kelihatan mahir nantinya akan di adakan lomba seperti Marawis, Hadroh dengan pesantren lainnya. Biasanya ketika ada acara besar di pesantren, semua ekstrakulikuler ini di tampilkan.
Hubungan pesantren dengan pihak luar yakni ketika beliau memperluas bangunan pesantren , hingga saat ini biayanya tidak serta merta beliau pikul sendiri, melainkan banyak donatur maupun dari para jamaah beliau yang menyumbang untuk pembangunan pesantren. Bahkan juga ada sedikit bantuan dari pemerintah.
Impact Terhadap Masyrakat
Hubungan pesantren ini dengan masyarakat di bidang pendidikan, ekonomi, sosial ada banyak . Di bidang ekonomi, pesantren ini semakin tahun semakin banyak santrinya dan ini perlu memperluas bangunan pesantren. Oleh karena semakin banyak santri ini maka masyarakat sekitar banyak yang mendirikan warung-warung kecil, yang terkadang digunakan santri untuk jajan. Ada juga yang mendirikan laundry dan usaha lainnya.
Sedangkan hubungan pesantren dibidang sosial, diantaranya setiap beberapa bulan ada pengobatan gratis, pemberian baju-baju bekas untuk orang yang membutuhkan, dan ini sangat membantu para masyarakat sekitar. Bahkan ada program baru dari pesantren ini yaitu memberikan jilbab kepada orang-orang yang membutuhkan, khususnya di daerah NTT, NTB, Flores dan sekitarnya, kegiatan ini dinamakan "Gerakan 1000 Jilbab untuk Flores" dan ada satu program lagi yakni beliau mencetak beribu-ribu lembar Al-Qur'an yang akan di sumbangkan ke beberapa pesantren di dareah Jawa.
Sedangkan dibidang pendidikan, banyak santri-santri yang sudah lulus dari pondok ini lalu terus melanjutkan pesantren lagi di beberapa pesantren-pesantren yang ada di pulau Jawa. Hal ini dilakukan untuk memantapkan ilmu-ilmu yang dipelajarkan atau mendalaminya lagi. Sedangkan universitas UIN adalah salah satu universitas yang digemari oleh santri-santri di pondok ini. Karena mereka berpendapat bahwa UIN adalah universitas islam yang sangat cocok untuk melanjutkan studinya.
Dari bidang pendidikan ini ada pengajian-pengajian bapak-bapak dan ibu-ibu yang dilakukan seminggu sekali. Pengajian ibu-ibu pada hari selasa pagi sedangkan pengajian bapak-bapak di hari minggu pagi. Ada juga pengajian malam jum'at yaitu Shalawatan. Ini dilakukan setelah abis Magrib dengan dimulai Sholat Tasbih setelah itu sholat Isya setelah sholat isya lanjut Shalawat.
Tokoh-Tokoh
Pendiri dan pemimpin pesantren Tapak Sunan adalah Drs.Kh.Muhammad Nuruddin Munawwar. Beliau lahir di Cirebon pada tanggal 25 April 1950. Waktu beliau masih kecil beliau hidup di tengah-tengah masa keemasan Pesantren Buntet Cirebon. Setelah menempuh pendiidkan di Pesantren Buntet, beliau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA), setelah selesai beliau pindah ke Jakarta lalu tinggal di daerah Tanjung Periok. Di tempat ini beliau memperbanyak aktifitas mengaji yang diajarkan oleh Mualim KH. Syafi'i Hadzami. Singkat cerita beliau menikah pada umur 25 tahun. Kemudian beliau mulai mendirikan pesantren pada umur 40 tahun.
Para tokoh yang mendukung berdirinya pesantren ini rata-rata adalah dari pihak keluarga meskipun ada juga dari jamaah. Salah satu tokoh pendukung yaitu sang istri yang bernama Siti Sairoh yang sampai saat ini setia mendampingi beliau. Ada juga tokoh lain yang turut mendukung eksistensi pesantren ini, para tokoh tersebut adalah H.M. Arief Sholahuddin, MA ( yang merupakan putra pertama pendiri pesantren ini dan sekaligus menjadi Lurah Pondok Madrasah Aliyah sampai sekarang), Rofi'i, S.Ag (yang sekarang menjabat sebagai kepala madrasah tsanawiyah), Muhammad Hamdi, S.H.I (yang sekarang menjabat sebagai kepala Madrasah Islamiyah Salafiyah), Alex Akyas (yang merupakan lulusan pondok angkatan pertama yang setia mengabdi di pesantren ini dan sekarang menjabat sebagai salah satu guru yang aktif dalam kegiatan kesiswaan), beserta tokoh lainnya.
Kesimpulan
Pesantren sudah terlanjur menjadi sebuah lembaga yang kurang-lebih diidealkan sebagai tempat dan model pendidikan yang bukan saja betujuan meningkatkan pengetahuan (agama Islam), tetapi sekaligus membuat para murid (santri) nya peka terhadap permasalahan kemasyarakatan. Jika dipandang dari ajaran Al-Qur'an, maka pesantren adalah pengejawantahan dari "tafaqquh fid din" (memperdalam pemahaman keagamaan) dan "liyundziruu qoumahum idza roja'u ilaihim la'allakum yahdzaruun", (agar memberikan peringatan kepada mereka yang kembali dari peperangan agar mereka mendapat peringatan). Persoalannya adalah, bahwa pesantren dalam perjalanan sejarahnya mengalami pasang naik dan pasang surut yang membutuhkan perhatian serius apabila ia masih diharapkan tetap relevan dengan tantangan modernitas dan globalisasi yang terjadi.[7]
Menurut salah satu definisi, kebudayaan itu ialah pikiran, karya, dan hasil karya akibat adanya interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya untuk memenuhi hasratnya akan adanya hubungan yang didasarkan pada takaran dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat, yang meliputi berbagai hal dan nilai dalam kehidupan ini. Bertolak dari definisi di atas, saya ingin belajar memahami Gus Dur sebagai insan budaya. Saya mulai dari lingkungan budaya yang paling awal berinteraksi dengannya, yaitu budaya pesantren. Jika Gus Dur mengatakan bahwa pesantren adalah "sub kultur", itu artinya Gus Dur yakin bahwa pesantren bisa menyumbangkan nilai yang berharga bagi kebudayaan Indonesia. Keyakinan itu dirasakan Gus Dur sebagai orang yang lahir dan besar di lingkungan pesantren. Ia telah banyak meminum nilai-nilai yang membentuk dirinya menjadi manusia yang harus sadar akan eksistensinya dengan akal sehatnya.[8]
Begitu pula budaya pesantren pada Pondok Pesantren Tapak Sunan yang kami teliti ini. secara umum budaya yang terlihat oleh kasat mata yaitu cara berpakaian para santri terutama santri-santri laki-laki yang dengan khas selalu menggunakan kopiah (tentunya ke khas-an ini tidak terjadi di banyak pesantren) selain itu budaya lainnya yaitu adanya pengajian kitab setiap malam jum'at. Sesuai dengan definisi kebudayaan pada paragraph sebelumnya yaitu budaya merupakan hasil karya akibat interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Selain itu budaya juga tentang nilai-nilai yang terkandung pada suatu kelompok karena kebiasaannya, Dari wawancara yang kami lakukan di Pesantren ini, secara khusus dapat kami simpulkan bahwa ada budaya "jujur" yang telah menjadi nilai tambah tersendiri bagi santri , guru, maupun alumni dari pesantren ini.
Budaya lain yang juga kami cermati yaitu bagaimana pengajaran tentang pentingnya menjalin hubungan yang harmonis terhadap masyarakat sekitar. Karena kita ketahui bahwa tentunya kita hidup dan akan besar di lingkungan yang notabene nya memiliki jenis (ataupun budaya) masyarakat yang berbeda-beda, sehingga nilai positif yang dapat diambil dari budaya bermasyarakat yang diterapkan pesantren ini adalah akan terciptanya santri-santri maupun lulusan (alumni) yang siap terjun ke dunia masyarakat yang tentunya sangat beragam. Hal ini menunjukkan bahwa ada budaya pesantren yang berhubungan dengan pembelajaran sosial yang baik bagi para santri maupun alumni nya.
Foto hasil observasi dan wawancara
Referensi:
Sholeh, Badrus. 2007. Budaya Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Mulyana, Deddy., Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
http://www.gusdurian.net/id/article/headline/GUSDUR-VITALITAS-UNTUK-UMAT/
http://thegusdurians.blogspot.com/2010/05/mengaji-bersama-gus-dur-1-pesantern-dan.html?m=1
http:// eprints.walisongo.ac.id/1484/4/105112054_Tesis_Bab2.pdf,
[1] http://eprints.walisongo.ac.id/1484/4/105112054_Tesis_Bab2.pdf, diakses pada 12 Juni 2015, pukul 14.50 wib.
[2] Badrus Sholeh, Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2007) hlm 1.
[3] http:// eprints.walisongo.ac.id/1484/4/105112054_Tesis_Bab2.pdf, diakses pada 12 juni 2015 pukul 15.05 wib
[4] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006) , hlm 18.
[5] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2006), hlm 19.
[6] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, hal 56.
[7] http://thegusdurians.blogspot.com/2010/05/mengaji-bersama-gus-dur-1-pesantern-dan.html?m=1, diakses pada 15 Juni 2015 pukul 15.32 Wib.
[8] http://www.gusdurian.net/id/article/headline/GUSDUR-VITALITAS-UNTUK-UMAT/, diakses pada 15 Juni 2015, pukul 15.30 wib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar