Nama Anggota Kelompok : Aditiya Awaludin
Suryo Widodo
Jurusan : PMI/6
Mata Kuliah : Ekologi
A. SEJARAH SUKU BAJO (BAJAU)
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan.
Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebutnyadirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai.
Nama "Bajo" sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut. Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku Bajo. Artinya, ya suku Perompak. Anehnya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap disamaratakan sebagai suku Bajo! Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik berkepanjangan.
Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti "bajo" sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Lucunya, perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata "bajo"! Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak lokasi di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan.
B. Lokasi dan gambaran umum penduduknya
Suku bajo tersebar di penjuru Pulau Sulawesi. Berikut daerah yang menjadi tempat tinggal suku bajo:
1. Gorontalo
Sepanjang pesisir Teluk Tomini, terpusat di wilayah Kabupaten Boalemo dan Gorontalo.
2. Sulawesi Tengah
Kepulauan Togian di Teluk Tomini, Tojo Una-Una, Kepulauan Banggai. Selain itu dimungkinkan dijumpai di pesisir Kabupaten Toli-Toli, Parigi Moutong dan Poso.
3. Sulawesi Tenggara
Terdapat di pesisir Konawe dan Kolaka (pulau utama). Di Pulau Muna (Desa Bangko, Kecamatan Baginti yang konon sudah ada sejak abad ke-16), Pulau Kabaena, Pulau Wolio, Pulau Buton, Kepulauan Wakatobi (Kaledupa, Binongko, Kapotta dan Tomea).
4. Sulawesi Selatan
Terpusat di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone. Orang Bajo banyak tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam.
Namun selain tinggal disulawesi, suku bajo juga terdapat atau dapat dijumpai di Nusa Tenggara Barat dan Timur. Berikut penjelasannya :
1. Nusa Tenggara Barat
Suku Bajo di pulau Lombok ditemui disebuah kampung di Kecamatan Labuhan Haji, Lombok Timur. Sedangkan di Pulau Sumbawa, mereka banyak dijumpai di Pulau Moyo dan sekitarnya, serta kawasan Bima di belahan timur Sumbawa.
2. Nusa Tenggara Timur
Di Pulau Flores mereka dapat dijumpai di kawasan pesisir, mulai dari Kabupaten Manggarai Barat hingga Flores Timur (di sana ada kota bernama Labuhan Bajo yang diambil dari nama suku itu). Pemukiman mereka di Nusa Tenggara Timur antara lain di Lembata yakni di wilayah Balauring, Wairiang, Waijarang, Lalaba dan Lewoleba. Pulau Adonara : Meko, Sagu dan Waiwerang. Sedangkan sisanya bermukim di Pulau Solor, Alor dan Timor, terutama Timor Barat. Mereka sudah bermukim disana sejak ratusan tahun silam dan hidup rukun dengan penduduk setempat. Orang Bajo juga banyak dijumpai dikawasan sekitar Pulau Komodo dan Rinca.[1]
Dari segi bahasa, kendati orang Bajo mempunyai satu bahasa. Namun dialek mereka terpengaruh dengan bahasa-bahasa daerah tempat mereka bermukim. Seperti di kabupaten Lembata, mereka hanya berbahasa Bajo dengan kaumnya, sementara itu mereka berbahasa Lamaholot bila bertemu di pasar atau berinteraksi dengan penduduk luar kelompoknya. Orang Bajo terutama di Sulawesi Selatan banyak mengadaptasi adat istiadat orang Bugis atau Makassar. Atau juga adat istiadat Buton di Sulawesi Tenggara. Sedangkan orang Bajo di Sumbawa cenderung mengambil adat Bugis, bahkan seringkali mengidentifikasi dirinya sebagai orang Bugis/Buton di beberapa daerah. Meskipun telah ratusan tahun tinggal bersama penduduk lokal yang beragama Katolik atau Kristen di NTT, orang Bajo tetap sampai sekarang taat menganut agama Islam, dan bagi mereka Islam adalah satu-satunya agama yang menjadi ciri khas suku ini. Menjaga kekayaan laut adalah salah sifat yang diemban oleh suku Bajo. Dengan kearifannya mereka mampu menyesuaikan diri dengan ganasnya lautan.
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Bahkan perkampungan merekapun dibangun jauh menjorok kearah lautan bebas, tempat mereka mencari penghidupan. Laut bagi mereka adalah satu-satunya tempat yang dapat diandalkankarena pada mulanya mereka memang hidup terapung-apung diatas rumah perahu. Orang Bajo inipun menyebar ke segala penjuru wilayah semenjak abad ke-16 hingga sekitar 40-50 tahun silam (perpindahan terakhir terjadi di berbagai wilayah di NTT).
Diberbagai tempat, orang Bajo banyak yang akhirnya menetap, baik dengan inisiatif sendiri atau di'paksa' pemerintah. Namun tempat tinggalnyapun tidak pernah jauh dari laut. Banyak orang Bajo yang akhirnya menetap, sedang lainnya masih berkelana dilautan. Mereka membangun pemukiman-pemukiman baru di berbagai penjuru Indonesia. Berikut sebagian dari tempat bermukimnya suku Bajo ini, utamanya di Pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara sebagai pusat pemukimannya. Orang Bajo dikenal mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, kendati tradisinya sendiri tetap berjalan.
Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam. antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung. Digambarkan dalam buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat dari kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.
C. NILAI-NILAI EKOLOGIS
Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Bajo Suku bajo memiliki karateristik berbeda dengan komunitas suku-suku di nusantara pada umumnya, karena Suku Bajo tidak dapat dipisahkan dengan laut dan perahu. Orang Bajo mulai mengalami kehidupan sosial berubah setelah menetap dipermukiman di darat. Namun tak dapat dipungkiri dalam hal menyangkut persoalan kelautan, Suku Bajo diakui paling mengenal soal kelautan bila di banding dengan suku-suku lain di nusantara.[2]
Ada sebuah ungkapan dari nenek moyang mereka yang mengatakan "Papu Manak Ita Lino Bake Isi-isina, kitanaja manusiamamikira bhatingga kolekna mengelolana." Artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai manusia memikirkan bagaimana mengelolanya. filsafat hidup yang diwariskan leluhur mereka sangat meresap dalam kehidupan mereka dan menjadikan orang Bajo berusaha memahami gejala alam sediri mungkin agar dapat mengelola seisi bumi.
Menurut sejarahwan Universitas Halu Oleo (Unhalu) di Kendari, Dr. Anwar Hafidz, sedemikian dalam pengenalan mereka terhadap kehidupan di laut, orang Bajo memiliki kemampuan diagnosis penyakit ikan tertentu di laut. Demikian pula pengetahuan mereka tentang gejala alam yang member pertanda tentang ada atau tidak adanya kosentrasi ikan di suatu tempat di tengah laut. Filsafat hidup lainya yang menjadi orang Bajo memiliki semangat untuk menjaga keseinbangan dalam kehidupan sosial mereka adalah tertuang dalam apa yang mereka sebut dengan "Tellu Temmaliseng, Dua Temmserang"–Tiga unsure yang tidak dapat dipisahkan yaitu: Allah, Muhammad dan Manusia serta dua hal yang tidak bisa dibedakan yaitu: Allah dan Hamba-Nya.Keberadaan suatu komunitas Suku Bajo di suatu lokasi, berawal dari kegiatan mencari hasil laut. Pontensi hasil laut di suatu kawasan tertentu yang melimpah menjadi penyebab mereka membagun pondok yang berfungsi sebagai tempat berteduh pada saat cuaca laut memburuk dan juga menjadi tempat mengeloah hasil tangkapan. Bila lokasi tersebut memenuhi persyaratan untuk pemukiman, misalnya tidak jauh bersumber air tawar dan kemudian dalam pemasaran hasil tangkapan, maka tempat tersebut di putuskan sebagai tempat tinggal baru (Ponulele, 1997:29).[3]Komunitas Suku Bajo dimana mereka bermukim, cenderung hidup mengelompok di tengah wilayah suatu desa yang dihuni
berbagai etnik. Permukiman Suku Bajo lebih dominan memusat di suatu bagian wilayah dan terpisah dari komunitas etnik lainnya
Nilai ekologis yang bisa diambil kembali dari suku bajo adalah rumah tinggalnya yang sangat ramah lingkungan, yaitu rumah panggung suku Bajo yang dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat dari kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.
D. Analisis menggunakkan perspektif ekologi
terlihat dari ulasan di atas, dapat disimpulkan kehidupan suku bajo dalam perspsektif ekologi, yang pertama pengertian teori ekologi itu sendiri mengatakan alam atau lingkungan sangat berpengaruh terhadap manusia, dan proses sosial antara keluarga, teman, saudara serta lingkungan sekitar.
Yang ke dua, Seperti yang sudah diketahui suku bajo tinggal di laut dengan berkelompok. Satuhal yang perlu dicatat, suku bajo sangat terbiasa dengan laut, dan sangat menjunjung tinggi kelestarian laut . suku bajo yang percaya kepada pepatah leluhurnya dalam menjaga lingkungan sangat mengecap jelas dalam pemikiran mereka . sehingga bagi mereka laut adalah tempat tinggal mereka, tempat mereka hidup tempat yang perlu dijaga bukan untuk dieksploitasi. Dalam segi tempat tinggal pun sangat ramah lingkungan.
Yang ketiga, kesiapan suku bajo dalam masa mendatang. Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo boleh dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Di tengah kesibukan para ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo. Menurut Profesor AB Lapian, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, suku Bajo atau bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut. "Boleh dibilang hidup dan mati mereka bergantung dengan laut," ujar Lapian.
Dalam bentuk sosial dengan masuyarakat lainnya, komunitas Suku Bajo dimana mereka bermukim, cenderung hidup mengelompok di tengah wilayah suatu desa yang dihuni berbagai etnik. Permukiman Suku Bajo lebih dominan memusat di suatu bagian wilayah dan terpisah dari komunitas etnik lainnya. Hal ini antara lain disebabkan
keakraban dan keeratan hubungan antar angota keluarga Suku Bajo membuat mereka tinggal berkelompok. Meskipun demikian, tidak berarti komunitas Suku Bajo menutup diri dari pergaulan dengan komunitas lain. Mereka sangat menyadari keterbukaan terhadap komunitas lain dalam kehidupan bermasyarakat sangat diperlukan untuk menjamin kebutuhan hidup. Interaksi ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga mendorong mereka berinteraksi sosial dengan komunitas lain
DAFTAR PUSTAKA
Triwari Lumalan. 2011. Skripsi : hak-hak Masyarakat suku bajo atas sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Bagian hukum perdata fakultas hukum Universitas Hasanudin Makassar.
Sudirman Saad. 2009. Bajo, berumah di laut nusantara. Coremap II : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar