Rabu, 11 Mei 2016

Abidin, Rosa Juni Andri, Tugas 5_ekologi Manusia

suku anak dalam

A.    Sejarah dan Gambaran Umum Suku Anak Dalam (Suku Kubu)

 

Suku anak dalam disebut juga suku kubu, suku ini berada di sumatra dan menyebar di beberapa kawasan, suku kubu atau anak dalam ini bertempat tinggal di dalam hutan dengan berpindah-pindah, cara hidup mereka sangat baik dengan tidak merusak alam. sejarah awal suku Anak Dalam atau SAD masih misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka. Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.

1.      Leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD (taman nasional bukit duabelas) Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.

2.      Penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu. Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. "Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba," tuturnya. Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi "melangun" atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.

Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan bermacam cerita/hikayat dari penuturan lisan yakni: Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari cerita/hikayat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari 3 keturunan, yakni :

a.      Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.

b.      Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.

c.       Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.

 

Secara mitologi, mereka (Suku Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. Aturan rimba sendiri melarang adanya Pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.

 

B.     LOKASI DAN GAMBARAN PENDUDUK

 

Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.

Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang.

Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.

 

C.      NILAI EKOLOGIS

Nilai ekologis yang ada di suku anak dalam ini cukup banyak seperti Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa. Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang sebutan untuk masyarakat di desa.

 Orang Rimba yang selama hidupnya aktifitas dilakukan di hutan, memiliki starata budaya dan kearifan lokal yang khas dalam mengelola sumberdaya alam. Hutan bagi mereka adalah harta yang tidak ternilai harganya karena tempat  kami hidup, beranak- pinak, sumber pangan, sampai menjadi tempat dilakukannya upacara adat istiadat mereka. Begitupula dengan sungai sebagai sumber air minum dan fungsi lainnya. Dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan, mereka mengenal wilayah peruntukan seperti adanya tanoh peranokon, rimbo, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai keberlajutan sistem lestari sumber daya hutan yang dapat diolah sebagai ladang untuk suplai makanan pokok seperti ubi kayu, padi ladang, ubi jalar, pisang, tebu, kemudian berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka.

Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah–buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, bedaro, tampui, bekil, nadai, kuduk kuya, buah sio, dekat, tayoy, buah buntor, rambutan, cempedak, petai, pohon sialong (jenis pohon kayu Kruing, Kedundung, Pulai, Kayu Kawon/Muaro Keluang), pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.

Dahulunya "Orang Rimbo" jika sakit obatnya diramu dari tanaman -tanaman yang ada di hutan, namun sekarang sudah sangat sulit untuk didapatkan dengan berkurangnya luas hutan akibat banyaknya perusahaan - perusahaan yang membuka hutan kami.

Benuaron adalah kebun yang berperan sebagai sumber penghasil makanan (buah - buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang kami serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimbo. Rotasi penggunaan sumberdaya hutan dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir menjadi rimbo kembali, merupakan warisan budaya leluhur kami, yang mempunyai kearifan tradisional dimana selama ini dilupakan oleh pemerintah daerah maupun pusat. Bagi "Orang Rimbo".

Pepohonan di hutan bukan hanya sekadar pengisi hutan tapi juga mengandung makna spiritual bagi dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya kami tidak bisa sembarangan menebang pohon, termasuk pohon Tengeris yang dipercara menjadi penolak bala. Getah Tengeris juga menjadi penanda kelahiran "Orang Rimbo" dikenal masih menjunjung tinggi adat mereka, meski bagi sebagian orang terkesan primitif. Namun bagi kami adat istiadat itu adalah warisan leluhur yang harus dijaga.

Menurut kepercayaan "Orang Rimbo" pohon tengeris berfungsi sebagai pengingat kelahiran mereka. Karena setiap "Orang Rimbo"pasti punya satu pohon tengeris ". Getah kayu tersebut nantinya dioleskan ke ubun-ubun bayi yang baru lahir, dan dipercaya bisa menolak bala. Mencatuk/mengapak/menebas saja menurut kepercayaan "Orang Rimbo" sama dengan membunuh orang dan dikenakan denda 60 keping kain, apalagi menebang akan dikenai denda bayar bangun sejumlah 500 keping kain. Ketentuan serupa juga berlaku buat pohon sentubung. Sebab kayu sentubung dalam bentuk segitiga digunakan "Orang Rimbo" untuk menanam ari-ari mereka. Selain kedua pohon tersebut hal yang sangat dilarang adalah menebang pohon sialang, kedundung yang merupakan sarang bagi lebah madu. Dendanya bisa sangat berat yaitu 500 keping kain.

 Mereka sangat menyayangkan, hilangnya habitat tumbuhan pengatur jarak kelahiran yang selama ini kami konsumsi sebagai obat itu sudah tidak ada lagi. Begitu juga sungai-sungai sudah menjadi kering dan kotor, jika hujan turun menjadi cepat banjir. Perusahaan yang menebang pohon kayu tersebut sudah kami tuntutuntuk membayar denda sesuai dengan hukum adat kami,namun mereka mengurung kam secara fisik di camp perusahaan tersebut dan hingga kini tidak ada penyelesaian.

 

D.    ANALISIS MENGGUNAKAN PERSPEKTIF EKOLOGI

 

Suku anak dalam adalah salah satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di dalam hutan, suku ini sangat mengedepankan sisi ekologis dalam hidupnya, bagi mereka pohon dihutan bukan hanya sekedar pengisi hutan tetapi juga memiliki makna yang sangat spiritual. mereka bertahan hidup dengan memakan buah dan hewan sepeti rusa dan lainnya yang ada dihutan, mereka juga masih memiliki memegang adat istiadat yang ada sejak dahulu seperti menandakan tempat lahir dengan menandakannya ke suatu pohon terangis dan getah dari pohon itu dioleskan ke kening bayi sebagai penolak bala, suku anak dalam juga tidak menebang beberapa jenis pohon, dan lainnya.

Selain itu suku anak dalam juga memiliki lahan khusus bernama Benuaron atau kebun yang berperan sebagai sumber penghasil makanan (buah - buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon.tanah ini khusus dan tidak boleh di alih fungsikan menjadi lading atau kebun. Dan ada juga tanoh peranokon ,Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang kami serta sumber air atau sungai. Dengan menjaga alam tempat tinggal mereka hingga kini suku anak dalam tetap mengedepankan nilai ekologis dan sangat menjaga tempat tinggalnya yaitu hutan dari perlakuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini