Rabu, 11 Mei 2016

tugas ekologi manusi " suku madura" (muhammad fahmi dan chairul bahri)

Ekologi Manusia
"Suku Madura"
Dosen: Tantan Hermansyah, M.Si
Description: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSew1G_90WEsm3QulO5vj2D20fyKUSdPJnfx-uD-LNU6GA8H_0v
Disusun Oleh:
Muhammad Fahmi
Chairul Bahri
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Suku bangsa atau etnisitas adalah suatu golongan manusia yang anggota – anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Indonesia sebagai Negara yang memiliki banyak pulau tentulah memiliki banyak suku atau etnis pula sebab pasti dari jumlah pulau maupun suku tersebut pastilah ada perbedaan yang menimbulkan ketidaksamaan identitas dan ciri khas .Antara suku satu dan suku yang lainnya pastilah muncul adanya masyhurul ahwal baik dari segi sejarah, sistem teknologi, mata pencaharian, kesenian dan agama .Maka sehubungan dengan tugas paper mata kuliah Ekologi Manusia, maka kami susun warna warni etnisitas Madura yang merupakan suku penulis, Waba`du penulis harap koreksi dan edit dosen pemangku dapat menyempurnakan paper yang penuh dengan keterbatasan ini.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Sejarah suku Madura
Dikisahkan bahwa ada suatu negara yang bernama Mendangkamulan dengan seorang Raja yang bernama Sang yang tunggal beliau mempunyai anak gadis bernama Bendoro Gung. Yang pada suatu hari hamil dan diketahui Ayahnya. Raja amat marah karena kehamilan putri kesayangannya tidak bisa masuk akal akhirnya dia menyuruh sang Patih yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu. Karena tidak tega melihat putrid Bendoro ging maka ia tidak membunuh anak Raja itu melainkan mengasingkannya ke tepi laut sambil berucap perkgilah ke "Madu Oro" (waktu itu hanya sebuah dua bukit di tengah laut yang kemudian sekarang tempat tersebut disebut gunung Geger di Bangkalan dan bukit yang kedua adalah gunung Pajudan Sumenep) dan patih yang baik hati itu tidak kembali ke Istana dengan tujuan takut di bunuh oleh raja karena telah melalaikan tugasnya dia juga merubah namanya dengan Ki Poleng serta melepas pakaian kebangsawanannya dan di ganti dengan kain tenun (kain sederhana yang kemudian menjadi ciri khas orang Madura). Putri raja yang hamil yang malang merasa perutnya sakit dan segera ia memanggil Ki Poleng dengan cara mengepakkan kakinya kebumi sebanyak tiga kali sesuai petunjuknya dulu. Tidak lama kemudian Ki Poleng datang dan mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan anak Akhirnya putra tersebut yang diberi nama Raden Segoro (artinya laut, sebab dia lahir ditengah laut).
Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Madura berasal dari akar kata Madu Oro yang merupakan lontaran dari patih yang bijaksana dalam menyimbolkan dua bukit ditengah lautan. Sedangkan asal usul penduduk pulau Madura merupakan anak cucu dari Raden Segoro dari ibu Bendoro Gung.
B.     GAMBARAN WILAYAH SUKU MADURA
Kondisi geografis pulau Madura dengan topografi yang relatif datar di bagian selatan dan semakin kearah utara tidak terjadi perbedaan elevansi ketinggian yang begitu mencolok. Selain itu juga merupakan dataran tinggi tanpa gunung berapi dan tanah pertanian lahan kering. Komposisi tanah dan curah hujan yang tidak sama dilereng-lereng yang tinggi letaknya justru terlalu banyak sedangkan di lereng-lereng yang rendah malah kekurangan dengan demikian mengakibatkan Madura kurang memiliki tanah yang subur.
Secara geologis Madura merupakan kelanjutan bagian utara Jawa, kelanjutan dari pengunungan kapur yang terletak di sebelah utara dan di sebelah selatan lembah solo. Bukit-bukit kapur di Madura merupakan bukit-bukit yang lebih rendah, lebih kasar dan lebih bulat daripada bukit-bukit di Jawa dan letaknyapun lebih bergabung. Luas keseluruhan Pulau Madura kurang lebih 5.168 km², atau kurang lebih 10 persen dari luas daratan Jawa Timur. Adapun panjang daratan kepulauannya dari ujung barat di Kamal sampai dengan ujung Timur di Kalianget sekitar 180 km dan lebarnya berkisar 40 km. Pulau ini terbagi dalam empat wilayah kabupaten. Dengan Luas wilayah untuk kabupaten Bangkalan 1.144, 75 km² terbagi dalam 8 wilayah kecamatan, kabupaten Sampang berluas wilayah 1.321,86 km², terbagi dalam 12 kecamatan, Kabupaten Pamekasan memiliki luas wilayah 844,19 km², yang terbagi dalam 13 kecamatan, dan kabupaten Sumenep mempunyai luas wilayah 1.857,530 km², terbagi dalam 27 kecamatan yang tersebar diwilayah daratan dan kepulauan.
C.    NILAI-NILAI EKOLOGI MASYARAKAT
·         Kesopanan
Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Betapa pentingnya nilai kesopanan ini nampak dari ungkapan ta'tao batona langgar (tidak pernah merasakan lantainya langgar). Maksudnya, orang tersebut belum pernah masuk langgar dan mengaji atau belum pernah mondok, sehingga tidak tahu tatakrama kesopanan. Ungkapan ini untuk orang yang tidak tahu atau melanggar nilai-nilai kesopanan. Ungkapan lain yang memberikan nasihat dan ajaran tentang keharusan bersopan santun adalah : pa tao ajalan jalana jalane, pa tao neng ngenneng, pa tao a ca ca (yang menjadi kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Harus tahu saatnya diam, harus tahu saatnya berbicara).
Hal ini bermakna bahwa orang Madura harus selalu tahu aturan, nilai dan tatakrama dalam setiap tindakannya Selain itu, setiap kewajiban harus dilaksanakan dengan mendasarkan pada aturan-aturan tata krama yang ada. Orang dan masyarakat Madura selalu menekankan bahwa mon oreng riya benni bagusse, tape tatakramana, sanajjan bagus tapi tatakramana jube', ma' celep ka ate (yang penting bukan ketampanan atau kecantikan, namun utama tatakramanya) Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial
·         Kehormatan
Masyarakat Madura sangat mengutamakan penghormatan dan penghargaan, apalagi kepada yang lebih tua atau yang mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi, sehingga menjadikan nilai-nilai kesopanan menjadi sangat penting sekali dalam kehidupan bermasyarakat. masyarakat Madura tidak mau diremehkan, namun demikian penonjolan diri juga tidak dihargai. contohnya ungkapan madu ben dere (madu dan darah), yang berarti bila orang Madura diperlakukan secara baik, menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan penghormatan, maka balasannya adalah kebaikan pula. Sebaliknya, bila ia diperlakukan secara sewenang-wenang dan tidak adil, maka balasannya jauh lebih berat bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah. Hubungan sosial masyarakat Madura selalu saling menghormati dan menghargai sebagai sesama manusia dan menjaga untuk tidak saling menyakiti. Hal ini sangat nampak dari ajaran ja' nobi' oreng mon aba'na e tobi' sake' (janganlah menyakiti orang lain, kalau diri-sendiri merasa sakit jika disakiti orang).
Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya malu adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga berkait erat dengan masalah tanah dan air
·         Agama
Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai. Itulah yang menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh para kiai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati. Kepemimpinan yang disandang para kyai adalah bersifat berpengaruh penting dalam beberapa bidang sekaligus. Bukan hanya dalam bidang keagamaan, melainkan juga dalam kegiatan sosial, bahkan mungkin juga politik.
Tiga ciri dasar kehidupan sosial budaya tersebut merupakan ciri orang dan masyarakat Madura secara keseluruhan, tak terkecuali orang dan masyarakat Madura yang bertempat tinggal di luar pulau Madura namun Tidak hanya itu karakter orang Madura, masih banyak ahwal yang sering 'membidani' perbedaan mencolok dengan etnis lain salah satunya adalah Harga diri, sifat ini masyhur juga paling penting dalam kehidupan orang Madura, mereka memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata), Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.
 
D.    ANALISIS PERSPEKTIF
Saya memakai perspektif ekologi konstrutivitas di mana keadaan lingkungan di suku madura sangat dipengaruhi cara pandang tiap orang ( individu ). Misalnya mereka memandang bahwa keadaan laut hari ini sangat kurang baik maka apa yang terjadi akan benar terjadi. 
 
 
 
 
 
 
 
PENUTUP
Kesimpulan
Untuk mengilustrasikan Suku Madura sebenarnya kita hanya butuh mengkaji satu bait syair yang dilonratkan oleh Syekh Abdul Madjid Al – Manduri yang berbunyi :
وما شيء اذا زدناه ينقص وان ينقص باذن لله زاد
Dengan makna sastra tinggi ; Sebab bagaimanapun Madura memiliki nilai hitam dan putih dengan katagori Analisa perkembangan penduduk yang banyak namun hidup diluar daerahnya atau melalui katagori strata sosialnya baik namun kasar atau pula dengan katagori seni baik namun bertentangan dengan naluri mahluk hidup seperti kerapan sapi


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA

Van Dijk, K., de Jonge, H. & Touwen-Bouwsma, E., Introduction, di dalam: van Dijk et al. (penyunting),

Across Madura Strait: the dynamics of an insular society, (Leiden: KITLV Press, 1995) 1-6, via Wikipedia date 04-06-2009

Saifurrachman, Surat Kepada Anjing Hitam 'Biografi dan Karomah Syaikhona Khalil Bangkalan', Jakarta Pustaka Ciganjur, 1999

Rasul Junaidi, Madura Dalam Gelombang Reformasi, (Radar Madura) terbit selasa 5 Oktober 1999


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini