SUKU KAJANG
A. Sejarah Suku Kajang.
Suku kajang berasaskan pada kepercayaan dan penghormatan terhadap Turiek Akrakna. Masyarakat adat Kajang percaya bahwa Turiek Akrakna adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa, dan Maha Kuasa. Hal tersebut merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam agama Patuntung yang di anut oleh Suku Kajang.
Dalam ajaran agama Patuntung, suku Kajang juga diwajibkan untuk menghormati nenek moyang atau roh para leluhur. Begitu hormatnya, setiap tahun mereka selalu mengadakan ritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur. Mereka menyebutnya, ritual bersih kubur.
Di kalangan masyarakat Suku Kajang, ritual Bersih Kubur memiliki arti penting. Mereka menganggap, ritual ini sebagai wujud komunikasi masyarakat Kajang dengan roh leluhur. Begitu pentingnya, setiap keturunan Suku Kajang harus hadir ketika ritual ini dilaksanakan. Bahkan meskipun telah tinggal di luar Tana Toa, ia harus tetap datang untuk menjalin kembali komunikasi dengan nenek moyang.
Setiap tahun, ritual Bersih Kubur selalu dilaksanakan pada tanggal 24 bulan Ramadhan dalam Hijriah. Ketika hari ritual telah tiba, semua masyarakat Kajang berkumpul di makam Bohetomi. Di Tana Toa, makam ini merupakan makam Ammatoa pertama suku Kajang. Ritual membakar kemenyan dan berdoa di makam selalu menjadi bagian terpenting.
Turiek Akrakna menurunkan perintah-Nya kepada masyarakat Kajang dalam bentuk pasang (sejenis wahyu dalam tradisi agama Abrahamik) melalui manusia pertama yang bernama Ammatoa. Secara harfiah, pasang berarti "pesan". Namun, pesan yang dimaksud bukanlah sembarang pesan. Pasang adalah keseluruhan pengetahuan dan pengalaman tentang segala aspek dan lika-liku yang berkaitan dengan kehidupan yang dipesankan secara lisan oleh nenek moyang mereka dari generasi ke generasi. Pasang tersebut wajib ditatati, dipatuhi, dan dilaksanakan oleh masyarakat adat Ammatoa. Jika masyarakat melanggar pasang, maka akan terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan. Hal ini disebutkan dalam sebuah pasang yang berbunyi "Punna suruki, bebbeki. Punna nilingkai pesokki Yang artinya: Kalau kita jongkok, gugur rambut, dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi kita lumpuh.
Dari mitos yang berkembang dalam masyarakat Kajang, Ammatoa merupakan manusia pertama yang diturunkan oleh Turiek Akrakna ke dunia. Masyarakat Kajang meyakini bahwa tempat pertama kali Ammatoa diturunkan ke bumi adalah kawasan yang sekarang ini menjadi tempat tinggal mereka. Suku Kajang menyebut tanah tempat tinggal mereka saat ini sebagai Tanatoa, "tanah tertua", tanah yang diwariskan oleh leluhur mereka.
Mereka percaya, konon di suatu hari dalam proses penciptaan manusia pertama di muka bumi, turunlah To Manurung dari langit. Turunnya To Manurung itu mengikuti perintah Turek Akrakna atau Yang Maha Berkehendak. Syahdan, To Manurung turun ke bumi dengan menunggangi seekor "Burung Kajang" atau Burung Gagak yang menjadi cikal bakal manusia.
Kini, ajaran tersebut menjadi pedoman mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan nama burung Kajang kemudian digunakan sebagai nama komunitas mereka.
B. Letak Geografis dan Gambaran Umum Suku Kajang.
Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu Lohe.
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka mempraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa.
Rumah-rumah panggung di Suku Kajang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Ammatoa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Rumah Ammatoa berada beberapa rumah dari utara.
C. Nilai Ekologi Suku Kajang.
,Hal unik yang dimiliki masyarakat Kajang yang membedakan dengan masyarakat lainnya adalah sebuah keluarga masyarakat adat Kajang, jika memiliki dua bidang tanah, hanya sebidang yang digarap dan ditanami pada satu musim tanam. Sementara sebidang lagi dijadikan tempat penggembalaan ternak. Hal ini dilakukan bergantian pada dua bidang tanah itu. Cara tersebut sebenarnya dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah.
Terkait dengan penghormatan atas tanah, hutan yang juga merupakan bagian kawasan adat ammatoa, mempunyai arti yang sakral. Bagi masyarakat adat, kawasan adat ammatoa terbagi menjadi tiga bagian. Yaitu :
1) Hutan rakyat : yang luasnya sekitar 98 hektare. Kawasan ini digarap bersama dan hasilnya dinikmati bersama pula.
2) Hutan kemasyarakatan : luas 144 hektare. Hutan di lokasi ini boleh digarap, dengan syarat terlebih dahulu menanam bibit pohon pengganti, sebelum sebuah pohon ditebang.
3) Hutan Adat atau Hutan Pusaka : luas 317 hektare yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan ritual pemilihan ammatoa pada saat pergantian kepemimpinan. Bagi masyarakat adat, mematahkan ranting saja haram hukumnya. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi berat, misalnya dikeluarkan dari komunitas adat atau diyakini bakal mendapat malapetaka, karena melanggar pesan leluhur.
Adapula Larangan membuat rumah dengan bahan bakunya adalah batu bata. Menurut pasang hal ini adalah pantang karena hanya orang mati yang berada didalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah yang bahan bakunya dari batu bata meskipun pemiliknya masih hidup namun secara prisip mereka dianggap sudah tiada atau dalam bahasa kasarnya telah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah.
Secara tidak langsung, hal tersebut di atas juga merupakan keramahan akan lingkungan yang mana batu bata saja tidak di pergunakan untuk membuat bangunan rumah. Walaupun mereka tidak menganggapnya seperti itu, tapi jika di lihat hal tersebut sangat ramah lingkungan.
Tokoh Adat Suku Kajang, Mansyur Embas juga menuturkan bahwa , masyarakat Suku Kajang di Tana Toa selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.
Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur. Mereka tidak mudah untuk menerima budaya dari luar daerah. Mansyur Embas, tokoh adat Suku Kajang menceritakan dulu, di Tana Toa tidak ada satupun tempat pendidikan formal. Tidak ada satupun warga Suku Kajang yang mau untuk menuntut ilmu secara formal. Namun seiring dengan pemikiran warga Suku Kajang yang semakin maju, semuanya telah berubah sedikit demi sedikit. berikut penuturan dari Mansyur Embas.
Bagi masyarakat Kajang, ajaran para leluhur memiliki arti penting. Begitu pentingnya, mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan berdasarkan tradisi leluhur. Aturan adat dari Sang Leluhur juga selalu mengikat setiap kegiatan mereka.
D. Analisis Perspektif Ekologi Struktural.
Mengapa kami mengaitkan pembahasan kami dengan Perspektif Ekologi Struktural karena disini Suku Kajang mengaggap bahwa Hubungan nya dengan Alam bukan hannya sekedar Berhubungan dengan benda mati, namun mereka menganggap bahwa alam merupakan mahluk hidup yang mana di dalamnya akan ada hubungan timbal balik yang di terjadi.
Mereka menganggap apa yang diperbuat kepada alam akan berbalik kepada kehidupan mereka. Semisal apabila mereka menjaga lingkungan maka mereka juga percaya bahwa alam pun akan berbalik menjaga dan melindunginya. Masyarakat merupakan subyek utama yang melakukan hubungan tersebut, karena alam hannya merupakan cerminan dari apa yang mereka perbuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar