Senin, 03 November 2014

tugas_6

tug as_6_aplikasi filsafat
Natasha Anissa
KPI 5D
1112051000114

Perkembangan alam pikiran Barat hingga awal abad ke dua puluh ini
telah menempatkan kedudukan
filsafat sebagai pengetahuan yang mempunyai pamor tinggi.Tidak dapat
disangkal, filsafat merupakan induk
segala ilmu, the queen of the sciences, karena daripadanya berkembang
ilmu-ilmu pengetahuan yang
beragam sampai pada spesifikasinya yang amat khusus.Dewasa ini kita
mengenal ilmu-ilmu mikrobiologi,
genetika, ilmu perbintangan, tehnik nuklir dsb. yang keberadaannya tak
mungkin kita pahami selain dalam
kaitannya dengan perkembangan filsafat.
Di samping itu filsafat telah menyumbangkan pemikiran-pemikiran besar
mampu menggerakkan orang
untuk merubah masyarakat.Sokrates (± 470-399 sM), Plato (± 427-347 sM)
dan Aristoteles (± 384-322 sM),
tiga tokoh filsuf Yunani yang hidup antara 500-300 sebelum Masehi
adalah filsuf-filsuf besar yang
meletakkan dasar-dasar pemikiran yang nantinya menjadi benih-benih
gagasan-gagasan besar dalam
perubahan masyarakat seperti idealisme, demokrasi, konstitusi,
keadilan sosial, hak asasi manusia dsb.
yang dikembangkan oleh para filsuf berikutnya.Dalam hal ini filsafat
mempunyai arti sebagai pemikiran dasar
yang melahirkan doktrin-doktrin besar kenegaraan, moralitas,
sosialitas, bahkan juga keagamaan yang
hingga kini masih menjadi bahan perbincangan banyak orang.Dilihat
secara demikian, filsafat boleh dikata
juga memberikan dasar-dasar pemikiran untuk pegangan hidup, yang
disebut Weltanschauung, wawasan
yang luas dan proyeksi-proyeksi ke masa depan yang jauh.Tetapi
pengartian-pengartian filsafat yang
demikian inilah yang mulai dikritik, pertama-pertama oleh para ilmuwan
tetapi kemudian juga oleh kalangan
filsuf sendiri, yang tidak puas dengan peran filsafat yang terlalu
jauh dari jangkauan praktis masyarakat, serta
sifat ambisius yang arogan, yang mau meletakkan
pengetahuan-pengetahuan lainnya di bawah rentangan
sayapnya.
Dalam latar belakang seperti itu persoalan-persoalan konkrit dan
sederhana, hal-hal praktis dalam
kehidupan, termasuk juga bahasa sehari-hari yang digunakan oleh
orang-orang biasa kiranya akan kurang
mendapatkan perhatian filsafat, sebab filsafat hanya berurusan dengan
hal-hal yang umum bagi manusia,
yang prinsipil atau mendasar, yang menyangkutkehidupan bangsa manusia
dan untuk tujuan global. pada
mulanya di jaman Yunani, ketika filsafat lahir, hal-hal praktis setiap
hari rupanya tidak merupakan persoalan
yang perlu digumuli. Hal itu kiranya disebabkan karena sudah adanya
kebiasaan-kebiasaan yang mantap
dan diikuti seluruh masyarakat secara konvensionil tanpa
mempersoalkannya lebih lanjut. Dengan demikian
filsafat bisa memanfaatkan kesempatan hanya untuk memusatkan
perhatiannya pada persoalan-persoalan
batas, kemungkinan-kemungkinan yang ada di balik kehidupan yang biasa
itu.Marilah kita mulai dengan
melihat beberapa kritik filsafat untuk kemudian menempatkan peran
filsafat dalam jaman sekarang,
khususnya dalam kaitannya dengan fungsi bahasa.
BEBERAPA KRITIK FILSAFAT
Kita tidak akan membuat analisis yang mendetil di sini, melainkan
hanya sejumlah sentilan menyangkut
kritik yang pernah dilontarkan terhadap filsafat, tatkala pengetahuan
ini mulai menjauh dari kepentingan
praktis.Hingga abad Pertengahan yakni sekitar abad duabelas dan
tigabelas filsafat diterima dan
diperkembangan di Eropa, melanjutkan kebiasaan yang diterima di
Yunani, yakni sebagai "logos" yang
menerangi dunia gelap, irasionil, penuh dengan kepercayaan-kepercayaan
dan takhayul, pendek kata dunia
"mitos".Filsafat memberi terang pada uraian-uraian ilmiah mahupun
teologis.Tetapi pada waktu ini
pengetahuan ilmiah masih amat dekat dengan pengetahuan teologis,
karena belum adanya spesifikasi yang
tegas.Ilmu kedokteran, perbintangan, pertanian dsb. masih diwarnai
dengan keyakinan akan Allah sebagai
penguasa dan penentu alam semesta, sehingga acuan teologis dan paparan
Kitab Suci tidak dirasakan aneh
atau bertentangan dengan ilmu-ilmu dasar tsb.Bahkan para cendekiawan
dengan tegas menyatakan bahawa
iman kepercayaan akan Allah dan pengetahuan budi kita saling
melengkapi.Terkenal misalnya moto yang
diucapkan oleh Anselmus dari Canterbury (1033-1109), "credo ut
intelligam" ("kepercayaan saya membuat
saya mengerti") dan "fides quaerens intellectum" (iman memberi terang
akal budi).Dengan iklim seperti ini
lajim bagi mereka melakukan pembuktian-pembuktian logis (akal budi)
akan adanya Allah.
Memang ada abad Pertengahan sudah muncul pula perdebatan filosofis
mengenai apa yang disebut
sebagai "universalia", yakni konsep-konsep abstrak yang digunakan
dalam pembicaraan filsafat.Kata-kata
seperti "Hakekat" (essentia) dan "keberadaan" (existentia), "tindakan"
(actus) dan "kemampuan" (potentia),
atau "substansi" (substantia) misalnya, atau juga hal-hal yang
berkaitan dengan keagamaan seperti
"rahmat" (gratia), "kodrat" (natura), "kemanusiaan" (humanitas),
"pribadi" (pesona), "nasib" (destinatio) atau
"penyelenggaraan ilahi´ (providentia Del) dsb. bagi sebagian filsuf
sungguh-sungguh mengandung makna
yang padat, sebab mengungkapkan kenyataan yang berlaku umum.Akan
tetapi bagi sebagian yang lain,
kata-kata itu tak lebih dari konsep-konsep kosong tak berisi, sebab
selain individu-individu yang riil tak ada
sesuatu yang nyata.Menurut kelompok ini, konsep-konsep abstrak itu
hanyalah kata-kata kosong atau bunyi
saja yang keluar dari mulut ketika orang mengucapkannya (flatus vocis).
Dalam perdebatan ini sebenarnya mulai tersirat persoalan bahasa,
tetapi yang baru menjadi pokok
keprihatinan dan pembicaraan filsafat pada periode-periode berikutnya.
Kendati pun demikian dari persoalan
di atas orang sudah bisa merasakan adanya keengganan untuk mengadakan
pembicaraan-pembicaraan
dengan istilah-istilah muluk, yang terlalu jauh dari pengalaman dan
kenyataan konkrit sehari-hari.Maka pada
akhir abad Pertengahan, Gulielmus dari Ockham (1285-1349) mencoba
membuat pembatasan dalam hal
pembentukan konsep-konsep.Konsep memang perlu untuk menunjuk kelompok
atau golongan hal0hal yang
dibicarakan itu, tetapi tak perlulah konsep-konsep dilipat
gandakan.Prinsip ini dikenal sebagai "Gunting
Ockham" (Ockham's razor).Dengan demikian Ockham menghindari
pembicaraan-pembicaraan dan diskusi
steril menyangkut konsep-konsep tanpa makna.
Kebencian terhadap filsafat yang abstrak dan kosong, serta keengganan
terhadap kecenderungan
filsafat yang ambisius itu diperkuat lagi oleh adanya perkembangan
ilmu-ilmu terapan (applied sciences)
yang sangat pesat pada abad keenambelas.Sejak penemuan Copericus
(1473-1543) di bidang astronomi,
ilmu-ilmu alam telah membuktikan diri sebagai pengetahuan yang
praktis, berguna dan yang
memperlihatkan dampak langsung bagi kehidupan manusia.Penemuan demi
penemuan di bidang ilmu
semakin mengangkat pengetahuan ilmiah sebagai pengetahuan yang
benar.Hal ini pun berpengaruh besar
dalam perkembangan filsafat.Banyak pemikir filsafat mulai mengalihkan
perhatian mereka pada metode yang
ditempuh oleh ilmu pengetahuan, serta mengidealkan filsafat dengan
metode ilmiah yang sifatnya pasti.
Dengan latar belakang inilah Descartes (1596-1650) misalnya, merintis
filsafat "Rasionalisme" dengan
mengetengahkan pemikian sebagai konstruksi idea-idea dasar yang jelas
dan terpilah-pilah (claire et
distincte).Rasionalisme Descartes diikuti oleh para filsuf sesudahnya
yang mengarahkan perkembangan
filsafat pada pendewaan "rasio" sebagai kriterium utama pemikian.
Lahirlah pada periode berikutnya jaman
"Pencerahan" (Enlightment atau Aufklarung) yang sangat menghargai akal
budi. Kecenderungan ini dengan
jelas memperlihatkan bahwa manusia modernsesungguhnya tidak menolak
filsafat, melainkan cara atau
metode pendekatannya saja yang terus menerus harus diperbaharui agar
tetap relevan untuk kebutuhan
perkembangan peradaban.
Para filsuf tetap berupaya mengaktualisasikan filsafat di tengah
perkembangan ilmu-ilmu yang
konkrit.Meskipun perkembangan ilmu-ilmu itu semakin banyak bidangnya
dan semakin mendalam kajiannya,
sehingga semakin luas jangkauan pengetahuan manusia, namun pada filsuf
tetap berpendapat bahwa filsafat
belum kehilangan perannya. Penegasan semacam ini dinyatakan terutama
oleh eksistensialisme yang
berkembang pada awal abad ke 20.Karl Jaspers (1883-1969), tokoh filsuf
Jerman abad ke 20 ini,
mengatakan dalam bukunya Philosophie (1967) bahwa meskipun ilmu-ilmu
semakin luas dan mendalam,
namun makna kehidupan tak pernah bisa dijawab oleh mereka. Kita tetap
membutuhkan filsafat untuk
memecahkan persoalan-persoalan mendasar dari kehidupan.Filsafat
berfungsi untuk menerangi eksistensi
kita (Existenzerhellung), katanya.
PERAN DAN PENGARTIAN FILSAFAT
Sepanjang sejarahnya filsafat telah diartikan menurut berbagai-bagai
kepentingan. pada mulanya
filsafat diartikan sebagai kerinduan (phio) akan kebijaksanaan
(sophia), sebagaimana bisa dirunut dari arti
etimologis kata Yunani "philosophia".Dalam arti ini, seorang filsuf
adalah seseorang yang mencari dan
mengupayakan kebijaksanaan. Sementara murid-murid Aristoteles menurut
tradisi mengartikan pengetahuan
filosofis sebagai pengetahuan mengenai hal-hal yang mengatasi
(meta)alam (physica) ini.Maka filsafat sering
kali disebut juga sebagai "metafisika".Dalam arti ini filsafat harus
dipelajari sesudah ilmu-ilmu alam, sebab
filsafat berkaitan dengan persoalan-persoalan asasi, yang mendasari
kenyataan-kenyataan alam.Untuk
selanjutnya menjadi lajim bahwa filsafat dipahami sebagai pengetahuan
yang komprehensif dan mendasar
(foundation) mengenai kenyataan. Obyek filsafat bisa meliputi apa
saja, baik manusia (anthropologia) alam
(cosmologia) mahupun ketuhanan (theodicea).
Dalam iklim metafisik ini para filsuf berkecenderungan menyusun
pemikiran-pemikiran mereka dalam
ulasan-ulasan yang luas dan komprehensif, sehingga membentuk satu
sistem besar ini. Seperti sudah
disebut di atas, Discartes merintis "Rasionalisme".Sistem ini digeser
dan digantikan oleh Immanuel Kant
(1724-1804) yang memulai tradisi "Krititisme" karena teorinya mengenai
akal budi yang kritis atau sering kali
juga disebut "Kantianisme". Pada periode berikutnya George Wilhelm
Friederich Hegel (1770-1831) memulai
tradisi "Idealisme", demikian seterusnya.Pokok dari semua isme ini
ialah bahwa mereka memutlakkan ajaran
atau doktrin mereka dan meredusir ajaran-ajaran lainnya. Akan tetapi
sesuai dengan hukum sejarah,
munculnya ajaran-ajaran baru dengan sendirinya akan membunuh ajaran
lama sehingga setiap ajaran-
ajaran itu sebenarnya tak pernah dapat bertahan lama tanpa
derevisi.Kenyataan ini telah menumbuhkan rasa
skeptis kepada mereka yang kemudian menganggap bahwa perkembangan
fisafat tak lebih dari pergumulan
antara ajaran-ajaran dan ideologi-ideologi kosong belaka. Ideologi
yang satu hanya unggul dalam kurun
waktu tertentu, sebab dengan segera muncul ideologi yang baru pada
periode yang lain untuk
menggantikannya.Oleh karena itu menurut mereka sejarah filsafat tak
lebih dari sekedar kuburan idea-idea
(cimetery of ideas).
Menjelang abad ke duapuluh berkembanglah keyakinan baru mengenai arti
filsafat yang dirintis oleh
sekelompok ilmuwan yang menamakan diri mashab Neo-positivisme. Karena
mashab ini berpusat di Wina,
mereka juga disebut Lingkaran Wina (Wienerkreis).Neopositivisme tentu
saja mengingatkan kita pada nama
Positivismeyang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857).Positivisme
comte seperti kebanyakan aliran
modern, ingin menghindari kecenderungan filsafat yang menjauh dari
kenyataan konkrit manusia. Positivisme
berpendirian bahwa pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan
mengenai kenyataan yang diperoleh dari
pengamatan indera dan pengalaman, inilah pengetahuan positif yang
sesungguhnya. Dalam arti ini
positivisme berusaha menolak metafisika atau sistem-sistem besar. Akan
tetapi Neo-Positivisme menilai
bahwa Positivisme sendiri masih berbau metafisik dengan
pengandaian-pengandaiannya yang spekulatip,
mengandalkan akal budi tanpa diuji dalam pengalaman konkrit.Filsafat
harus melangkah lebih jauh lagi
dengan membatasi diri hanya pada tugas membeberkan kenyataan konkrit.
Tidak lebih dari itu. Untuk itu Neo
Positivisme mengetengahkan dua prinsip, pertama bahwa hanya ada satu
sumber pengetahuan, yakni
pengalaman konkrit dan kedua suatu ungkapan (proposition) hanya
mempunyai arti jika dapat diperiksa (can
be verified) lewat fakta yang dapat diamati secara inderawi. Dengan
prinsip ini neo-Positivisme mengartikan
filsafat bukan lagi sebagai kumpulan ajaran atau doktrin untuk
memperoleh kebijaksanaan atau untuk
mencari pegangan hidup, yang dirumuskan dalam suatu sistem yang besar,
sebagaimana dianut oleh para
pemikir lama, melainkan sekedar sarana klarifikasi untuk melihat
kenyataan menurut apa adanya.Filsafat
menurut Neo-Positivisme sama sekali tidak memberikan ajaran, melainkan
menganalisa ungkapan-
ungkapan manusia, untuk meneliti apakah ungkapan mereka masuk akal dan
karenanya bermakna dan bisa
dipahami atau tidak.Maka untuk menjalankan klarifikasi atau penjelasan
itu, Neo-Positivisme sangat
ungkapan sangat tergantung oleh logis tidaknya bahasa. Hal ini juga
yang menjadi alasan mengapa mashab
ini juga disebut Positivisme Logis. Tokoh-tokoh aliran ini ialah
Moritz Schalick (1882-1936), Hans Hahn
(1880-1934), Otto Neurath (1882-1945), Hans Reichenbach (1891-1955),
Victor Kraft (1880-1975),
semuanya sarjana di bidang ilmu pasti dan logika. yang sangat
mengejutkan dari aliran ini terutama adalah
kesimpulan-kesimpulan jauh yang ditarik dari prinsip dasar mereka;
sebab dengan membatasi tugas filsafat
hanya pada klarifikasi, mereka menolak etika (filsafat moral) yang
membicarakan nilai-nilai.Demikian juga
mereka menolak ungkapan-ungkapan keagamaan yang mereka anggap sebagai
ungkapan irasional, penuh
dengan getaran jiwa (emosi) yang tak bisa ditera dengan kenyataan konkrit.
Pandangan filsafat yang sangat ketat menyangkut peran bahasa di atas
sebenarnya telah dirintis oleh
Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Dalam bukunya Tractatus
logico-philosophicus (1918), Wittgenstein
mengajukan apa yang disebutnya teori gambar ("picture theory").Menurut
teori ini bahasa berfungsi
menggambarkan secara tepat kenyataan yang ada. Dengan mengembalikan
bahasa pada unsur-unsurnya
yang paling elementer, bahasa dan kenyataan dapat dilihat sebagai
mempunyai hubungan timbal-balik.
Setiap kenyataan dapat dilukiskan melalui ungkapan bahasa dan setiap
ungkapan bahasa melukiskan
kenyataan secara tepat, oleh karena itu mengenai hal-hal yang tak
dapat dibahasakan, sebaiknya orang
diam. Dengan ini Wittgenstein bermaksud menolak ungkapan-ungkapan
bahasa etis dan keagamaan yang
tidak menunjuk pada kenyataan konkrit.
Namun perkembangan Neo-Positivisme dengan segera memperlihatkan bahwa
penekanan pada fungsi
logis dari bahasa berlawanan dengan kenyataan, sebab bahasa jauh lebih
luas fungsinya dari sekedar
melukiskan kenyataan secara logis.Hal ini dilihat oleh beberapa filsuf
yang mulai menaruh perhatian pada
kepentingan bahasa sehari-hari.Minat pada pemikiran seperti ini muncul
di kalangan para sarjana di Oxford,
di mana Wittgenstein, orang yang kita sebut di atas – berpindah dari
Austria, dan merubah pandangan
filsafatnya.Periode kedua dari pemikiran Wittgenstein ini ditandai
dengan teorinya mengenai bahasa sebagai
permainan ("language games"). Dalam bukunya Philosophical
Investigations (1953), Wittgenstein
mengemukakan bahwa sebagaimana setiap permainan, entah itu olah raga
atau rekreasi, mempunyai
aturan-aturannya yang berbeda, demikian pun bahasa. Ada berbagai-bagai
ragam bahasa yang masing-
masing mempunyai aturannya sendiri-sendiri. Tidak ada satu bahasa
logis untuk semua, sebab setiap
kalangan masyarakat pun nampaknya menggunakan lingkup bahasa yang khas
dengan aturan mainnya
sendiri. Pandangan semacam ini didukung antara lain oleh tokoh-tokoh
Gilbert Ryle (1900-1976), Peter
Frederick Strawson (1919-), John Langshaw Austin (1911-1960) dan Ian
T. Ramsey (1915-1972). Austin
misalnya, terkenal oleh karena pembedaanyaantara ungkapan performatif
("performative utterance")dan
ungkapan konstatatif ("constatative utterances").Ungkapan yang pertama
mempunyai dampak sosial dalam
kedudukan seseorang, misalnya dalam pengangkatan presiden oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat,
sedangkan yang kedua hanya memberitahu atau menyatakan sesuatu fakta
saja. Sementara Ian T. Ramsey,
seorang uskup, membela fungsi bahasa dalam kepentingan-kepentingan keagamaan.

daftar pustaka
http://fastabiq-ku.blogspot.com/2013/02/teori-tentang-kebenara-aplikasi.html?m=1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini