Senin, 03 November 2014

ahmad dede kurniadi/ KPI 5-D/1112051000109/Tugas Etika 6

APLIKASI FILSAFAT DALAM KOMUNIKASI

Menurut prof. Onong Uchajana Effendi (2003-321) filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang menelaah pemahaman secara lebih mendalam, fundamental, metodologis, sistematis, analitis, kritis, dan komperhensif teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensi menurut bidang, sifat, tantanan, dan metodenya.

a. Ontologi Ilmu Komunikasi
Ontologi pada dasarnya menanyakan hakekat apa dari suatu Ilmu. Ontologi dalam hal ini mencoba melihat realitas/permasalahan yang terjadi dan mengaitkannya dengan kebenaran ilmu. Dalam peranannya terhadap kajian Ilmu Komunikasi, Ontologi berupaya melihat realitas Ilmu Komunikasi sebagai sarana atau proses penyampaian pesan antar manusia. Hal ini disesuaikan oleh dua hal dimana 1) sesuai dengan obyek materianya yang berada dalam rumpun ilmu sosial maka ilmu komunikasi harus terjadi antar manusia 2) Ilmu komunikasi menggunakan paradigma dimana pesan disampaikan dengan sengaja, dilatarbelakangi oleh motif komunikasi dan usaha untuk mewujudkannya.

Obyek material ilmu komunikasi adalah manusia dan tindakannya dalam konteks sosial, sementara obyek formanya adalah komunikasi itu sendiri sebagai usaha penyampaian pesan antar manusia. Manusia berkomunikasi didasarkan pada emosi jiwa yang kemudian diungkapkan dalam bentuk bahasa untuk berkomunikasi.

S. Langer berpendapat bahwa bahasa bermula sebagai tindakan emosional – ungkapan yang meluap-luap, yang menggugah hati para pendengarnya. Sehingga komunikasi dapat dikatakan sebagai jalinan yang menghubungkan manusia.

b. Epistemologi Ilmu Komunikasi
Epistemologi pada dasarnya menanyakan tentang hakekat bagaimana kebenaran ilmu bisa dibuktikan. Dalam hal ini epistemologi mengaitkan ilmu dengan syarat-syarat uji kebenaran Ilmu yaitu apakah ilmu itu objektif, empiris dan sistematis?.

Ilmu Komunikasi sebagai ilmu sosial yang berada dalam rumpun empiris (paham yang menekankan pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan) dapat dikembangkan berdasarkan paradigma positivist dan anti-postitivist.

Paradigma positivist menyatakan bahwa ilmu dibangun berdasarkan fakta empirik sensual: teramati, terukur, teruji, terulang, dan teramalkan karenanya sangat kuantitatif. Sedangkan paradigma anti-positivist menyatakan ilmu menggunakan pendekatan kualitatif dan mencoba menyatukan obyek-subyek ilmu.

Dalam hal ini, Ilmu komunikasi apabila dilihat dari paradigma positivist cenderung objektif, kebenaran ada pada objeknya. Sedangkan ilmu komunikasi berlatar antipositivist bersifat intersubjektif. Postivisme dan antipositivisme menurunkan jenis penelitian yang berbeda – penelitian komunikasi kuantitatif berlatar positivist yang obyektif, sedangkan penelitian komunikasi kualitatif lebih berlatar antipositivist yang intersubyektif dimana kebenaran merupakan kesepakatan antar subyek menyangkut interpretasi atas obyek.

c. Aksiologi Ilmu Komunikasi
Aksiologis mempertanyakan kegunaan/nilai: bagaimana dan untuk tujuan apa ilmu komunikasi itu digunakan. Penilaian ini menjadi terkait oleh nilai etis atau moral. Dalam hal ini, hanya tindakan manusia yang sengaja yang dapat dikenakan penilaian etis.

Akar tindakan manusia adalah falsafah hidup: kesatuan nilai-nilai yang menurut manusia memiliki derajat teragung yang jika terwujud ia yakin akan bahagia. Aksiologi ilmu komunikasi kemudian mempertanyakan untuk tujuan apa praktisi komunikasi menggunakan ilmunya tergantung pada pokok jawaban atas pertanyaan pokok falsafah hidup individu manusianya: apakah ilmunya akan digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat, atau sebaliknya? Demikian pula halnya dengan ilmuwan komunikasi, falsafah hidupnya akan menentukan dalam memilih obyek penelitian, cara melakukan penelitian, dan menggunakan produk hasil penelitiannya.
Nilai/Kelayakan komunikasi sebagai ilmu
Dalam menentukan apakah Komunikasi layak menjadi ilmu maka terlebih dahulu harus dikaitkan dengan pemenuhan syarat-syarat ilmu. Syarat ilmu antara lain menyatakan bahwa ia harus memiliki objek kajian, dimana objek kajian tersebut harus terdiri satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Secara ontologis obyek material ilmu komunikasi hanya mengkaji penyampaian pesan antar manusia. Penyampaian pesan kepada yang bukan manusia berada di luar obyek kajiannya.

Pesan adalah segala hasil penggunaan akal budi manusia yang disampaikan untuk mewujudkan motif komunikasi, tanpa motif maka sesuatu tidak dinilai sebagai pesan, karenanya tidak berada dalam kajian ilmu komunikasi. Syarat ilmu yang kedua menyatakan bahwa ilmu harus sistematis, dimana obyeknya itu tersusun dalam satu rangkaian sebab akibat yang tersusun secara sistematis.

Dalam komunikasi sistem ini telah terjawab dan digambarkan sebagai;  karena terdorong oleh motifà1) mengapa manusia menyampaikan pesan   karena adanyaàkomunikasi. 2) Dari mana datangnya motif komunikasi  konsepsi kebahagiaan yang lahir dari naluri manusia sebagai paduan arah  diturunkan dari falsafahàbertindak. 3) Dari mana konsepsi kebahagiaan  hidupnya. 4) Dari mana datangnya falsafah hidup? Diturunkan dari peralatan rohaniahnya yang bekerja secara simultan yaitu: hati nurani, akal, budi, dan seperangkat naluri. 5) Dari mana datangnya peralatan  Dari manusiaàrohaniah yang bekerja secara simultan

Syarat ketiga ilmu adalah adalah metodologis, dimana harus tersedia cara tertentu untuk membangun suatu ilmu, dan metode ini berdasarkan metode ilmiah. Sesuai dengan latar filsafat ilmunya, ilmu komunikasi mengenal dua macam metode penelitian, yaitu kuantitatif-positivist dan kualitatif anti-positivist. Kedua metode penelitian dengan dasar filsafat masing-masing menurunkan cara membangun ilmu yang berbeda dengan tujuan yang berbeda pula.

Ilmu komunikasi dengan latar postivisme mencari generalisasi dan obyektifitas universal, dimana hasilnya bebas nilai. Sebaliknya ilmu komunikasi berlatar antipositivisme mencari intersubyektifitas guna membangun ilmu secara ideografik, dan hasil penelitiannya justru terkait nilai.

Syarat ilmu yang keempat adalah universalitas, hal ini berlaku untuk ilmu komunikasi bagi kuantitatif-positivis untuk membangun generalisasi universal. Kuantitatif positivis yang berlatar ilmu alam, system sebab-akibat cenderung mekanistis: setiap sebab menimbulkan akibat yang pasti, terduga, dan teramalkan.

Menggunakan pemaparan persyaratan ilmu, maka disimpulkan bahwa komunikasi merupakan ilmu karena memenuhi syarat-syarat ilmu pada umumnya. Pengandaian ini membuat komunikasi meredefinisikan empat persyaratan ilmu dengan mencabangkan syarat yang keempat, dimana universalitas tidak diharuskan. Namun hal ini diperlukan agar ilmu komunikasi bisa berkembang dan menjadi otonom, karena persyaratan mekanistis tidak bisa diterapkan pada manusia seutuhnya. Hal ini dikarenakan otak manusia yang terus berkembang. Perkembangan ini mengakibatkan perubahan perilaku manusia dalam upayanya beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Daftar Pustaka
1. Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rajagrafindo, Persada, 2007
1. Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Halaman 20.
2. Tebba, Sudirman. Filsafat dan Etika Komunikasi, Pustaka IrVan, Banten 2008
4. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet. XIII, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini