Senin, 03 November 2014

Suryo Widodo_Tugas 6_Peraturan daerah kota bandung

Nama:  Suryo Widodo

Nim:    1113054000004

Kelas : PMI III

Menurut Yanuar We dalam artikelnya di http://weanalispembangunan.wordpress.com/2012/12/21/kebebasan-bagi-pedagang-kaki-lima-di-kota-bandung-perspektif-liberalisme-libertarianisme-ditulis-oleh-yanuar-we/ tentang Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan menjelaskan bahwa  Kota Bandung yang cenderung tertuju pada pengembangan pasar modern ketimbang pasar tradisional dan perdagangan jalanan. Arah kebijakan ini tampaknya merupakan salah satu wujud dari visi pemerintah Kota Bandung, yaitu menciptakan Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bersih, Makmur, Taat, Bersahabat. Keberadaan pasar modern merupakan cerminan dari jasa perdagangan yang bersih dan menunjukkan kemakmuran dan ketaatan, karena segalanya tampak lebih teratur, apalagi jika dibandingkan dengan pasar tradisional dan perdagangan jalanan yang sering terlihat semrawut. Disamping itu, pembangunan pasar modern juga disinyalir akan semakin membatasi ruang bagi perdagangan informal.

Dalam pemikiran Liberalisme bahwa pembatasan ruang bagi pedagang kaki lima merupakan kebijakan sosial yang tidak rasional dan bertentangan dengan kebebasan setiap individu untuk berusaha (Ludwig Von Mises, 2002). Pedagang kaki lima juga memiliki kebebasan yang sama seperti pedagang-pedagang besar di pasar-pasar modern. Yang dimaksud kebebasan bagi pedagang kaki lima disini adalah keadaan tanpa paksaan, hambatan, tekanan kekuatan dari luar terhadap segala pilihan dan aksi pedagang kaki lima untuk bekerja menafkahi keluarganya (Yasraf, 2012).

Upaya lain yang dilakukan untuk mencapai visi kota jasa tampak dari pesatnya pembangunan hotel, apartemen, restoran, pusat hiburan, pusat pendidikan, dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhan akan berbagai jenis jasa, seperti jasa pariwisata dan jasa pendidikan. Berbagai pembangunan tersebut ternyata mampu menarik minat bukan hanya wisatawan tapi juga lebih banyak pendatang untuk mencari penghidupan lebih baik di Kota Bandung. Untuk menekan jumlah pendatang, terutama kelompok pendatang miskin yang tidak memiliki pekerjaan jelas, pemerintah kota melalui berbagai kebijakannya berupaya mengontrol dan membatasi jumlah pendatang yang masuk ke Bandung, misalnya melalui razia dan pengurusan kartu identitas yang cukup rumit bagi pendatang. Upaya pembatasan ini didasarkan pada beberapa asumsi, antara lain melimpahnya jumlah pendatang dapat mengancam sumber penghidupan penduduk lokal, menambah kekumuhan kota karena pertambahan kelompok pendatang miskin biasanya diiringi dengan meluasnya perkampungan kumuh (lihat Davis 2004), dan mengganggu APBD (Anggaran Pembelanjaan Daerah) karena terserap untuk menyelesaikan masalah akibat urbanisasi berlebih. Kebijakan yang "tidak ramah" tersebut cukup menyulitkan para pedagang kaki lima, khususnya pendatang, karena keberadaannya yang serba "ilegal"; selain melakukan kegiatan ekonomi di ruang publik juga tidak terdata sebagai warga Kota Bandung.

Tercatat sejak tahun 1970-an, pemerintah Kota Bandung telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk menangani PKL. Saat itu, pemerintah merelokasi PKL di jalan Dalem Kaum ke Pasar Kota Kembang. Namun tidak lama berselang, PKL baru bermunculan kembali di kawasan tersebut. Kondisi serupa terus terulang pada tahun-tahun berikutnya (Dirgahayani 2002 dalam Solichin 2005). Penggusuran juga pernah dialami oleh Ibu Omon, pedagang bubur ayam dan Mas Udin, pedagang mie bakso yang berdagang di pasar simpang Dago. Ia bersama pedagang lainnya memutuskan kembali ke tempat jualan semula di pelataran pasar simpang Dago, segera setelah direlokasi pemerintah ke wilayah Dago terminal. Hal ini disebabkan oleh jauhnya jarak lokasi berjualan dari pusat keramaian dan sepinya pengunjung yang datang (Catatan wawancara, 23 November 2012).

 Dalam pandangan Libertarianisme bahwa kebijakan pemerintah Kota Bandung yang di dominasi oleh penggusuran dan relokasi dan tindakan yang melarang Warga Negara Indonesia (PKL) dari daerah lain untuk datang mencari sesuap nasi di Kota Bandung merupakan kebijakan yang melanggar hak asasi manusia yaitu kebebasan untuk memperoleh penghidupan yang layak. Setiap manusia adalah pemilik hidupnya sendiri, dan bahwa tidak ada manusia yang bisa menjadi pemilik kehidupan orang lain, dan oleh sebab itu setiap manusia memiliki hak untuk bertindak sesuai dengan pilihannya sendiri, kecuali tindakan-tindakan manusia tersebut melanggar kebebasan manusia lain untuk bertindak sesuai dengan pilihan mereka. (Prof John Hospers, 1974)

Selain relokasi, pemerintah juga melakukan strategi penggusuran atau penertiban. Sejak tahun 1970-an, pemerintah Kota Bandung tak henti-hentinya melancarkan operasi penertiban. Salah satu operasi penertiban yang cukup intensif dilakukan pada tahun 2005, di bawah kepemimpinan walikota Dada Rosada. Saat itu, pemerintah kota memfokuskan operasinya di 7 titik di pusat kota yang telah ditetapkan sebagai kawasan bebas PKL. Tujuh kawasan bebas PKL itu meliputi: (1) Alun-alun dan sekitarnya; (2) Jl. Dalem Kaum dan Jl. Dewi Sartika; (3) Jl. Oto Iskandar Dinata; (4) Jl. Merdeka; (5) Jl. Kepatihan; (6) Jl. Jenderal Sudirman; dan (7) Jl. Asia Afrika. Hampir setiap hari Satpol PP Kota Bandung melakukan patroli dan penertiban di ketujuh kawasan tersebut. Sehingga sebagian PKL terpaksa memindahkan usahanya ke daerah pinggiran atau daerah lain yang jarang menjadi target penertiban.

Namun sebagian lainnya nekad berjualan di kawasan tersebut dan memilih "kucing-kucingan" dengan petugas Satpol PP. Kenyataan ini menggarisbawahi bahwa tekanan ekonomi yang dialami PKL mampu mengalahkan berbagai upaya pemerintah untuk membatasi kegiatan usaha mereka. Aksi penertiban intensif itu disinyalir berhubungan dengan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika pada bulan April 2005. Hal ini sesuai dengan pengamatan global Ray Bromley terhadap perdagangan jalanan dan kebijakan publik, bahwa penanganan agresif biasanya terjadi sebelum acara publik penting, dengan asumsi bahwa jalanan yang teratur dapat meningkatkan gambaran kota bagi para pengunjungnya (dalam Skinner 2008). Aksi penertiban itu juga merupakan implementasi dari disahkannya Peraturan Daerah Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan. Perda itu memang tidak secara khusus mengatur PKL, namun dalam pasal 37 ayat d dinyatakan larangan untuk "berusaha atau berdagang di trotoar, jalan/badan jalan, taman jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukannya tanpa mendapat ijin dari Walikota."

Dalam Ayat k juga dinyatakan larangan "mendirikan kios dan berjualan di trotoar, taman, jalur hijau atau dengan cara apapun yang dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman, bunga atau tanaman lainnya." Para pelanggar akan dikenakan denda sebesar Rp 1 juta dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Identitas Kependudukan lainnya, dan/atau pengumuman di media massa.

Jadi dilihat dari permasalahan yang sedang di hadapi ini sesuai dengan prespektif teori weber dalam teorinya struktur berpengaruh besar dalam suatu masyarakat sehingga masyarakat tersebut dapat berubah karena struktur yang terjadi dalam masyarakat dalam hal ini pemerintah sebagai struktur sosial membenahi para PKL yang berjualan yang tidak sesuai dengan apa yang sudah di lakukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini