Sabtu, 08 Maret 2014

Fitta-TugasI-TeoriDurkheim

Fitta Fauziah 1113054100014
KESSOS 1A

TEORI-TEORI SOSIOLOGI EMILE DURKHEIM

Emile Durkheim adalah tokoh yang sering disebut sebagai eksemplar dari
lahirnya teori fungsionalisme. Ia anak seorang rabi Yahudi yang lahir
di Epinal, Perancis timur, 15 April tahun 1858. Ia keturunan pendeta
Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi,
ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu
perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang
theologies (Mestrovic, 1988). Sebagian besar karyanya tercurah pada
studi tentang tertib social. Menurutnya, kekacauan social bukan
keniscayaan dari kehidupan modern dan dapat dikurangi melalui
reformasi sosoal. Disertasinya The Division of Labor in Society yang
diterbitkan tahun 1893 memaparkan konsep-konsep evolusi sejarah moral
atau norma-norma tertib social, serta menempatkan krisis moral yang
hebat dalam masyarakat modern. Itu sebabnya, disertasi itu menjadi
karya klasik dalam tradisi sosiologi.
Fakta-fakta social. Durkheim dalam bidang metodologi menulis The Rule
of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menekankan bahwa
tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai
fakta-fakta social. Tahun 1897 Durkheim menjadi guru besar di
Bordeaux. Karya Durkheim lain yang berpengaruh dalam ilmu sosiologi
adalah The Elementary Forms of Religious Life yang terbit tahun 1912.
Pemikiran Durkheim secara umum memberikan landasan dasar bagi
konsep-konsep sosiologi melalui kajian-kajiannya terhadap
elemen-elemen pembentuk kohesi social, pembagian kerja dalam
masyarakat, implikasi dari formasi social baru yang melahirkan gejala
anomie, dan nilai-nilai kolekltif, termasuk juga tentang aksi dan
interaksi individu dalam masyarakat. Inilah yang menjadi dasar
Durkheim mengembangkan sosiologi dalam bidang social keagamaan dan
politik.

Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada
pembaruan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tidak
tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi
dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat
masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan.
Menurut Durkheim, sosialisme sangat berbeda dari apa yang biasanya
kita pikirkan sebagai sosialisme. Bagi Durkheim, sosialisme
mencerminkan sebuah system dimana didalamnya perinsip moral ditemukan
melalui studi sosiologi ilmiah ditempat perinsip moral itu diterapkan.
Menurut Emil Durkheim, sosiologi meneliti lembaga-lembaga dalam
masyarakat dan proses-proses social. Dalam sebuah majalah sosiologi
yang pertama, yaitu L'annee Sociologique, dia mengklasifikasikan
pembagian sosiologi atas 7 seksi, yaitu :

a. Sosiologi umum mencangkup kepribadian individu dan kelompok manusia.
b. Sosiologi agama
c. Sosiologi hukum dan moral yang mencangkup organisasi politik,
organisasi social, perkawinan dan keluarga.
d. Sosiologi tentang kejahatan
e. Sosiologi ekonomi yang mencakup ukuran-ukuran penelitian dan kelompok kerja.
f. Demografi yang mencakup masyarakat perkotaan dan pedesaan.
Dan sosiologi estetika.

Dia juga menekankan pentingnya penelitian perbandingan karena
sosiologi merupakan ilmu mengenal masyarakat.

Disamping itu, Durkheim mengulas solidaritas dan angka bunuh diri
dalam masyarakat bersahaja sebagai bersifat mekanis karena sifatnya
yang spontan, sedangkan pada masyarakat yang kompleks bersifat
organis.

Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat
mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika
hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada
lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat
modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah
pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer, Durkheim
adalah orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai
bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka
lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat -
suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar
jumlah dari seluruh bagiannya. Ia memusatkan perhatian bukan kepada
apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi, melainkan
lebih kepada penelitian terhadap fakta-fakta sosial, istilah yang
diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya
dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa
fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan
lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk
masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial
lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim
atau situasi ekologis tertentu.
Pembagian Kerja Dalam Masyarakat (1893)
Durkheim meneliti bagaimana tatanan social dipertahankan dalam
berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian
kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat
tradisional dan masyarakat modern. Ia berpendapat bahwa
masyarakat-masyarakat tradisional bersifat 'mekanis' dan dipersatukan
oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya
mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat
tradisional, kata Durkheim, kasadaran kolektif sepenuhnya mencakup
kesadaran individual. Norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial
diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, pembagian kerja yang sangat kompleks
menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda
dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan
yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat
memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Akibat dari pembagian kerja
yang semakin rumit ini, kesadaran individual berkembang dalam cara
yang berbeda dari kesadaran kolektif - seringkali malah berbenturan
dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat
tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa
masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat
represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena
hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar
oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan
keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki
solidaritas organik, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan
untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya
pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan
semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial,
yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur
perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie
muncullah segala bentuk perilaku menyimpang , dan yang paling menonjol
adalah bunuh diri.
Bunuh Diri (1897)
Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara
orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol
sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat
bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu
tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang
disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara
abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat
bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya
integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi,
menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir,
sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka
tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat
Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat
Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi
para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi
sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat
'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti
"Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1921)) dan esainya
"Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcell Maus. Kedua
karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi
dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam
masyarakat-masyarakat yang sangat mekanis.

Sosiologi Politik (Micro Objective)
Dalam sosiologi politik, Durkheim berpendapat bahwa keterwakilan
kolektif dalam mekanisme politik sangat penting karena kuatnya peran
ikatan representasi kolektif-milieu sosial dalam proses dinamika
sosial. Keterwakilan representasi individual merupakan representasi
kolektif. Masyarakat adalah suatu kebersamaan kekuatan tak tampak yang
bertindak terhadap individu, dan individu itu tanpa mengetahui sama
sekali tidak mempunyai kesadaran terhadap tugas luar biasa besar yang
terjadi di sekelilingnya. Sementara individu adalah produk masyarakat.
Otoritas dari suatu aturan moral tidak terkait dengan karakter yang
bisa diisolasi dan menjadi sifat intrisiknya. Sebab otoritas tidak
berada di dalam 'suatu hal', sehingga mustahil mengurungnya dari
semangat mereka yang meyakininya. Otoritas hanya representasi dan
tidak memiliki eksistensi lain kecuali keyakinan yang mendukungnya.
Pada saat generasi tertua menerapkan perwakilan otoritas yang
diperlukan demi berfungsinya masyarakat kepada generasi berikutnya,
pengakuan terhadap otoritas ini meng-eksteriosasi-kan kepatuhan yang
diperdalam pada masa kanak-kanak generasi berikut dan dari situ
memberikan kontribusi dalam mengabadikannya.
Aspek ekonomi, moral, hukum dan agama sejauh fungsinya sebagai
organisme sosial dapat menguat dengan lahirnya Undang-undang tentang
peran-peran, kewajiban dan harapan para pelakunya yang diwujudkan
dalam bentuk negara. Akibat itu negara bukan lagi merupakan konstruksi
logis yang bisa diatur dan diganggu sekehendak hati. Sebab negara
adalah sebuah organ yang mengonsentrasikan dan mengekspresikan segenap
kehidupan sosialnya. Hak (hukum) dan moral bukan lagi merupakan
kumpulan aturan dasar yang abstrak dan perintah yang tak bisa diubah
dan didiktekan lewat alasan yang impersonal, melainkan sesuatu yang
hidup, yang keluar dari hati nurani bangsa tersebut dan berbagi segala
nasibnya yang sama. Bahkan dalam perkembangannya, negara menggantikan
fungsi agama. Dengan demikian, sosiologi mencakup tiga ilmu khusus:
(1) ilmu tentang negara; (2) ilmu tentang fungsi-fungsi pengaturan
negara (hukum, moral, agama); (3) ilmu tentang fungsi-fungsi ekonomi
masyarakat.
Dalam kehidupan sosial yang kita lihat hanya ekspresi bersifat
material dan kasat mata dari sebuah tindakan internal dan mendalam,
yang dianggap sepenuhnya ideal, yakni berupa otoritas moral. Persoalan
sosiologis ini mencari pelbagai bentuk pemaksaan yang berasal dari
luar. Secara khusus terutama bertujuan untuk menemukan dalam bentuk
bagaimana jenis khusus otoritas moral yang inheren dengan semua hal
yang bersifat religius itu lahir dan darimana hal itu terbentuk.
Bukti-bukti kepemilikan pada sirkulasi, kekakuan dan pentutoran
kepercayaan kolektif, efek-efek sosial yang diinduksi lewat eksistensi
sistem-sistem simbolik itu meluapi segala bagian komunikasi sosial
yang pada awalnya hanya terlihat sebagai agen-agen yang pasif. Karena
tidak puas dalam menghubungkan masyarakat dengan dirinya sendiri, maka
agen-agen pasif ini membuktikan kohesinya dan mempertahankan
identitasnya. Dengan kata lain, kontradiksi yang ada dalam
sistem-sistem simbolik ini merupakan karakteristik paling esensial,
karena tidak ada yang dianggap lebih dari sekedar instrumen jika
berada di tangan para pelaku sosial, dan sebaliknya sistem ini
merupakan kekuatan sebenarnya yang menghubungkannya. Inilah awal mula
dan fungsi ini menundukkan individu-individu dan menjadikan mereka
sebagai penjaga tatanan tanpa sepengetahuan mereka.
Masyarakat melalui permainan imajiner secara kolektif dan sederhana
menciptakan orang-orang besar, karena tidak berguna berharap bisa
memahami kekuasaan yang diakui dari diri mereka tanpa memutus bukti
"keturunan" yang dimilikinya. Masyarakatlah yang menghiasi orang besar
mereka dengan kesakralan dan melebihkan jarak yang memisahkan mereka
dengan sesama manusia. Sehingga kharisma tidak memiliki realitas lain
kecuali aspirasi-aspirasi yang digarap oleh masyarakat dan orang-orang
tersebut secara sosial berada dalam posisi sebagai juru bicaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini