ETIKA DALAM KOMUNIKASI DAN KEBUDAYAAN: Memahami Dimensi Etik dalam Ruang Kebudayaan
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem yang mengatur tentang tata cara manusia bergaul. Tata cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler, dan lain-lain. Tata cara pergaulan bertujuan untuk menjaga kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang, tentram, terlindungi tanpa ada pihak yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan yang dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia secara umum. Tata cara pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam bermasyarakat dan menentukan nilai baik dan nilai tidak baik, dinamakan etika.
Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas. Etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup. Oleh karena itu etika merupakan bagian dari wujud pokok budaya yang pertama yaitu gagasan atau ide. Budaya dimaksud adalah budaya seperti yang dikemukan oleh Koentjaraningrat yaitu komplek gagasan, perilaku dan hasil karya manusia yang dijadikan milik dari dan dipergunakan untuk memenuhi hidup yang didapat dengan belajar secara terus-menerus.
Dalam hal ini, antropolog Edward T. Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Dengan kata lain, "tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa memikirkan konteks dan makna kulturnya"
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan yang terletak pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia atau kelompok sosial. Pelintasan komunikasi itu menggunakan kode-kode pesan, baik secara verbal dan non-verbal, yang secara alamiah selalu digunakan dalam semua konteks interaksi.
Semua masyarakat di dunia memiliki kebudayaan. Salah satu komponen kebudayaan adalah nilai. Nilai merupakan suatu referensi atau rujukan yang dipegang sebagai pedoman tingkah laku setiap anggota masyarakat atau kelompok budaya tertentu.
Beberapa pakar menganjurkan pengembangan metaetika yang serba mencakup, transenden, untuk memandu komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya. Dean Barnlund menegaskan, " Sampai suatu etika dapat diartikulasikan dalam cara-cara yang memperoleh dukungan luas, atau hingga suatu metaetika yang sama muncul dari ribuan konfrontasi harian, kita akan terus menjalankan hubungan antarbudaya dalam kekosongan moral." Metaetika seperti itu ia percaya harus diciptakan, atau disentetis dari kode etik dalam budaya-budaya yang ada, untuk memperoleh konsesus minimum yang diperlukan untuk menghindari bentuk-bentuk interaksi destruktif paling besar sewaktu meningkatkan keanekaragaman perilaku dalam budaya-budaya itu.
Manusia dalam memahami etika tentu saja melalui proses yang disebut enkulturasi. Enkulturasi adalah proses individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kehidupannya. Seringkali individu belajar dan meniru berbagai macam tindakan, perasaan dan nilai budaya yang member motivasi akan tindakan itu telah di internalisasi dalam kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya "dibudayakan".
Dalam hal ini terdapat dimensi-dimensi Komunikasi Budaya, yaitu :
Pertama, tingkat masyarakat kelompok budaya dari para partisipan, kedua, konteks sosial tempat terjadinya Komunikasi budaya, dan ketiga, saluran yang dilalui oleh pesan-pesan yang disampaikan ( baik yang bersifat verbal maupun nonverbal)
Dimensi pertama menunjukkan bahwa istilah kebudayaan telah digunakan untuk merujuk pada macam-macam tingkat lingkupan dan kompleksitas dari organisasi sosial. Contoh dimensi pertama misalnya, komunikasi antarndividu dengan kebudayaan nasional yang berbeda (wirausaha Jepang dengan wirausaha Amerika atau Indonesia) atau antar individu dengan kebudayaan ras-etnik yang berbeda (seperti antar pelajar penduduk asli dengan guru pendatang.Bahkan ada yang mempersempit lagi pengertian pada "kebudayaan individual" karena setiap orang mewujudkan latar belakang yang unik.
Dimensi kedua menyangkut Konteks Sosial. Misal, konteks sosial Komunikasi Budaya pada: organisasi, bisnis, penddikan, akulturasi imigran, politik, penyesuaian pelancong/pendatang sementara, perkembangan alih teknologi/pembangunan/difusi inovasi, konsultasi terapis. Dalam dimensi ini bisa saja muncul variasi kontekstual, misalnya, komunikasi antarorang Indonesia dengan Jepang dalam suatu transaksi dagang akan berbeda dengan komunikasi antarkeduanya dalam berperan sebagai dua orang mahasiswa dari suatu universitas. Dengan demikian konteks sosial khusus tempat terjadinya komunikasi budaya memberikan pada para partisipan hubungan-hubungan antarperan, ekspektasi-ekspektasi, norma-norma, dan aturan-aturan tingkah laku yang khusus.
Dimensi ketiga, yaitu berkaitan dengan saluran komunikasi. Secara garis besar, saluran dapat dibagi atas yaitu:
Antarpribadi/orang dan Media massa
Bersama-sama dengan dua dimensi sebelumnya, saluran komunikasi juga memengaruhi proses dan hasil keseluruhan dari Komunikasi Budaya. Misalnya, orang Indonesia menonton melalui TV keadaan kehidupan di Afrika akan memiliki pengalaman yang berbeda dengan keadaan apabila ia sendiri berada di sana dan melihat dengan mata kepala sendiri. Umumnya, pengalaman komunikasi antarpribadi dianggap memberikan dampak yang lebih mendalam.Komunikasi melalui media kurang dalam feedback langsung antarpartisan dan oleh karena itu, pada pokoknya bersifat satu arah.Sebaliknya, saluran antarpribadi tidak dapat menyaingi kekuatan saluran media dalam mencapai jumlah besar manusia sekaligus bersifat antarbudaya bila partisipan-partisipannya berbeda latar belakang budayanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar