Rabu, 18 September 2013

Dwiko Maxi Rianto PMI3_ Tugas2_ Struktur Sosial Masyarakat Kota

SOSIOLOGI PERKOTAAN
1.      Struktur social dalam pandangan sosiologi

a.      Emile Durkheim (Struktur Sosial)
Emile Durkheim berpandangan bahwa struktur sosial itu terdiri dari norma-norma dan nilai-nilai dan melalui sosialisasi kita mempelajari defenisi-defenisi normatif ini, hanya melalui proses ini yang membuat anggota-anggota masyarakat menjalankan kehidupan sosial mereka.
Durkheim mengungkapkan bahwa pencapaian kehidupan sosial manusia dan eksistensi keteraturan sosial dalam masyarakat yang disebut Solidaritas Sosial, dimantapkan oleh sosialisasi, yang melalui proses tersebut manusia secara kolektif belajar standar-standar atau aturan-aturan perilaku. Hal ini kemudian disebut oleh Durkheim dengan Fakta Sosial.
Fakta Sosial menurut Durkheim berada eksternal (diluar) dan mengendalikan individu-individu. Meski tidak dapat dilihat, struktur aturan-aturan itu nyata bagi individu yang perilakunya ditentukan oleh fakta sosial tersebut. Ini kemudian membuat Durkheim berpendapat bahwa masyarakat memiliki eksistensinya sendiri.
Menurut Emile Durkheim sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, dan mampu melakukan pemaksaan dari luar terhadap individu. Adapun ciri fakta sosial adalah:
a.       Bersifat eksternal terhadap individu, artinya fakta sosial berada di luar individu. 
b.      Bersifat memaksa individu. 
c.       Bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. 

b.      Talcott Parsons (Model sistem Struktural-Fungsional)
Teori ini dicetuskan oleh Talcott Parsons. Baginya tatanan sosial bukanlah sebuah tatanan koersif dan juga bukan produk transaksi para aktor strategis yg egosentris, melainkan merupakan hasil konsensus nilai nilai yang melibatkan 3 komponen sekaligus, yakni masyarakat, kebudayaan dan kepribadian. teori sistem struktural-fungsional, berpandangan bahwa masyarakat terdiri atas bagian bagian dimana tiap tiap bagian tersebut memiliki fungsi nya masing masing. Masyarakat sebagai sebuah keseluruhan (whole) yg terdiri atas bagian-bagian (parts).
Teori sistem yang sangat berakar di masyarakat teori structural fungsional ala Talcot Parsons. dengan mengususng 7 asumsi :
1)      Sistem memiliki property keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
2)      Sistem cenderuang bergerak kea rah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
3)      Sistem mungkin status atau bergerak dalam proses perubahan yang teratur.
4)      Sifat dasar bagian suatu sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian-bagian lain
5)      Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungannya
6)      Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan untuk memlihara keseimbangan system
7)      Sistem cenderung menuju kea rah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan atara bagian-bagian dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda-beda dan mengendalikan kecenderungan untuk merubah sistem dari dalam.

c.       Niklas Luhmann (Model sistem Fungsional Struktural)
Teori Sistem Parsons dianggap tidak dapat menjawab masalah konflik dan perubahan sosial. Apabila mengikuti alur pemikiran Parsons, sistem sosial akan hancur jika terjadi konflik atau perubahan di dalam masyarakat. Kehancuran ini diakibatkan fungsi-fungsi yang ada di dalam struktur sosial yang terganggu. Padahal pada kenyataannya meskipun terjadi konflik sistem sosial tetap ada dan tidak terganggu. Baik dalam bentuknya yang lama maupun berevolusi dalam bentuk yang baru membentuk sebuah sistem yang baru.
Teori autopoises Luhmann menjelaskan bahwa sifat sistem dapat membentuk dirinya sendiri, sistem dapat mencukupi dirinya sendiri. Jika sistem ambruk, maka secara otomatis akan terganti dengan sistem yang lain. Sistem yang mengalami autoposis ini terjadi karena adanya kontigensi (ketidakniscayaan) yang menyebabkan ego menjadi bebas menentukan sendiri pilihannya. Ego tak akan terpenuhi tanpa ada alter ego (ego yang lain) yang bersifat bebas juga. Kontigensi akan mendorong instabilitas yang dapat menjadikan sistem selalu mengorganisasikan dirinya sendiri.
Luhmann mengatakan bahwa setiap perubahan suatu sistem adalah perubahan lingkungan sistem lainnya. Cirri utama dari lingkungan adalah adanya chaos/noise. Tanpa adanya chaos lingkungan tak akan pernah ada, dan sistem tak akan pernah terbentuk, Setiap pertumbuhan kompleksitas disuatu tempat akan memperbesar kompleksitas lingkungan untuk sistem sistem lainnya. Inilah yang mengisyaratkan bahwa teori dari Luhmann adalah sebuah paradoks. Pada satu sisi Luhmann mengatakan bahwa sistem berdiri sendiri, mereka menangkap lingkungan sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, namun di sisi yang lain Luhmann juga mengatakan bahwa sistem-sistem yang ada pada lingkungan saling mempengaruhi.

Tiga cakupan yang disoroti oleh Luhmann adalah:
1)      Law/Hukum/Aturan
2)      Teknologi
Berbicara mengenai teknologi adalah berbicara mengenai efektifitas. Kode dapat berfungsi maupun tidak berfungsi.rusak. program yang digunakan misalnya adalah blue print. Jadi ia bisa menjadi lawan atau kawan bagi penggunanya.
3)      Moral
Moral menciptakan konflik bukan consensus. Konflik adalah syarat dibentuknya masyarakat dan konsensus hanyalah transisi, yang mampu menjelaskan ke kompleks an ini hanyalah super rasionalitas.

d.      Anthony Giddens
Giddens menyatakan, kehidupan sosial adalah lebih dari sekadar tindakan-tindakan individual. Namun, kehidupan sosial itu juga tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial.
Menurut Giddens, human agency dan struktur sosial berhubungan satu sama lain. Tindakan-tindakan yang berulang-ulang (repetisi) dari agen-agen individual-lah yang mereproduksi struktur tersebut. Tindakan sehari-hari seseorang memperkuat dan mereproduksi seperangkat ekspektasi. Perangkat ekspektasi orang-orang lainlah yang membentuk apa yang oleh sosiolog disebut sebagai "kekuatan sosial" dan "struktur sosial."
Hal ini berarti, terdapat struktur sosial –seperti, tradisi, institusi, aturan moral—serta cara-cara mapan untuk melakukan sesuatu. Namun, ini juga berarti bahwa semua struktur itu bisa diubah, ketika orang mulai mengabaikan, menggantikan, atau mereproduksinya secara berbeda.
·         Dualitas Struktur dan Agency
Dalam pandangan Giddens, terdapat sifat dualitas pada struktur. Yakni, struktur sebagai medium, dan sekaligus sebagai hasil (outcome) dari tindakan-tindakan agen yang diorganisasikan secara berulang (recursively). Maka properti-properti struktural dari suatu sistem sosial sebenarnya tidak berada di luar tindakan, namun sangat terkait dalam produksi dan reproduksi tindakan-tindakan tersebut.
Struktur dan agency (dengan tindakan-tindakannya) tidak bisa dipahami secara terpisah. Pada tingkatan dasar, misalnya, orang menciptakan masyarakat, namun pada saat yang sama orang juga dikungkung dan dibatasi (constrained) oleh masyarakat.
Struktur diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui tindakan-tindakan agen. Sedangkan tindakan-tindakan itu sendiri diberi bentuk yang bermakna (meaningful form) hanya melalui kerangka struktur. Jalur kausalitas ini berlangsung ke dua arah timbal-balik, sehingga tidak memungkinkan bagi kita untuk menentukan apa yang mengubah apa. Struktur dengan demikian memiliki sifat membatasi (constraining) sekaligus membuka kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen.
2.      Struktur Masyarakat Perkotaan
Masyarakat Kota:
a)      Perilaku heterogen
(Masyarakat perkotaan yang selalu menggantungkan hidupnya terhadap sama orang lain)
b)      Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan
c)      Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi
d)     Mobilitas sosial,sehingga dinamik
e)      Kebauran dan diversifikasi kultural
f)       Birokrasi fungsional dan nilai-nilaisekular
g)      Individualisme


3.      Masalah Perkotaan Dalam Perspektif Analisis Struktural
Sesuatu fenomena sosial dikatakan sebagai masalah (problem) sosial apabila:
a)      Sesuatu itu tidak sesuai dengan kebijakan otoritas penguasa yang berfungsi untuk mempertahankan ketertiban masyarakat;
b)      Otoritas aktor (individu) tidak tunduk pada kontrol yang ditentukan oleh masyarakat; dan
c)      Perubahan sosial yang terjadi bersifat evolusi, sehingga kurang menciptakan dinamika kehidupan social

Berbagai macam masalah yang terjadi

1.      Masalah Kemiskinan
Dalam kajian sosiologi pembangunan, konsep kemiskinan dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1)      Kemiskinan absolut (a fixed yardstick). Konsep kemiskinan absolut ini dirumuskan dengan membuat ukuran tertentu yang kongkit. Ukuran ini lazimnya berorientasi pada kebutuhan dasar dalam kehidupan sehari-hari, yaitu pangan, papan dan sandang. Besarnya ukuran setiap negara berbeda;
2)      Kemiskinan relatif (the idea of relative). Konsep kemiskinan relatif ini dirumuskan berdasarkan atau memperhatikan dimensi tempat dan waktu. Asumsi ini, bahwa kemiskinan di daerah satu dengan daerah lain tidak sama, demikian juga antara waktu dulu dengan sekarang berbeda;
3)      Kemiskinan subjektif. Konsep kemiskinan sbjektif ini dirumuskan berdasarkan perasaan individu atau kelompok miskin. Kita menilai individu atau kelompok tertentu miskin, tetapi kelompok yang kita nilai menganggap bahwa dirinya bukan miskin, atau sebaliknya. Konsep kemiskinan ketiga inilah yang lebih tepat apabila memahami konsep kemiskinan dan bagaimana langkah strategis dalam menangani kemiskinan (Usman, S. 1998; Tjokrowinoto, W. 2004).
Secara sosiologis, kemiskian merupakan salah satu problem sosial yang paling serius dialami oleh negara-negara berkembang. Secara umum kajian tentang kemiskinan dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu
1)      Perspektif kultural (cultural perspective); dan
2)      Perspektif struktural atau situasional (situational perspective). Kedua perspektif tersebut mempunyai asumsi, metode dan pendekatan yang berbeda dalam menganalisis tentang kemiskinan.
Pertama, perspektif kultural. Konsep kemiskinan dalam perspektif kultural dikelompokkan menjadi tiga tingkatan analisis, yaitu:
1)      Tingkatan individu, hal ini berarti kemiskinan karena mentalitas individu yang malas, apatis, fatalistik, pasrah, boros, dan tergantung (mentalitas negatif)
2)      Tingkatan keluarga, hal ini berarti kemiskinan karena jumlah anak dalam keluarga sangat besar, dengan pola budaya keluarga yang tidak produktif; dan
3)      Tingkatan masyarakat, hal ini berarti kemiskinan kerena tidak terintegrasinya kaum miskin dengan institusi-institusi masyarakat secara efektif
Kedua, perspektif struktural. Konsep kemiskinan dalam perspektif struktural adalah kemiskinan yang terjadi karena dampak dari faktor-faktor struktur masyarakat (faktor eksternal), yaitu terjadinya kemiskinan karena:
1)      program atau perencanaan pembangunan yang tidak tepat;
2)      Pelaksanaan kekuasan pemerintahan (birokrasi pemerintah) yang korup;
3)      Kehidupan sosial-politik yang tidak demokratis atau otoriter;
4)      Sistem ekonomi liberalistik atau kapitalistik;
5)      Berkembangnya teknologi modern atau industrialisasi yang mekanistik disemua aspek;
6)      Kesenjangan sosial-ekonomi di masyarakat sangat tinggi;
7)      Globalisasi ekonomi dan pasar bebas. Jadi, menurut perspektif struktural kemiskinan itu terjadi karena faktor ekternal, sedangkan menurut perspektif kultural kemiskinan itu terjadi karena mentalitas individu atau kelompok.
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam menanggulangi kemiskinan antara lain:
1.      Menyusun perencanaan pembangunan yang tepat dan integral
2.      Melaksanakan program pembangunan di segala bidang, yang berbasis kerakyatan;
3.      Meningkatkan kualitas layanan pendidikan secara maksimal sesuai dengan amanat UUD 1945;
4.      Reformasi birokrasi (transparansi, efisiensi dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya pembangunan);
5.      Menegakkan kepastian hukum dan berkeadilan; dan
6.      Meningkatkan peran serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan media massa dalam proses pembangunan (Dwipayana, Ari (Ed). 2003; Tjokrowinoto, W. 2004).

2.      Masalah kenakalan remaja atau perilaku menyimpang remaja
Pengertian perilaku menyimpang (deviasi sosial) adalah semua bentuk perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Jadi, perilaku menyimpang remaja adalah semua bentuk perilaku remaja yang tidak sesuai dengan nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat. Diantara bentuk atau macam-macam perilaku menyimpang remaja antara lain:
a)      Tawuran antar pelajar
b)      Penyimpangan seksual meliputi homoseksual, lesbianisme, dan hubungan seksual sebelum nikah;
c)      Alkoholisme;
d)     Penyalahgunaan obat terlarang atau narkotika;
e)      Kebut-kebutan di jalan raya;
f)       Pencurian atau penipuan, dan bentuk-bentuk  tindakan kriminalitas lainnya.l
Diantara langkah strategis untuk meminimalkan terjadinya kenakalan remaja antara lain:
a)      Menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama (menunjung tinggi nilai spiritual);
b)      Menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis (hubungan antara ayah, ibu dan anak terjalin dengan baik);
c)      Mewujudkan kesamaan nilai, norma yang dipegang antara ayah dan ibu dalam mendidik anak;
d)     Memberikan kasih sayang secara wajar atau proporsional (tidak memanjakan anak);
e)      Memberikan perhatian secara proporsional terhadap beragam kebutuhan anak;
f)       Memberikan pengawasan secara wajar atau proporsional terhadap pergaulan anak di lingkungan masyarakat atau teman bermainnya; dan
g)      Memberikan contoh tauladan yang terbaik pada anak, dan setiap pemberian layanan pada aak diarahkan pada upaya membentuk karakter atau mentalitas positif (Coleman, J.W and Cressey, D.R. 1984; Wilis,S. 1994).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini