Rabu, 18 September 2013

muhammadabdulmuhaieminas'ad_pmi3_tugasDemografi


muhammad abdul muhaimin as'ad
PMI 3
nim: 1112054000033

Struktur social dalam pandangan
Emile Durkheim:
Kekuatan Durkheim dalam analisisnya terletak pada analisis parameter, yang mengikat perilaku masyarakat dalam fakta sosial. Durkheim menegaskan posisi bahwa fakta sosial bersifat eksternal terhadap individu dan memaksa individu, seperti yang dicontohkannya dalam kode-kode hukum. Menurutnya, pergeseran kontrol eksternal dapat dimengerti dalam hubungannya dengan pengalaman kita secara individual. Banyak dari kita cukup lama menerima pelbagai harapan normatif sebagai sesuatu yang benar dan pantas serta menyesuaikan diri dengannya, karena di dalamnya juga terdapat pola-pola kepribadian dasar yang sudah kita kembangkan (bukan sebagai respons terhadap paksaan dari luar).

Durkheim merasa bahwa dalam menghadapi masa peralihan ini, perlu dikembangkan satu alternatif lain dari dasar pendidikan moral agama tradisional. Singkatnya, apa yang dibutuhkan adalah suatu ideologi sekuler atau sistem kepercayaan yang memberikan tonggak-tonggak moral dan etika dalam suatu masyarakat sekuler. Perubahan-perubahan dalam tingkat integrasi pada suatu masyarakat secara empiris dinyatakan dalam pelbagai cara. Satu manifestasi utama yang dianalisa Durkheim secara intensif adalah perubahan dalam angka bunuh diri. Perhatian Durkheim terhadap landasan-landasan moral masyarakat merangsang perkembangan perspektif sosiologi klasiknya pada fungsi-fungsi agama, terutama di Timur, yang bersifat sosial. Analisanya mengenai hubungan timbal-balik yang erat antara agama dan masyarakat. Durkheim menunjuk pada bunuh diri yang disebabkan oleh anomi, sebagai bunuh diri anaomik. Misalnya, apabila solidaritas organik menurun an tingkat anomi alam masyarakat naik, maka angka bunuh diri dalam masyarakat kapitalis cenderung naik (Durkheim, 1966).
Dalam menguraikan kondisi-kondisi yang mendorong pertumbuhan pembagian kerja dalam masyarakat, analogi antara masyarakat dan dan organisme biologis yang digunakan Durkheim sama seperti ketika ia menguraikan tentang fungsi peningkatan pembagian pekerjaan. Secara khusus pula, Durkheim mendasarkan diri pada konsep moral density. Gambaran tentang hubungan di antara perkembangan pembagian pekerjaan dan pergeseran corak solidaritas sosial merupakan gambaran tentang apa yang disebut Durkheim sebagai natural course dari perkembangan pembagian pekerjaan dan konsep solidaritas sosial yang dihasilkannya. Dalam hal ini, Durkheim menyadari bahwa penyimpangan yang bersifat kasuistik akan selalu terjadi dalam kehidupan masyarakat modern (Durkheim, 1964: 257-353).
TALCOTT PARSONS
Pembahasan teori fungsionalisme structural Parson diawali dengan empat skema penting mengenai fungsi untuk semua system tindakan, skema tersebut dikenal dengan sebutan skema AGIL. Sebelumnya kita harus tahu terlebih dahulu apa itu fungsi yang sedang dibicarakan disini, fungsi adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan system.
Menurut parson ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua system social, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal attainment (G), integrasi (I), dan Latensi (L). empat fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua system agar tetap bertahan (survive), penjelasannya sebagai berikut:
Adaptation: fungsi yang amat penting disini system harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan system harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya.
Goal attainment; pencapainan tujuan sangat penting, dimana system harus bisa mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
Integrastion: artinya sebuah system harus mampu mengatur dan menjaga antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGL).
Latency:laten berarti system harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, sebuah system harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan cultural.Lalu bagaimanakah Parson menggunakan empat skema diatas, mari kita pelajari bersama. Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan cara melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment difungsikan oleh system kepribadian dengan menetapkan tujuan system dan memolbilisai sumber daya untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh system social, dan laten difungsikan system cultural. Bagaimana system cultural bekerja? Jawabannhya adalah dengan menyediakan actor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi actor untuk bertindak.Tingkat integrasi terjadi dengan dua cara, pertama : masing-masing tingkat yang p[aling bawah menyediakan kebutuhan kondisi maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat atas. Sredangkan tingkat yang diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan tingkat yang ada dibawahnya.
Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme structural dengan menjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut;
system mempunyai property keteraturan dan bagian-bagian yang saling tergantung.
system cenderung bergerak kea rah mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan.
system bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan yang teratur.
sifat dasar bagian suatu system akan mempengaruhi begian-bagian lainnya.
system akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
alokasi dan integrasi merupakan ddua hal penting yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan system.system cenderung menuju kerah pemeliharaan keseimbangan diri yang meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-baguan dengan keseluruhan sostem, mengendalikan lingkungan yang berbeda dan mengendalikan kecendrungan untuyk merubah system dari dalam.
System social
Pada pembahasannya parson mendefinisikan system social sebagai berikut: sistem social terdiri dari sejumlah actor-aktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, actor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecendrungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term system simbol bersama yang terstruktur secara cultural. (Parsons, 1951:5-6)kunci masalah yang dibahas pada system social ini meliputi actor, interaksi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan, dan cultural. Hal yang paling penting pada system social yang dibahasnya Parsons mengajukan persyaratan fungsional dari system social diantaranya: system social harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sisten lain.untuk menjaga kelangsungan hidupnya system social harus mendapatkan dukungan dari system lain.
system social harus mampu memenuhi kebutuhan aktornya dalam proporsi yang signifikan.
system social harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.
system social harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi menggangu.
bila konflik akan menuimbulkan kekacauan maka harus bisa dikendalikan.
Teori Strukturasi dari Anthony Giddens

Strukturasi merupakan salah satu metode dalam mengintegrasi agen dan struktur. Dalam teori strukturasi, Anthony Giddens meneliti sejumlah teori yang berorientasi pada individu atau agen dan pada teori yang berorientasi pada masyarakat, namun pada penjelasannya Anthony Giddens menolak kedua kutub tersebut, menurutnya struktur dan agen merupakan dua elemen dalam masyarakat yang dualitas, bukan sesuatu yang dualisme, yang mana Giddens beranggapan bahwa struktur dan agen saling berkesinambungan satu sama lain dan memilki peranan masing-masing dalam praktik sosial. Giddens menolak kedua elemen tersebut sebagai dualisme, dimana salah satu dari elemen tersebut mendominasi dari adanya praktik sosial. Giddens menyatakan bahwa kita harus memulai dari praktik (interaksi) sosial yang berulang-ulang, lebih dari itu ia menyatakan bidang mendasar studi ilmu sosial menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individu atau bentuk kesatuan sosial tertentu, melainkan praktik sosial yang diatur melintasi ruang dan waktu Pada teori strukturasi memusatkan pada praktik sosial yang terulang dimana dalam teori tersebut lebih mendasarkan pada hubungan agen dan struktur. Agen dan struktur merupakan dua elemen yang diibaratkan dengan dua sisi pedang bermata dua yang tidak dapat dipisahkan untuk menjelaskan praktik sosial. Sehingga dalam teori strukturasi agen dan struktur tidak dapat dipisahkan sebagai dualitas karena keduanya saling berkesinambungan dan mempengaruhi. Dalam tindakan sosial memerlukan struktur, dan struktur  memerlukan tindakan   social



Niklas Luhmann



Kunci untuk memahami apa yang dimaksud oleh Luhmann dengan sistem dapat ditemukan dalam perbedaan antara sistem dengan lingkungannya. Pada perbedaan antara keduanya adalah pada kompleksitas (complexity). Suatu sistem selalu kurang kompleks ketimbang ingkungannya. Misalnya, suatu usaha, seperti perakitan mobil, dapat dilihat sebagai sistem yang berkaitan dengan lingkungan yang sangat kompleks yang mencakup berbagai tipe orang yang berlainan, lingkungan fisik yang senantiasa berubah, dan beragam sistem lainnya yang berbeda-beda. Industri mobil bukanlah sistem autopoietic dalam pengertian Luhmann, karena industri ini tidak memproduksi elemen dasarnya. Akan tetapi, kita akan menggunakan contoh ini untuk menjelaskan ide umum tentang teori sistem karena contoh ini lebih konkret ketimbang abstraksi sistem ekonomi atau sistem hukum. Nanti, saat kami mendefinisikan sistem autopoietic, kami akan menggunakan contoh yang lebih abstrak. Akan tetapi, kompleksitas ini direpresentasikan dalam bentuk yang lebih sederhana di dalam sistem. Ketika pabrik membutuhkan bahan baku (besi, karet, dsb.), pabrik tak peduli dari mana bahan-bahan itu berasal, bagaimanaa bahan-bahan itu diproduksi dan sifat dari pemasoknya. Semua kompleksitas ini direduksi menjadi informasi tentang harga dan kualitas bahan mentah. Dengan cara yang sama, semua praktik konsumennya yang beragam direduksi menjadi praktik-praktik yang langsung mempunyai dampak langsung terhadap keputusan mereka untuk, misalnya, membeli mobil.Penyederhanaan kompleksitas sama artinya dengan dipaksa untuk memilih (pabrik mempertimbangkan bagaimana bahan-bahan baku diproduksi tetapi tak peduli pada situasi politik di negara tempat bahan baku itu diproduksi). Dipaksa untuk memilih berarti juga kontingensi sebab seseorang selalu bisa memilih secara berbeda pabrik atau produsen dapat memonitor situasi). Dan kontingensi berarti resiko (risk). Jadi, jika pabrik memilih untuk tidak memonitor situasi politik di satu negara yang menghasilkan bahan baku, maka proses produksinya mungkin akan tsrganggu oleh pemberontakan yang memotong jalur suplai material itu.Sebuah sistem tidak akan sesederhana lingkungannya. Sebuah sistem yang mencoba agar sekompleks lingkungannya akan mengingatkan kita pada kisah Borges (1964) tentang raja yang memerintahkan seorang kartografer untuk membuat peta yang akurat untuk negaranya. Ketika kartografer itu selesai membuatnya, peta itu sebesar negeri itu sehingga malah tak berguna. Peta, seperti sistem, harus mereduksi kompleksitas. Kartografer harus memilih ciri-ciri yang penting. Peta yang berbeda atas area yang sama dapat dibuat karena pemilihan kontingensinya. Ini selalu diperlukan, tetapi ini juga berisiko karena pembuat peta tidak pernah dapat merasa pasti bahwa yang tidak masuk bukanlah penting untuk penggunanya.Meski sistem tak pernah sekompleks lingkungannya, sistem mengembakan subsistem-subsistem baru dan membangun berbagai hubungan antara subsistem untuk menangani lingkungan secara efektif. Jika tidak, sistem akan dikuasai oleh kompleksitas lingkungan. Misalnya, pabrik mobil dapat menciptakan departemen hubungan internasional yang bertugas memonitor kondisi politik di negara pensuplai bahan baku. Departemen baru ini akan bertanggung jawab untuk menjaga agar perusahaan selalu mengetahui potensi gangguan dalam suplai material dan menemukan sumber alternatif jika ada gangguan tersebut. Jadi, secara paradoks, "hanya kompleksitaslah yang dapat mereduksi kompleksitas" (Luhmann, 1995:26)

struktur Masyarakat Kota
Menurut Talcott Parsons tipe masyarakat perkotaan di antaranya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut  :
Netral Afektif
Masyarakat kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkat rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukkan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya.
 Orientasi Diri
Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya masyarakat di kota itu bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita. Oleh karena itu, setiap orang di kota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka cenderung untuk individualistik.
 
Universalisme
Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk universalisme.
Prestasi:Mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang itu diterima  berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya.
Heterogenitas
 Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat heterogen, artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.Sementara itu, ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan yang biasa kita jumpai , yaitu :Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung ke arah duniawi saja.Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain (individualisme).Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu. Perubahan-perubahan tampak nyata  di kota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.



masalah perkotaan dalam perpektif analisis sturktural
Perkotaan di Indonesia, tak lagi terbatas sebagai pusat pemukiman masyarakat. Kini kota juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan,sentral hirarki, dan pusat pertumbuhan ekonomi.Sebagai konsekuensi logis dari peran kota sebagai pusat pertumbuhan dan ekonomi, sumbangan perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, semakin meningkat. Data menunjukkan, terdapat peningkatan peranan perkotaan terhadap pertumbuhan nasional yang cukup signifikan. Pada awal Pelita I, peranan kota terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tercatat 50%, namun pada Pelita V, peranan kota terhadap pertumbuhan telah mencapai 70% (National Urban Development Strategy, 2001).Pertumbuhan tersebut membawa dampak yang besar bagi kota itu sendiri. Dari sisi penduduk misalnya, terdapat pertumbuhan jumlah penduduk yang besar dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 31,1%, sementara pada 1995 mencapai 35,9% dari jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan proyeksi National Urban Development Strategy, jumlah penduduk perkotaan pada tahun 2003 mencapai 55,3% dari penduduk Indonesia.Di lain pihak, penduduk pedesaan pada 1990,mencapai 68,9% pada 1995 mencapai 64,4% dan pada 2003 penduduk pedesaan mencapai kurang dari 45% dari jumlah penduduk Indonesia.Penambahan komposisi kependudukan perkotaan memang tak terelakkan. Pada kenyataannya negara-negara dengan tingkat perekonomian yang tinggi, memiliki tingkat urbanisasi yang tinggi pula. Negara-negara industri pada umumnya memiliki tingkat urbanisasi di atas 75 persen. Bandingkan dengan negara berkembang yang sekarang ini. Tingkat urbanisasinya masih sekitar 35 persen sampai dengan 40 persen saja. (Prijono Tjiptoherijanto, Urbanisasi dan Perkotaan, Artikel kompas 2000).Tentu juga pertumbuhan penduduk yang demikian pesat tersebut membawa konsekuensi yang besar bagi perkotaan. Penambahan jumlah penduduk di tengah semakin terbatasnya ruang publik, menjadikan kota semakin lama semakin kehilangan fungsi sebagai sarana pemukiman yang nyaman.
Krisis perekonomian yang melanda Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, menjadikan kota harus menanggung beban tambahan yang cukup serius. Arus urbanisasi yang semakin meningkat dari desa ke kota, ditambah dengan meningkatnya jumlah pengangguran dari 3 juta pada September 1998, menjadi 26 juta pada Januari 1999 (NUDS 2, 2000) menjadikan permasalahan kota menjadi semakin kompleks.Sebagai dampak pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut, beberapa prinsip perencanaan perkotaan seperti liveability, kenyamanan kota yang dinilai akan mendorong warganya berproduktivitas tinggi, competitiveness, kebersaingan untuk mengundang investor1, menjadi sulit untuk tercapai Dengan berbagai persoalan ini, penataan perkotaan menjadi semakin kompleks. Beberapa permasalahan kota tersebut diantaranya adalah sebagai berikut

1.Arus Urbanisasi yang Cepat

Urbanisasi menurut Prijono Tjiptoherijanto berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota (Prijono, Urbanisasi, Kompas, Senin 8 Mei 2000).Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 1995, tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,09 persen pada tahun 1995. Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan membawa dampak yang sangat besar kepada tingkat kenyamanan yang tinggi. Kota seperti Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlah sesak. Kedekatan jangkauan terhadap pusat-pusat perekonomian di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian penduduk lebih memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan umum yang terbatas, menjadi semakin meluas.

2.Hilangnya Ruang Publik

Dalam praktiknya berbagai kepentingan dan fungsi perkotaan kerap harus mengorbankan fungsi kota lainnya. Kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tentu saja memerlukan lahan bagi pengembangan ekspansi kepentingan tersebut. Persoalannya, ruang dan wilayah perkotaan jumlahnya tetap, sehingga untuk kepentingan ekonomi tersebut harus menggunakan ruang wilayah fungsi kota lainnya. Yang kerap dikorbankan adalah ruang-ruang publik.Sarana olahraga, pendidikan kerap harus tersingkir oleh kepentingan ekonomi.Kasus penggusuran sebuah sekolah di Kawasan Melawai Jakarta baru-baru ini, merupakan salah satu contoh betapa sebuah kepentingan ekonomi harus mengorbankan fungsi kota lainnya, meski itu juga penting, yakni pendidikan.Pergeseran fungsi lahan atau penghilagan fungsi ruang publik, disadari atau tidak menimbulkan implikasi lain yang serius. Sejak puluhan tahun terakhir ini, ruang-ruang publik antara lain untuk keperluan olahraga harus dikorbankan. Akibantnya, anak-anak muda jakarta kehilangan tempat untuk mengekspresikan jiwa muda dan "kelebihan energinya".Hidup di lingkungan dan ruang yang terbatas, tidak adanya sarana untuk mengekpresikan diri, menimbulkan dampak sosial yang serius. Perkelahian pelajar misalnya, salah satu penyebabnya adalah karena mereka kehilangan ruang publik tempat mengekspresikan jiwa mudanya. Kondisi ini digambarkan secara cepat oleh Prijono Tjiptoherijanto: Kebijaksanaan pembangunan perkotaan saat ini cenderung terpusat pada suatu arena yang memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk sehingga menimbulkan apa yang yang dikenal dengan nama daerah perkotaan. Sementara terdapat keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih muda memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (Urbanisasi dan perkotaan di Indonesia, Artikel Harian Kompas, Senin, 8 Mei 2000).

3.Meningkatnya Kemacetan
Pertumbuhan jumlah kendaraan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan penduduk, membawa implikasi lain bagi perkotaan. Masalah kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan oleh para pengambil kebijakan perkotaan. Terbatasnya wilayah untuk memperluas jaringan jalan, merupakan kendala terbesar sehingga penambahan ruas jalan yang dilakukan pemerintah tak dapat mengimbangi laju pertambahan penduduk. Akibatnya persoalan kemacetan lalu lintas ini semakin lama semakin menjadi.Persoalannya semakin pelik, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan sarana transportasi umum dan massal yang memadai, sehingga masyarakat lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi dan akhirnya menjadikan masalah kemacetan ini makin menjadi.Di lain pihak pembangunan kota-kota satelit di sekitar Jakarta, tak mampu memecahkan masalah ini, karena para penduduk kota satelit ini justru masih mencari penghidupan di Jakarta.Akibatnya pembangunan kota-kota ini justru hanya memperluas sebaran daerah-daerah pusat kemacetan lalu lintas.

4.Disparitas Pendapatan Antarpenduduk Perkotaan

Perbedaan tingkat kemampuan, pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan persoalan perbedaan pendapatan antarpenduduk di perkotaan semakin besar.Di satu pihak, sebagian kecil dari penduduk perkotaan menguasai sebagian besar sumberperekonomian. Sementara di sisi lain, sebagian besar penduduk justru hanya mendapatkan sebagian kecil sumber perekonomian. Akibatnya, terdapat kesenjangan pendapatan yang semakin lama semakin besar.Sebagai bagian dari mekanisme pasar, kondisi ini sebenarnya sah-sah saja dan sangat wajar terjadi. Persoalannya, ternyata dan praktiknya disparitas pendapatan ini menimbulkan persoalan sosial yang tidak ringan. Terjadinya kecemburuan sosial yang bermuara pada kerusuhan massal, kerap terjadi karena persoalan ini. Dalam skala yang lebih kecil, meningkatnya kriminalitas di perkotaan, merupakan implikasi tidak meratanya kemampuan dan kesempatan untuk menikmati pertumbuhan perekonomian di perkotaan.

5.Meningkatnya Sektor Informal
Kesenjangan antara kemampuan menyediakan sarana penghidupan dengan permintaan terhadap lapangan kerja, memacu tumbuhnya sektor informal perkotaan.Pada saat krisis ekonomi terjadi jumlah penduduk perkotaan yang bekerja di sektor informal ini semakin besar. Di satu sisi tumbuhnya sektor informal ini merupakan katup pengaman bagi krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Bangsa Indonesia. Namun, pada gilirannya peningkatan aktivitas sektor informal, terutama yang berada di perkotaan dan menyita sebagian ruang publik perkotaan, menimbulkan masalah baru terutama menyangkut aspek kenyamanan dan ketertiban yang juga menjadi hak publik bagi warga perkotaan yang lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini