Dalam buku yang telah di tulis Durkheim yang berjudul "The Rules of Sociological Method" dia mengklaim bahwa masyarakat yang sehat bisa diketahui karena sosiolog akan menemukan kondisi yang sama dalam masyarakat lain yang sedang berada pada level yang sama. Jika masyarakat tidak berada dalam kondisi yang biasanya mesti dimilikinya, maka bisa jadi masyarakat itu sedang mengalami patologi.
Ada sebuah pendapat menarik yang dikemukakan Durkheim dalam argument ini: pendapat bahwa kriminal adalah sesuatu yang normal dan bukan patologis. Menurut dia, karena ditemukan dalam setiap masyarakat, kriminal adalah sesuatu yang normal dan memiliki fungsi yang bermanfaat. Bagi Durkheim, kriminal mendorong masyarakat mendefinisikan dan membuktikan kesadaran kolektif mereka: "sebuah kmunitas orang suci dalam biara dapat dijadikan contoh sempurna. Di dalam biara tersebut tindakan kriminal sudah tentu tidak akan dikenal, tapi jika orang suci itu melakukan kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan orang awam, maka itu akan dinilai setara dengan tindak kriminal dalam kesadaran awam. Maka, jika komunitas tersebut memiliki kekuasaan untuk menghukum dan menjatuhkan sanksi, maka mereka akan menindak pelanggaran tersebut sebagai tindak kriminal."
Dan jika di dalam buku The Rules of Sociological Method Durkheim membahas tentang tindakan kriminal maka di dalam buku Suicide, Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relatif merupakan fenomena konkret dan spesifik dimana tersedia data yang bagus secara komperatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin sosiolog. Bunuh diri secara umum merupakan salah satu tindakan pribadi dan personal.
Ada dua cara yang dimiliki Durkheim untuk mengevaluasi angka bunuh diri. Cara pertama adalah dengan membandingkan suatu tipe masyarakat atau kelompok dengan tipe yang lain. Cara kedua yaitu melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah kelompok dalam suatu rentang waktu.
Durkheim menilai suiceide dengan menguji dan menolak sersangkaian pendapat alternatif tentang penyebab bunuh diri. Di antaranya adalah psikopatologi, individu, alkoholisme, ras, dan iklim. Durkheim menguji dan menolak teori imitasi yang dikemukakan oleh seseorang teoritis yang sezaman dengannya, psikolog sosial dari Prancis bernama Gabriel Tarde. Teori imitasi mengatakan bahwa seseorang melakukan bunuh diri karena meniru tindakan orang lain.
Durkheim menyimpulkan bahwa faktor terpenting dalam perbedaan angka bunuh diri akan diemukan dalam perbedaan level fakta sosial. Kelompok yang berbeda memiliki sentimen kolektif yang berbeda sehingga menciptakan arus sosial yang berbeda pula. Arus sosial itulah yang memengaruhi keputusan seseorang individu untuk bunuh diri. Dengan kata lain, perubahan dalam sentimen kolekftif membawa perubahan dalam arus sosial, sehingga membawa perubahan pada angka bunuh diri.
Teori bunuh diri Durkheim bisa dilihat dalam hubungan jenis-jenis bunuh diri dengan dua fakta sosial utamanya integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat. Regulasi merujuk pada tingkat paksaan eksternal dirasakan individu. Menurut Durkheim, dua arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan dan angka bunuh diri meningkat letika salah satu aarus menurun dan yang lain meningkat. Oleh karena itulah ada empat jenis bunuh diri yaitu, Altruistis, Egoistis, Fatalistis, dan Anomik.
Bunuh diri Egoistis. Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya, Durkheim berbicara tentang disintegrasi masyarakat yang melahirkan "arus depresi dan kekecewaan." Situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralits dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luar menekan ketidakbermaknaan hidup. Arus sosial yang melindung dan mengayomi yang lahir dari masyarakat yang padu akan mencegah meluasnya kasus bunuh diri egoistis, di antaranya, dengan memberi seseorang makna hidup dalam pengertian yang lebih luas.
Bunuh diri Altruistis. Kalau bunuh diri egoistis terjadi ketika integrasi sosial melemah, bunuh diri altruistis terjadi ketika "integrasi sosial sangat kuat." Secara harfiah, dapat dikatakan indvidu terpaksa melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim, penjelasan yang sama juga dapat dipakai dalam kasus seseorang yang mencari mati syahid. Seperti yang dilakukan oleh teroris pada peristiwa 11 september 2001. Secara umum, orang melakukan bunuh diri altruistis karena mereka merasa itu adalah tugas mereka. Kalau tingginya angka bunuh diri egoistis ditentukan oleh "kelelahan yang tidak dapat disembuhkan dan depresi yang menyedihkan," maka bunuh diri altruistis makin banyak terjadi jika "makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup didunia ini."
Bunuh diri Anomik, terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan ni mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Angka bunuh diri anomik bisa meningkat terlepas dari apakah gangguan itu positif (misal, peningkatan ekonomi) atau negatif (penurunan ekonomi). Kedua macam gangguan ini membuat kolektivitas masyarakat tidak mampu melancarkan otoritasnya terhadap individua untuk sementara waktu. Perubahan-perubahan semacam ini menempatkan orang dalam situasi dimana norma lama tidak lagi berlaku sementara norma baru belum lagi dikembangkan. Kasus ini relatif mudah ditemui dalam suasana depresi ekonomi.
Bunuh diri Fatalistis. Kalau bunuh diri anomik terjad dalam situasi dimana regulasi melemah, maka bunuh diri fatalistis justru terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang melakukan bunuh diri fatalistis seperti "seseorang yang masa depannya tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas." Contoh klasik dari bunuh diri ini adalah budak yang mengahabisi hidupnya karena outus asa karena regulasi yang menekan setiap tindakannya. Regulasi te –tekanan- yang terlalu banyak akan melepaskan arus kesedihan, yang pada gilirannya, menyebabkan peningkatan angka bunuh diri fatalistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar