Rabu, 18 September 2013

Mutiara Lestari Putri KPI 1B_Tugas2_Karya Emile Durkheim

TEORI EMILE DURKHEIM
FAKTA SOSIAL
Untuk memisahkan sosiologi dari filsafat dan memberi kejelasan serta identitas tersendiri, Durkheim menyatakan bahwa pokok bahasan sosiologi harus berupa studi atas fakta sosial. Fakta sosial terdiri dari struktur sosial, norma budaya, dan nilai yang berada di luar dan memaksa aktor.
            Hal penting dalam pemisahan sosiologi dari filsafat adalah ide bahwa fakta sosial dianggap sebagai "sesuatu" dan dipelajari secara empiris. Artinya, bahwa fakta sosial mesti dipelajari dengan perolean data dari luar pikiran kita melalui observasi dan eksperimen.
          
  "Fakta sosial adalah seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial adalah seluruh cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada saat yang sama keberasaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individu.
Kutipan ini menjelaskan bahwa Durkheim memberi dua definisi untuk fakta sosial agar sosiologi bisa dibedakan dari psikologi. Pertama, fakta sosial adalah pengalaman sebagai sebuah paksaan eksternal dan bukannya dorongan internal. Kedua, fakta sosial umum meliputi seluruh masyarakat dan tidak terikat pada individu partikular apapun.
            Durkheim sendiri memberikan beberapa contoh tentag fakta sosial, termasuk aturan legal, beban moral, dan kesepakatan sosial. Dia juga memasukkan bahasa sebagai fakta sosial, dan menjadikannya sebagai contoh yang mudah dipahami. Pertama, karena bahasa adalah "sesuatu" yang mesti dipelajari secara empiris. Kita tidak bisa memikirkan aturan logis bahasa secara filosofis. Tepatnya, semua bahasa memiliki aturan logis berdasarkan tata bahasa, pengucapan, pelafalan, dan lainnya, akan tetapi semua bahasa juga memiliki pengecualian yang penting terhadap logis. Kedua, bahasa adalah sesuatu yang berada di luar individu. Meskipun individu menggunakan bahasa, namun bahasa tidak bisa didefinisikan atau diciptakan oleh individu. Fakta bahwa individu menggunakan bahasa untuk kepentingan diri mereka sendiri, menunjukan bahwa bahasa adalah factor eksternal pertama bagi individu dan butuh adaptasi bagi pengguna bahasa. Ketiga, bahasa memaksa individu. Bahasa yang kita pakai membuat sesuatu benar-benar sulit untuk dikatakan. Bahasa merupakan bagian dari sistem fakta sosial yang membuat hidup dengan teman yang berjenis kelamin sama sulit meski setiap individu menerima dan menjalani hubungan itu secara personal.
            Terakhir, perubahan dalam bahasa hanya bisa dipelajari melalui fakta sosial lain dan tidak bisa hanya dengan keinginan individu saja. Meski tidak jarang perubahan dalam bahasa bisa ditelusuri kepada individu, namun penjelasan actual bagi perubahan tersebut tetap terletak pada fakta sosial yang membuat masyarakat terbuka terhadap perubahan ini.
Fakta sosial material dan nonmaterial
Durkheim membedakan dua tipe ranah fakta sosial material dan nonmaterial. Fakta sosial material, seperti gaya arsitektur, bentuk teknologi, dan hokum dan perundang-undangan, relatif mudah dipahami karena keduanya bisa diamati secara langsung. Fakta sosial material tersebut sering mengespresikan kekuatan moral yang lebih besar dan kuat yang sama-sama berada diluar individu dan memaksa mereka. Kekuatan moral inilah yang disebut dengan fakta sosial nonmaterial.
Durkheim mengakui bahwa fakta sosial nonmaterial memiliki batasan tertentu, ia ada dalam pikiran individu. Akan tetapi dia yakin bahwa ketika orang memulai berinteraksi secara sempurna, maka interaksi itu akan "mematuhi hukumnya sendiri". Individu masih perlu sebagai satu jenis lapisan bagi fakta sosial nonmaterial, namun bentuk dan isi partikularnya akan ditentukan oleh interaksi dan tidak oleh individu.
Jenis-jenis fakta sosial nonmaterial
Ada empat jenis fakta sosial nonmaterial yang sangat penting bagi Durkheim yaitu, moralitas, kesadaran kolektif, representatif kolektif, dan aliran sosial.
1.      Moralitas
Durkheim dikenal sebagai sosiolog moralitas dalam pengertian terluas dari kata ini. Perspektif Durkheim tentang moralitas terdiri dari dua aspek. Pertama, Durkheim yakin bahwa moralitas adalah fakta sosial, dengan kata lain, moralitas bisa dipelajari secara empiris, karena ia berada diluar individu, memaksa individu, dan bisa dijelaskan dengan fakta-fakta sosial lain. Artinya, moralitas bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara filosofis, namun sesuatu yang mesti dipelajari sebagai fenomena empiris.
Kedua, Durkheim dianggap sebagai sosiolog moralitas karena studinya didorong oleh kepeduliannya pada "kesehatan" moral masyarakat modern. Sebagian besar sosiologi Durkheim bisa dianggap sebagai sebuah produk dari perhatiannya terhadap isu moral ini.
           
2.      Kesadaran Kolektif
Durkheim mencoba mewujudkan perhatiannya pada moralitas dengan berbagai macam cara dan konsep. Usaha awal untuk menangani persoalan ini adalah dengan mengembangkan ide tentang kesadaran kolektif.
"Seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri, kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran particular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran particular.
Hal-hal yang perlu dicatat dari definisi diatas adalah :
Pertama, menurut Durkheim kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut "keseluruhan" kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu yang mampu menciptakan fakta sosial lain.
Ketiga, meski Durkheim memandang kesadaran kolektif seperti diatas, namun dia juga menulis kalau kesadaran kolektif baru bisa terwujud melalui kesadaran-kesadaran individual.
3.      Representasi Kolektif
Durkheim tidak terlalu banyak menggunakan konsep kesadaran kolektif dalam karya-karyanya yang terakhir dan lebih memilih konsep yang lebih spesifik, yaitu representasi kolektif. Contohnya adalah symbol agama, mitos, dan legenda popular. Semua itu adalah cara-cara dimana masyarakat merefleksikan dirinya
Representasi kolektif tidak bisa direduksi kepada individu-individu, karena ia muncul dari interaksi sosial dan hanya bisa dipelajari secara langsung karena representasi kolektif cenderung berhubungan dengan praktik seperti ritual.
4.      Arus Sosial
Fakta sosial yang dirujuk Durkhein sering diasosiasikan dengan organisasi sosial. Tetapi, dia menjelaskan bahwa fakta sosial tidak menghadirkan diri dalam bentuk yang jelas. Ia menyebutnya dengan arus sosial.
Arus sosial bisa dilihat sebagai serangkaian makna yang disepakati dan dimiliki bersama oleh seluruh anggota kelompok. Karena itu, arus sosial tersebut tidak bisa dijelaskan berdasarkan suatu pikiran individual tertentu. Individu tentu punya kontribusi dalam arus sosial, akan tetapi, karena sudah menjadi sosial, sesuatu yang baru lahir melalui interaksi mereka.
BUNUH DIRI
Studi Durkheim tentang bunuh diri adalah contoh paradigmatis dari bagaimana sosiolog menghubungkan teori dan penelitian. Ia memilih studi ini karena persoalan ini merupakan fenomena konkret dan spesifik. Ia percaya dia bisa memperlihatkan bahwa sosiologi mampu berperan dalam menjelaskan tindakan yang kelihatannya bersifat individualistis.
Sebagai sosiolog, Durkheim tidak terfokus mempelajari mengapa seseorang melakukan bunuh diri. Karena masalah ini adalah wilayah garapan psikologi. Durkheim cuma tertarik untuk menjelaskan perbedaan angka bunuh diri. Ia berasumsi bahwa hanya fakta sosial yang bisa menjelaskan mengapa suatu kelompok memiliki angka bunuh diri yang lebih tinggi dari yang lain.
Durkheim menawarkan dua cara untuk mengevaluasi angka bunuh diri.  Pertama, dengan membandingkan suatu tipe masyarakat atau kelompok dengan tipe yang lain. Kedua, melihat perubahan angka bunuh diri dalam sebuah kelompok dalam suatu rentang waktu.
Durkheim menyimpulkan bahwa factor terpenting dalam perbedaan angka bunuh diri akan ditemukan dalam perbedaan level fakta sosial. Kelompok yang berbeda memiliki sentiment kolektif yang berbeda sehingga menciptakan arus sosial yang berbeda pula.
Empat jenis bunuh diri
1.      Bunuh diri egoistis. Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok dimana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Dan terjadi saat integrasi sosial mulai melemah.
2.      Bunuh diri altruistis.  Bunuh diri ini terjadi ketika integrasi sosial sangat kuat. Secara harfiah, dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri
3.      Bunuh diri anomik. Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu.
4.      Bunuh diri fatalistis. Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini