Senin, 17 September 2012

Pemikiran Tentang Agama Menurut August Comte dan Emile Durkheim . Nama : Novi Fitriani. Kelas : KPI E . Tugas ke II

Nama : Novi Fitriani
NIM : 1112o51000147
Tugas ke II

Pemikiran Tentang Agama Menurut August Comte dan Emile Durkheim

Agama memiliki definisi yang beragam, demikian banyaknya sehingga definisi agama semakin tidak jelas. Berikut pandangan tentang definisi agama menurut beberapa tokoh Intelektualisme
1. August Comte
Dari definisi yang dikemukakan Tylor yaitu agama sebagai; kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual. Walaupun agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka semua sama dalam hal ini, bahwa terdapat ruh-ruh di alam ini yang berfikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.   Frazer dan Spencer adalah termasuk tokoh yang sependapat dengan Tylor.   August Comte, walaupun ia juga sepakat dengan definisi tersebut, akan tetapi ia menganggapnya bahwa definisi tersebut tidak sempurna.
Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama sebagai rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat, dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Apa saja yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya, Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme, termasuk Comte.
Dalam pandangan Tylor, manusia memiliki substansi yang sama. Sebuah eksistensi yang berfikir, yang senantiasa ingin mengetahui keberadaan di sekitarnya. Manusia primitif berusaha memahami dan menjelaskan berbagai fenomena-fenomena yang aneh, dan fenomena suara-suara yang dahsyat, melalui ruang lingkup pemikirannya, bahkan berusaha membangun alur-alur pemikirannya. Tentunya, pengetahuan yang mereka maksudkan bukan sekedar menyaksikan suatu fenomena yang aneh atau mendengarkan suara yang dahsyat, tapi pengetahuan dihasilkan ketika hal tersebut menjadi sebuah bingkai universal atau telah menjadi pandangan dunia yang khas, misalnya; sekedar mendengar petir tidak bisa disebut sebagai pengetahuan, tapi mendengar petir dan meyakininya sebagai murka Tuhan disebut sebagai pengetahuan.
Comte meyakini juga bahwa pengetahuan seperti ini dihasilkan pada tahapan pertama agama, yaitu pada tahapan teologi, karena manusia pada saat itu senantiasa berfikir secara sederhana, dan dengan pandangan teologi langsung dapat memberikan sebuah jawaban, walaupun jawaban tersebut dalam bentuk sederhana.
pandangannya mengenai agama.
1. Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan tertentu dari sejarah manusia. Di sisi lain Comte meyakini bahwa masyarakat selamanya butuh pada agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam kepunahan, karena agama berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan masa kekinian. Di sisi lain masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan oleh agama.
Secara sepintas kita melihat adanya paradoks dalam pandangan Comte, namun Comte lebih jeli untuk bisa keluar dari lingkaran paradoks tersebut. Jika kita lebih teliti pada uraian-uraian yang dipersembahkan oleh Comte, kita akan menemukan bahwa agama yang mengalami kepunahan adalah sebuah agama yang berada dalam tahapan pertama evolusi manusia, yang mana pemikiran yang mendominasi dalam pandangan tersebut adalah sebuah pemikiran metafisik, yang menyerahkan seluruh fenomena pada Tuhan-Tuhan dan ruh-ruh. Namun dalam pandangan Comte, agama tidak terbatasi pada apa yang mendominasi dalam pemikiran tahapan pertama, bahkan dalam pandangan Comte, apa saja yang membuat keharmonisan dan dapat menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama.
Oleh karena itu, dalam pandangan Comte, walaupun masyarakat modern butuh pada agama, namun agamanya haruslah dalam ruang lingkup ilmu, positivistik dan sesuai dengan masyarakat modern.
2. Walaupun unsur pengetahuan agama dalam perubahan agama memiliki peranan yang sangat penting, namun Comte tidak melupakan faktor sosiologi mengenai pranata-pranata sosial. Menurut Comte; "setiap tahapan-tahapan perubahan alam mental manusia, berkaitan erat dengan sebuah institusi sosial dan dominasi politik tertentu yang ia ciptakan. Tahapan teologi dibawah dominasi para tokoh spiritual dan dikomandoi oleh pria-pria militer, tahapan metafisika, berada pada masa abad pertengahan dan renasains, yang didominasi oleh para pastor dan hakim. Tahapan ketiga yang baru saja dimulai, di bawah dominasi para manager-manager industri dan diarahkan oleh etika para ilmuan."[1]
  Artinya bahwa setiap tahapan dari evolusi pemikiran masyarakat, menciptakan sebuah institusi sosial yang sesuai dengan tahapan tersebut. Oleh karena itu, jika terdapat dua atau beberapa institusi yang hadir dalam masyarakat yang satu, mungkin saja akan menyebabkan sebuah krisis dalam masyarakat. Comte meyakini bahwa krisis sosial yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh bercampurnya sistem-sistem pemikiran klasik dan modern.
 3. Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa dalam pandangan Intelektualisme, seluruh perhatian ia kerahkan pada pikiran dan pemikiran, instrumen perasaan hampir jarang disentuh, boleh dikata mereka telah melupakannya sama sekali. Pandangan ini bisa kita benarkan jika kita melihat analisis Comte mengenai agama, namun dalam beberapa hal, Comte sempat mengisyaratkan beberapa hal mengenai hal tersebut, bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah cinta kepada sebuah eksistensi yang lebih mulia darinya, dan kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi oleh agama, bahkan ketika manusia masuk dalam agama modern, manusia tetap tidak melupakan kebutuhan kemanusiaan ini. Kata Comte; manusia bisa saja letih dari bekerja dan berfikir, namun ia tidak akan pernah lelah dari cinta[2].
Dalam pandangan Comte, agama memiliki tiga dimensi. Pertama; dimensi akal, yaitu kepercayaan pada dogmatis agama. Kedua; dimensi perasaan yang menjelma dalam bentuk ibadah dan penyembahan. Ketiga; dimensi praktik, Comte menyebutnya dengan disiplin.

2. Emile Durkheim
Sosiologi agama merupakan salah satu diskursus yang terpenting dalam sosiologi, para pendahulu sosiologi masing-masing dari mereka telah mengkonsepkan agama sebagai sesuatu relitas dalam masyarakat yang ada secara nyata.  Durkheim memandang agama sebagai sesuatu yang bukan hanya ilusi manusia yang abstrak tetapi agama merupakan produk manusia yang dapat dikaji secara empiris. Dalam bukunya "The Elementary Forms of Religious" Durkheim memberikan suatu analisa terperinci mengenai kepercayaan-kepercayaan dan ritual-ritual agama totemik orang arunta, suku bangsa primitive di Australia utara. [3]
Durkheim mendefinisikan agama sebagai "Suatu System yang terpadu mengenai kepercayaan-kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda suci atau benda-benda khusus (terlarang) kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat, semua berhubungan dengan itu. [4]
Durkheim mengabstraksi munculnya agama dalam masyarakat yaitu dengan memisahkan antara yang sacral dan yang profan.
1. Sakral
Sakral berasal dari ritual-ritual keagamaan yang merubah nilai-nilai moral menjadi symbol-simbol religious dimana dimanifestasikan menjadi sesuatu yang riel. Masyarakat menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sekral dan sementara yang lain dianggap profan (kejadian yang umum atau biasa), sacral inilah yang dianggap sebagai suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Misalnya nilai-nilai pengrusakan atau kejahatan manusia dimanifestasikan dalam agama hindu sebagai siwa sebagai dewa perusak. Sehingga dapat dikatakan Tuhan tak lebih dari sekedar hasil pengejawantahan wujud Tuhan dan simbolisasiNya (Durkheim 1906/1974:52) artinya masyarakatlah sumber dari kesakralan itu sendiri.
2. Profan
Profan adalah peristiwa yang biasa terjadi dalam masyarakat dikehidupan sehari-harinya yang tidak memiliki nilai-nilai suci yang disakralkan. Yang profan ini dapat menjadi sakral jikalau masyarakat mengagungkan dan menyucikannya.
3. Totemisme
Totemisme adalah system agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuhan dianggap sakral dan dijadikan simbol klan. Menurut Durkheim totemisme merupakan agama yang paling sederhana dan primitive yang juga merupakan bentuk organisasi social yang paling sederhana. Totemisme ini berasal dari representasi klan atau suku, individu mengalami kekuatan social yang sangat erat dan besar ketika mengikuti upaca suku sehingga mereka berusaha mencari penjelasan atas fenomena tersebut dan mewujudkannya dalam suatu lambing totem.
Jadi dapat dikatakan totem adalah representasi material dari kekuatan non material yang menjadi dasarnya, dimana kekuatan nonmaterial itu adalah perasaan individu-individu dalam masyarakat. Sebenarnya masih banyak pembahasan dalam tulisan ini dikarenakan masih banyak agenda yang mesti saya selesaikan ingsallah tulisan ini nantinya akan diedit dan ditambah dilain waktu.




[1] Kehidupan dan Pemikiran para Pembesar Sosilogi; Terjemahan Muhsin Tsulasi, hal. 30.
[2]Tahapan pemikiran dalam sosiologi; Raymon ; terjemahan Baqir Parhom ; hal 118. 
[3] Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I (penerjemah Robert M.Z Lawang  Jakarta Gramedia pustaka Utama, 1990) hlm 196
[4] Emile Durkheim The Elementary Forms of Religious

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini