Senin, 17 September 2012

AGAMA MENURUT AUGUST COMTE DAN EMILE DURKHEIM. RIDHO FALAH ADLI KPI E/ TUGAS 2

Agama menurut august comte dan emile durkheim

 

Oleh Ridho Falah Adli /KPI 1E

August Comte , dengan nama lengkap Isidore Marie Auguste Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris. Comte yang juga biasa di kenal sebagai "Bapak Positivisme" memiliki beberapa pandangan mengenai agama.

 Pertama: dalam konteks pemikiran Comte, manusia zaman sekarang sedang menuju "masa kanak-kanak," kembali pada "masa teologis." Masa ketika banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi "yang terdekat" atau "yang terkasihi" oleh sesuatu kekuatan di luar diri manusia, yang biasa dikenal sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa. Masa ini ditandai pula dengan munculnya pemikiran yang ingin membawa agama sebagai "pusat kekuasaan."

Masa itu diwarnai kebangkitan agama-agama di hampir seluruh belahan dunia. Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, pura, vihara) penuh jemaah. Simbol-simbol agama apa pun agama itu, makin merebak.

Meskipun belum pernah menghitung, saya yakin jumlah pemakai jilbab pasti bertambah banyak, begitu pula jumlah orang yang mengenakan kalung bertanda salib, atau jumlah umat Buddha, Hindu, dan Konghucu yang merasa lebih leluasa memperlihatkan jatidiri mereka.

Kedua: Manusia zaman sekarang juga sedang menggandrungi hal-hal yang berbau metafisik. Tanda-tandanya adalah banyak orang yang memercayai hal-hal di luar fakta yang oleh Comte diyakini sebagai satu-satunya kenyataan. Bagi pemikir kelahiran Montpellier, Prancis ini, pengetahuan sejati hanyalah yang faktual, maka ia menolak metafisika.

Masa teologis dan masa metafisik, menurut dia, adalah masa kanak-kanak dan remaja dalam perkembangan individu. Jadi, masuk akal kalau terjadi berbagai macam paradoks pada masa kini. Misalnya, meskipun tempat ibadah penuh jemaah dan banyak orang yang percaya pada hal-hal metafisik, namun kebencian, kedengkian, caci-maki, permusuhan, konflik, dan korupsi tetap terjadi.

Ketiga: "agama kemanusiaan" mungkin bisa menjadi penyeimbang bagi kemajuan pesat "masa teologis" dan "metafisik" sekarang ini. Bukankah keseimbangan memang diperlukan dalam hidup manusia? Seperti juga diajarkan di semua agama, selain menjalin hubungan vertikal (dengan Tuhan) umat manusia juga diwajibkan menjalin relasi horizontal yang baik dengan sesamanya.

Dengan itu pula Comte menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya. Idealisasinya berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, dilengkapi oleh Comte. Agama gaya baru ini dinamakan agama kemanusiaan, dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia. Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Kemanusianlah yang kudus dan sakral, bukanlah Tuhan karena banyak penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.

Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya yang sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal to Conservatives.

Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama kemanusiaan-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.

Sedikit kesimpulan dari saya yaitu, semua agama adalah "agama kemanusiaan" karena mengajari kita untuk mengasihi sesama manusia (siapa pun mereka) sebagai perwujudan cinta kasih Tuhan di dunia ini.

 

Emile Durkheim, dalam buku "The Elamentary Form of Religious Life"  durkheim menempatkan sosiologi agama dan teori pengetahuan di bagian depan. Sosiologi agamanya terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat agama yang selalu ada sepanjang zaman dengan menganalisis bentuk-bentuk agama yang paling primitif. Sementara teori pengetahuannya berusaha menghubungkan kategori-kategori fundamental pikiran manusia dengan asal-muasal sosial mereka. Singkat kata dia menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dari yang profan. Yang sakral tercaipta melalui ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religiusyang mengikat individu dalam suatu kelompok.

Masyarakat menciptakan agama dengan mengidentifikasifenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai profan. Aspek realitas sosial yang didefinisikan dan dianggap profan -tempat umum,sesuatu yang bisa dipakai,aspek kehidupan duniawi. Di satu pihak,yang sakral melahirkan sikap hormat,kagum dan bertanggung jawab. Di pihak lain, sikap-sikap terhadap fenomena-fenomena inilah yang membuatnya dari profan menjadi sakral.

Durkheim tidak percaya dengan realitas supranatural apa pun yang menjadi sumber perasaan agama tersebut. Namun ada sesuatu kekuatan moral yang superioryang memberi inspirasi kepada pengikut, dan kekuatan itu adalah masyarakat,bukan tuhan. Durkheim berpendapat bahwa secara simbolis masyarakat menumbuh pada masyarakat itu sendiri. Agama adalah sistemsimbol yang dengannya masyarakat dapat menyadari dirinya. Inilah satu-satunya cara yang bisa menjelaskan kenapa setiap masyarakat memiliki kepercayaan agama,akan tetapi masing-masing kepercayaan tersebut berbeda satu sama lain.masyarakat merupakan kekuatan yang lebih besar dari kekuatan kita. Ia melampaui kita, menurut pengorbanan kita, menakan sifat egois kita , dan mengisi kita dengan energi. Masyarakat, menurut Durkheim, menggunakan kekuatan melalui resperentasi. Durkheim melihat Tuhan tak lebih dari "sekedar hasil pengejawantahan wujud Tuhan dan simbolisasinya". Dengan kata lain, masyarakat adalah sumber dari kesakralan itu sendiri.

Peerbedaan antara yag sakral dan yang profan serta terangkatnya beberapa aspek kehidupan sosial ke level yang sakral memang merupakan syarat mutlak bagi keberadaan agama, namun belum cukup sebagai syarat kemungkinannya. Tiga syarat lain yang dibutuhkan adalah pertama, harus ada pengembangan religius. Kepercayaaan adalah representasi yang mengekspresikan hakikkat hal yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik dengan sesama hal yang sakral atau dengan hal yang profan. Kedua, mesti ada Ritual agama, yaitu "stursn tingksh lsku ysng mengatur bagaimana seorang manusia mesti bersikap teerhadap hal-hal yang sakral tersebut". Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya. Dengan itu, durkheim mengemukakan definisi agama sebagai berikut: "Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua yang melekat padanya".

Durkheim juga ingin mempelajari agama dalam budaya "primitif" karena beberapa alasan. Pertama, dia percaya bahwa lebih mudah memperoleh pengetahuan tentang hakikat agama dalam budaya primitif karena sistem ide agama primitif kurang berkembang ketimbang agama modern.

Dia berminat pada agama tetomismebdalam masyarakat Arunta di Australia. Tetomisme adalah sisem agama dimana sesuatu, bisa binatang dan tumbuuhan dianggap skral dan menjadi simbol klan. Dia memandang tetomisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dari organisasi sosial sebuah klan.

Sekian pembahasan dari saya mengenai AGAMA MENURUT AUGUST COMTE DAN EMILE DURKHEIM.

Sumber

robbani.wordpress.com/2009/02/07/auguste-comte-dan-positivisme/

http://www.suaramerdeka.com/harian/0708/27/opi04.htm

http://galileo-pmii.tripod.com/artikel/comte.htm

Teori Sosiologi Modern,George Ritzer&Douglas J.Goodman ( Jakarta:kencana)hlm.104-107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini