Senin, 17 September 2012

PEMIKIRAN AUGUST COMTE DAN EMILE DURKHEIM TENTANG AGAMA. GIOVANNI (KPI 1/E). TUGAS KE – 2.

PEMIKIRAN AUGUST COMTE DAN EMILE DURKHEIM TENTANG AGAMA
OLEH: GIOVANNI (KPI 1/E)
TUGAS KE – 2
Pemikiran August Comte Tentang Agama
            Menurut August Comte ada 3 tahapan evolusi pemikiran manusia tentang agama yaitu, tahapan teologi, filosofis, dan positivisme. Dalam tahapan teologi, beliau berpendapat masyarakat memiliki keyakinan bahwa fenomena alam yang terjadi disebabkan oleh suatau keberadaan metafisik. Dalam tahap ini beliau membaginya kembali ke dalam 3 cabang yaitu, fetishisme, dalam tahap ini, manusia meyakini bahwa segala fenomena alam yang terjadi disebabkan oleh ruh/jiwa yang juga mengendalikan fenomena tersebut. Cabang yang kedua adalah politeisme, dalam tahap ini manusia sudah tidak lagi berbicara mengenai ruh. Namun, sudah mengenal dan meyakini adanya tuhan yang mengendalikan fenomena-fenomena tersebut. Dalam cabang ini dikenal pula ritual-ritual, dan manusia juga memberikan sesembahan kepada tuhan-tuhannya. Cabang yang ke tiga adalah monoteisme, dalam tahap ini, manusia sudah tidak menyembah banyak tuhan, tapi sudah mempercayai satu tuhan.
            Tahapan yang kedua adalah tahapan filosofis, dalam tahapan ini manusia tidak lagi bersandar pada kekuatan metafisik tetapi, bersandar pada substansi sesuatu itu sendiri.
            Tahapan yang ketiga adalah tahapan positivisme, dalam tahapan ini manusia mulai mengobservasi fenomena-fenomena tersebut. Dengan meninggalkan dua tahapan sebelumnya.
            Selain ketiga tahapan diatas comte juga memiliki pandangan lain yaitu fungsionalisme dan evolusionalisme. Comte juga meyakini bahwa faktor paling mendasar dalam sebuah perubahan masyarakat adalah pengetahuan. Comte meyakini bahwa agama berasal dari sejarah perkembangan manusia, di sisi lain, Comte meyakini manusia membutuhkan agama. Ini berarti agama terancam mengalami kepunahan karena harus digantikan oleh agama yang lebih bersifat modern. Di lain sisi masyarakat membutuhkan suatu system yang dapat menyatukan mereka. Yang hanya bisa di dapatkan dari agama. Intinya dalam pandangan Comte, walaupun masyarakat modern membutuhkan agama, namun agamanya haruslah yang bersifat modern pula agar sesuai denagn kehidupan masyarakatnya.
            Comte siap mengisyaratkan bahwa salah satu kebutuhan manusia adalah kecintaan pada sesuatu yang lebih mulia dari dirinya, kebutuhan ini hanya bisa diperoleh dari agama. Dalam pandangannya comte membagi agama kedalam 3 dimensi. Yang pertama dimensi akal yaitu kepercayaan. Yang kedua dimensi persaan yaitu ibadah. Dan yang ketiga dimensi praktik yaitu kedisiplinan.
Pemikiran E. Durkheim Tentang Agama
            Dalam karyanya yang berjudul The Elementary Forms of Religious Life, ia menempatkan sosiologi agama dan ilmu pengetahuan di bagian depan. Sosiologi agama terdiri dari usaha mengidentifikasi hakikat agama. Sementara itu, teori pengetahuan berusaha menghubungkan kategori-kategori fundamental pikiran manusia denagn asal muasal sosial mereka. Dari keduanya Durkheim menemukan hakikat agama dengan cara memisahkan yang sakral dan yang profan. Dalam teorinya, Durkheim mengemukakan bahwa masyarakat menciptakan agama dengan mendefinisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai yang profan. Jadi, segala aspek yang dianggap tinggi, agung, dan berkuasa dan tidak dapat terjamah dalam kondisi profan itulah yang disebut dengan yang sakral. Sedangkan, kehidupan sehari-hari yang bersifat biasa saja itulah yang disebut yang profan.
            Durkheim tidak percaya bahwa agama itu tidak ada sama sekali karena tak lebih dari sekedar ilusi. Setiap fenomena yang mudah menyebar harus memiliki kebenaran.namun, kebenaran tersebut belum tentu sama dengan apa yang diyakini oleh para penganutnya. Durkheim menyatakan bahwa secara simbolis masyarakat menubuh ke dalam masyarakat itu sendiri. Agama adalah sistem simbol yang dimana dengannya masyarakat dapat menyadari dirinya sendiri.
            Masyarakat, menurut Durkheim, menggunakan kekuatan melalui representasi. Durkheim melihat Tuhan tak lebih dari "sekadar hasil pengejawantahan wujud tuhan dan simbolisasinya" (Durkheim, 1906/1974;52). Dengan kata lain, masyarakat adalah sumber dari kesakralan itu sendiri.
            Selain yang sakral dan yang profan, Durkheim juga mengemukakan tiga syarat lagi, yang pertama adanya pengembangan kepercayaan religius. Kepercayaan adalah representasi yang mengekspresikan hakikat hal yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik dengan sesame hal yang sakral atau dengan hal yang profane (Durkheim, 1912/1965: 56). Kedua, mesti ada ritual agama. Yaitu, "aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia mesti bersikap terhadap hal-hal yang sakral tersebut" (Durkheim, 1912/1965: 56). Ketiga, agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya.
            Durkheim mengemukakan definisi agama sebagai berikut: "Agama adalah kesatuan sistem kepercayaan dan praktik yang menyatu dalam sebuah komunitas moral tunggal yang dinamai Gereja, semua yang melekat kepadanya " (1912/1965: 62). Ritual dan gereja sangatlah penting dalam teori agama Durkheim karena keduanya menghubungkan representasi sosial dan praktik individu.         
            Durkheim mempelajari agama dalam budaya "primitif". Mengapa? Karena dia percaya bahwa lebih mudah memperoleh pengetahuan tentang hakikat agam dalam budaya primitif karena sistem ide agama primitif kurang berkembang ketimbang agama modern. Durkheim mempelajari agama primitif adalah untuk menyelidiki agama dalam masyarakat modern. Agama dalam mayarakat non modern merupakan sesuatu yang melingkupi kesadaran kolektif.
             Durkheim sangat berminat meneliti totemisme dalam masyarakat Arunta di Australia. Totemisme adalah sistem agama dimana suatu aspek dianggap sakral dan menjadi symbol klan. Durkheim memandan totemisme sebagai bentuk agama yang paling sederhana dan palin primitive dia juga percaya bahwa totemisme terkait dengan bentuk paling sederhana dari organisasi sosial, sebuah klan.
            Durkheim berpendapat bahwa totem tak lain adalah representasi sebuah klan. Totemisme dan agama secara umum berasal dari moralitas kolektif dan menjadikan dirinya sebagai kekuatan impersonal. Jadi, dialah bukan sekadar binatang, tumbuhan, roh atau dewa-dewi mistis.
            Masyarakat bisa saja memiliki jumlah totem yang banyak, Durkheim tidak melihat totem tersebut sebagai representasi suatu rangkaian terpisah, kepercayaan yang terpisah-pisah tentang binatang atau tumbuhan khusus.
            Dalam totemisme, ada tiga jenis hal ihwal yang saling berhubungan yaitu: simbol totemik, binatang atau tumbuhan, dan anggota suku. Durkheim berpendapat bahwa kemampuan untuk mengklasifikasi alam ke dalam kategori-kategori kognitif berasal dari pengalaman religius dan sosial.
Sumber :
·         Teori Sosiologi Modern,George Ritzer&Douglas J.Goodman ( Jakarta:kencana)hlm.104-107
 
 
 
                       
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini