Senin, 17 September 2012

Sosiologi Agama menurut Pandangan Auguste Comte dan Emile Durkheim. Tugas ke-2

Nama               : Dityan Zahra Pranissa
Jurusan             : Komunikasi dan Penyiaran Islam
Smstr/Kelas      : 1/E
NIM                 : 1112051000149
Judul              : Sosiologi Agama menurut Pandangan Auguste Comte dan Emile Durkheim.
Tugas ke-2
 
Auguste Comte
Auguste Comte adalah seorang pendiri positivism[1] (segala sesuatu adalah benar), yang oleh Heilbron (1995) Auguste Comte digambarkan sebagai laki-laki yang bertumbuh pendek (mungkin 5 kaki, 2 inci) dengan mata yang juling dan sangat merasa gelisah dengan situasi sosial disekitarnya, khususnya ketika menyangkut soal perempuan. Dia juga terasing dari masyarakat secara keseluruhan.[2] Sejak kecil, Auguste Comte tahu bagaimana rasanya diejek, dihina dan dikucilkan oleh masyarakat karena fisiknya yang berbeda atau cacat. Maka dari itu, dia ingin  memberikan pemahaman  atas penghargaan nilai kesosialan dan kehidupan pada masyarakat yang sewaktu itu kurang melihat nilai-nilai tersebut. Auguste Comte adalah seorang yang agamais, namun dia tidak sepenuhnya menyetujui ajaran agamanya yang lebih dominan memberikan nilai dokma (ajaran dalam Kristen), dimana nilai sosialnya hanya sedikit. Sewaktu revolusi Perancis sedang berlangsung, kota Perancis disebut kota Paus (tingkatan tertinggi pendeta) yang dimana ajaran agamanya lebih cenderung kenilai agama, sehingga dia memberikan pembaharuan dalam bangsa Perancis tentang nilai-nilai sosial didalam ajaran agamanya. Auguste Comte tak hanya berpikir tentang bangsa Perancis saja, tapi dia memikirkan juga tentang bangsa Semitisme ( orang-orang yang dikucilkan seperti Yahudi). Karena Auguste Comte ingin merubah para masyarakat yang semula agamais atau religious menjadi masyarakat yang juga berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan. Auguste Comte juga telah menciptakan kristianitas yang baru menurutnya yang dibagi menjadi 3 bagian Agama, yaitu;
         1.         Agama yang pertama adalah penghormatan atas alam.
         2.        Agama yang kedua adalah penyembahan terhadap kaidah moral sebagai kekuasaan
       3.      Agama yang ketiga adalah kekuasaan yang tidak terbatas, yang tergambarkan lewat sumber dan akhir dari cita moral, yaitu alam.
 
Emile Durkheim
Dalam karya terakhir Emile Durkheim yang berjudul The Elementary Forms of Religious Life (1912/1965), Durkheim mulai memfokuskan dirinya pada penelitian tentang fakta sosial nonmaterial, agama. Sebelum Durkheim membuat isi buku tersebut lebih dalam, dia harus mencari serta meneliti dasar-dasar agama atau akar-akar agama yang kemudian nanti dijabarkannya. Dan Durkheim lebih memilih meneliti masyarakat primitif dalam ruang simplisitas kompratif, karena ia percaya ia akan lebih mampu menemukannya dibandingkan dengan harus meneliti masyaralat primitive dalam kompleksitas dunia modern. Dan menurutnya, yang ditemukan adalah bahwa sumber agama adalah masyarakat itu sendiri.[3]  Masyarakat mendefinisikan beberapa hal sebagai religious dan beberapa hal sebagai profan. Secara spesifik, pada kasus yang ia pelajari akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa Agama dan masyarakat adalah satu dan sama. Dimana agama adalah cara masyarakat tersebut mengekspresikan dirinya dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Dari sudut pandang itu, Durkheim seperti terlihat 'menuhankan' masyarakat dan produk-produk utamanya. Ketika mengambil sudut pandang tersebut Durkheim mengambil alur yang sangat koservatif: orang tidak akan mencampakkan Tuhan atau sumber sosialnya. Keidentikan masyarakat dengan Tuhan membuat Durkheim tidak menganjurkan revolusi sosial. Segala macam penelitian tentang masyarakat-masyarakat dan fakta sosial nonmaterial; agama,  adalah alasan untuk menemukan cara memperbaiki fungsi masyarakat.
Emile Durkheim dia menemukan hakikat abadi agama dengan cara memisahkan yang sakral dengan yang profan.[4] Yang sakral tercipta dari ritual-ritual yang mengubah kekuatan moral masyarakat yang menjadikannya simbol keterikatan satu sama lain masyarakat. Dan yang sakral pun melahirkan  sikap hormat, kagum dan bertanggung jawab.[5] Durkheim tidak percaya adanya agama karena tidak lebih dari sekedar ilusi semata, tapi walaupun begitu dia tetap mempertahankan pencitraan agama yang ada sambil dia meneliti tentang realitas sosialnya. Durkheim adalah seorang agnostik (seperti atheis; tanpa agama) yang kuat, yang berarti tidak percaya dengan suatu sumber perasaan atau kerohanian suatu agama, namun Durkheim merasakan ada satu kekuatan moral yang dia rasakan yang memberikannya inspirasi kepada pengikut, kekuatan itu bukan Tuhan, melainkan masyarakat. Karena Durkheim berpendapat bahwa secara simbolis masyarakat menubuh kedalam masyarakat itu sendiri, dan sistem simbol agar masyarakat menyadari dirinya adalah agama. Dan inilah yang bisa dibilang walaupun masyarakat memiliki kepercayaan agama didirinya, tetapi kepercayaan masing-masing yang dirasakannya berbeda-beda.
 
[1]Anthony Giddens, Daniel Bell, etc, Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Kreasi Warna, hal.3
[2]George Ritzar, Douglas J Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Warna, hal.14
[3] George Ritzar, Douglas J Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Warna, hal.19
[4] George Ritzar, Douglas J Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Warna, hal.104
[5] George Ritzar, Douglas J Goodman, Teori Sosiologi, Kreasi Warna, hal.104
 
Sumber:
- Sejarah dan Berbagai Pemikirannya, Anthony Giddens, Daniel Bell, etc, Penerbit: Kreasi Warna
- Teori Sosiologi, George Ritzar, Douglas J Goodman, Penerbit: Kreasi Warna
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini