Senin, 16 Maret 2015

Nama                           : Rizka Hayatun Nisa

Jurusan/Semester         : Bimbingan dan Penyuluhan Islam/6

NIM                            : 1112052000026

Matakuliah                  : Metode Penelitian Kualitatif

 

RINGKASAN PARADIGMA DALAM PENELITIAN

Terdapat paradigma-paradigma dalam penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif. Paradigma-paradigma tersebut adalah post positivis, konstruktivisme sosial, advokasi partisipatoris, dan pragmatis. Penjelasan antara keempat paradigma tersebut adalah sebagai berikut.

1.      Post Positivis

Post positivis mengandung filsafat deterministik, yaitu bahwa sebab-akibat (faktor kausatif) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir. Filsafat kaum post-positivis juga cenderung reduksionistis yang orientasinya mereduksi gagasan-gagasan besar menjadi gagasan-gagasan terpisah yang lebih kecil untuk diuji lebih lanjut, seperti halnya variabel-variabel yang umumnya terdiri dari sejumlah rumusan masalah dalam hipotesis penelitian.

Melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang amat penting bagi kaum post-positivis sehingga pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivis selalu didasarkan pada observasi dan pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia "luar sana". Seorang peneliti harus mengawali penelitiannya dengan menguji teori tertentu, lalu mengumpulkan data baik yang mendukung maupun yang membantah teori tersebut, kemudian barulah membuat perbaikan-perbaikan lanjutan sebelum dilakukan pengujian ulang.

Dalam buku Phillips dan Burbules (2000) tedapat sejumlah asumsi dasar yang menjad inti dalam paradigma penelitian post-positivis, yaitu:

a.       Pengetahuan bersifat konjektual/terkaan (dan antifondasional/tidak berlandasan apa pun) –bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran absolut.

b.      Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi "klaim-klaim lain" yang kebenarannya jauh lebih kuat.

c.       Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instrumen-instrumen pengukuran tertentu yang diisi oleh para partisipan atau dengan melakukan observasi mendalam di lokasi penelitian.

d.      Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang relevan dan benar, statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan.

e.       Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif; para peneliti harus menguji kembali metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias.

 

2.      Konstruktivisme Sosial

Berbeda dengan pandangan post positivis yang digunakan oleh penelitian kuantitatif, pandangan konstruksivisme sosial ini dipandang sebagai suatu pendekatan dalam penelitian kualitatif. Gagasan konstruksivisme sosial berasal dari Mannheim dan buku-buku seperti The Sosial Construction of Reality-nya Berger dan Luekmann (1967) dan Naturalistic Inquiry-nya Lincoln dan Guba (1985).

Konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka –makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu. Makna-makna ini cukup banyak dan beragam sehingga peneliti dituntut untuk lebih mencari kompleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sejumlah kategori dan gagasan. Peneliti berusaha mengandalkan sebanyak mungkin pandangan partisipan tentang situasi yang tengah diteliti. Untuk mengeksplorasi pandangan-pandangan ini, prtanyaan-pertanyaan ini perlu diajukan. Semakin terbuka pertanyaan tersebut tentu akan semakin baik, agar peneliti bisa mendengarkan dengan cermat apa yang dibicarakan dan dilakukan partisipan dalam kehidupan mereka.

Ketika melakukan penelitian, peneliti harus memosisikan diri bahwa mereka sedemikian rupa seraya mengakui dengan rendah hati bahwa interpretasi mereka tidak pernah lepas dari pengalaman pribadi, kultural, dan historis mereka sendiri. Dalam konteks konstruktivisme, peneliti memiliki tujuan utama, yakni berusaha memaknai (atau menafsirkan) makna-makna yang dimiliki orang lain tentang dunia ini. Ketimbang mengawali penelitiannya dengan suatu teori (seperti dalam post-positivisme), peneliti sebaiknya membuat atau mengembangkan suatu teori atau pola makna tertentu secara induktif.

Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty (1998) memperkenalkan sejumlah asumsi:

a.       Para peneliti kulitatif cenderung menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-pandangannya.

b.      Para peneliti kualitatif harus memahami konteks atau latar belakang partisipan mereka dengan cara mengunjungi konteks tersebut dan mengumpulkan sendiri informasi yang dibutuhkan. Mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah penafsiran yang dibentuk oleh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri.

c.       Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif di mana di dalamnya peneliti menciptakan makna dari data-data lapangan yang dikumpulkan.

 

3.      Advokasi Partisipatoris

Pendekatan Advokasi Partisipatoris muncul sejak 1980-an hingga 1990-an dari sejumlah kalangan yang merasa bahwa asumsi-asumsi post-positivis telah membebankan hukum-hukum dan teori-teori struktural yang sering kali tidak sesuai dengan / tidak menyertakan individu-individu yang terpinggirkan dalam masyarakat kita atau isu-isu keadilan sosial yang memang cocok dengan penelitian kualitatif, namun juga bisa menjadi dasar untuk penelitian kuantitatif.

Advokasi partisipatoris berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik. Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institusi-institusi di mana mereka hidup dan bekerja, dan kehidupan para peneliti sendiri. Di samping itu, pandangan ini menyatakan bahwa ada isu-isu tertentu yang perlu mendapat perhatian lebih, utamanya isu-isu menyangkut kehidupan sosial dewasa ini, seperti pemberdayaan, ketidakadilan, penindasan, penguasaan, ketertindasan, dan pengasingan. Peneliti dapat mengawali penelitian mereka dengan salah satu dari isu-isu ini sebagai fokus penelitiannya.

Para partisipan dapat membantu merancang pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, menganalisis informasi, atau mencari hibah-hibah penelitian. Penelitian advokasi menyediakan sarana bagi partisipan untuk menyuarakan pendapat dan hak-hak mereka yang selama ini tergadaikan dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran mereka akan realitas sosial yang sebenarnya atau dapat mengusulkan suatu agenda perubahan demi memperbaiki kehidupan mereka sendiri.

Karakteristik-karakteristik inti dari penelitian advokasi partisipatoris:

a.       Pada akhir penelitian advokasi partisipatoris, para peneliti harus memunculkan agenda aksi demi reformasi dan perubahan.

b.      Penelitian ini ditekankan untuk membantu individu-individu agar bebas dari kendala-kendala yang muncul dari media, bahasa, aturan-aturan kerja, dan relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan.

c.       Bersifat emansipatoris yang berarti bahwa penelitian ini membantu membebaskan manusia dari ketidakadilan-ketidakadilan yang dapat membatasi perkembangan dan determinasi diri, penelitian ini bertujuan untuk menciptakan perdebatan dan diskusi politis untuk menciptakan perubahan.

d.      Penelitian ini juga bersifat praktis dan kolaboratif karena ia hanya dapat sempurna jika dikolaborasikan dengan penelitian-penelitian lain, dan bukan menyempurnakan penelitian-penelitian yang lain.

 

4.      Pragmatis

Ketimbang berfokus pada metode-metode, para peneliti pragmatik lebih menekankan pada pemecahan masalah dan menggunakan semua pendekatan yang ada untuk memahami masalah tersebut. Pragmatisme pada hakikatnya merupakan dasar filosofis untuk setiap bentuk penelitian, khususnya penelitian metode campuran:

a.       Pragmatisme dapat digunakan untuk penelitian metode campuran yang di dalamnya para peneliti bisa dengan bebas melibatkan asumsi-asumsi kuantitatif dan kualitatif ketika mereka terlibat dalam sebuah penelitian.

b.      Setiap peneliti memiliki kebebasan memilih. Dalam hal ini, mereka bebas memilih metode-metode, tehnik-tehnik, dan prosedur-prosedur penelitian yang dianggap terbaik untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan mereka.

c.       Para peneliti metode campuran dapat menerapkan berbagai pendekatan dalam mengumpulkan dan menganalisis data ketimbang hanya menggunakan satu pendekatan saja.

d.      Dalam penelitian metode campuran, para peneliti menggunakan data kuantitatif dan kualitatif karena mereka meneliti untuk memiliki pemahaman yang baik terhadap masalah penelitian.

e.       Para peneliti pragmatis selalu melihat apa dan bagaimana meneliti, seraya mengetahui apa saja akibat-akibat yang akan mereka terima –kapan dan di mana mereka harus menjalankan penelitian tersebut.

f.       Kaum pragmatis setuju bahwa penelitian selalu muncul dalam konteks sosial, historis, politis, dan lain sebagainya.

g.      Kaum pragmatis percaya akan dunia eksternal yang berada di luar pikuran sebagaimana yang berada di dalam pikiran manusia. mereka  juga percaya bahwa kita harus berhenti bertanya tentang realitas dan hukum-hukum alam.

h.      Untuk itulah, bagi para peneliti metode campuran, pragmatisme dapat membuka pintu untuk menerapkan metode-metode yang beragam, pandangan-dunia yang berbeda-beda, dan asumsi-asumsi yang bervariasi, serta bentuk-bentuk yang berbeda dalam pengumpulan dan anailisis data.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini