Senin, 16 Maret 2015

Tugas meresum paradigma metodologi penelitian kualitatif/Nely Lailatul Maghfiroh/BPI 6

Nama               : Nely Lailatul Maghfiroh
NIM                : 1112052000013
Prodi               : Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI) 6
Mata Kuliah    : Metodologi Penelitian Kualitatif
Tugas               : meresum pembahasan ketiga
PARADIGMA KUALITATIF
A.                Post-positivis
Istilah post-positivme dalam paradigma kualitatif awalnya dikenal dengan istilah metode saintifik atau penelitian sains. Dan adapula yang menyebut dengan istilah penelitian positivis/post-positivisme, sains empiris, dan post-positivisme. Kemudian yang digunakan adalah istilag post positivisme, hal ini dikarenakan ia mempresentasikan pemikiran post-positivisme yang menentang gagasan tradisional tentang kebenaran absolut ilmu pengetahuan (Phillips & Burbules, 2000), dan mengaku bahwa kita tidak bisa terus menjadi "orang yang yakin/positif" pada klaim-klaim kita tentang pengetahuan ketika kita mengkaji perilaku dan tindakan manusia. Dalam perkembangan historisnya, tradisional post-positiv ini lahir dari penulis-penulis abad XIX, seperti Comte, Mill, Durkheim, Newton, dan Lock (Smith, 1983), dan belakangan dikembangkan lebih lanjut oleh penulis-penulis seperti Phillips dan Burbules (2000). Pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivis selalu didasarkan pada observasi dan pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia luar. Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang sangat penting bagi kaum post-positivis yang mengakibatkan munculnya hukum-hukum atau teori-teori yang mengatur dunia, yang menuntut adanya pengujian dan verivikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dapat dipahami manusia.
Asumsi dasar yang menjadi paradigma penelitian post-positivis dalam buku Phillips dan Burbules (2000), yaitu:
1.      Pengetahuan bersifat konjektural/terkaan
2.      Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim. Kemudian menyaringnya menjadi sebuah kebenaran yang lebih kuat.
3.      Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis.
4.      Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang relevan dan benar, statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan.
5.      Sikap objektif. Artinya, para peneliti harus menguji kembali metode-metode dan kesimpulan yang sekiranya mengandung bias
 
B.                 Konstruktivisme Sosial
Konsttruktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha mamahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu.
Makna-makna subjektif ini sering dinegosiasi secara sosial dan historis. Makna-makna ini dibuat melalui interkasi dengan mereka dan norma-norma historis dan sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karena itulah disebut konstruksi sosial.
Dalam konstruksi sosial, para peneliti perlu menyadarai bahwa latar belakang mereka dapat memengaruhi penafsiran mereka terhadap hasil penelitian. Untuk itu, mereka harus memosisikan diri mereka sedemikan rupa seraya mengakui dengan rendah hati bahwa interpretasi mereka tidak pernah lepas dari pengalaman pribadi, kultural, dan historis mereka sendiri. Peneliti juga mempunyai tujuan utama, yakni berusaha memaknai makna-makna yang dimiliki orang lain tentang dunia ini.
Asumsi dasar konstruktivisme yang diperkenalkan oleh Crotty (1998)
1.      Makna-makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang tengah mereka tafsirkan
2.      Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha memahaminya berdasarkan perspektif historis dan sosial mereka sendiri.
3.      yang tercipta makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia.
 
C.                Advokasi Parsipatoris
Paradigma advokasi/parsipatoris berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik dan agenda politis. Dalam penelitian ini, peneliti dapat mengawali penelitian mereka dengan salah satu dari isu-isu yang mneyangkut kehidupan sosial yang sedang terjadi sebagai fokus penelitiannya.
Karakteristik advokasi/parsipatoris dalam buku Kemmis dan Wilkinson, sebagai berikut:
1.      Tindakan parsipatoris bersikap dialektis dan difokuskan untuk membawa perubahan
2.      Penelitian ini ditekankan untuk membantu individu-individu agar bebas dari kendala-kendala yang muncul dari media, bahsa, aturan-aturan kerja, dan relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan.
3.      Penelitian ini bersifat emansipatoris yang berati bahwa penelitian ini membantu membebaskan manusia dari ketidakadilan yang dapat membatasi perkembangan dan determinasi diri. Penelitian advokasi bertujuan untuk menciptakan perdebatan dan diskusi politis untuk menciptakan perubahan.
4.      Penelitian ini juga bersifat praktis dan kolaboratif karena ia hanya dapat sempurna jika dikolaborasikan dengan penelitian-penelitian lain dan bukan menyempurnakan penelitian-penelitian yang lain.
 
D.                Pragmatik
Pragmatik sebagai paradigma lahir dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuaensi yang sudah ada dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya. Para peneliti pragmatik lebih menekankan pada pemecahan masalah dan menggunakan semua pendekatan yang ada untuk memahami masalah tersebut.
Berdasarkan kajian Cherryholmes (1992), Morgan (2007), dan pandangan John W. Creswell (penulis buku), pragmatisme pada hakikatnya merupakan dasar filosofis untuk setiap jenis penelitian, khususnya penelitian metode campuran:
1.      Pragmatik tidak hanya diterapkan untuk satu sistem filsafat atau realitas saja.
2.      Setiap peneliti memiliki kebebasan memilih.
3.      Kaum pragmatis tidak melihat dunia sebagai kesatuan yang mutlak.
4.      Kebenaran adalah apa yang terjadi pada saat itu
5.      Para peneliti pragmatis selalu melihat apa dan bagaimana meneliti
6.      Kaum pragmatis setuju bahwa penelitian selalu muncul dalam konteks sosial, historis, politis, dan sebagainya.
7.      Kaum pragmatis percaya akan dunia eksternal yang berada di luar pikiran sebagaimana yang berada di dalam pikiran manusia
8.      Bagi para peneliti metode campuran, pragmatisme dapat membuka pintu untuk menerapkan metode-metode yang beragam, paradigma yang berbeda-beda dan asumsi-asumsi yang bervariasi, serta bentuk yang berbeda dalam pengumpulan dan analisis data.
 
Sumber referensi: RESEARCH DESIGN Pendekatan kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi ketiga, cet.1. Penulis: John W. Craswell. Judul asli: RESEARCH DESIGN Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches. Third Edition

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini