Senin, 16 Maret 2015

Paradigma Dalam Metode Kualitatif

Nama                           : Nurfi Laila
NIM                            : 1112052000006
Jurusan / Kelas            : BPI / 6
Mata Kuliah                : Metode Penelitian Kualitatif
 
Paradigma Dalam Metode Kualitatif
(Post Positivisme, konstruktivisme Sosial, Advokasi Partisipatoris dan Pragmatis)
 
Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi yang di kembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan secara simultan dengan analisis data selama penelitian berlangsung.[1]
Menurut Bogdan dan Biklen, paradigma merupakan beberapa asumsi yang di pegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian. Berdasarkan pengertian ini, paradigma dapat berarti model, konsep, pemikiran dan asumsi tertentu yang dijadikan landasan, pola atau model dalam penelitian.
Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur atau bagaimana bagian-bagian berfungsi. Menurut Thomas Kuhn dalam Moleong, paradigma adalah contoh yang diterima tentang praktik ilmiah sebenarnya, contoh-contoh termasuk hokum, teori, aplikasi, dan instrumentasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah. Penelitian yang pelaksanaannya didasarkan pada paradigma bersama komitmen untuk menggunakan aturan dan standar praktik ilmiah yang sama.
Berdasarkan definisi Kuhn, Harmon, mendefinisikan bahwa paradigma merupakan cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas. Sementara itu, Beker mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan (tertulis maupun tidak tertulis) yang mencakup dua hal: pertama, membangun atau mendefinisikan batas-batas, dan kedua, menceritakan kepada Anda bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar berhasil.
Ada bermacam-macam paradigma, tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah: scientific paradigm (paradigma keilmuan atau lebih sering paradigma ilmiah) dan naturalistic paradigm (paradigma alamiah). Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivism, sedangkan paradigma alamiah bersumber dari pandangan fenomenologis. Penelitian kualitatif dibangun dari paradigma alamiah (naturalistic paradigm).
Paradigma alamiah awalnya bersumber dari pandangan Max Weber dan Irwin Deutcher yang lebih dikenal dengan pandangan fenomenologis. Fenomenologi berusaha memahami prilaku manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindak dari perspektif orang itu sendiri atau yang dipikirkan oleh orang itu sendiri.
Dalam penelitian kualitatif, paradigma penelitian sering dibuat dalam bentuk skematik. Paradigma yang digambarkan dalam bentuk skematik akan menceritakan alur penelitian yang dilakukan. Apabila peneliti menggunakan paradigma tertentu yang telah di buat atau di rumuskan oleh orang lain sebagai landasan penelitiannya, maka peneliti harus mengemukakan paradigma tersebut dalam kutipan; artinya peneliti meminjam paradigma orang lain dalam penelitiannya. Hal ini bisa dilakukan sepanjang paradigma tersebut relevan dengan penelitian yang akan dilakukan. Meskipun demikian, peneliti bisa memodifikasi paradigma penelitiannya sesuai konteks focus penelitian yang diteliti.[2]
A.    Pandangan Dunia Post Positivisme
Asumsi-asumsi post-positivis merepresentasikan bentuk tradisional penelitian, yang kebenarannya lebih sering disematkan untuk penelitian kuantitatif ketimbang penelitian kualitatif. Pandangan dunia ini terkadang disebut sebagai metode saintifik atau penelitian sains. Ada pula yang menyebutnya sebagai penelitian positivis/ post-positivis, sains empiris, dan post-positivisme.
Asumsi dasar yang menjadi inti dalam paradigma penelitian post-positivis menurut buku Philips dan Burbules, antara lain:
1.      Pengetahuan bersifat konjektural/ terkaan (dan antifondasional/ tidak berlandasan apa pun) bahwa kita tidak akan mendapatkan kebenaran absolute.
2.      Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi "klaim-klaim lain" yang kebenarannya jauh lebih kuat. Sebagian besar penelitian kuantitatif, misalnya, selalu di awali dengan pengujian atas suatu teori.
3.      Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis.
4.      Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang relevan dan benar, statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenarnya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan.
5.      Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif; para peneliti harus menguji kembali metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias.
 
B.     Pandangan Dunia Konstruktivisme Sosial
Pandangan dunia konstruktivisme sosial (yang sering kali di kombinasikan dengan interpretivisme) Mertens, 1998. Pandangan dunia ini biasanya dipandang sebagai suatu pendekatan dalam penelitian kualitatif.
Konstruktivisme sosial meneguhkan asumsi bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja. Mereka mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalaman mereka, makna-makna yang diarahkan pada objek-objek atau benda-benda tertentu. Makna-makna inipun cukup banyak dan beragam sehingga peneliti dituntut untuk lebih mencari kompleksitas pandangan-pandangan ketimbang mempersempit makna-makna menjadi sejumlah kategori dan gagasan. Peneliti berusaha mengandalkan sebanyak mungkin pandangan partisipan tentang situasi yang tengah diteliti.
Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty memperkenalkan sejumlah asumsi:
1.      Makna-makna dikonstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang tengah mereka tafsirkan. Para peneliti kualitatif cendrung menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-pandangannya.
2.      Para peneliti kualitatif harus memahami konteks atau latar belakang partisipan mereka dengan cara mengunjungi konteks tersebut dan mengumpulkan sendiri informasi yang di butuhkan. Mereka juga harus menafsirkan apa yang mereka cari: sebuah penafsiran yang dibentuk oleh pengalaman dan latar belakang mereka sendiri.
3.      Pada dasarnya yang menciptakan makna adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia. Proses penelitian kualitatif bersifat induktif dimana di dalamnya peneliti menciptakan makna dari data-data lapangan yang dikumpulkan.
 
C.     Pandangan Dunia Advokasi dan Partisipatoris
Pandangan ini berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik dan agenda politis. Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institusi-institusi dimana mereka hidup dan bekerja, dan kehidupan para peneliti sendiri.
Pandangan dunia filosofis advokasi/ partisipatoris focus pada kebutuhan-kebutuhan suatu kelompok atau individu tertentu yang mungkin termarginalkan secara sosial.
Meskipun penjelasan sejak tadi cendrung bersifat generalisasi terhadap kelompok-kelompok yang termarginalkan, setidaknya kita perlu membaca ringkasan Kemmis dan Wilkinson tentang karakteristik inti dari penelitian advokasi atau partisipatoris:
1.      Tindakan partisipatoris bersikap dialektis dan difokuskan untuk membawa perubahan.
2.      Penelitian ini ditekankan untuk membantu individu-individu agar bebas  dari kendala-kendala yang muncul dari media, bahasa, aturan-aturan kerja, dan relasi kekuasaan dalam ranah pendidikan.
3.      Penelirtian ini bersifat emansipatoris yang berarti bahwa penelitian ini membantu membebaskan manusia dari ketidak adilan yang dapat membatasi perkembangan dan determinasi diri.
4.      Penelitian ini juga bersifat praktis dan kolaboratif karena ia hanya dapat sempurna jika dikolaborasikan dengan penelitian-penelitian lain, dan bukan menyempurnakan penelitian-penelitian yang lain.
 
D.    Pandangan Dunia Pragmatis
Paradigma filosofis yang satu ini memiliki banyak bentuk, tetapi pada umumnya pragmatism sebagai pandangan dunia lahir dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuensi yang sudah ada, dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya (seperti dalam post positivism). Ketimbang berfokus pada metode-metode, para peneliti pragmatis lebih menekankan pada pemecahan masalah dan menggunakan semua pendekatan yang ada untuk memahami masalah tersebut, menurut Rosman dan Wilson.
Berdasarkan kajian Cherryholmes, Morgan dan pandangan saya pribadi, pragmatism pada hakikatnya merupakan dasar filosofis untuk setiap bentuk penelitian, khususnya penelitian metode campuran:
1.      Pragmatism tidak hanya diterapkan untuk satu sistem filsafat atau realistis saja.
2.      Setiap peneliti memiliki kebebasan memilih.
3.      Kaum pragmatis tidak melihat dunia sebagai kesatuan yang mutlak.
4.      Kebenaran adalah apa yang terjadi pada saat itu.
5.      Para peneliti pragmatis selalu melihat apa dan bagaimana meneliti, seraya mengetahui apa saja akibat-akibat yang akan mereka terima kapan dan dimana mereka harus menjalankan penelitian tersebut.
6.      Kaum pragmatis setuju bahwa penelitian selalu muncul dalam konteks sosial, historis, politis, dan lain sebagainya.
7.      Kaum pragmatis percaya akan dunia eksternal yang berada di luar pikiran sebagaimana yang berada di dalam pikiran manusia.
8.      untuk itulah, bagi para peneliti metode campuran, pragmatism dapat membuka pintu untuk menerapkan metode-metode yang beragam, pandangan dunia yang berbeda-beda, dan asumsi-asumsi yang bervariasi, serta bentuk-bentuk yang berbeda dalam pengumpulan dan analisa data.[3]
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Ghony, M. Djunaidi & Fauzan Almanshur. 2012.  Metodologi Penelitian Kualitatif. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Ø  Tohirin. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Pendidikan Dan Bimbingan Konseling. Jakarta: RajaGrafindo.
Ø  W. Creswell, John. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2012)hal. 73.
[2] Tohirin, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Pendidikan Dan Bimbingan Konseling, (Jakarta, RajaGrafindo, 2012) hal. 16-17.
[3] John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010) hal. 8-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini