Nama : Julia Rahmania
Teori-teori Max Weber
Teori Capitalisme
Weber dan Etika Protestan
Pembahasan klasik dan paling berpengaruh tentang hubungan antara etika dan agama, khususnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi, adalah yang dilakukan oleh Weber. Tesisnya yang terkenal yang diungkapkan dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism membuktikan bahwa munculnya zaman modern dengan Kapitalisme-nya itu mempunyai akar dalam pandangan etis dan keagamaan Kristen Protestan, khususnya Calvinisme. Tesis ini merupakan bantahan terhadap tesis Marx tentang transisi dari feodalisme ke kapitalisme.
Dalam bukunya tersebut, Weber mengungkapkan bahwa segi keagamaan Kristen yang paling berpengaruh bagi pertumbuhan kapitalisme modern adalah justru asketisme. Asketisme ini dalam perkembangan agama Kristen, diwakili secara ekstrem dalam puritanisme yang muncul di Inggris pada abad ke-16 dan 17 sebagai kelanjutan dan perkembangan Calvinisme di Jenewa, Swiss. Asketisme kaum puritan memancar dalam etika mereka.
Etika yang terdapat dalam Cavinisme adalah ketidaksetujuan mereka dengan pola hidup yang lebih menghabiskan waktu pada hal-hal yang sia-sia dan tak berguna, sikap malas, tidur yang tidak penting, pembicaraan-pembicaraan yang tidak bermanfaat, kesenangan seksual, olahraga, rekreasi untuk kesenangan, dan apapun yang dapat menjauhkan mereka dari panggilan keagamaannya, termasuk menghadiri pesta-pesta dansa. Penekanan agama Calvinisme ini adalah pada sikap disiplin diri.
Kelompok Calvinis, menurut Weber, percaya bahwa Tuhan telah menentukan takdir seorang manusia sebelum ia dilahirkan. Bagaimanapun, dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah digariskan sebelumnya, kelompok Calvinis, menurut Weber, berada dalam proses pencarian untuk menjadi manusia pilihan Tuhan. Yang dimaksudkan Weber dengan pernyataan ini adalah bahwa masing-masing individu mengalami suatu penderitaan kegelisahan atas penyelamatan Tuhan dan, dengan melakukan arahan-arahan serta aturan-aturan Calvinisme untuk berperilaku baik, mereka mencari suatu bukti bahwa mereka adalah kelompok pilihan. Mereka percaya bahwa pendekatan sistematis untuk berkerja tidak hanya akan menghasilkan hasil yang baik, tetapi juga akan menghasilkan tanda-tanda pilihan Tuhan. Mereka juga percaya bahwa kerja keras adalah suatu yang baik dan dilakukan atas dasar pilihan, bukan atas dasar kebutuhan. Aktivitas ekonomi mereka tergantung atas pengumpulan kekayaan, yang menurut Weber, melalui penolakan-penolakan atas kesenangan-kesenangan. Meskipun mereka tidak anti kepada pencarian uang, mereka tidak suka menggunakan uang untuk kegiatan-kegiatan yang mengandung kenikmatan semu. Karena itu, mereka memutar uang mereka dalam suatu bentuk kerja yang kemudian membawa kepada pengumpulan kekayaan. Inilah yang kemudian mendorong timbulnya kapitalisme.
Tesis Weber jelas tidak sepi dari kritik. Dalam buku Antropologi Agama, Brian Morris, memaparkan beberapa kritik terhadap tesis Weber ini. Kritik yang paling umum adalah penolakan terhadap berbagai korelasi atau pertalian antara Protestantisme dan Kapitalisme dengan didasarkan kepada landasan-landasan empiris. Misalnya, kapitalisme telah ada di negara-negara seperti Itali, Perancis, Spanyol, Portugal sebelum dan terlepas dari etika Protestan. Sebaliknya, di negara-negara seperti Switzerland dan Skotlandia dimana Protestatisme tumbuh subur, kapitalisme tidak mengalami perkembangan.
Pembahasan klasik dan paling berpengaruh tentang hubungan antara etika dan agama, khususnya yang berkaitan dengan bidang ekonomi, adalah yang dilakukan oleh Weber. Tesisnya yang terkenal yang diungkapkan dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism membuktikan bahwa munculnya zaman modern dengan Kapitalisme-nya itu mempunyai akar dalam pandangan etis dan keagamaan Kristen Protestan, khususnya Calvinisme. Tesis ini merupakan bantahan terhadap tesis Marx tentang transisi dari feodalisme ke kapitalisme.
Dalam bukunya tersebut, Weber mengungkapkan bahwa segi keagamaan Kristen yang paling berpengaruh bagi pertumbuhan kapitalisme modern adalah justru asketisme. Asketisme ini dalam perkembangan agama Kristen, diwakili secara ekstrem dalam puritanisme yang muncul di Inggris pada abad ke-16 dan 17 sebagai kelanjutan dan perkembangan Calvinisme di Jenewa, Swiss. Asketisme kaum puritan memancar dalam etika mereka.
Etika yang terdapat dalam Cavinisme adalah ketidaksetujuan mereka dengan pola hidup yang lebih menghabiskan waktu pada hal-hal yang sia-sia dan tak berguna, sikap malas, tidur yang tidak penting, pembicaraan-pembicaraan yang tidak bermanfaat, kesenangan seksual, olahraga, rekreasi untuk kesenangan, dan apapun yang dapat menjauhkan mereka dari panggilan keagamaannya, termasuk menghadiri pesta-pesta dansa. Penekanan agama Calvinisme ini adalah pada sikap disiplin diri.
Kelompok Calvinis, menurut Weber, percaya bahwa Tuhan telah menentukan takdir seorang manusia sebelum ia dilahirkan. Bagaimanapun, dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang telah digariskan sebelumnya, kelompok Calvinis, menurut Weber, berada dalam proses pencarian untuk menjadi manusia pilihan Tuhan. Yang dimaksudkan Weber dengan pernyataan ini adalah bahwa masing-masing individu mengalami suatu penderitaan kegelisahan atas penyelamatan Tuhan dan, dengan melakukan arahan-arahan serta aturan-aturan Calvinisme untuk berperilaku baik, mereka mencari suatu bukti bahwa mereka adalah kelompok pilihan. Mereka percaya bahwa pendekatan sistematis untuk berkerja tidak hanya akan menghasilkan hasil yang baik, tetapi juga akan menghasilkan tanda-tanda pilihan Tuhan. Mereka juga percaya bahwa kerja keras adalah suatu yang baik dan dilakukan atas dasar pilihan, bukan atas dasar kebutuhan. Aktivitas ekonomi mereka tergantung atas pengumpulan kekayaan, yang menurut Weber, melalui penolakan-penolakan atas kesenangan-kesenangan. Meskipun mereka tidak anti kepada pencarian uang, mereka tidak suka menggunakan uang untuk kegiatan-kegiatan yang mengandung kenikmatan semu. Karena itu, mereka memutar uang mereka dalam suatu bentuk kerja yang kemudian membawa kepada pengumpulan kekayaan. Inilah yang kemudian mendorong timbulnya kapitalisme.
Tesis Weber jelas tidak sepi dari kritik. Dalam buku Antropologi Agama, Brian Morris, memaparkan beberapa kritik terhadap tesis Weber ini. Kritik yang paling umum adalah penolakan terhadap berbagai korelasi atau pertalian antara Protestantisme dan Kapitalisme dengan didasarkan kepada landasan-landasan empiris. Misalnya, kapitalisme telah ada di negara-negara seperti Itali, Perancis, Spanyol, Portugal sebelum dan terlepas dari etika Protestan. Sebaliknya, di negara-negara seperti Switzerland dan Skotlandia dimana Protestatisme tumbuh subur, kapitalisme tidak mengalami perkembangan.
Teori Kharisma
Kharisma dan Kepimpinan Kharismatik
Fenomena kharisma dan kepemimpinan kharismatik, seperti dikatakan oleh Loewenstein, dapat ditemukan di suatu wilayah dimana keyakinan rakyat pada kekuatan supranatural masih meluas, seperti, misalnya, di Indonesia. Berbeda dengan Loewenstein, Edward Shills melihat adanya unsur kharismatik dalam setiap masyarakat. Secara umum, Weber mendefinisikan kharisma sebagai "kualitas tertentu seorang individu yang karenanya ia jauh berbeda dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan supernatural, manusia super atau setidaknya luar biasa. Tetapi semua itu dianggap berasal dan bersumber dari Tuhan, dan atas dasar itu, individu yang besangkutan diperlakukan sebagai pemimpin". Kharisma dipandang oleh Weber sebagai kekuatan inovatif dan revolutif, yang menentang dan mengacaukan tatanan normatif dan politik yang mapan. Otoritas kharismatis didasarkan pada person ketimbang hukum impersonal. Pemimpin kharismatik menuntut kepatuhan dari para pengikutnya atas dasar keunggulan personal, seperti misi ketuhanan, perbuatan-perbuatan heroik dan anugerah yang membuat dia berbeda.
Institusionalisasi kharisma dapat diperoleh melalui beberapa cara, misalnya, bisa melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh keyakinan tradisional, kharisma banyak diturunkan melalui hubungan darah. Kharisma yang dimiliki oleh Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati, yang ketiganya memimpin partai dengan ideologi Soekarnoisme, diwarisi dari bapaknya, Soekarno, tokoh proklamator yang sangat kaharismatik. Para pendukungnya setia kepada mereka kerapkali tidak didasari pada pertimbangan rasional, tetapi lebih pada ikatan-ikatan emosional dan kharisma bapaknya.
Satu contoh yang mungkin juga representatif untuk menjelaskan kharisma dan kepemimpinan kharismatik adalah kharisma yang dimiliki oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mewarisi kharisma melalui hubungan darah, keturunan, dan institusi, disamping pengetahuan Gus Dur yang mendalam tentang masalah-masalah sosial-politik-keagamaan. Sepak terjang Gus Dur dalam banyak bidang, baik pemikiran keagamaan maupun masalah-masalah kemanusiaan dan demokrasi.
Kharisma dan Kepimpinan Kharismatik
Fenomena kharisma dan kepemimpinan kharismatik, seperti dikatakan oleh Loewenstein, dapat ditemukan di suatu wilayah dimana keyakinan rakyat pada kekuatan supranatural masih meluas, seperti, misalnya, di Indonesia. Berbeda dengan Loewenstein, Edward Shills melihat adanya unsur kharismatik dalam setiap masyarakat. Secara umum, Weber mendefinisikan kharisma sebagai "kualitas tertentu seorang individu yang karenanya ia jauh berbeda dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan supernatural, manusia super atau setidaknya luar biasa. Tetapi semua itu dianggap berasal dan bersumber dari Tuhan, dan atas dasar itu, individu yang besangkutan diperlakukan sebagai pemimpin". Kharisma dipandang oleh Weber sebagai kekuatan inovatif dan revolutif, yang menentang dan mengacaukan tatanan normatif dan politik yang mapan. Otoritas kharismatis didasarkan pada person ketimbang hukum impersonal. Pemimpin kharismatik menuntut kepatuhan dari para pengikutnya atas dasar keunggulan personal, seperti misi ketuhanan, perbuatan-perbuatan heroik dan anugerah yang membuat dia berbeda.
Institusionalisasi kharisma dapat diperoleh melalui beberapa cara, misalnya, bisa melalui hubungan darah, keturunan dan institusi. Dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh keyakinan tradisional, kharisma banyak diturunkan melalui hubungan darah. Kharisma yang dimiliki oleh Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati, yang ketiganya memimpin partai dengan ideologi Soekarnoisme, diwarisi dari bapaknya, Soekarno, tokoh proklamator yang sangat kaharismatik. Para pendukungnya setia kepada mereka kerapkali tidak didasari pada pertimbangan rasional, tetapi lebih pada ikatan-ikatan emosional dan kharisma bapaknya.
Satu contoh yang mungkin juga representatif untuk menjelaskan kharisma dan kepemimpinan kharismatik adalah kharisma yang dimiliki oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mewarisi kharisma melalui hubungan darah, keturunan, dan institusi, disamping pengetahuan Gus Dur yang mendalam tentang masalah-masalah sosial-politik-keagamaan. Sepak terjang Gus Dur dalam banyak bidang, baik pemikiran keagamaan maupun masalah-masalah kemanusiaan dan demokrasi.
Teori Tindakan Sosial Max Weber
Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial menurut Weber yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan saling menanggapi .
Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan sosial dan antar-hubungan sosial tersebut. Weber membedakan dua jenis dasar dari pemahaman yang bersifat tafsiran dari arti, dari tiap jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-masing pertaliannya, dengan menggunakan tindakan rasional ataupun emosional. Jenis pertama adalah pemahaman langsung yaitu memahami suatu tindakan dengan pengamatan langsung. Kedua, pemahaman bersifat penjelasan. Dalam tindakan ini tindakan khusus aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi yang bisa dimengerti, dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari kenyataan berlangsungnya perilaku.
Max Weber dalam (J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, 2006:18) mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat yaitu;
a. Rasionalitas instrumental
Yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
b. Rasionalitas yang berorientasi nilai
Alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut.
c. Tindakan tradisional
Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.
d. Tindakan afektif
Tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari individu.
Menurutnya bahwa keempat tindakan tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan, namun apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu. Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna tindakan sosial yang mereka lakukan.
Teori Versetehen Max Weber
Pemikiran Weber tentang verstehen lebih sering ditemukan di kalangan sejarawan Jerman pada zamannya dan berasal dari bidang yang dikenal dengan hermeneutika. Hermeneutika adalah pendekatan khusus terhadap pemahaman dan penafsiran tulisan-tulisan yang dipublikasikan. Tujuannya adalah memahami pemikiran pengarang maupun struktur dasar teks. Weber dan lainnya berusaha memperluas gagasannya dari pemahaman teks kepada pemahaman kehidupan sosial: memahami aktor, interaksi dan seluruh sejarah manusia. Satu kesalahpahaman yang sering terjadi menyangkut konsep verstehen adalah bahwa dia dipahami sekedar sebagai penggunaan intuisi, irasional dan subyektif. Namun secara kategoris Weber menolak gagasan bahwa verstehen hanya melibatkan intuisi, keterlibatan berdasarkan simpati atau empati. Baginya, verstehen melibatkan penelitian sitematis dan ketat, dan bukannya hanya sekedar merasakan teks atau fenomena sosial.
Dengan kata lain, bagi Weber, verstehen adalah prosedur studi yang rasional. Sejumlah orang menafsirkan verstehen, pernyataan-pernyataan Weber, tampaknya terbukti kuat dari sisi penafsiran level individu terhadap verstehen. Namun sejumlah orang juga menafsirkan bahwa verstehen yang dinyatakan oleh Weber adalah sebagai teknik yang bertujuan untuk memahami kebudayaan. Seiring dengan hal tersebut, W.G. Runciman (1972) dan Murray Weax (1976) melibatkan verstehen sebagai alat untuk mempelajari kebudayaan dan bahasa tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar